Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu batasan proses dalam
siklus hidrologi. Sebagai salah satu batasan dalam suatu siklus, DAS memiliki input
(hujan dan air tanah) dan output (aliran sugai). Proses pada DAS dalam mengubah
input menjadi output dipengaruhi oleh banyak faktor yang kompleks, beberapa
diantaranya adalah penggunaan lahan dan kondisi tanah (Muma, 2011). Perbedaan
dominansi faktor yang mempengaruhi proses pada beberapa DAS akan
memberikan respon hidrologi yang berbeda pada setiap DAS.

Keberagaman faktor berpengaruh pada proses dalam DAS tidak hanya


terjadi pada lingkup antar DAS tetapi juga didalam DAS karena kondisi fisik dalam
DAS juga sangat beragam. Kondisi fisik dalam DAS yang berbeda-beda
menyebabkan respon yang diberikan pada area-area tertentu dalam DAS juga
beragam, sehingga dibutuhkan kajian respon hidrologi dalam lingkup yang lebih
kecil dari DAS untuk menentukan lokasi prioritas dalam pengelolaan DAS agar
tepat sasaran.

Kegiatan pengelolaan DAS selain melakukan kegiatan konservasi secara


fisik pada lokasi prioritas juga harus melakukan monitoring. Monitoring dalam
DAS dapat dilakukan dengan mengamati kondisi regim aliran melalui data debit.
Kendala yang sering timbul dalam kegiatan monitoring ini adalah ketersediaan data
dengan kualitas yang baik. Data debit dengan kualitas baik biasanya terdapat pada
daerah hilir dengan area tangkapan yang sangat luas sedangkan kegiatan konservasi
pada umunya dilakukan pada daerah hulu dan cakupanya kecil. Kendala
keterbatasan data debit dengan kualitasa data yang baik juga terjadi di Sub DAS
Wakung yang merupakan hulu DAS Comal.

Kondisi tutupan lahan di sub DAS Wakung relatif beragam dari sangat rapat
hingga terbuka. Sebagian area di Sub DAS Wakung memiliki tutupan lahan seperti
berupa lahan terbuka seperti pada Gambar 1. Kondisi tersebut tentunya
memerlukan pengelolaan yang tepat dan dikontrol secara intensif untuk mengetahui
keberhasilan program. Kegiatan monitoring tersebut membutuhkan data debit rata-

1
rata harian untuk mengetahui kondisi hidrologi dalam DAS. Keterbatasan data debit
yang ada di Sub DAS Wakung, mengahruskan adanya pendekatan (Model) untuk
mengetahui data debit dalam kegiatan monitoring.

Gambar 1 Kondisi tutupan lahan di Sub DAS Wakung di musim penghujan


Model yang mampu mensimulasikan proses dalam DAS denga baik adalah
model terdistribusi dimana karakteristik juga ikut dipertimbangkan dalam
penginputan model. Beberapa model berbasis proses fisik yang terdistribusi yaitu
SHE, TOPMODEL, HEC, VIC, IHDM, WATFLOOD and SWAT. Model-model
tersebut mampu mensimulasikan proses hidrologi secara spasial dan temporal.
Model Soil Water and Assessment Tool (SWAT) merupakan salah satu model yang
paling banyak diterapkan dan dikaji dalam mensimulasikan proses dalam DAS
(Lin,2015).

Soil and Water Assesment Tool (SWAT) merupakan salah satu model
hidrologis yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). SWAT
mampu memodelkan bebrapa proses hidrologi, transport sedimen dan kimia tanah.
SWAT dalam pengoprasianya membutuhkan input berupa data karakteristik tanah,
data penggunaan lahan, data klimatologi dan data DEM. Selain input utama tersebut
SWAT memliki input pilihan lainya, tergantun pada output yang dikehendaki.

1.2. Perumusan Masalah


Kegiatan pengelolaan DAS secara fisik identik dengan penentuan lokasi
kegiatan konservasi dan monitoring-evaluasi DAS. Kegiatan tersebut tentunya
membutuhkan data-data sekunder beberapa di antaranya adalah data debit harian
dan tebal limpasan permukaan. Beberapa DAS tidak memiliki data tersebut dengan

2
range panjang dan kualitas kualitas yang baik, seperti yang ada di Sub DAS
Wakung. Sehingga langkah alternatif untuk mendapatkan data debit harian adalah
dengan pemodelan.
Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan kajian menggunakan model
mengenai daerah mana yang menyumbang limpasan permukaan terbesar dan data
debit. Penentuan lokasi limpasan permukaan terbesar dijadikan sebagai
pertimbangan lokasi prioritas pengelolaan DAS. Output debit dijadikan data untuk
penilaian kondisi hidrologi DAS berdasakan Koefisien Regim Aliran (KRA).
Berdasarkan dari pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi hidrologi Sub DAS Wakung dilihat dari fluktuasi debit
(KRA)?
2. Daerah mana saja yang menyumbang limpasan paling besar di Sub DAS
Wakung?

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan


tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul APLIKASI MODEL
SOIL AND WATER ASSESMENT TOOL (SWAT) UNTUK MENGKAJI DEBIT
HARIAN DAN LIMPASAN PERMUKAAN

1.3. Tujuan Penelitian


1. Mengkaji kondisi hidrologi Sub DAS Wakung dilihat dari fluktuasi debit ;
2. Menentukan daerah yang menyumbang limpasan paling besar dan faktor
yang mempengaruhi di Sub DAS Wakung.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian mengenai sebaran bahaya erosi serta respon aliran ini
adalah :

1. Memberikan acuan pengelolaan lahan/DAS berdasarkan hasil pemodelan


sebaran tingkat limpasan permukaan di Sub DAS Wakung
2. Memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan terutama bidang hidrologi
dan pengelolaan lahan dimana hasil penelitian ini merupakan
pengembangan dari ilmu tersebut.

3
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) adalah bagian dari daratan yang dibatasi oleh
igir pegunungan di mana air hujan yang jatuh dalam DAS akan di tampung dan
disimpan sebelum dialirkan melalui sungai utama menuju laut (Asdak, 2004). Salah
satu fungsi DAS adalah sebagai ekosistem yang memproses input menjadi output.
Proses yang dimaksud adalah proses hidrologi yang memiliki input berupa hujan,
air hujan yang jatuh nantinya akan di proses dalam DAS. Terdapat dinamika antara
vegetasi, tanah, sungai dan manusia yang berpengaruh pada proses di dalam DAS.

Hasil output tergantung pada kondisi pengontrol berupa vegetasi, tanah dan
sungai, sehingga setiap DAS memiliki karakteristik output yang berbeda karena
kondis DAS nya berbeda. Hasil output DAS berupa debit dan muatan sedimen,
besar kecilnya debit dan muatan sedimen merupakan indikator kondisi fisik DAS
(Ridwan, 2001). Banyaknya faktor yang mengontrol proses hidrologi dalam DAS,
membuat DAS dapat dipandang sebagai sistem hidrologi sepeti ditunjukkan pada
Gambar 2.

Gambar 2 Proses Hidrlogi dalam DAS


(sumber :http://www.napocor.gov.ph/NPCWatershed/index.php/9-about-us)
1.5.2. Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan terbentuk karena adanya hujan yang jatuh ke
permukaan bumi maupun dari lelehan salju. Ada dua jenis limpasan permukaan
yaitu limpasan permukaan akibat proses hujan yang jatuh ke permukaan lebih cepat

4
dari proses infiltrasi air kedalam tanah dan limpasan permukaan karena tanah telah
jenuh oleh air (Indiarto, 2010).

a. Limpasan Permukaan Karena Melebihi Kapasitas Infiltrasi


Limpasan permukaan jenis ini terjadi karena kapasitas infiltrasi nilainya
lebih kecil dengan intensitas hujan/lelehan salju yang terjadi, sehingga air
yang jatuh tidak dapat terserap semua kedalam tanah. Limpasan ini biasanya
terjadi saat hujan deras dengan durasi pendek, ditambah dengan faktor tanah
yang memiliki tekstur lempung yang antar partikel tanahnya sangat rapat
serta adanya tutupan pada permukaan tanah seperti yang terjadi di kawasan
urban,
b. Limpasan Permukaan Karena Tanah Mengalami Jenuh Air
Limpasan permukaan jenis ini terjadi karena tanah telah jenuh oleh air
sehingga air hujan yan jatuh tidak mampu terinfiltrasi lagi. Limpasan ini
biasanya terjadi karena hujan dengan durasi lama baik intensitas sedang
maupun tinggi. Limpasan jenis ini dapat terjadi dimana saja asalkan tanah
dalam kondisi basah, tetapi kondisi topografi berupa dataran maupun
cekungan akan mempermudah terbentuknya limpasan jenis ini.

Dua macam limpasan permukaan di atas berdasarkan proses kejadianya


sangat dipengaruhi oleh kondisi yang ada pada permukaan DAS. Limpasan
permukaan merupakan salah satu output dari proses hujan yang jatuh kedalam
sistem hidrologi DAS, sehingga dapat dikatakan limpasan permukaan mampu
menggambarkan kondisi sistem hidrologi dalam DAS (Triatmodjo, 2010).

1.5.3. Model Hidrologi


Model hidrologi secara umum merupakan sebuah penyajian secara
sederhana dari sistem hidrologi yang kompleks (Harto, 1993). Saat ini berbagai
macam model hidrologi telah banyak dikembangkan. Indiarto (2010)
mengklasifikasikan model hidrologi diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu :

a. Model Fisik model ini merupakan tiruan kondisi asli namun dalam skala
yang lebih kecil, biasanya berupa prototipe. Misalkan model fisik dari suatu
DAS, prototipe tersebut harus meniru bentuk DAS, topografi maupun

5
parameter lain semirip mungkin agar hasil pemodelan mampu
menggambarkan kondisi aslinya.
b. Model Analog model ini pada prinsipnya menggambarkan suatu sistem
yang akan dimodelkan dengan menganalogikan pada sistem lain yang mirip
dan lebih mudah dijalankan.
c. Model Matematis model ini menggambarkan respon suatu sistem
hidrologi dengan cara menyatakan persamaan, sehingga suatu respon
hidrologi dapat dikatahui dengan menghitung persamaan-persamaan
parameter yang berpengaruh.

Kemajuan teknologi berpengaruh pada perkembangan pemodelan hidrologi.


Kini pemodelan mampu digambarkan secara spasial. Berikut ini adalah beberapa
model yang mampu menampilkan proses hidrologi secara spasial (Indiarto, 2010) :

a. Hydrologic Modeling System (HEC-HMS)


HEC-HMS merupakan model yang didesain untuk menggambarkan proses
hidrologi secara lengkap pada sistem DAS bertipe dendritik. HEC-HMS
sebenarnya merupakan penggabungan dari model global, terdistribusi,
konseptual maupun empiris. Analisis secara spasial memungkinkan untuk
dilakukan karena software ini mampu menggambarkan proses hidrologi pada
tingkat SUB-DAS.
b. System Hydrologique European (SHE)
SHE merupakan model yang dikembangkan oleh beberapa institut yang
berada di Eropa. Model SHE dikembangkan dari presepsi bahwa model
curah hujan / limpasan konvensional tidak sesuai untuk banyak
permasalahan hidrologi, terutama permasalahan dari dampak aktivitas
manusia seperti perubahan penggunaan lahan dan kualitas air.
c. Model Rhine Flow
Model Rhine Flow adalah model yang mampu memodelkan neraca air secara
spasial. Pengembangan model ini bertujuan untuk menyimulasikan debit,
kadar lengas, salju dan air tanah pada skala bulan atau 10 harian. Model
Rhine flow bekerja dengan rentang waktu yang panjang sehingga aspek
hidrolika dan routing banjir diabaikan dalam model ini.

6
1.5.4 Soil and Water Assesmen Tool (SWAT)
1.5.4.1 Konsep Dasar
SWAT dikembangkan sejak tahun 1990-an oleh Jeff Arnold untuk USDA
ARS (United States Department of Agriculture- Agriculture Research Service).
SWAT merupakan model prediksi dalam skala DAS dimana dalam proses
prediksinya menggunakan gabungan dari banyak model yang dikembangkan oleh
ARS. Sebagian besar model dasar yang digunakan SWAT adalah pengembangan
lebih lanjut dari Simulator for Water Resources in Rural Basins Model (SWRRB).
Untuk membuat model yang terintegrasi dalam skala DAS pada tahun 1995 model
SWRRB dikolaborasi dengan Routing Outputs to Outlet Model (ROTO), namun
dalam proses input output parameter antar kedua model terdapat kesulitan. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut model SWRRB dan ROTO digabungkan menjadi
model SWAT yang mampu secara otomatis mejalankan kedua model tersebut tanpa
harus menyesuaikan variabel antar model SWRRB dan ROTO (Neitsch, 2009).

SWAT merupakan gabungan beberapa model hidrologi berbasis proses


fisik, sehingga mampu menyimulasikan berbagai proses fisik yang ada dalam DAS.
Dalam perhitunganya model SWAT membuat unit pemetaan sendiri berdasarkan
tumpang susun antara peta penggunaan lahan, peta tanah dan peta lereng yang
biasanya disebut dengan Hydrologic Response Unit (HRU). Unit analisis yang lebih
besar dibanding HRU adalah sub-DAS. Unit sub-DAS di dalamnya memiliki
informasi masukan berupa data dari HRU serta data iklim. Variasi pemilihan unit
pemetaan ini membuat SWAT lebih fleksibel dalam melakukan analisis.

Simulasi proses hidrologi pada suatu DAS menggunakan SWAT secara


umum terbagi menjadi dua fase yaitu fase lahan dan fase air. Fase lahan dalam
SWAT dapat dilihat pada skala HRU, Sub-DAS, maupun pada skala DAS. Pada
fase air dapat dilihat hingga pada tingkat sungai. Fase air merupakan fase
penelusuran siklus hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai gerakan air, sedimen
dan lainnya melalui jaringan saluran DAS ke tempat keluar (outlet) (Junaidi 2009).

1.5.4.2. Limpasan permukaan


Model SWAT dalam menghitung limpasan permukaan menggunakan
rumus SCS-CN. SCS-CN merupakan model empiris yang telah dikembangkan dari

7
banyak penelitian di Amerika. Model ini dibangun untuk mengestimasi limpasan
yang terbentuk dari hujan yang dikontrol oleh faktor penggunaan lahan dan jenis
tanah.

Model SCS CN dirumuskan sebagai berikut :


2
( )
= ................................... 1
( +)

100
= 25.4 ( 10) .................................. 2

Dimana Qsurf = Akumulasi surface runoff

Rday = Hujan harian


Ia = Abstraksi awal
S = Retensi
CN = Curve Number

Abstraksi awal oleh SCS CN diperkirakan memiliki nilai 0.2 sehingga


rumus SCS-CN menjadi seperti dibawah ini
2
( 0.2)
= .................................. 3
( +0.8)

1.5.4.3. Erosi & Sedimentasi


Erosi dan hasil sedimen dihitung dengan menggunakan model Modified
Universal Soil Loss Equation (MUSLE). Berbeda dengan Universal Soil Loss
Equation (USLE), MUSLE menggunakan banyaknya limpasan untuk
menyimulasikan proses erosi dan pembentukan sedimen. USLE menggunakan
curah hujan sebagai energi erosi.
0.56
= 11.8( )
....................................................................................................... 4

Dimana Qsurf = Akumulasi surface runoff

qpeak = Debit puncak


AreaHRU = Luas area HRU

8
K USLE = Retensi
C USLE = Faktor penutup lahan
P USLE = Faktor konservasi lahan
LS USLE = Faktor topografi
CFRG = Faktor pecahan batuan kasar

1.6 Penelitian Sebelumnya


Model SWAT merupakan model yang telah lama berkembang; banyak
penelitian yang menerapkan model ini untuk berbagai tujuan. Model ini mampu
menyimulasikan berbagai proses yang terjadi dalam DAS, sehingga aplikasi
tujuanya bervariasi. Rahmad (2013) menggunakan model SWAT untuk
memprediksi erosi dan sedimen di DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji, dan
DAS Batang Air Dingin Provinsi Sumatera Barat. Selain itu Rahmad juga
menyimulasikan beberapa kondisi penggunaan lahan untuk diketahui kombinasi
penggunaan lahan mana yang baik untuk DAS kajiannya. Junaidi (2009)
menggunakan model SWAT untuk mengetahui pengelolaan lahan yang tepat
diterapkan pada DAS kajian. Penentuan pengelolaan lahan yang baik dilihat dari
respon erosi dan sedimen dari masing-masing simulasi pengelolaan.

Banyak penelitian mengenai aplikasi penggunaan model SWAT dengan


melihat parameter erosi serta limpasan permukaan untuk menilai kondisi DAS.
Berikut adalah tabel yang menerangkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan
menggunakan Model SWAT.

9
Tabel 1. Penelitian Yang Pernah Dilakukan Sebelumnya
No Judul Penelitian Tujuan Utama Metode Hasil
1 (Junaidi, 2009) Kajian Evaluasi perencanaan Pemodelan SWAT Pemodelan debit,
Berbagai Alternatif pengelolaan DAS kalibrasi debit,
Perencanaan Pengelolaan Cisadane dan skenario
DAS Cisadane Menggunakan penentuan pPengelolaan lahan
Model SWAT perencanaan terbaik
pengelolaan DAS
Cisadane terbaik
dengan melihat
dampaknya terhadap
indikator hidrologi
DAS Cisadane
2 (Rahmad, 2013) Estimation of Menentukan Pemodelan SWAT Peta sebaran tingkat
erosion, sediment, and landuse skenario penggunaan bahaya erosi, Debit
scenarios using lahan yang paling Sedimen, Debit
ArcSWAT2009 optimal dalam aliran, Skenario
rangka Penggunaan Lahan
menurunkan laju Terbaik
erosi dan sedimentasi
di DAS Batang Arau,
Batang Kuranji, dan
Air Dingin
3 (Endrawati, 2013) Mengetahui Pemodelan SWAT Hyetograph dan
Analisis Debit Aliran Sungai efektivitas hidrograf debit
Menggunakan Model SWAT di penggunaan model sungai hasil
Sub DAS Ciasem Kabupaten SWAT dalam pemodel SWAT
Subang Jawa Barat menganalisis debit
aliran sungai di Sub
DAS Ciasem
menggunakan data
yang tersedia
4 (Latifah, 2013) Mengkaji skenario Pemodelan SWAT Skenario
Analisis Ketersediaan Air, teknologi Pengelolaan Lahan
Sedimentasi, dan Karbon Terbaik serta Nilai

10
Organik dengan Model SWAT pengelolaan lahan
di Hulu DAS untuk mengurangi
Jeneberang, Sulawesi Selatan sedimen dan karbon
organik di hulu DAS
Jeneberang
5 (Suryani, 2009) Mengevaluasi Pemodelan SWAT Respon
Optimasi Perencanaan kemampuan SWAT karakteristik aliran
Penggunaan Lahan menggambarkan ' terhadap perubahan
Menggunakan Sistem pengaruh perubahan penggunaan lahan
Informasi Geografi (SIG) dan penggunaan lahan dan skenario
Soil and Water Assesment terhadap penggunaan lahan
Tool (SWAT) (Suatu Studi di karakteristik
DAS Cijalupang, Bandung, hidrologi DAS
Jawa Barat tersebut dan peren

1.7. Kerangka Pikir Penelitian


Penyusunan kerangka pemikiran dari penelitian menggunakan model
SWAT didasarkan pada landasan teori yang dipahami dan referensi dari beberapa
penelitian terdahulu. Sub DAS Wakung memiliki kondisi lahan yang memerlukan
pengelolaan, dalam kegiatan pengelolaan ini diperlukan penetuan lokasi kegiatan
dan monitoring. Keterbatasan data hidrologi di sub DAS Wakung mengharuskan
untuk melakukan pendeketan/pemodelan.

Input data yang dibutuhkan model SWAT yaitu data penggunaan lahan,
karakteristik tanah, lereng dan klimatologi diolah unutuk mendapatkan output
berupa data debit dan surface runoff. Output model tidak langsung digunakan
melainkan harus dikalibrasi terlebih dahulu. Apabila hasil kalibrasi model diterima,
maka output model baru bisa digunakan untuk analisis. Output model berupa data
debit harian digunakan untuk menghitung nilai Koefisien Regim Aliran (KRA),
sedangkan sebaran nilaik ketebalan limpasan permukaan digunakan untuk
mengidentifikasi sub DAS bermasalah.

11
Data Penggunaan
Data Pengukuran
Lahan, Tanah dan
Debit Sungai
Klimatologi

Kondisi Debit Sungai Pemodelan SWAT

Prediksi Debit dan


Sebaran Surface
Runoff

Validasi Kalibrasi

Diterima Ditolak

Nilai Koefisien Regim


Analsis Flktuasi Debit
Aliran

Analsis Sebaran Lokasi Sub DAS


Surface Runoff Bermasalah

Gambar 3 Kerangka Pikir Penelitian

12

Anda mungkin juga menyukai