Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara geografis Indonesia terletak diantara Benua Asia dan Benua Australia,
serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dan kalau dilihat berdasarkan
geologinya, kepulauan Indonesia memiliki banyak gunung api yang aktif, laut
dibagian Indonesia barat dan timur dangkal, sedangkan di Indonesia tengah
lautnya dalam.
Dari segi letak wilayah, Indonesia menjadi negara yang sangat rawan
terhadap terjadinya bencana. Wilayah Indonesia termasuk daerah yang labil
dan sering mengalami gempa bumi, baik tektonik maupun vulkanik. Dari
gempa bumi dapat menyusul ancaman bencana gunung meletus, banjir dan
juga tsunami.
Bencana yang sering terjadi menimbulkan dampak yang begitu luas terhadap
masyarakat, antara lainmerugikan jiwa dan hartamemunculkan lonjakan
kebutuhan, status gizi memburuk,merubah pola kehidupan dari kondisi
normal dan merusak struktur sosial masyarakat. Mengingat seringnya terjadi
bencana di Indonesia serta besarnya dampak yang ditimbulkan, pemerintah
mengambil langkah dalam rangka untuk melakukan penanggulangan
bencana, baik dari tahap pencegahan & mitigasi, tahap kesiapsiagaan, tahap
tanggap darurat dan tahap pasca darurat. Adapun permasalahan yang dihadapi
dalam penanganan krisis kesehatan akibat bencana, antara lain:

1. Sistem informasi yang belum berjalan dengan baik


2. Mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik
3. Mobilisasi bantuan dari luar lokasi bencana masih terhambat akibat
masalah transportasi
4. Sistem pembiayaan belum mendukung
5. Sistem kewaspadaan dini belum berjalan dengan baik
6. Keterbatasan logistik
2

Dalam penanganan krisis kesehatan akibat bencana, banyak bantuan


kesehatan dari LSM/NGO lokal mapun internasional yang terlibat secara aktif
dalam penanganan bencana di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya
standar bagi petugas kesehatan di Indonesia, LSM/NGO nasional maupun
internasional, lembaga donor dan masyarakat yang bekerja atau berkaitan
dalam penanganan krisis kesehatan akibat bencana.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari bencana?
2. Apa saja jenis bencana?
3. Apa saja fase dari bencana?
4. Bagaimana model manajemen bencana?
5. Bagaimana penanggulangan bencana?
6. Bagaimana kebijakan manajemen bencana?
7. Bagaimana pembagian tanggung jawab manajemen bencana?
8. Apa saja peran perawat dalam manajemen bencana?

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah mempelajari materi Keperawatan Kritis, Mahasiswa dapat
memahami dan menjelaskan tentang konsep bencana.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang definisi bencana.
b. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang jenis-jenis bencana.
c. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang fase-fase bencana.
d. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang model manajemen bencana.
e. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang bagaimana penanggulangan
bencana.
f. Mahasiswa dapat menjelaskan kebijakan pemerintah dalam
manajemen bencana.
3

g. Mahasiswa dapat menjelaskan tentang pembagian tanggung jawab


manajemen bencana
h. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami perannya dalam
manajemen bencana.

D. MANFAAT
1. Manfaat Teoritis
Mengembangkan kajian tentang Bencana pada Penanganan Pasien Gawat
Darurat sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
mahasiswa dalam mempelajari materi Keperawatan Kritis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan kajian dan informasi dalam mengkaji dan mempelajari
kasus bencana kegawat daruratan.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan referensi, dokumentasi dan sebagai bahan pustaka.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI BENCANA
Bencana adalah kejadian yang mendadak atau tidak diperkirakan yang
mengakibatkan rumah sakit dan/atau sarana masyarakat lainnya mengalami
kerusakan dan fungsinya terganggau. Bencana dapat disebabkan oleh
kebakaran, cuaca atau iklim, misalnya: gempa bumi, angin rebut, dan ternado,
ledakan, aktifitas teroris, radiasi atau tumpahan zat kimia. Bencana dapat
terjadi karena kesalahan manusia yang mencakup kecelakaan lalu
lintas,kecelakaan pesawat udara, bangunan runtuh, atau kejadian serupa
lainnya
Menurut UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Sementara Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan
bencana dalam formulasi The serious disruption of the functioning of
society, causing widespread human, material or environmental losses, which
exceed the ability of the affected communities to cope using their own
resources (Abarquez & Murshed, 2004).
Definisi bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar,
yaitu:
1. Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak
(hazard).
2. Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan,
dan fungsi dari masyarakat.
5

3. Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan


masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.

Unsur-unsur dalam bencana :

1. Ancaman
Suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
a. JenisAncaman :
Geologi
Gempa bumi, tsunami, longsor, gerakan tanah
Hidro-meteorologi
Banjir, topan, banjir bandang, kekeringan
Biologi
Epidemi, penyakit tanaman, hewan
Teknologi
Kecelakaan transportasi, industri
Lingkungan
Kebakaran, kebakaran hutan, penggundulan hutan.
Sosial
Konflik, terorisme
b. Karakteristik ancaman
Bagaimana karakteristik umum dan khusus ancaman tersebut?
Sumber(penyebab / pemicu terjadinya ancaman)
Kekuatan(faktor yang menentukan kekuatan ancaman, misalnya
intensitas dan besarnya suatu gempa bumi).
Kecepatanterjadinya (datang, pergi, dan dampak) banjir
Frekuensi(pola perulangan).
Durasikejadian (ancaman angin puyuh).
Sebaranancaman / dampak banjir, awan panas dari erupsi gunung
api
Posisi(lateral & vertikal) terhadap sumber ancaman
6

2. Kerentanan
Suatu kondisi yang melekat pada masyarakat yang mengarah dan
menimbulkan konsekuensi (fisik, sosial, ekonomi dan perilaku) yang
berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana.
3. Kemampuan
Suatu gabungan antara semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia
dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat
risiko atau akibat dari bencana.
4. Risiko
Kemungkinan timbulnya kerugian (kematian, luka-luka, kerusakan harta
dan gangguan kegiatan perekonomian) karena suatu bahaya di suatu
wilayah dan pada suatu kurun waktu tertentu.
5. Hubungan antar-unsur / formulasi
R = (A x K)/M
Dimana:
R = Risiko
A = Ancaman
K = Kerentanan
M = Kemampuan
Pandangan Bencana
1. Konvensional
2. Ilmu Pengetahuan Alam
3. Ilmu Terapan
4. Progresif
5. Ilmu Sosial
6. Holistik
Faktor-faktor berpengaruh
1. Berdasarkan lokasi
a. Di jalur tektonik aktif
b. Di sekitar gunung api
7

c. Di daerah labil
d. Di sekitar sungai
e. Dan lain-lain
2. Berdasarkan Komunitas
a. Pertumbuhan penduduk
b. Kemiskinan
c. Perubahan Budaya
d. Urbanisasi
e. Industrialisasi
f. Dan lain-lain
Dampak :
Bencana alam dapat mengakibatkan dampak yang merusak pada bidang
ekonomi, social dan lingkungan. Kerusakan infrastruktur dapat mengganggu
aktivitas social, dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka,
sakit, hilangnya tempat tinggal dan kekacauan komunikasi, sementara
kerusakan lingkungan dapat mencakup hancurnya hutan yang melindungi
daratan.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi, yaitu adanya peristiwa atau
gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan
(vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak
rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang
mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi
peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.

B. JENIS-JENIS BENCANA
Bencana terdiri dari berbagai bentuk, UU No. 24 tahun 2007
mengelompokan bencana ke dalam tiga kategori yaitu:
1. Bencana alam
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
8

2. Bencana non-alam
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi dan wabah penyakitt
3. Bencana sosial
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antarkelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:

1. Bencana alam (natural disaster)


yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadian-kejadian alami seperti
banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan,
wabah, serangga dan lainnya.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster)
yaitu kejadian-kejadian karena perbuatan manusia seperti tabrakan
pesawat udara atau kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan,
gangguan listrik, ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.

Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:


1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang
berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan
disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia seperti
kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.

2. Bencana Regional

Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis
yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai,
banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
9

C. FASE-FASE BENCANA
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu
bencana, yaitu fase preimpact, fase impact dan fase postimpact.
1. Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat
dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah
segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga
masyarakat.
2. Fase impact
Merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase
impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan
darurat dilakukan.
3. Fase postimpact
Adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi
komunitas normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban
akan mengalami tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-
menawar, depresi hingga penerimaan.

D. MODEL MANAJEMEN BENCANA


Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada
komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat
mengatasi berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut.
Manajemen bencana pada dasarnya berupaya untuk menghindarkan
masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan munculnya
hazard maupun mengatasi kerentanan.
10

Terdapat lima model manajemen bencana yaitu:


1. Disaster management continuum model
Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri
dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan.
Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi:
a. Emergency
b. Relief
c. Rehabilitation
d. Reconstruction
e. Mitigation
f. Preparedness
g. early warning.

2. Pre-during-post disaster model


Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana.
Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana,
selama bencana terjadi dan setelah bencana. Model ini seringkali
digabungkan dengan disaster management continuum model.

3. Contract-expand model
Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen
bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,
preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada
daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak
bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan
(emergency dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation,
reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.

4. The crunch and release model


Manajemen bencana ini menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk
mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana juga akan
kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
11

5. Disaster risk reduction framework


Model ini menekankan upaya manajemen bencana pada identifikasi risiko
bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan
mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

Pendekatan lain adalah lingkaran manajemen bencana (disaster management


cycle) yang terdiri dari dua kegiatan besar :
1. Sebelum terjadinya bencana (pre event)
Kegiatan yang dilakukan dapat berupa disaster preparedness
(kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation(mengurangi
dampak bencana).
2. Setelah terjadinya bencana (post event).
Kegiatan dapat berupa :disaster response/emergency response (tanggap
bencana) ataupun disaster recovery.

Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari
disaster mitigation dan disaster preparedness(Makki, 2006).

Terkait dengan manajemen penanggulangan bencana, maka UU No. 24 tahun


2007 menyatakan Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
dan rehabilitasi.

Rumusan penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua


pengertian dasar yaitu:
1. Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus.
2. Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan pembangunan
yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
12

E. PENANGGULANGAN BENCANA
1. Defenisi
Penanggulangan bencana adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanganan bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi
bencana yang mencakup pencegahan, pengurangan (mitigasi),
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan.
Suatu proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan penanganan, merupakan rangkaian kegiatan yang
meliputi pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi
dan pembangunan kembali.

Penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi


penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

2. Tujuan dari penanggulangan bencana adalah :


a. Melindungi masyarakat dari bencana alam dan melindungi dari
dampak yang ditimbulkannya
b. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana
c. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
d. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh
e. Menghargai budaya lokal
f. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta
g. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan
h. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
13

3. Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana (UU No.24 tahun 2007) :


a. Cepat dan tepat
b. Prioritas
c. Koordinasi dan keterpaduan
d. Berdaya guna dan berhasil guna
e. Transparansi dan akuntabilitas
f. Kemitraan
g. Pemberdayaan
h. Nondiskriminatif
i. Nonproletisi
4. Tahapan Penanggulangan Bencana
a. Tahap Pencegahan & Mitigasi
Pencegahan
Adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan sama sekali atau
mengurangi ancaman.
Contoh:
Pembuatan hujan buatan untuk mencegah terjadinya kekeringan
di suatu wilayah
Melarang atau menghentikan penebangan hutan
Menanam tanaman bahan pangan pokok alternatif
Menanam pepohonan di lereng gunung

Mitigasi
Serangkaian tindakan yang dilakukan sejak dari awal untuk
menghadapi suatu peristiwa alam dengan mengurangi atau
meminimalkan dampak peristiwa alam tersebut terhadap
kelangsungan hidup manusia dan lingkungan hidupnya
(struktural).Mitigasi atau pengurangan adalah upaya untuk
mengurangi atau meredam risiko.
14

Upaya penyadaran masyarakat terhadap potensi dan kerawanan


(hazard) lingkungan dimana mereka berada, sehingga mereka dapat
mengelola upaya kesiapsiagaan terhadap bencana.
Contoh :
1. Pembangunan dam penahan banjir atau ombak.
2. Penanaman pohon bakau.
3. Penghijauan hutan.
4. Membuat bendungan, tanggul, kanal untuk mengendalikan
banjir.pembangunan tanggul sungai dan lainnya.
5. Penetapan dan pelaksanaan peraturan, sanksi; pemberian
penghargaan mengenai penggunaan lahan, tempat membangun
rumah, aturan bangunan.
6. Penyediaan informasi, penyuluhan, pelatihan, penyusunan
kurikulum pendidikan penanggulangan bencana.
b. Tahap Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah upaya menghadapi situasi darurat serta
mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pada
saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih
baik untuk menghadapi bencana.
Kesiapsiagaan Bencana
Upaya-upaya yang memungkinkan masyarakat (individu, kelompok,
organisasi) dapat mengatasi bahaya peristiwa alam, melalui
pembentukan struktur dan mekanisme tanggap darurat yang
sistematis.
Tujuan :
Untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana
pelayanan umum.
Kesiapsiagaan Bencana meliputi : upaya mengurangi tingkat resiko,
formulasi Rencana Darurat Bencana (Disasters Plan), pengelolaan
sumber-sumber daya masyarakat, pelatihan warga di lokasi rawan
bencana.
15

Contoh tindakan kesiapsiagaan:


1. Pembuatan sistem peringatan dini
2. Membuat sistem pemantauan ancaman
3. Membuat sistem penyebaran peringatan ancaman
4. Pembuatan rencana evakuasi
5. Membuat tempat dan sarana evakuasi
6. Penyusunan rencana darurat, rencana siaga
7. Pelatihan, gladi dan simulasi atau ujicoba
8. Memasang rambu evakuasi dan peringatan dini

Sistem Peringatan Dini :

Informasi-informasi yang diberikan kepada masyarakat tentang


kapan suatu bahaya peristiwa alam dapat diidentifikasi dan penilaian
tentang kemungkinan dampaknya pada suatu wilayah tertentu.

c. Tahap Tanggap Darurat


Serangkaian tindakan yang diambil secara cepat menyusul terjadinya
suatu peristiwa bencana, termasuk penilaian kerusakan, kebutuhan
(damage and needs assessment), penyaluran bantuan darurat, upaya
pertolongan dan pembersihan lokasi bencana.
Tanggap darurat bencana adalah upaya yang dilakukan segera setelah
bencana terjadi untuk mengurangi dampak bencana, seperti
penyelamatan jiwa dan harta benda.
Tujuan :
1. Menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia
2. Mengurangi penderitaan korban bencana
3. Meminimalkan kerugian material
16

Contoh tindakan tanggap darurat:


1. Evakuasi
2. Pencarian dan penyelamatan
3. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD)
4. Pengkajian cepat kerusakan dan kebutuhan
5. Penyediaan kebutuhan dasar seperti air dan sanitasi, pangan,
sandang, papan, kesehatan, konseling
6. Pemulihan segera fasilitas dasar seperti telekomunikasi,
transportasi, listrik, pasokan air untuk mendukung kelancaran
kegiatan tanggap darurat

d. Tahap Pasca Darurat


1. Tahap rehabilitatif (pemulihan)
Serangkaian kegiatan yang dapat membantu korban bencana untuk
kembali pada kehidupan normal yang kemudian diintegrasikan
kembali pada fungsi-fungsi yang ada di dalam masyarakat.
Termasuk didalamnya adalah penanganan korban bencana yang
mengalami trauma psikologis.
Contoh :
Renovasi atau perbaikan sarana-sarana umum, perumahan dan
tempat penampungan sampai dengan penyediaan lapangan kegiatan
untuk memulai hidup baru, memperbaiki prasarana dan
pelayanan dasar fisik, pendidikan, kesehatan, kejiwaan, ekonomi,
sosial, budaya, keamanan, lingkungan, prasarana transportasi,
penyusunan kebijakan dan pembaharuan struktur penanggulangan
bencana di pemerintahan.
2. Tahap rekonstruksi (pembangunan berkelanjutan)
Serangkaian kegiatan untuk mengembalikan situasi seperti sebelum
terjadinya bencana, termasuk pembangunan infrastruktur,
menghidupkan akses sumber-sumber ekonomi, perbaikan
lingkungan, pemberdayaan masyarakat.Berorientasi pada
17

pembangunan, tujuan : mengurangi dampak bencana, dan di lain


sisi memberikan manfaat secara ekonomis pada masyarakat.
Contoh :
Membangun prasarana dan pelayanan dasar fisik, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, lingkungan,
pembaharuan rencana tata ruang wilayah, sistem pemerintahan dan
lainnya yang memperhitungkan faktor risiko bencana

F. Komponen Yang Disiapkan Dalam Menghadapi Bencana

1. Persiapan masyarakat, triase lapangan, persiapan Rumah Sakit, dan


persiapan UGD.
Perencanaan menghadapi bencana akan mencakup banyak sumber daya:

a) Pejabat polisi, pemadam kebakaran, pertahanan sipil, pamong praja


terutama yang terlibat dalam penanganan bencana dan bahan
berbahaya.
b) Harus sering dilatih dan di evaluasi.
c) Memperhitungkan gangguan komunikasi, misalnya karena jaringan
telepon rusak atau sibuk.
d) Mempunyai pusat penyimpanan perbekalan, tergantung dari jenis
bencana yang di duga dapat terjadi.
e) Mencakup semua aspek pelayanan kesehatan dari pertolongan
pertama sampai terapi definitip.
f) Mempersiapkan transportasi penderita apabila kemampuan local
terbatas.
g) Memperhitungkan penderita yang sudah di rawat untuk kemudian di
rujuk karena masalah lain.
18

2. Perencanaan Pada Tingkat Rumah Sakit


Perencanaan bencana rumah sakit harus mulai dilaksanakan meliputi:

a) Pemberitahuan kepada semua petugas.


b) Kesiapan daerah triase dan terapi.
c) Klasifikasi penderita yang sudah di rawat, untuk penentuan sumber
daya.
d) Pemeriksaan perbekalan(darah, cairan IV, medikasi) dan bahan
lain(makanan, air, listrik, komunikasi) yang mutlak di perlukan rumah
sakit.
e) Persiapan dekontaminasi(bila diperlukan).
f) Persiapan masalah keamanan.
g) Persiapan pembentukan pusat hubungan masyarakat.

3. Pembagian Daerah Kejadian


Di tempat kejadian atau musibah masal, selalu terbagi atas:

1. Area 1 : Daerah kejadian (Hot zone)


Daerah terlarang kecuali untuk tugas penyelamat(rescue) yang sudah
memakai alat proteksi yang sudah benar dan sudah mendapat ijin
masuk dari komandan di area ini.
2. Area 2 :Daerah terbatas (Warm zone)
Di luar area 1, hanya boleh di masuki petugas khusus, seperti tim
kesehatan, dekotanminasi, petugas atau pun pasien. Pos komando utama
dan sektor kesehatan harus ada pada area ini.
3. Area 3 : Daerah bebas (Cold zone)
Di luar area 2, tamu, wartawan, masyarakat umum dapat berada di zone
ini karena jaraknya sudah aman. Pengambilan keputusan untuk
pembagian area itu adakah komando utama.
19

4. Sistem Komando Pada Musibah Masal

Pada setiap bencana atau musibah masal harus ada komandan. Pada
umumnya komandan ini berasal dari kepolisian, di daerah militer
(komandan adalah militer setempat).
Unsur yang mungkin terllibat:

a) Keamanan : kepolisian dan TNI


b) Rescue : pemadam kebakaran, Basarnas
c) Kesehatan
d) Sukarelawan (hampir selalu PMI terlibat)
e) Masyarakat umum

Bila bencana pada tingkat kabupaten, dan masih dapat menanggulangi


sendiri, maka pimpinan akan diambil ahli oleh bupati melalui satlak PBP
(Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Dan Pengungsi). Bila pada
tingkat provinsi dan skalanya bencana lebih besar, maka pimpinan akan
diambiil ahli oleh gubernur malalui satkorlak PBP (Satuan Koordinasi
Palaksana Penanggulangan Bencana Dan Pengungsi). Bila bencana sangat
besar dan mencapai tingkatan nasional, maka pimpinan diambil oleh
pimpinan negagra dan dilaksanakan oleh Bakornas PBP (Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Dan Pengungsi). Di pos
kemando utama akan diatur:

a) Sturktur komando
b) Operasional
c) Logistic
d) Perancanaan
e) Keuangan
f) Atau kepala pelabuhan udara, kesehatan diharapkanmempunyai sector
sendiri untuk kegiatan penanganan penderita gawat darurat, yang terdiri
dari komponen: triase (pemilahan Penderita)
g) Terapi (pengobatan sementara) dan Transportasi (rujukan),
20

5. Komando Kesehatan Dan Tugas Awal

Pimpinan kesehatan dilapangan dapat berbeda-beda, tergantung dari


besarnya musibah masal atau bencana, dan kondisi setempat yang jelas,
saat kita tiba didaerah masal, dan belum ada petugas lain, maka untuk
sementara kota adalah pimpinan tim kesehatan.
Pada saat awal, maka yang harus dilakuakan adalah:
a) Penilaian cepat
b) Triase penderita
c) Penanganan penderita
d) Penilaian cepat dan pelaporan

Apabila kita pertama tiba didaerah bencana atau musibah masal, maka
yang harus dilakukan adalah:
a) Keadaan keamanan daerah bencana atau musibah masal
b) Jumlah penderita
c) Keperluan penyelamatan atau rescue
d) Jumlah ambulance yang dipelukan
e) Unsur-unsur lain yang diperlukan ( pemadam kebakaran, kesehatan
dsb )
f) Jumlah sector kesehatan yang mungkin akan diperlukan

6. Triase Lapangan
Triase lapangan merupakan proses memilih atau mengkaji korban
bencana berdasarkan beratnya cidera dan besarnya kemungkinankorban
untuk diselamatkan dengan tindakan medis.
21

Dua Macam Kategori Triase Lapangan


Klasifikasi Triase Nato
Klasifikasi Triase dengan Kode Warna
Konvensional
T1. Pembedahan segera: untuk Merah/darurat: prioritas 1: pasien kritis
menyelamatkan jiwa atau anggota yang dapat hidup dengan intervensi, tidak
tubuh. Waktu operasi minimal. memerlukan personil dan sumber daya
Kualitas keberhasilan hidup dalam jumlah yang berarti.
diharapkan baik

T2. Ditunda: pembedahan memakan Kuning/urgen: prioritas 2: korban


banyak waktu. Jiwa korban tidak mempunnyai kemungkinan tetap hidup
terancam olen penundaan operasi dan kondisinya tetap stabil selama
stabilisasi keadaan korban, beberapa jam dengan dilakukannya
meminimalkan efek penundaan. tindakan stabilisasi.

T3. Minimal: cidera ringan ditangani


oleh staf dengan pekatihan minimal. Hijau/non urgensi: prioritas 3: cidera
ringan yang dapat diatasi oleh petugas
dengan pelatihan minimal dan dapat
menunggu sampai korban cidera lainnya
selesai ditangani.
T4. Ekspektan: cidera serius dan
multiple. Penanganan kompleks dan
memakan waktu. Penangan Biru/urgensi bervariasi: prioritas 2/3:
memerlukan banyak personil dan korban dengan cidera berat yang
sumber daya. diperkirakan tidak akan bertahan hidup
kecuali bila dilakukan tindakan dengan
segera.

Korban ini akan menuntut sumber daya


22

terlalu banyak yang seharusnya dapat


menyelamatkan pasien lain yang dapat
bertahan hidup dan mungkin menempati
prioritas terendah bila sumber daya yang
ada terbatas. Warna biru kadang-kadang
digunakan untuk menggantikan warna
hitam karena banyak petugas mengalami
kesulitan dalam menempati korban
kedalam kategori pasien yang
memerlukan terapi paliatif saja.
Hitam/ekspektan: tidak terdapat prioritas
yang nyata. Korban menderita cidera
hebat dengan kecil kemungkianan untuk
hidup atau koraban sudah meninggal.
Prioritas yang harus dilkaukan hanyalah
tindakan untuk memberikan kenyamanan
kepada orang yang sedang berada dalam
proses kematian.

Penderita gawat darurat dapat terbagi atas:


a) Prioritas utama atau prioritas tertinggi (warnah merah) ada gangguan A-B-C.
Contoh: Penderita sesak (gangguan airway), cervical-spine injury,
pneumothorax, perdarahan hebat, shock, hypotermi.
Tindakan gawat darurat :
(1) Airway
Periksa apakah masih bernapas dengan membuka jalan napas head tilt,
chin lift dan jaw trust.
(2) Breathing
Periksa frekuensi pernapasan , bila lebih dari 30 Kali permenit: Merah.
(3) Circulation
23

Periksa dengan cepat adanya pengisihan kembali kapiler (capiilary refill)


Bila lebih dari 2 detik : Merah.
b) Prioritas tidak gawat, darurat warna kuning
Contoh cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak
berat, serta luka bakar ringan). Tindakan kegawat daruratan pada klien ini
dengan menilai kesadaran klien (GCS) jika klien dapat mengikuti perintah
maka termasuk tidak gawat tapi darurat.

b) Prioritas rendah warna hijau


Contoh: Patah tulang paha, luka bakar tanpa gangguan airway. Klien di
tempatkan pada tempat yang aman dan menangani cidera klien.

d) Bukan prioritas (warna hitam).


Contoh: Sudah meninggal. Pasien meninggal atau cedera fatal yang jelas
dan tidak mungkin diresusitasi.

Cara Melakukan Triase:


Pelaksanaan triase dengan cara menurut START (Simple Triage And Rapid
Treatment). Cara ini memilih penderita tetap menurut prinsip A-B-C. Pada tahap
ini jangan melakukan terapi, hanya memberikan tanda prioritas.
a) Awal
(1) Panggil semua penderita yang dapat berjalan, dan perintahkan untuk
pergi kedaerah tertentu atau daerah yang sudah aman
(2) Semua penderita ditempat ini mendapatkan kartu hijau
b) Airway
(1) Pergi ke penderita yang dekat, dan periksalah apakah masih bernafas
(2) Bila sudah tidak bernapas, buka airway, dan lihatlah apakah tetap tidak
bernapas
Bila tetap tidak bernapas : Hitam
Bila bernapas kembali : Merah
(3) Bila bernapas spontan pergi ketahap berikutnya (breathing)
24

c) Breathing
(1) Bila penderita dapat bernapas spontan, hitung kecepatan pernapasan.
(2) Bila lebih dari 30 Kali permenit: Merah.
(3) Bila kurang dari 30 kali permenit, pergi ke tahap berikutnya.
d) Circulation
(1) Periksa dengan cepat adanya pengisihan kembali kapiler (capiilary
refill).
(2) Bila lebih dari 2 detik : Merah.
(3) Bila kurang dari 2 detik : pergi ketahap berikutnya.
e) Kesadaran penderita harus mengikuti perintah kita ( angkat tanganya?)
(1) Tidak dapat mengikuti perintah : Merah.
(2) Dapat mengikuti perintah : Kuning.

7. Langkah-langkah dalam penanggulangan bencana


1) Pengkajian awal terhadap korban bencana,yang mencakup :
a) Keadaan jalan napas, apakah terdapat sumbatan napas. Sifat
pernapasan dengan cepat, lambat, tidak teratur.
b) Sistem Kardiovaskular, meliputi tekanan darah tinggi atau rendah,nadi
cepat atau lemah.
c) Sistem muskuloskletal, seperti luka, trauma, fraktur.
d) Tingkat kesedaran, composmentis - coma.
2) Pertolongan darurat
Evaluasi melalui sistem triaget sesuai dengan urutan Prioritas.
a) Atasi masalah jalan napas, atur posisi (semi fowler, fowler tinggi),
bebaskan jalan nafas dari sumbatan, berikan oksigen sesuai
kebutuhan, awasi pernapasan.
b) Atasi perdarahan,bersihkan luka dari kotoran dan benda asing,
desinfektan luka,biarkan darah yang membeku, balut luka.
c) Fraktur atau trauma, imobilisasi dengan memakai spalak,balut.
d) Kesadaran terganggu, bebaskan jalan napas, awasi tingkat kesadaran
dan tanda vital
25

3) Rujukan segera ke puskesmas/rumah sakit


Dengan menyiapkan ambulans dan melakukan komunikasi sentral ke
pusat rujukan.

G. PENANGANAN DAN PENATALAKSANAAN KASUS


Pertolongan pada penderita gawat darurat membutuhkan suatu sistem yang
melibatkan banyak komponen yang terintegrasi, dikenal dengan Sistem
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). SPGDT adalah satu
sistem yang bertujuan untuk melakukan penanganan pada penderita gawat
darurat dengan melibatkan seluruh komponen dan sumber daya untuk
menyelamatkan jiwa penderita dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
Komponen tersebut mencakup fase pra-Fasilitas Pelayanan Kesehatan, intra
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
1. Fase Pra-Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), mencakup:
a. First Responder
First Responder adalah orang yang pertama kali menemukan korban
gawat darurat/korban kecelakaan. Seorang first responder meliputi
orang awam (orang umum di sekitar kejadian) dan orang awam
khusus (pemadam kebakaran, polisi, tim SAR).
Keberadaan seorang first responder ini dapat menentukan
keselamatan jiwa korban. Orang umum di sekitar kejadian sangat
membantu dalam mencari pertolongan melalui pusat komunikasi.
Seorang first responder terlatih dapat melakukan pertolongan pertama
pada korban gawat darurat sebelum bantuan medis datang. First
responder terlatih minimal harus sudah mengikuti pelatihan First Aid
atau Basic Life Support (BLS).
26

b. Emergency Dispatch communication / Dispatcher

Gambar 3.1 Emergency Dispatch Comunication: Pusat Penerima


dan Distribusi Informasi

Komponen paling vital pada fase pra-Fasyankes adalah adanya pusat


komunikasi/emergency dispatch communication yang berperan dalam
mengumpulkan informasi dari first responder, memberikan bimbingan
pertolongan pertama bagi korban, distribusi informasi kepada tim
ambulans dan rumah sakit. Dispatcher berperan dalam mencari rumah
sakit yang terdekat dan sesuai dengan kebutuhan korban, sehingga
korban dirujuk pada rumah sakit yang tepat. Selain itu, rumah sakit
juga dapat mempersiapkan ruangan, peralatan maupun tenaga medis
bagi korban yang akan dirujuk.
c. Emergency Ambulance

Gambar 3.2 Advanced Ambulance


27

Ambulans berfungsi untuk mendekatkan fasilitas gawat darurat ke


penderita, sehingga ambulans yang digunakan harus minimal memiliki
fasilitas untuk melakukan stabilisasi pada jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi korban (Basic Ambulance). Korban yang mengalami cedera
yang serius ataupun mengalami serangan jantung sebaiknya
menggunakan advanced ambulance yang memiliki peralatan lebih
lengkap (mencakup peralatan untuk intubasi, monitor jantung,
AED/defibrilator, dan obat-obatan emergency). Selain fasilitas,
ambulans gawat darurat harus didukung oleh petugas terlatih (dokter,
perawat, supir) dalam penanganan penderita gawat darurat.
Pelayanan kegawatdaruratan pra-rumah sakit mengacu pada protokol
yang telah ditentukan. Hal tersebut merupakan aspek etik legal yang
harus dijalankan oleh setiap petugas ambulans. Protokol tersebut
mengacu pada Standar Operating Procedure (SOP) yang telah
disusun oleh tim ahli sebagai offline medical direction. Sedangkan
kasus-kasus khusus yang tidak tertuang dalam SOP, petugas lapangan
akan diberikan bimbingan tindakan dan monitoring langsung dari
dokter (online medical direction).

2. Fase Intra-Fasyankes, mencakup:


a. Ketersediaan Emergency Call Center
Keberadaan Emergency Call Center sangat vital dan menjadi
jembatan antara fase pra-Fasyankes dan fase Fasyankes. Emergency
Call Center mendapatkan informasi dari Dispatcher, sehingga rumah
sakit dapat dengan cepat mempersiapkan kebutuhan ruangan, tim
medis dan juga fasilitas/peralatan yang diperlukan.
b. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan mencakup pelayanan di setiap ruangan, baik di
IGD, Kamar Operasi, HCU, ICU, ICCU, maupun ruang perawatan.
Masing-masing ruangan harus terintegrasi satu sama lain, dan
28

memiliki fasilitas yang memadai. Kompetensi petugas medis harus


disesuaikan dengan kebutuhan pada masing-masing ruangan.

3. Fase Antar-Fasyankes, mencakup:


a. Sistem Rujukan
Bila suatu Fasilitas Pelayanan Kesehatan tidak mampu untuk
menangani korban gawat darurat karena kurangnya fasilitas ataupun
SDM Kesehatan, maka Fasyankes tersebut harus melakukan rujukan
ke rumah sakit yang memiliki grade lebih tinggi. Fasyankes tersebut
harus memiliki sistem rujukan yang baik sehingga proses rujukan
korban dapat dilakukan dengan tepat, cepat, efektif dan efisien. Hal
tersebut tentunya didukung oleh sistem komunikasi yang bagus.

b. Sistem Transportasi
Proses rujukan tentunya memerlukan sistem transportasi memadai.
Penderita gawat darurat harus dievakuasi dengan menggunakan
ambulans yang sesuai (basic hingga advanced ambulance) dan
didukung oleh petugas terlatih. Bila fasyankes tidak memiliki fasilitas
maupun SDM Kesehatan yang memadai untuk melakukan evakuasi
pasien rujukan, fasyankes tersebut dapat menggunakan jasa pihak
ketiga untuk melakukan evakuasi medis dengan menggunakan
fasilitas lengkap dan petugas terlatih.
Ketiga fase di atas (fase Pra-Fasyankes, Fasyankes dan antar
Fasyankes), harus terintegrasi sehingga pertolongan pada penderita
gawat darurat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. SPGDT yang
berjalan dengan baik dapat menurunkan tingkat kecacatan maupun
kematian pada penderita gawat darurat. Diperlukan adanya kerja keras
dan keseriusan dari semua komponen untuk dapat mewujudkan
SPGDT yang baik di Indonesia.
29

Gambar 3.3 Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu

H. KEBIJAKAN MANAJEMEN BENCANA


Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan manajemen bencana
mengalami beberapa perubahan kecenderungan. Beberapa kecenderungan
yang perlu diperhatikan adalah:
1. Konteks politik yang semakin mendorong kebijakan manajemen bencana
menjadi tanggung jawab legal.
2. Penekanan yang semakin besar pada peningkatan ketahanan masyarakat
atau pengurangan kerentanan.
3. Solusi manajemen bencana ditekankan pada pengorganisasian masyarakat
dan proses pembangunan.

Dalam penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang


pada umumnya terjadi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda,
pengambilan keputusan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
evaluasi kebijakan. Di dalam kasus Indonesia, Pemerintah Pusat saat ini
berada pada tahap formulasi kebijakan (proses penyusunan beberapa
30

Peraturan Pemerintah sedang berlangsung) dan implementasi kebijakan


(BNPB telah dibentuk dan sedang mendorong proses pembentukan BPBD di
daerah). Sementara Pemerintah Daerah sedang berada pada tahap penetapan
agenda dan pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang mengalami
bencana besar sudah melangkah lebih jauh pada tahap formulasi kebijakan
dan implementasi kebijakan.

Kebijakan manajemen bencana yang ideal selain harus dikembangkan


melalui proses yang benar, juga perlu secara jelas menetapkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
2. Alokasi sumberdaya yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta
antara berbagai fungsi yang terkait.
3. Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan tegas.
4. Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai portofolio lembaga yang
terkait dengan bencana.

Sistem kelembagaan penanggulangan bencana yang dikembangkan di


Indonesia dan menjadi salah satu fokus studi bersifat kontekstual. Di daerah
terdapat beberapa lembaga dan mekanisme yang sebelumnya sudah ada dan
berjalan. Kebijakan kelembagaan yang didesain dari Pemerintah Pusat akan
berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme yang ada serta secara khusus
dengan orang-orang yang selama ini terlibat di dalam kegiatan
penanggulangan bencana.

Melalui UU No. 24 tahun 2007, Pemerintah Indonesia telah memulai proses


penyusunan kebijakan menajemen bencana. Beberapa PP yang terkait telah
dikeluarkan (PP No. 21, 22, 23 tahun 2008), sementara beberapa PP lain
sedang dipersiapkan.
31

I. PERAN PERAWAT

Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana

b. Mengenali instruksi ancaman bahaya, mengidentifikasi kebutuhan-


kebutuhan saat fase emergency (makanan, air, obat- obatan, pakaian dan
selimut, serta tenda)
c. Melatih penanganan pertama korban bencana.
d. Berkoordinasi dengan berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat
e. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
dalam penanggulangan ancaman bencana.
f. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana.
g. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Peran Perawat Di Dalam Posko Pengungsian Dan Posko Bencana

a. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan


sehari-hari
b. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian
c. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS
d. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
e. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan
32

f. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit menular


maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri dan
lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa
g. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban (ansietas,
depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis dan mengisolasi
diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia, fatigue,
mual muntah dan kelemahan otot)
h. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat dilakukan
dengan memodifikasi lingkungan, misalnya dengan terapi bermain
i. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para psikolog
dan psikiater. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai
pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
33

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ancaman bahaya/hazard dapat datang kapan saja dan dimana pun kita berada,
tanpa mengenal kompromi. Tidak peduli apakah kita siap atau tidak dalam
menghadapinya. Untuk itu diperlukan suatu sistem dan rencana
penanggulangan bencana yang komprehensif dan terintegrasi, mulai dari
tahap pencegahan dan mitigasi sampai dengan tahap pasca bencana, agar
bahaya tersebut tidak menjadi bencana yang dapat menimbulkan dampak
yang begitu besar bagi masyarakat.
Sebagai tenaga profesional, seorang perawat harus mempunyai pengetahuan
dan wawasan yang cukup tentang bencana, agar dapat menjalankan perannya
dengan baik sewaktu-waktu datangnya bencana. Dengan mengetahui dan
memahami konseptentang bencana, diharapkan seorang perawat dapat
mengambil sikap yang cepat dan tepat, serta dapat berkoordinasi secara baik
dengan pihak-pihak terkait, sehingga dapat mengambil langkah dan tindakan
yang tepat dalam menanggulangi bencana.

B. SARAN
Suatu sistem dan perencanaan penanggulangan bencana yang tepat,
hendaknya dapat dilaksanakan dengan baik oleh setiap elemen masyarakat
dan juga pihak/instansi terkait. Perlu koordinasi yang baik antar berbagai
pihak, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga-lembaga
terkait dan juga masyarakat. Sehingga sistem dan perencanaan
penanggulangan bencana yang telah dibuat dapat dilaksananakan
sebagaimana mestinya.
34

DAFTAR PUSTAKA

Kissanti, A. (2012). Panduan Lengkap Pertolongan Pertama Pada Darurat Klinis.

Yogyakarta: Araska

Morton, P.G. (2011). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

Pusponegoro, A. D. (1999). Penanggulangan Penderita Gawat Darurat. Jakarta :

Indonesia Critical Care Medicine.

Skeet, M. (1988). Emergency Procedures And First Aid For Nurses. Blackwell

Scientific Publication.

Thygerson, A. (2009). Pertolongan Pertama. Jakarta : Erlangga

Kholid, Ahmad, Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan Bencana

Depkes RI , 2007, Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana,

Kementerian Kesehatan RI.

BNPB, 2008, Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, BNPB RI

Depkes RI, 2002, Pedoman Koordinasi Penanggulangan BencanaDi Lapangan,

Kementerian Kesehatan RI.

https://endrosambodo1984.wordpress.com/2012/04/18/manajemen-bencana/

Anda mungkin juga menyukai