independen , yaitu:
A. Karakteristik Pengasuh
1. Usia pengasuh
semakin tua usia pengasuh status gizi balita tersebut akan semakin baik. Sesuai
dengan penelitian Sukoco dkk (2015) yang menyebutkan umur ibu sebagai caregiver
matangdankompetenmenjadisalahsatudeterminandalamkualitaspengasuhan.
Namun pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antarA usia
pengasuh dengan tingkat status gizi balita. Hal ini dikarenakan pada usia muda
cenderung memiliki kondisi fisik yang prima dan tingkat produktivitas yang lebih
tinggi sehingga mereka mampu untuk memberikan kualitas dan kuantitas pola asuh
2. Jumlahanak
terjadi persaingan sarana dan prasarana, perbedaan makanan, dan waktu perawatan
anak berkurang. Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa tidak ada
pengaruh yang signifikan antara jumlah anak dengan status gizi balita karena pada
keluarga dengan jumlah anak yang banyak akan mampu meningkatkan pengalaman
ibu dalam mengasuh balita. Selain itu, jumlah anak yang banyak dan jarak yang
terlalu jauh antara anak yang satu dengan yang lainnya akan memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi seorang anak tertua atau anak yang lebih tua
untuk ikut serta merawat balita dalam kelurga tersebut dan menambah penghasilan
dalam keluarga tersebut sehingga nantinya mampu untuk meningkatkan status gizi
3. Pendidikan
Tingkatpendidikanterutamatingkatpendidikanibudapatmempengaruhiderajatkesehatan
karenapendidikanibuberpengaruhterhadapkualitaspengasuhananak.Tingkat pendidikan
yang
tinggimembuatseseorangmudahuntukmenyerapinformasidanmengamalkandalamperila
yang dimiliki responden, karena semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin
mudah menangkap informasi yang di dapat dari media formal ataupun non formal.
balita mengalami gizi buruk. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan ibu maka
Namun menurut penelitian ini didapatkan hasil bahwa hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan status gizi balita tidak signifikan. Hal ini disebabkan karena
pada ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah akan cenderung berusaha
mencari informasi tentang asupan makanan yang baik dari berbagai sumber seperti
bidan, perawat, dan petugas gizi sehingga mampu menambah pengetahuan ibu tentang
4. Penghasilan
Kehidupan ekonomi keluarga yang lebih baik akan memungkinkan keluarga
mampu memberikan perhatian yang layak bagi asupan gizi balita. Keluarga dengan
penghasilan lebih kemungkinan akan lebih baik dalam pemenuhan status gizi balita
dalam memenuhi kebutuhan makanan terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
(Wahyudi, 2015).
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antara penghasilan
dan status gizi balita, dimana makin tinggi penghasilan keluarga setiap bulan tidak
mempengaruhi status gizi balita. Hal ini dikarenakan, pada keluarga yang memiliki
pendapatan yang tinggi tetapi kedua orang tua balita memiliki pekerjaan dengan
waktu yang lebih banyak dihabiskan diluar rumah dibandingkan bersama balitanya
akan memungkinkan status pola asuh yang kurang baik karena kuantitas yang
pendapatan dan pengeluaran setiap bulannya sehingga hal ini akan turut berpengaruh
terhadap pemilihan jenis dan kualitas makanan yang dipilih untuk balitanya. Faktor
tersebut.
5. Pekerjaan
Pada beberapa penelitian, didapatkan bahwa pada ibu yang memiliki balita
kemudian bekerja akan lebih banyak memiliki status gizi balita kurang dibandingkan
dengan ibu yang tidak bekerja, hal ini disebabkan karena ibu yang bekerja akan
kehilangan waktu untuk memperhatikan asupan makanan bagi balitanya sehingga
Sedangkan pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak signifikan antara
pekerjaan dan status gizi balita, karena walaupun ibu yang bekerja berada di luar
rumah selama bekerja akan tetapi jika mempunyai pengetahuan yang cukup, ibu
tersebut dapat mengatur waktu dalam mengasuh anaknya. Penyebab lainnya adalah
seorang ibu digantikan oleh nenek balita atau orang tua dari ibu balita sehingga
asupan makanannya dapat terpenuhi dengan baik dan bahkan seorang nenek juga
B. Karakteristik Balita
1. Urutanlahiranakdalamkeluarga
Urutan lahir dalam anak akan mempengaruhi status gizi balita dalam sebuah
keluarga karena anak yang paling kecil akan terpengaruh dalam kekurangan pangan.
Apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang,
asupan makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab langsung karena
pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak merupakan faktor yang turut
menentukan status gizi balita. Dan apabila seorang anak lahir sebagai anak terakhir
maka kemungkinan perhatian orang tua akan terbagi dalam mengasuh anak, begitu
pula sebaliknya anak pertama akan cenderung mendapatkan perhatian yang lebih dari
orang tua.
Apabila urutan lahir tidak berpengaruh pada status gizi balita seperti pada
penelitian ini, hal ini kemungkinan dikarenakan pada anak yang lahir kedua atau lahir
terakhir akan turut dirawat oleh saudara yang lebih tua dan kedua orang tua sudah
memiliki pengalaman yang lebih baik dalam pola pengasuhan balita yang lebih baik.
2. BBL
Balita yang mengalami BBLR mempunyai zat anti kekebalan yang kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit
ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang masuk
kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk (Kosim dan
Sholeh, 2008).
Namun, hal ini tidak berlaku apabila seorang ibu yang melahirkan seorang
anak dengan anak BBLR mampu untuk merawat dengan baik balitanya sehingga berat
badan balita mampu naik sesuai dengan target berat badan berdasarkan usia. Dan
sebaliknya, pada seorang bayi yang lahir normal namun tidak mendapat pola asuh
yang baik selama masa tumbuh kembang, maka selama perkembangannya balita
tersebut tidak mampu untuk tumbuh dengan baik atau akan jatuh pada kondisi gizi
kurang.
3. Status imunisasi
puskesmas yang strategis dan mudah dijangkau memungkinkan orang tua untuk
Pada hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
pemberian imunisasi dengan status gizi pada balita. Balita BGM lebih banyak yang
mendapatkan imunisasi dibandingkan yang tidak mendapatkan imunisasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Mastin dan Roosita (2015) yang menyatakan tidak ditemukan
sakit balita semakin rendah dan lama sakit semakin singkat, sehingga tidak
memungkinkan balita untuk jatuh pada keadaan gizi buruk. Selain itu imunisasi
data, balita dengan BGM yang terinfeksi penyakit paling banyak menderita sakit
demam, ISPA dan diare. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi yang tersering bukan
tubuh balita akan membentuk antibodi sehingga tubuh balita telah siap (telah kebal)
bila terinfeksi oleh penyakit menular. Tubuh balita yang telah diimunisasi tidak akan
mudah terserang penyakit yang berbahaya sehingga balita lebih sehat, dengan tubuh
yang sehat asupan makanan dapat masuk ke dalam tubuh dengan baik, nutrisi pun
akan terserap dengan baik. Hal ini dapat memperbaiki status gizi anak tersebut
sehingga akan menghasilkan status gizi yang baik. Tetapi apabila balita yang tidak di
imunisasi dan jatuh sakit kemudian orang tuanya segera membawa balita untuk
berobat maka proses infeksi tidak akan berlangsung lama, paparan terhadap infeksi
terminimalisir dan proses penyembuhan sakit juga akan semakin cepat. Hal ini
memungkinkan balita yang sakit tidak sampai jatuh pada keadaan gizi buruk.
1. ASI eksklusif
eksklusif lebih banyak dari yang tidak mendapatkan ASI eksluksif. Menurut Mastin
dan Roosita tahun 2015, balita yang mendapatkan ASI eksluksif cenderung memiliki
frekuensi sakit dan periode lama sakit yang lebih rendah dibandingkan dengan balita
yang tidak diberikan ASI eksluksif, dengan frekuesi sakit dan periode lama sakit yang
rendah maka tubuh balita sehat sehingga nutrisi dapat terserap dengan baik ke dalam
tubuhnya. Akan tetapi setelah usia balita lebih dari 6 bulan, balita tidak cukup hanya
mendapatkan ASI saja maka perlu makanan tambahan untuk mencukupi gizi
seimbang. Jika pemberian makanan tambahan ini tidak diberikan secara dini (saat usia
6 bulan) atau setelah balita berusia lebih dari 6 bulan maka kebutuhan nutrisi balita
tidak akan tercukupi dan hal ini akan berpengaruh pada status gizi balita.
Ini sesuai dengan teori Waryana tahun 2010 bahwa saat menginjak usia 6
bulan ke atas, ASI sebagai sumber nutrisi sudah tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi
yang terus berkembang, sehingga anak perlu diberikan makanan pendamping ASI.
Kebutuhan gizi anak terus bertambah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
organ tubuh yang cukup pesat. Hal itu dapat dipengaruhi oleh umur, kecepatan
makanannya (Adriani, 2012). Oleh karena itu, kebutuhan zat gizi bayi umur 0-6 bulan
Selain itu apabila bayi telah diberikan ASI ekslusif tetapi ibu mengalami
keadaan gizi kurang yang berat dan gangguan pada kesehatannya, maka nutrisi yang
terkandung dalam ASI tidak maksimal karena komposisi dalam pembentukan ASI dan
banyaknya produksi ASI tergantung dari asupan makanan dan kondisi ibu. Jika
kandungan komposisi ASI dan jumlah produksi ASI berkurang maka anak tidak
3. Variasi makanan
Berdasarkan hasil data penelitian variasi makanan pada balita sudah cukup
banyak, yaitu ada 6 dan 7 variasi. Tetapi tidak ada hubungan yang signifikan antara
variasi makanan dan status gizi pada balita. Hal ini bisa disebabkan karena pola asuh
makan yang diterapkan oleh ibu tidak sesuai dengan apa yang yang diungkapkan.
Variasi makanan ini salah satunya ditentukan oleh pengetahuan orang tua tentang gizi
balita. Apabila pengetahuan yang dimiliki oleh ibu tidak diterapkan kepada pola
makan anak maka tidak akan berpengaruh pada status gizinya. Selain variasi
makanan, porsi dan frekuensi dari makanan itu sendiri juga mempengaruhi pada status
gizi balita. Jika makanan yang diberikan sudah bervariasi tetapi porsi dan frekuensi
pemberiannya sedikit maka asupan nutrisi yang diterima oleh balita akan berkurang
4. Kekurangankaloridari diet
7. Frekuensimenolakmakandalam 1 minggu
8. Seberapaseringdibujukbilamenolakmakan
Berdasarkan data responden, jumlah terbanyak adalah ibu yang selalu membujuk anak jika
anak tidak mau makan. Anak yang selalu dibujuk oleh ibunya tidak berpengaruh signifikan
terhadap status gizi balita karena walaupun anak mau dibujuk oleh ibunya, jumlah (porsi)
yang di makan anak jumlahnya sedikit, sehingga asupan nutrisi juga sedikit. Selain itu secara
psikologis anak yang dipaksa ibunya untuk makan, apalagi dengan cara dimarahi atau
dibentak cenderung akan merasa takut dan akan membuat anak trauma dengan makanan
tertentu, sehingga semakin membuat anak tidak mau makan. Bila orangtua memaksa anak
makan makanan tertentu, terutama sayur dan buah, anak justru akan mempersepsikan negatif
makanannya. Pembangkangan (Negativisme), tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap
penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan
kehendak anak. Menurut Ahmad tahun 2011 sikap ini juga suatu bagian dari tahapan
perkembangannya untuk menunjukkan keinginan independen. Banyak orang tua yang tidak
memahami hal ini, sehingga lantaran khawatir kecukupan gizi anak tidak terpenuhi, orang tua
biasanya makin keras memaksa anaknya makan. Ada orang tua yang mengancam anaknya
bahkan memukul. Semakin anak pada usia ini dipaksa, justru akan makin melawan (sebagai
mau makan atau trauma terhadap makanan tertentu maka kebutuhan nutrisi anak akan
berkurang, hal ini dapat menyebabkan anak jatuh dalam keadaan gizi buruk.
D. Penyakit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak anak balita BGM sebanyak 32,6% memiliki
frekuensi sakit >3x dalam 1 bulan. Dari penelitian juga didapatkan bahwa riwayat penyakit
infeksi yang pernah dialami anak balita paling sering adalah demam, infeksi pada saluran
pernafasan yang disebut dengan penyakit ISPA dan infeksi pada pencernaan yaitu penyakit
diare. Semua penyakit yang pernah dialami oleh balita itu sendiri dikarenakan faktor bakteri
yang disebabkan oleh sumber makanan serta sanitasi lingkungan yang tidak hygienes. Dari
hasil tersebut didapatkan penyebab terjadinya kejadian pada anak balita yang mengalami
status gizi kurang buruk dilatarbelakangi oleh riwayat penyakit infeksi yang pernah balita
alami selama tumbuh kembangnya. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari
riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita tersebut.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi balita selain frekuensi sakit, menurut
Adisasmito 2007 adalah asupan makanan, ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan, faktor tingkat pendidikan, pengetahuan
dan keterampilan. Sehingga terdapat kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan
keluarga, pola pengasuhan anak, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada maka akan
jalan raya besar. Ini memungkinkan orang tua untuk membawa anaknya berobat ketika
sedang sakit karena akses yang mudah. Selain itu untuk pasien sakit yang tidak memiliki
kartu jaminan kesehatan tetap dapat berobat secara gratis tanpa dipungut biaya. Tetapi jika
pengetahuan orang tua kurang dan orang tua sibuk bekerja maka orang tua tidak akan segera
membawa anaknya ke pelayanan kesehatan sehingga anak akan terlalu lama menderita sakit.
Jika hal ini berlangsung terus menerus maka anak akan jatuh dalam keadaan gizi buruk.
Selain itu, selama anak sakit pemberian asupan makanan akan berkurang karena anak rewel
dan tidak mau makan. Jika pun anak mau makan, asupan makanan tidak akan terserap dengan
baik karena kondisi tubuh anak tidak sehat. Hal inilah yang juga turut mempengaruhi status