Anda di halaman 1dari 17

Purwaning Rohmah

S1 P.BIO off A 2015


150341600847
Malang, 11 Oktober 2017
BIOTEKNOLOGI KEDOKTERAN

A. Ruang Lingkup Bioteknologi Kedokteran


Bioteknologi kedokteran saling berhubungan dengan bioteknologi farmasi
dimana dalam bioteknologi farmasi mengkaji beberapa organisme model (mencit,
tikus, ayam, yeast, lalat buah, cacing, dan zebrafish) untuk mengidentifikasi
penyakit genetik dan kesesuaian penggunaan terapi gen dalam mengetahui
keefektifan dan keamanannya sebelum melakukan tindak lanjut klinis pada
manusia.
Li Yang Hsu, dkk (2011) menjelaskan bahwa bioteknologi kedoketeran
merupakan penerapan teknik biologi untuk penelitian dan pengembangan produk
dalam perawatan kesehatan dan obat-obatan. Terobosan dalam bidang ini
merevolusi praktek kedokteran untuk mendiagnosis penyakit yang lebih akurat,
tes genetik yang memungkinkan untuk pencegahan penyakit, metode yang lebih
efisien untuk merancang dan membuat obat-obatan yang ditargetkan pada tingkat
molekuler, kemungkinan penggunaan terapi gen untuk menyembuhkan penyakit
yang sebelumnya tidak dapat disembuhkan. Pernyataan tersebut sesuai dengan
penjelasan Thieman (2004) bahwa bioteknologi kedoketeran merupakan kajian
bioteknologi yang menggabungkan banyak topik. Kajian bioteknologi
kedoketeran mengedepankan aspek biologi molekular yang digunakan dalam
mendeteksi dan mendiagnosis penyakit untuk menghasilkan temuan medis yang
inovatif.
Bioteknologi kedokteran memegang peranan penting dalam perkembangan
tindakan medis untuk pengobatan suatu penyakit. Thieman (2004) menjelaskan
bahwa umumnya teknik yang digunakan dalam bioteknologi kedokteran
menggunakan pendekatan molekular untuk mendeteksi penyakit genetik yang
berhubungan dengan ketidaknormalan kromosom dan kerusakan gen. Pengujian
untuk suatu penyakit genetik tertentu (misalnya sindrome down) dalam janin
diantaranya dapat dilakukan dengan amniocentesis dan chorionic villus sampling.
Amniocentesis dilakukan ketika janin dalam usia 16 minggu dengan memasukkan
jarum ke dalam cairan amnion yang mengelilingi janin melalui perut ibu yang
sedang mengandung. Cairan ini mengandung kumpulan sel-sel misalnya sel-sel
kulit yang selanjutnya akan diisolasi dan dikulturkan selama beberapa hari untuk
melakukan pengecekan keabnormalan kromosom (disebut dengan karyotype).
Chorionic villus sampling (CVS) sudah dapat dilakukan sejak janin dalam usia 8
sampai 10 minggu dimana lebih beresiko tinggi dibandingkan apabila dilakukan
dengan amniocentesis. Keuntungan dari teknik CVS ini ialah sel yang telah
diisolasi tidak perlu untuk dikultur dan dapat langsung digunakan untuk
melakukan karyotype.

B. Komponen yang Terlibat dalam Bioteknologi Kedokteran


Bioteknologi tidak dapat dilepaskan dari beberapa unsur yaitu agen hayati
(organisme hidup maupun substansi dari organisme hidup), rekayasa dengan
serangkaian proses tertentu, produk, dan adanya peningkatan nilai guna untuk
masyarakat baik dalam bentuk barang maupun jasa. Berkaitan dengan produk
yang akan dihasilkan dari suatu teknik tertentu dalam bioteknologi, maka dikenal
istilah bioteknologi kedokteran.
Bioteknologi kedokteran saling berhubungan dengan bioteknologi farmasi
dimana dalam bioteknologi farmasi mengkaji beberapa organisme model (mencit,
tikus, ayam, yeast, lalat buah, cacing, dan zebrafish) untuk mengidentifikasi
penyakit genetik dan kesesuaian penggunaan terapi gen dalam mengetahui
keefektifan dan keamanannya sebelum melakukan tindak lanjut klinis pada
manusia. Thieman (2004) menjelaskan bahwa dengan mengidentifikasi gen
penting dalam organisme model dapat dibuat suatu kesimpulan sementara dan
prediksi tentang kedudukan serta fungsi gen-gen tersebut pada manusia. Banyak
gen yang telah teridentifikasi pada organisme model yang menunjukkan
keterkaitan dengan gen pada manusia yang dikenal dengan istilah homolog.
C. Contoh Bioteknologi Kedokteran beserta Mekanismenya
Penerapan bioteknologi begitu luas dan telah dilakukan selama beratus-ratus
tahun mulai dari taraf sederhana sampai bioteknologi modern. Seiring
berkembangnya zaman dan pengetahuan, kini pemanfaatan bioteknologi tidak
hanya sekedar dalam bidang pangan saja, melainkan telah merambah pada bidang
kedokteran yang menerapkan teknik rekayasa genetika. Berikut disajikan
beberapa contoh dan mekanisme penerapan bioteknologi dalam bidang
kedokteran.

1. Pembuatan Insulin
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel-sel beta yang
membentuk pulau sehingga disebut pulau langerhans di kelenjar pangkreas. Pada
awalnya terbentuk proinsulin yang molekulnya lebih besar daripada insulin.
Proinsulin tersimpan di pankreas hingga dibutuhkan tubuh. Ketika proinsulin
keluar ke peredaran darah, proinsulin diuraikan menjadi 2 bagian: peptida
penghubung dan hormon insulin aktif. Fungis utama hormon insulin adalah
menurunkan kadar glukosa di dalam sel. Teori yang ada mengatakan bahwa
seseorang 45 tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya diabetes dan
intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor degeneratif yaitu menurunya
fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel dalam memproduksi insulin untuk
memetabolisme glukosa (Betteng et al., 2014). Oleh karena itu diperlukan suatu
teknik untuk memperoleh tambahan insulin. Adanya teknik rekayasa genetika,
maka bisa didapatkan hormon insulin dalam jumlah yang banyak, insulin
ini diperoleh dengan mencangkokkan gen (transplantasi gen) yang mengkode
insulin ke dalam plasmid bakteri. Proses pembuatan insulin dengan teknik DNA
recombinan adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi dan mengisolasi gen penghasil insulin dari sel pankreas
manusia:
a. Mula-mula mRNA yang telah disalin dari gen penghasil insulin diekstrak
dari sel pancreas. Kemudian enzim transcriptase ditambahkan pada
mRNA bersamaan dengan nukleotida penyusun DNA.
b. Enzim ini menggunakan mRNA sebagai cetekan untuk membentuk DNA
berantai tunggal.
c. DNA ini kemudian dilepaskan dari mRNA.
d. Enzim DNA polymirase digunakan untuk melengkapi DNA rantai
tunggal menjadi ranati ganda, disebut DNA komplementer (c- DNA),
yang merupakan gen penghasil insulin.
2. Melepaskan salinan gen penghasil insulin tersebut dengan cara
memotong kromosom secara khusus menggunakan enzim retrikasi.
3. Mengekstrak plasmid dari sel bakteri, kemudian membuka plasmid dari
sel bakteri dengan menngunakan enzim retrikasi lain. Sementara itu, di
dalam serangkain tabung reaksi atau cawan petri, gen penghasil insulin
manusia dalam bentuk c- DNA disiapkan untuk dipasangkan pada
plasmid yang terbuka tersebut.
4. Memasang gen penghasil insulin kedalam cincin plasmid. Mula-mula
ikatan yang terjadi masih lemah, kemudian enzim DNA ligase
memperkuat ikatan ini sehingga dihasilkan molekul DNA
recombinan/plasmid recombinan yang bagus.
5. Memasukkan plasmid recombinan kedalam bakteri E.coli. Di dalam sel
bakteri ini plasmid mengadakan replikasi
6. Mengultur bakteri E.coli yang akan berkembang biak dengan cepat
menghasilkkan klon-klon bakteri yang mengandung plasmid recombinan
penghasil insulin. Melalui rekayasa genetika dapat dihasilkan E.coli yang
merupakan penghasil insulin dalam jumlah banyak dan dalam waktu
yang singkat.
Gambar 2 Langkah-Langkah DNA Rekombinan pada Produksi Insulin
Sumber: www.alandandin.blogspot.com
9
2. Pembuatan Antibodi Monoklonal
Produksi molekul Antibodi merupakan tanggungjawab dari klone-klone sel
limfosit B (sel plasma) yang masing-masing spesifik terhadap antigen. Menurut
teori klonal, adanya interaksi antara antigen dengan klone limfosit B akan
merangsang sel tersebut untuk berdiferensiasi dan berproliferasi sehingga
diperoleh sel yang mempunyai ekspresi klonal untuk memproduksi antibodi.
Produksi antibody monoklonal merupakan gabungan penerapan teknik hibridoma
dan kloning. Dengan berkembangnya teknologi dan pengetahuan tentang molekul
Ig, maka kini dikenal teknik hibridoma untuk tujuan menghasilkan antibodi
monoklonal dalam jumlah banyak dan tidak terbatas oleh waktu dengan cara
kloning. Teknik hibridoma adalah suatu teknik dengan cara menggabungkan dua
macam sel eukariot dengan tujuan mendapatkan sel hibrid yang memiliki
kemampuan kedua sel induknya. Pada hakekatnya produksi antibodi monoklonal
tetap mengikuti prinsip teori seleksi klonal (Artama, 1990). Pada dunia kesehatan,
antibodi monoklonal ini dapat digunakan untuk diagnosis kehamilan, uji golongan
darah ABO, dan uji serum (AIDS, Hepatitis). Prosedur produksi antibodi
monoclonal sebagai berikut.

1. Antigen yang telah dimurnikan disuntikkan ke hewan percobaan mencit


(mice) untuk mendapatkan sel limfosit B yang spesifik.
2. Limpa (spleen) dikeluarkan dari tikus setelah lebih dulu dimatikan dan
dikerjakaan secara aseptis.
3. Sel limfosit B sebagai penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dari
limpa (spleen) dipisahkan dari eritrosit dan cairan limpa dengan cara
sentrifus (gradient centrfuge).
4. Sel penghasil Ab tersebut kemudian diisolasi dan selanjutnya dikawinkan
dengan sel myeloma (sel kanker) dalam media PEG (polyethilene glycol)
atau dapat juga dengan virus Sendai.
5. Sel hibrid yang diperoleh kemudian diseleksi dalam medium HAT
(hypoxanthine aminopterin thimidin), oleh karena tidak semua sel hibrid
yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan yakni sel limfosit B
dengan sel myeloma, akan tetapi dapat terjadi hibrid antara sel limfosit B
dengan sel limfosit B, atau sel myeloma dengan sel myeloma.
6. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji untuk mengetahui kemampuan
menghasilkan Ab yang diharapkan, jika hasilnya pasti maka sel tersebut
dikultur (cloning) kemudian dipropagasi pada kultur jaringan (bioreaktor)
atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAb atau dapat pula
dibekukan untuk koleksi.
7. Sel hibrid yang terseleksi kemudian diuji (assay) untuk mengetahui
kemampuan menghasilkan Ab yang diharapkan denngan menggunakan
kultur sel dan diuji antibodi.
8. Jika hasilnya pasti, maka sel tersebut kemudian dipropagasi dengan
menggunakan kultur jaringan dalam skala besar (bioreaktor) untuk
mendapatkan sel turunan yang sama persis dengan induknya (cloning),
atau disuntikkan ke tikus (in vivo) untuk produksi MAB, atau dapat pula
dibekukan untuk koleksi (stock cell culture).

Gambar 3 Skema tahapan kegiatan produksi antibodi monoklonal dari imunisasi


sampai mendapatkan klon hibridoma

Sumber: (Machmud et al., 2004)

3. Produk Vaksin
Selain digunakan untuk memproduksi hormon maupun enzim, teknologi
DNA rekombinan juga digunakan untuk membuat vaksin. Pada aplikasi ini, secara
garis besar beberapa mikroorganisme digunakan untuk menghambat kemampuan
mikroorganisme patogen (penyebab penyakit). Mikrobia menjadi suatu bibit
penyakit dalam tubuh apabila mikrobia tersebut menghasilkan senyawa
toksik bagi tubuh manusia. Selain itu, bagian-bagian tubuh mikrobia seperti flagel
dan membran sel juga dapat menimbulkan penyakit. Hal ini karena bagian-
bagian tersebut kemungkinan terdiri dari protein asing bagi tubuh. Senyawa dan
protein asing ini disebut antigen.

Gen yang mengkode senyawa penyebab penyakit (antigen) diisolasi dari


mikrobia yang bersangkutan. Kemudian gen ini disisipkan pada plasmid mikrobia
yang sama, tetapi telah dilemahkan (tidak berbahaya). Mikrobia ini menjadi tidak
berbahaya karena telah dihilangkan bagian yang menimbulkan penyakit,
misal lapisan lendirnya. Mikrobia yang telah disisipi gen ini akan membentuk
antigen murni. Bila antigen ini disuntikkan pada manusia, sistem kekebalan
manusia akan membuat senyawa khas yang disebut antibodi.

Gambar 4 Vaksinasi dari virus Herpes


4. Aplikasi Terapi Gen dalam Kajian Bioteknologi Kedokteran
Thieman (2004) menjelaskan bahwa terapi gen merupakan pengiriman gen
terapeutik ke dalam tubuh manusia yang bertujuan untuk pengobatan suatu
penyakit yang disebabkan oleh satu atau banyak gen yang mengalami
kerusakan. Dewasa ini cara untuk melakukan penggantian gen rusak dapat
dilakukan dengan memanfaatkan agen virus yang telah dilemahkan, senyawa
kimia organik, atau dengan cara penyuntikkan.
Menurut Nurcahyo (2011), terapi gen adalah suatu teknik yang digunakan
untuk memperbaiki gen-gen mutan (abnormal/cacat) yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya suatu penyakit. Pada awalnya, terapi gen diciptakan untuk
mengobati penyakit keturunan (genetik) yang terjadi karena mutasi pada satu
gen, seperti penyakit fibrosis sistik. Penggunaan terapi gen pada penyakit
tersebut dilakukan dengan memasukkan gen normal yang spesifik ke dalam sel
yang memiliki gen mutan. Terapi gen kemudian berkembang untuk mengobati
penyakit yang terjadi karena mutasi di banyak gen, seperti kanker. Selain
memasukkan gen normal ke dalam sel mutan, mekanisme terapi gen lain yang
dapat digunakan adalah melakukan rekombinasi homolog untuk melenyapkan
gen abnormal dengan gen normal, mencegah ekspresi gen abnormal melalui
teknik peredaman gen, dan melakukan mutasi balik selektif sehingga gen
abnormal dapat berfungsi normal kembali.

Penggunaan virus sebagai agen pembawa gen disebut metode viral.


Metode ini memiliki keuntungan efektivitas yang tinggi. Metode ini dapat
memanfaatkan sifat serangan virus pada jaringan tertentu yang khas.

Beberapa jenis virus yang digunakan untuk terapi gen :

Retrovirus
Golongan virus yang dapat membuat rantai ganda DNA dari genomnya dan
disatukan dengan kromosom sel inangnya mis: HIV (human defisiensi virus). Dan
jenis virus ini juga penyerang sel-sel yang membelah cepat, mungkin cocok
sebagai agen pembawa gen terapeutik untuk penyakit tumor.
Adenovirus
Golongan virus dengan rantai DNA gandanya dapat menyebabkan infeksi pada
saluran pernapasan, saluran pencenaan dan menimbulkan kematian. Dan jenis
virus ini juga penyerang sel dinding paru-paru mungkin cocok untuk mengirim
duplikat gen cystic fibrosis yang dibutuhkan dalam sistem pernapasan. Misal :
virus influenza

Adeno-assosiated virus.
Virusnya kecil mempunyai single strandid DNA dan dapat memasukan material
genetik di tempat spesifik pada kromosom 19.

Herpes simpleks
Golongan virus dengan rantai ganda DNA yang menginfeksi sebagian dari sel
seperti sel neuron. Keuntungan penggunaan virus dalam terapi gen ialah dapat
diandalkan dari segi efektivitas dan kelemahannya ialah pembiakkanya dalam
skala besar memiliki potensi bahaya yang serius berhubungan dengan kemampuan
mutagenik dan karakteristik dari virus yang sulit diramalkan. Sistem kekebalan
tubuh manusia terhadap virus juga mampu mengganggu proses terapi.

Penggunaan senyawa kimia organik sebagai agen pengantar gen dapat


mengatasi masalah resistensi dari sistem kekebalan tubuh penerima. Keuntungan
penggunaan senyawa kimia ini ialah mudah dalam produksi, baik dalam skala
kecil maupun skala besar dan kelamahannya ialah berkaiatan dengan
keefektifannya yang rendah.
Penemuan derivat 1,4-DHP sebagai senyawa organik pembawa gen
memiliki keunggulan gabungan metode viral dan metode kimiawi. Derivat-derivat
1,4-DHP saat ini masih dalam tahap pengembangan, namun efektivitasnya lebih
tinggi dibanding senyawa organik lain yaitu DOTAP dan PEI 25. Sebagai
senyawa kimia organik tentu saja 1,4-DHP akan lebih siap dan mudah diproduksi
dalam berbagai skala. Keuntungannya ialah menggabungkan penggunaan virus
dan senyawa kimia dalam terapi gen serta kelamahnnya ialah cara ini masih dalam
tahap pengembangan.
Secara garis besar ada dua macam cara yang biasa digunakan untuk
memasukkan gen baru ke dalam sel.
1. Terapi Gen Ex Vivo
Sel dari sejumlah organ atau jaringan (seperti kulit, system hemopoietik,
hati ) atau jaringan tumor dapat diambil dari pasien dan kemudian
dibiakkan dalam laboratorium. Selama pembiakkan, sel itu dimasuki
suatu gen tertentu untuk terapi penyakit itu. Kemudian diikuti dengan
reinfusi atau reimplementasi dari sel tertransduksi itu ke pasien.
Penggunaan sel penderita untuk diperlakukan adalah untuk meyakinkan
tidak ada respon imun yang merugikan setelah infuse atau transplantasi.
Terapi gen ex vivo saat ini banyak digunakan pada uji klinis, kebanyakan
menggunakan vector retrovirus untuk memasukkan suatu gen ke dalam
sel penerima.

2. Terapi Gen In Vivo


Organ seperti paru paru, otak, jantung tidak cocok untuk terapi gen ex
vivo, sebab pembiakan sel target dan retransplantasi tidak mungkin
dilakukan. Oleh karena itu terapi gen somatic, dilakukan dengan
pemindahan gen in vivo. Dengan kata lain dengan memberikan gen
tertentu baik secara lokal maupun sistemik. Penggunaan vector retrovirus
memerlukan kondisi sel target yang sedang membelah supaya dapat
terinfeksi. Akan tetapi, banyak jaringan yang merupakan target terapi
gen, sebagian besar selnya dalam keadaan tidak membelah. Akibatnya,
sejumlah strategi diperlukan baik penggunaan system vector virus
maupun non-virus untuk menghantarkan gen terapetik ke sel target yang
sangat bervariasi seperti kulit, otot, usus, liver dan sel darah. Sistem
penghantar gen in vivo yang ideal adalah efisiensi tinggi masuknya gen
terapetik dalam sel target. Gen itu dapat masuk ke inti sel dengan sedikit
mungkin terdegradasi, dan gen itu tetap terekspresi walaupun ada
perubahan kondisi
Gambar 5 Terapi Gen In Vivo dan Terapi Gen Ex Vivo

Terapi gen dapat dilakukan pada gen sel somatic maupun embrional, berikut
penjelasannya:
14

1. Terapi gen pada sel somatic


Terapi gena pada sel somatis (somatic gene therapy) yaitu usaha
mereparasi gen karena cacat bawaan dengan cara menyisipkan gene
normal ke organisme penderita, sebagai contoh kelainan metabolisme.
Langkah-langkah terapi gena sebagai berikut: sel sumsum tulang (bone
marrow) atau sel kulit diekstrasi (dikeluarkan) dari tubuh pasien
kemudian dipelihara dalam medium kultur untuk perbanyakan.
Kemudian disisipkan gen normal ke dalam DNA sel tadi dengan
rekayasa gena ini diharapkan dapat menyebabkan perubahan genotipe sel
yang semula cacat. Transgenesis untuk mengembalikan rDNA tubuh
pasien yang menderita cacat bawaan. Terapi gene sel somatik dari sudut
pandang sosial masih menimbulkan masalah pro dan kontra. Masih
dipertimbangkan dengan alasan karena risiko dan keamanan.
2. Terapi Gena pada sel embrional
Terapi gena pada sel (Germ line gene therapy) yaitu usaha mereparasi
gena karena cacat bawaan, sebagai contoh kelainan metabolisme.
Langkah-langkah terapi gena sebagai berikut: misalnya sumsum tulang
(bone marrow) atau sel kulit diambil kemudian keduanya dipelihara
dalam medium kultur vektor ke dalam sel hospes dengan menggunakan
metode mikroinjeksi DNA ke sel telur terbuahi diikuti dengan implantasi
sel telur termanipulasi ke induk titipan yang telah dipersiapkan. Pada
tikus dengan induksi dapat diperoleh 40 buah ova, namun sel telur yang
dapat dibuahi sekitar 20 buah. 2 pl buffer yang mengandung klon
plasmid DNA diinjeksikan ke salah satu dari pronukleus sel telur
terbuahi. Ada 2 buah pronukleus dari jantan dan betina, pronukleus
jantan lebih besar sehingga dipilih untuk diinjeksi. Pronuklei mengalami
fusi kemudian terbentuklah zygote diploid. Embryo ditumbuhkan pada
medium in vitro, sampai pembelahan sel tertentu. Kemudian
diimplantasikan ke induk titipan. Antara 3 10 % hewan yang
berkembang mengandung kopi dari DNA eksogen yang bersatu dengan
kromosomnya

5. Aplikasi Pencangkokan Sel, Jaringan, dan Organ dalam Kajian


Bioteknologi Kedokteran

Thieman (2004) menjelaskan bahwa pertumbuhan sel-sel dan jaringan


dapat digunakan sebagai pengobatan regeneratif yaitu dengan menggantikan atau
memperbaiki jaringan dan organ-organ yang mengalami kerusakan dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Penyakit Parkinson merupakan salah satu
penyakit neurodegeratif yaitu hilangnya sel-sel di daerah bagian dalam otak yang
disebut substansia nigra. Neuron pada daerah ini menghasilkan zat kimia yang
dinamakan dopamine yang merupakan neurotransmitter untuk menghantarkan
sinyal antar neuron satu dengan neuron lainnya. Kehilangan atau kekurangan sel
dopamine menyebabkan gemetar, lemah, kurang keseimbangan, kehilangan
ketangkasan, otot kaku, pengurangan penciuman, ketidakmmapuan untuk
menelan, dan masalah bicara.
Tidak seperti sel saraf janin yang dapat membelah, kebanyakan sel saraf
orang dewasa kehilangan kemampuan untuk melakukan pembelahan. Hal ini
melatarbelakangi munculnya ide penggunaan sel saraf janin untuk menggantikan
sel-sel otak yang mengalami kerusakan. Sebagian besar jaringan janin manusia
berasal dari embrio yang didapatkan dari korban kecelakaan dan dari embrio yang
diaborsi secara legal. Thieman (2004) menjelaskan bahwa adanya masalah dalam
pencangkokan, menimbulkan beberapa perkembangan teknologi kedoktaran
diantaranya Autograf dan Xenotransplantasi. Autograf merupakan pencangkokan
jaringan yang berasal dari pasien tetapi daerah tubuh lain. Misalnya operasi
jantung melibatkan pemindahan segmen dari vena kaki yang selanjutnya
dilakukan pembedahan menghubungkan pembuluh darah pada arteri jantung di
sekitar pembuluh yang terhalangi. Xenotransplantasi merupakan transfer organ
dari spesies yang berbeda dan tidak selalu harus melibatkan transfer dari seluruh
organ serta hal ini meringankan peran manusia sebagai donor organ.
Thieman (2004) menjelaskan bahwa beberapa spesies yang pernah
diujicobakan ialah babon, kelas primata, dan babi. Ilmuwan baru-baru ini telah
menggabungkan teknik molekular dan teknologi transplantasi untuk menghasilkan
klon babi yang membantu mengatasi penolakan dari organ transplant serta
mengatasi adanya transmisi virus. Gen pada babi yang berisiko menyebabkan
penolakan telah dihilangkan dengan menggunakan teknik techniques untuk
menghilangan gen GGTA 1. Pembentukan knockout GGTA1 babi dimungkinkan
karena regenerasi babi yang dapat menghasilkan organ untuk pencangkokan
dimana mampu dikenali oleh antibodi. SAASTA (2010) menjelaskan bahwa
untuk mencegah penolakan setelah transplantasi organ, umumnya dokter
menggunakan obat penekan kekebalan. Obat ini mampu mencegah penolakan
organ, namun juga melemahkan sistem kekebalan tubuh pasien sehingga
dikhawatirkan akan rentan terhadap berbagai infeksi. Pemanfaatan siklosporin
sebagai produk bioteknologi dengan memanfaatkan jamur yang tumbuh di tanah
adan hanya menekan bagian dari tubuh yang mengalami penolakan dan kurang
berdampak pada keseluruhan sistem kekebalan tubuh.

6. Aplikasi Terapi Seluler dan Rekayasa Jaringan dalam Kajian


Bioteknologi Kedokteran

Thieman (2004) menjelaskan bahwa terapi seluler merupakan penggunaan


sel-sel untuk menggantikan jaringan yang mengalami kerusakan untuk pengiriman
molekul biologi yang penting. Salah satu cara untuk menghindari penolakan organ
pada pencangkokan jaringan ialah dengan menggunakan sel-sel hidup yang telah
dikemas dalam kantung kecil atau tabung yang disebut biokapsul atau
mikrokapsul. Biokapsul dimungkinkan berisi sel-sel yang telah direkayasa secara
genetik dirancang untuk menghasilkan melekul yang efektif dalam pengobatan.
Biokapsul memiliki lubang kecil di dindingnya sehingga permiabel terhadap
ketersedian nutrisi dan memungkinkan pertukaran molekul memasuki aliran darah
dan daerah sekitarnya . Penurunan fungsi organ dapat dilakukan pengobatan juga
dengan rekayasa jaringan. Rekayasa jaringan ini mampu menyiapkan organ yang
dapat digunakan untuk mengganti jaringan yang mengalami kerusakan. Biokapsul
dapat digunakan sebagai molekul terapi. Sel dalam biokapsul ini dilindungi dari
serangan oleh sel-sel imun oleh sel host. Pada saat yang sama, biokapsul
memungkinkan molekul yang diproduksi oleh sel-sel keluar dari kapsul dan
memberikan manfaat terapeutik untuk host. Gambar ini mengilustrasikan
bagaimana sel memproduksi insulin dapat digunakan untuk menyediakan pasien
diabetes dengan sumber insulin (Thieman, 2004)

7. Aplikasi Stem Cells dalam Kajian Bioteknologi Kedokteran

Stem cells adalah sel tubuh (baik hewan atau manusia) yang belum
terbentuk menjadi sel tubuh tertentu dan bisa berkembang menjadi berbagai
bentuk sel tubuh tertentu. Stem cells merupakan sel yang sangat unik karena
dengan kemampuan berdeferensiasi menjadi sel-sel baru atau sel tubuh yang lain.
Stem cell bertugas memperbaiki kelainan dalam tubuh dan secara teoritis stem
cell dan melengkapi sel-sel dalam tubuh selama manusia atau hewan tersebut
masih hidup. Apabila stem cell telah berdeferensiasi maka setiap sel baru
memiliki potensi untuk tetap menjadi stem cell atau menjadi sel-sel yang berbeda
dengan fungsi yang lebih khusus, seperti sel otot, sel darah merah, sel otak, sel
hati, sel ginjal dan lain-lain.

Stem cell memiliki 2 sifat, yaitu.

1. Kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi sel


lain (differentiate). Dalam hal ini stem cell mampu berkembang
menjadi berbagai jenis sel matang, misalnya sel saraf, sel otot jantung,
sel otot rangka, sel pankreas, dan lain-lain.
2. Kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya
sendiri (self-regenerate/self-renew). Dalam hal ini stem cell dapat
membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui
pembelahan sel.

Berdasarkan kemampuan berdiferensiasi, stem cell dibagi menjadi.


1. Totipotent. Dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis sel misalnya
adalah zigot (telur yang telah dibuahi).
2. Pluripotent. Dapat berdiferensiasi menjadi 3 lapisan germinal:
ektoderm, mesoderm, dan endoderm, tapi tidak dapat menjadi jaringan
ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Misalnya
adalah embryonic stem cells
3. Multipotent. Dapat berdiferensiasi menjadi banyak jenis sel, misalnya
ialah hematopoietic stem cells.
4. Unipotent. Hanya dapat menghasilkan 1 jenis sel yang dapat
memperbaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self-renew)

8. Antibiotik
Antibiotik adalah mikroorganisme tertentu yang dapat menghambat atau
memusnahkan mikroorganisme lain yang merugikan. Terdapat banyak sekali jenis
antibiotik yang sudah ada hingga sekarang ini, contohnya seperti penisilin,
rifampicin, aminoglikosida, makrolida, tetrasiclyn, maupun kloramfenikol.

Namun seiring berkembangnya zaman, penggunaan antibiotik semakin


tidak terkontrol, akibatnya banyak sekali ditemukan kasus penyalahgunaan
antibiotik, hal inilah yang menyebabkan banyak penyakit menjadi resisten (kebal)
dengan antibiotik. Dokter selalu menganjurkan untuk menghabiskan setiap
antibiotik yang dibeli untuk pengobatan, sebab jika tidak dihabiskan
dikhawatirkan bakteri penyebab sakit akan menjadi resisten dengan antibiotik
tersebut.

9. Interferon
Interferon adalah antibodi terhadap virus. Secara alami hanya dibuat oleh
tubuh manusia. Proses pembentukan di dalam, tubuh memerlukan waktu cukup
lama (dibanding kecepatan replikasi virus), karena itu dilakukan rekayasa
genetika.

Pertanyaan:

1.

Anda mungkin juga menyukai