Anda di halaman 1dari 10

Dari data-data di atas dilakukan pada variabel dependen BB/U dengan 17 variabel

independen , yaitu:

A. Karakteristik Pengasuh

1. Usia pengasuh

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan koefisien regresi positif, yang menunjukkan

semakin tua usia pengasuh status gizi balita tersebut akan semakin baik. Sesuai

dengan penelitian Sukoco dkk (2015) yang menyebutkan umur ibu sebagai caregiver

memiliki hubungan bermakna (p <0,05) dengan status gizibalita.

Semakinmudakelompokusiaibusebagai caregiver (1725 tahun)

terlihatsemakinbanyakmemilikibalitadengan status gizi yang buruk. Hal ini

dikarenakanorang dewasa yang

matangdankompetenmenjadisalahsatudeterminandalamkualitaspengasuhan.

Namun pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antarA usia

pengasuh dengan tingkat status gizi balita. Hal ini dikarenakan pada usia muda

cenderung memiliki kondisi fisik yang prima dan tingkat produktivitas yang lebih

tinggi sehingga mereka mampu untuk memberikan kualitas dan kuantitas pola asuh

yang lebih baik.

2. Jumlahanak

Jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan keluarga karena

terjadi persaingan sarana dan prasarana, perbedaan makanan, dan waktu perawatan

anak berkurang. Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa tidak ada

pengaruh yang signifikan antara jumlah anak dengan status gizi balita karena pada

keluarga dengan jumlah anak yang banyak akan mampu meningkatkan pengalaman

ibu dalam mengasuh balita. Selain itu, jumlah anak yang banyak dan jarak yang
terlalu jauh antara anak yang satu dengan yang lainnya akan memberikan

kemungkinan yang lebih besar bagi seorang anak tertua atau anak yang lebih tua

untuk ikut serta merawat balita dalam kelurga tersebut dan menambah penghasilan

dalam keluarga tersebut sehingga nantinya mampu untuk meningkatkan status gizi

balita dalam keluarga tersebut.

3. Pendidikan

Tingkatpendidikanterutamatingkatpendidikanibudapatmempengaruhiderajatkesehatan

karenapendidikanibuberpengaruhterhadapkualitaspengasuhananak.Tingkat pendidikan

yang

tinggimembuatseseorangmudahuntukmenyerapinformasidanmengamalkandalamperila

kusehari-hari.Tingkat pendidikan responden berbanding lurus dengan pengetahuan

yang dimiliki responden, karena semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin

mudah menangkap informasi yang di dapat dari media formal ataupun non formal.

Sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin memperkecil kemungkinan

balita mengalami gizi buruk. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan ibu maka

semakin besar resiko mengalami gizi buruk (Wahyudi, 2015).

Namun menurut penelitian ini didapatkan hasil bahwa hubungan antara tingkat

pendidikan ibu dengan status gizi balita tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena

ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi kemungkinan kurang mampu

menerapkan pengetahuan yang dimilikinya terhadap asupan gizi balitanya, sedangkan

pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah akan cenderung berusaha

mencari informasi tentang asupan makanan yang baik dari berbagai sumber seperti

bidan, perawat, dan petugas gizi sehingga mampu menambah pengetahuan ibu tentang

asupan gizi yang baik untuk balitanya.

4. Penghasilan
Kehidupan ekonomi keluarga yang lebih baik akan memungkinkan keluarga

mampu memberikan perhatian yang layak bagi asupan gizi balita. Keluarga dengan

penghasilan lebih kemungkinan akan lebih baik dalam pemenuhan status gizi balita

sebaliknya keluarga dengan penghasilan terbatas kemungkinan besar akan kurang

dalam memenuhi kebutuhan makanan terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi

(Wahyudi, 2015).

Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antara penghasilan

dan status gizi balita, dimana makin tinggi penghasilan keluarga setiap bulan tidak

mempengaruhi status gizi balita. Hal ini dikarenakan, pada keluarga yang memiliki

pendapatan yang tinggi tetapi kedua orang tua balita memiliki pekerjaan dengan

waktu yang lebih banyak dihabiskan diluar rumah dibandingkan bersama balitanya

akan memungkinkan status pola asuh yang kurang baik karena kuantitas yang

diberikan dalam pola asuh terhadap balita berkurang.

Faktor kedua, berhubungan dengan ketidakmampuan ibu dalam mengelola

pendapatan dan pengeluaran setiap bulannya sehingga hal ini akan turut berpengaruh

terhadap pemilihan jenis dan kualitas makanan yang dipilih untuk balitanya. Faktor

ketiga dimungkinkan karena walaupun pendapaatn tinggi namun apabila jumlah

anggota keluarga banyak, maka akan mempengaruhi jumlah pengeluaran keluarga

tersebut.

5. Pekerjaan

Pada beberapa penelitian, didapatkan bahwa pada ibu yang memiliki balita

kemudian bekerja akan lebih banyak memiliki status gizi balita kurang dibandingkan

dengan ibu yang tidak bekerja, hal ini disebabkan karena ibu yang bekerja akan
kehilangan waktu untuk memperhatikan asupan makanan bagi balitanya sehingga

akan mempengaruhi status gizi balitanya.

Sedangkan pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antara

pekerjaan dan status gizi balita, karena walaupun ibu yang bekerja berada di luar

rumah selama bekerja akan tetapi jika mempunyai pengetahuan yang cukup, ibu

tersebut dapat mengatur waktu dalam mengasuh anaknya. Penyebab lainnya adalah

ada beberapa faktor yang ditemukan peneliti di lapangan. diantaranya peranan

seorang ibu digantikan oleh nenek balita atau orang tua dari ibu balita sehingga

asupan makanannya dapat terpenuhi dengan baik dan bahkan seorang nenek juga

yang mengantarkan balitanya ke posyandu untuk melakukan penimbangan balitanya.

B. Karakteristik Balita

1. Urutanlahiranakdalamkeluarga

Urutan lahir dalam anak akan mempengaruhi status gizi balita dalam sebuah

keluarga karena anak yang paling kecil akan terpengaruh dalam kekurangan pangan.

Apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang,

asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab langsung karena

dapat menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat badan atau terhambat

pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak merupakan faktor yang turut

menentukan status gizi balita. Dan apabila seorang anak lahir sebagai anak terakhir

maka kemungkinan perhatian orang tua akan terbagi dalam mengasuh anak, begitu

pula sebaliknya anak pertama akan cenderung mendapatkan perhatian yang lebih dari

orang tua.

Apabila urutan lahir tidak berpengaruh pada status gizi balita seperti pada

penelitian ini, hal ini kemungkinan dikarenakan pada anak yang lahir kedua atau lahir
terakhir akan turut dirawat oleh saudara yang lebih tua dan kedua orang tua sudah

memiliki pengalaman yang lebih baik dalam pola pengasuhan balita yang lebih baik.

2. BBL

Balita yang mengalami BBLR mempunyai zat anti kekebalan yang kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit

ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk

kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk (Kosim dan

Sholeh, 2008).

Namun, hal ini tidak berlaku apabila seorang ibu yang melahirkan seorang

anak dengan anak BBLR mampu untuk merawat dengan baik balitanya sehingga berat

badan balita mampu naik sesuai dengan target berat badan berdasarkan usia. Dan

sebaliknya, pada seorang bayi yang lahir normal namun tidak mendapat pola asuh

yang baik selama masa tumbuh kembang, maka selama perkembangannya balita

tersebut tidak mampu untuk tumbuh dengan baik atau akan jatuh pada kondisi gizi

kurang.

3. Status imunisasi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa balita BGM yang mendapatkan

imunisasi sebanyak 69,39%. Pemberian imunisasi pada balita dilakukan di posyandu

maupun sesuai dengan jadwal imunisasi di puskesmas. Letak posyandu maupun

puskesmas yang strategis dan mudah dijangkau memungkinkan orang tua untuk

datang dan memberikan imunisasi secara lengkap terhadap balita.

Pada hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

pemberian imunisasi dengan status gizi pada balita. Balita BGM lebih banyak yang
mendapatkan imunisasi dibandingkan yang tidak mendapatkan imunisasi. Hal ini

sesuai dengan pendapat Mastin dan Roosita (2015) yang menyatakan tidak ditemukan

kecenderungan bahwa semakin baik kelengkapan imunisasi balita maka frekuensi

sakit balita semakin rendah dan lama sakit semakin singkat, sehingga tidak

memungkinkan balita untuk jatuh pada keadaan gizi buruk. Selain itu imunisasi

memberikan kekebalan tubuh pada penyakit infeksi tertentu, sedangkan berdasarkan

data, balita dengan BGM yang terinfeksi penyakit paling banyak menderita sakit

demam, ISPA dan diare. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi yang tersering bukan

dari penyakit yang merupakan program imunisasi nasional.

Sedangkan Menurut Wise tahun 2014 dengan pemberian imunisasi diharapkan

tubuh balita akan membentuk antibodi sehingga tubuh balita telah siap (telah kebal)

bila terinfeksi oleh penyakit menular. Tubuh balita yang telah diimunisasi tidak akan

mudah terserang penyakit yang berbahaya sehingga balita lebih sehat, dengan tubuh

yang sehat asupan makanan dapat masuk ke dalam tubuh dengan baik, nutrisi pun

akan terserap dengan baik. Hal ini dapat memperbaiki status gizi anak tersebut

sehingga akan menghasilkan status gizi yang baik. Tetapi apabila balita yang tidak di

imunisasi dan jatuh sakit kemudian orang tuanya segera membawa balita untuk

berobat maka proses infeksi tidak akan berlangsung lama, paparan terhadap infeksi

terminimalisir dan proses penyembuhan sakit juga akan semakin cepat. Hal ini

memungkinkan balita yang sakit tidak sampai jatuh pada keadaan gizi buruk.

C. Pola Asuh & Nutrisi

1. ASI eksklusif

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah balita BGM yang mendapatkan ASI

eksklusif lebih banyak dari yang tidak mendapatkan ASI eksluksif. Menurut Mastin
dan Roosita tahun 2015, balita yang mendapatkan ASI eksluksif cenderung memiliki

frekuensi sakit dan periode lama sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan balita

yang tidak diberikan ASI eksluksif, dengan frekuesi sakit dan periode lama sakit yang

rendah maka tubuh balita sehat sehingga nutrisi dapat terserap dengan baik ke dalam

tubuhnya. Akan tetapi setelah usia balita lebih dari 6 bulan, balita tidak cukup hanya

mendapatkan ASI saja maka perlu makanan tambahan untuk mencukupi gizi

seimbang. Jika pemberian makanan tambahan ini tidak diberikan secara dini (saat usia

6 bulan) atau setelah balita berusia lebih dari 6 bulan maka kebutuhan nutrisi balita

tidak akan tercukupi dan hal ini akan berpengaruh pada status gizi balita.

Ini sesuai dengan teori Waryana tahun 2010 bahwa saat menginjak usia 6

bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi

yang terus berkembang, sehingga anak perlu diberikan makanan pendamping ASI.

Kebutuhan gizi anak terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan

organ tubuh yang cukup pesat. Hal itu dapat dipengaruhi oleh umur, kecepatan

pertumbuhan, banyaknya aktivitas fisik, efisiensi penyerapan dan utilisasi

makanannya (Adriani, 2012). Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi bayi umur 0-6 bulan

kan berbeda dengan anak usia 7-36 bulan.

Selain itu apabila bayi telah diberikan ASI ekslusif tetapi ibu mengalami

keadaan gizi kurang yang berat dan gangguan pada kesehatannya, maka nutrisi yang

terkandung dalam ASI tidak maksimal karena komposisi dalam pembentukan ASI dan

banyaknya produksi ASI tergantung dari asupan makanan dan kondisi ibu. Jika

kandungan komposisi ASI dan jumlah produksi ASI berkurang maka anak tidak

cukup hanya diberikan ASI, tetapi perlu adanya tambahan sufor.

2. Ketepatan waktu dimulainya pemberian makanan/minuman tambahan

3. Variasi makanan
Berdasarkan hasil data penelitian variasi makanan pada balita sudah cukup

banyak, yaitu ada 6 dan 7 variasi. Tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara

variasi makanan dan status gizi pada balita. Hal ini bisa disebabkan karena pola asuh

makan yang diterapkan oleh ibu tidak sesuai dengan apa yang yang diungkapkan.

Variasi makanan ini salah satunya ditentukan oleh pengetahuan orang tua tentang gizi

balita. Apabila pengetahuan yang dimiliki oleh ibu tidak diterapkan kepada pola

makan anak maka tidak akan berpengaruh pada status gizinya. Selain variasi

makanan, porsi dan frekuensi dari makanan itu sendiri juga mempengaruhi pada status

gizi balita. Jika makanan yang diberikan sudah bervariasi tetapi porsi dan frekuensi

pemberiannya sedikit maka asupan nutrisi yang diterima oleh balita akan berkurang

dan tidak sesuai dengan kebutuhan kalori berdasarkan usianya.

4. Kekurangankaloridari diet

5. Kekurangannutrisi mayor (karbohidrat, protein, lemak) dari diet

6. Kekurangan vitamin & mineraldari diet

7. Frekuensimenolakmakandalam 1 minggu

8. Seberapaseringdibujukbilamenolakmakan

Berdasarkan data responden, jumlah terbanyak adalah ibu yang selalu membujuk anak jika

anak tidak mau makan. Anak yang selalu dibujuk oleh ibunya tidak berpengaruh signifikan

terhadap status gizi balita karena walaupun anak mau dibujuk oleh ibunya, jumlah (porsi)

yang di makan anak jumlahnya sedikit, sehingga asupan nutrisi juga sedikit. Selain itu secara

psikologis anak yang dipaksa ibunya untuk makan, apalagi dengan cara dimarahi atau

dibentak cenderung akan merasa takut dan akan membuat anak trauma dengan makanan

tertentu, sehingga semakin membuat anak tidak mau makan. Bila orangtua memaksa anak

makan makanan tertentu, terutama sayur dan buah, anak justru akan mempersepsikan negatif
makanannya. Pembangkangan (Negativisme), tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap

penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan

kehendak anak. Menurut Ahmad tahun 2011 sikap ini juga suatu bagian dari tahapan

perkembangannya untuk menunjukkan keinginan independen. Banyak orang tua yang tidak

memahami hal ini, sehingga lantaran khawatir kecukupan gizi anak tidak terpenuhi, orang tua

biasanya makin keras memaksa anaknya makan. Ada orang tua yang mengancam anaknya

bahkan memukul. Semakin anak pada usia ini dipaksa, justru akan makin melawan (sebagai

wujud negativistiknya) . Realisasinya adalah penolakan terhadap makanan..Jika anak tidak

mau makan atau trauma terhadap makanan tertentu maka kebutuhan nutrisi anak akan

berkurang, hal ini dapat menyebabkan anak jatuh dalam keadaan gizi buruk.

D. Penyakit

1. Frekuensi sakit dalam 1 tahun

Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak anak balita BGM sebanyak 32,6% memiliki

frekuensi sakit >3x dalam 1 bulan. Dari penelitian juga didapatkan bahwa riwayat penyakit

infeksi yang pernah dialami anak balita paling sering adalah demam, infeksi pada saluran

pernafasan yang disebut dengan penyakit ISPA dan infeksi pada pencernaan yaitu penyakit

diare. Semua penyakit yang pernah dialami oleh balita itu sendiri dikarenakan faktor bakteri

yang disebabkan oleh sumber makanan serta sanitasi lingkungan yang tidak hygienes. Dari

hasil tersebut didapatkan penyebab terjadinya kejadian pada anak balita yang mengalami

status gizi kurang buruk dilatarbelakangi oleh riwayat penyakit infeksi yang pernah balita

alami selama tumbuh kembangnya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari

riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita tersebut.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi balita selain frekuensi sakit, menurut

Adisasmito 2007 adalah asupan makanan, ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan

anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, faktor tingkat pendidikan, pengetahuan
dan keterampilan. Sehingga terdapat kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan

keluarga, pola pengasuhan anak, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada maka akan

berdampak juga pada status gizi pada anak.

Diketahui bahwa Puskesmas Dringu merupakan puskesmas yang terletak di pinggiran

jalan raya besar. Ini memungkinkan orang tua untuk membawa anaknya berobat ketika

sedang sakit karena akses yang mudah. Selain itu untuk pasien sakit yang tidak memiliki

kartu jaminan kesehatan tetap dapat berobat secara gratis tanpa dipungut biaya. Tetapi jika

pengetahuan orang tua kurang dan orang tua sibuk bekerja maka orang tua tidak akan segera

membawa anaknya ke pelayanan kesehatan sehingga anak akan terlalu lama menderita sakit.

Jika hal ini berlangsung terus menerus maka anak akan jatuh dalam keadaan gizi buruk.

Selain itu, selama anak sakit pemberian asupan makanan akan berkurang karena anak rewel

dan tidak mau makan. Jika pun anak mau makan, asupan makanan tidak akan terserap dengan

baik karena kondisi tubuh anak tidak sehat. Hal inilah yang juga turut mempengaruhi status

gizi pada anak.

Anda mungkin juga menyukai