Anda di halaman 1dari 39

A.

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan

kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain

yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini

meliputi unstable angina pectoris sampai perkembangan miokard infark

akut. Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis

dengan diikuti agregasi trombosit dan pembentukn trombus intrakoroner.1

SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit

jantung koroner (PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain

strok iskemia serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis

merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan

multifaktor serta saling terkait.2

Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh

karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot

jantung. Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti

oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard

infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral.3

Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih

dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran

elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada

terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau

latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang yang besar,

elevasi segmen ST dan inversi gelombang. Pada nekrosis oto jantung,

1
protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial da masuk ke

sirkulasi sistemik melalui mikrovaskular lokal.5

A. DEFENISI NON ST ELEVASI MIOKARDIAL INFARK

Angina pectoris tidak stabil dan infark miokard akut tanpa elevasi ST

(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesimnambungan dengan kemiripan

patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan

keduannya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien

dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard

berupa peningkatan biomarker jantung.4

B. EPIDEMIOLOGI

Insidensi sesungguhnya dari infark miokard akut tidak diketahui namun

sekitar 150.000 kematian akibat SKA terjadi di inggris tahun 1995.

Insidensi dan mortalitas infark miokard akut membaik seiring waktu sebagai

hasil dari usaha-usaha yang ditargetkan pada pencegahan primer dan

pengurangan faktor risiko, kesadaran pasien, tenaga paramedis ambulans,

unit perawatan korone, terapi obat, trombolisis, rehabilitasi, strafikasi pasca

infark dan revaskularisasi. 5

C. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor risiko

konvensional dan faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan

proses aterotrombosis.6

Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,

hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di

2
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi. Sedangkan beberapa

faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a). Di

antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak

dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.

Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya

mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor

aterogenik. 7

Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa

menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini

diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen. Faktor-faktor risiko

lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses

aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum,

hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak

jenuh, kolesterol, dan kalori.2

SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun

begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit

tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45

tahun untuk mendefenisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung

koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang

rendah pada usia muda.1

3
D. ETIOLOGI 8

1. RUPTUR PLAK

Ruptur plak aterosklerosis dianggap penyebab terpenting angina

pectoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total

dari pembuluh darah koroner yang sebelumnya mempunyai

penyempitan yang minimal. Plak aterosklerosis terdiri dari inti yang

mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik. Plak yang

tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya

infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang

berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu timbunan lemak.

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet

dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus

menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan levasi

segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya

menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tidak stabil.

2. TROMBOSIS DAN AGREGASI TROMBOSIT

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu

dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak

terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel

otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan

terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,

sedangkan sel otot polos dan sel busa )foam sel) yang ada dalam plak

berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil.

4
Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan

faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang

menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap

gangguan faal endotel terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan

isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi

dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan

dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan

dalam memulai trombosis yang intermitten pada angina tal stabil.

3. VASOSPASME

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada

angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan

vasoaktif yang dproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam

tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.

4. EROSI PADA PLAK TANPA RUPTUR

Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya

proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan

endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot

polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan

keluhan iskemi

5
E. PATOFISIOLOGI

Mekanisme timbulnya angina pectoris didasarkan pada ketidakadekuatan

suplai oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan

arteri dan penyempitan lumen arteri koroner. Tidak diketahui secara ada

penyebab arterosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang

bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis. Pada saat beban

kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat.

Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri

koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke

otot jantung. Akan tetapi apabila arteri korner mengalami kekakuan atau

penyempitan akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon

terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi iskemia

(kekurangan suplai darah) miokardium. Adanya endotel yang cedera

mengakibatkan hilangnya produksi NO (Nitrit Oksid) yang berfungsi untuk

menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidaka danya fungsi ini

6
dapat menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasme koroner

yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard

berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang

begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75%

serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan

berkurang. Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan

glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses

pembentukan energi ini sangat tidak efesien dan menyebabkan terbentuknya

asam laktat. Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan

nyeri yang berkaitan dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-

sel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot

kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini

tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangkan penimbunan asam

laktat, nyeri angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris

adalah suatu keadaan yang berlangsung singkat.9

F. DIAGNOSIS

Diagnosis angina pectoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non

ST elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina atipikal yang

dapat disertai dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa

peningkatan marka jantung. Jika marka jantung meningkat, diagnosis

mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis mengarah ke UAP.

Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi menjadi infark

miokard tanpa gelombang Q.

7
1. ANAMNESIS

Keluhan umumya berupa angina untuk pertama kali atau

keluhan angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada

angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama mungkin timbul pada waktu

istirahat atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat

diserta keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak khas.

Keluhan berupa angina tipikal berupa rasa tertekan/ berat daerah

retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,

bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermitten/

beberapa menit atau persisten (>20menit). Keluhan aangina atipikal

sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri

abdominal, sesak napas dan sinkop. 10,11

Presentase klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa :

a. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit.

Dialami oleh sebagian besar pasien (80%).

b. Angina awitan baru terdapat pada 20% pasien.

c. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina

progresif atau kresendo) menjadi makin sering, lebih lama,

atau menjadi makin berat

2. PEMERIKSAAN FISIK

Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisis adalah untuk menegakkan

diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu,

pemeriksaan fisis jika digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis),

8
dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada. Sewaktu

angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat

terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik didaerah apeks.

Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada

waktu serangan angina. 10,11

Kemungkinan Besar. Kemungkinan Sedang . Kemungkinan kecil.

Salah satu dari Salah satu dari : Salah satu dari :

Anamnesis Nyeri dada atau lengan Nyeri dada atau di lengan Nyeri dada tidak khas

kiri yang berulang. kiri. angina

Mempunyai riwayat PJK Pria, usia 70 tahun,

termasuk infark miokard Diabetes melitus

Pemfis Regurgitasi mitral , Penyakit vaskular ekstra Nyeri dada timbul

Hipotensi, diaphoresis, kardia setiap dilakukan

Edema paru, atau ronkhi palpasi.

EKG Depresi segmen ST 1 Gelombang Q yang Gelombang T mendatar

mm atau inversi menetap. atau inversi 1mm di

gelombang T yang baru Depresi segmen ST 0,5-1 sadapan dengan

(atau dianggap baru) di mm atau inversi gelombang gelombang R yang

beberapa sadapan T1 mm. dominan.

prekordial.

Marka Kadar troponin I/T atau Normal Normal

Jantung CKMB meningkat

Table 1

9
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. ELEKTROKARDIOGRAM (EKG) 11,12

EKG merupakan alat pemeriksaan yang paling murah dan paling

cepat mendeteksi SKA. Indikasi pemeriksaan EKG adalah :

1) Pasien dengan keluhan nyeri dada (terutama dada kiri), sesak

atau selalu merasa lelah

2) Penderita pasca serangan jantung

3) Penderita tekanan darah tinggi atau dengan gejala gagal jantung

4) Penderita yang mengalami gangguan irama jantung

5) Penderita yang pingsan tiba-tiba

6) Penderita yang memakai alat pacu jantung.

Perekam EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis

pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG

sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman

EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG

serial atau pemantauan terus menerus. EKG yang mungkin dijumpai

pada pasien NSTEMI dan UAP anatara lain :

1) Depresi segmen ST dan/ atau inversi gelombang T, dapat disertai

dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (20 menit).

2) Gelombang Q yang menetap

3) Nondiagnostik

4) Normal

10
Depresi segmen ST 0,5mm di dua atau lebih sadapam berdekatan

sugestif untuk diagnositik UAP atau STEMI, tetapi menginat

kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil, diagnosis lebih

relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST 1mm. Depresi

segmen ST 1mm dan/ atau inversi gelombang T2mm dibeberapa

sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau

NSTEMI. Gelombang Q 0,04 detik tanpa disertai depresi segmen

ST dan/ atau inversi gelombang T menunjukkan tingkat

persangkaanterhadap SKA tidak tinggi sehingga diagnosis yang

seharusnya dibuat adalah kemungkinan SKA atau Defenitif SKA.

Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnosti,

sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20

menit kemudian. Pada keadaan dimana EKG ulang tetap

menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung

negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien

dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam

dan setiap terjadi angina berulang.

Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST,

depresi segmen ST disertai inversi gelombang T. Perubahan EKG

pada ATS bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi

sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul disaat

serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah

11
keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut

menetap setelah 24 jam maka disebut sebagai IMA.

Sadapan dengan deviasi segmen ST Lokasi Iskemia atau infark

V1-V4 Anterior

V5-V6, I, AVL Lateral

II, III, aVF Inferior

V7-V9 Posterior

V3R, V4R Ventrikel kanan

Tabel 2

b. MARKA JANTUNG 11,12

Pemeriksaan troponin I/T adalah standarr baku emas dalam

diagnosis NSTEMI, dimana peningkatan kadar marka jantung

tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan

troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan

kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis

NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit

melampaui nilai normal atas. Dalam menentukan kapan marka

jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan

ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif

pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis infark miokardium akut.

12
Kadar troponin pada pasien infark miokardium akut meningkat

didalam darah perifer 3-4jam setelah awitan infark dan menetap

sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya

menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis yang

luas, peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu.

Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat,

nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit ditas

nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.

Perlu di ingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI,

peningkatan kadar torponin juga dapat terjadi akibat :

1) Takiaritmia atau bradiaritmia berat

2) Miokarditis

3) Dissecting aneurysm

4) Emboli paru

5) Gangguan ginjal akut atau kronik

6) Stroke atau perdarahan subarakhnoid

7) Penyakit kritis terutama pada sepsis .

Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB

dapat digunakan, CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6

jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.

13
c. ECHOCARDIOGRAPHY 11,12

Echocardiography adalah suatu prosedur yang menggunakan

gelombang suara ultra untuk menilai struktur dan fungsi jantung.

Alat ini dapat mengvisualisasikan secara langsung janung maka alat

ini digunakan terutama untuk mendiagnosis penyakit jantung

bawaan pada anak misalnya atrial septal defect (ASD), Ventriicular

septal defect (VSD), tetralogy Of fallot (TOF) dan sebagainya.

Selain itu, alat ini sangat baik untuk melihat kondisi untuk meliaht

kondisi katup jantung. Dengna menilai pergerakan dinding Jntung,

alat ini dapat memprediksi adanya gangguan alran darah di arteri

koroner tertentu. Misalnya apeks terjadi hipokinesis maka

14
kemungkinan ada stenosis pada elf anterior decendens (LAD), atau

jika di dinding inferior terjadi akinesis maka kemungkinan besar

terjadi stenosis di Right Coronary Artery (RAD). Ekokardiografi

sangat berguna untuk menilai berat ringannya penyakit. Fungsi

jantung yang dinilai dari fraksi ejeksi (EF), apabila menurun

misalnya 30% (>60%), maka dapat diprediksikan bahwa pasien ini

memiliki penyakit PJK, yang berat dengan prognosis jelek.

Indikais

1) Penyakit katup jantung, atau pasien yang pada pemeriksaan

jantung ditemukan bising jantung.

2) Kondisi dimana ada bukti penyakit jantung bawaan

3) Evaluasi kondisi aorta

4) Hipertensi pulmonal. Massa intrakardiak termasuk emboli, efusi

perikard.

5) Untuk menilai fungsi jantung : pada apsien PJK dapat diketahui

berat ringannya penyakit ; kondisi sebelum dan sesudah operasi

jantung atau gagal jantung

Ekokardiografi tidak direkomendasikan untuk menentukan ada

tidaknya PJK, akan tetapi ekokardiografidapat menentukan tingkat

keparahan dan lokasi penyakit.

d. ANGIORAFI KORNER (KATETERISASI JANTUNG) 12

Angiografi korner adalah suatu cara dengan menggunakan sinar X

dan kontras yang disuntikkan ke dalam arteri koroner untuk melihat

15
apakah ada penyempitan pada arteri koroneria. Pemeriksaan ini

dilakukan pada kamar khusus yang disebet laboratorium kateterisasi.

Kamar ini tampak seperti kamar operasi karena harus steril.

Sebelum pasien di kateterisasi jantung, biasanya dokter melakukan

pemeriksaan fisis dan laboratorium untuk menentukan apakah dia

mampu dan tidak ada kontra indikasi untuk melakukan kateterisasi.

Hasil kateterisasi jantung pada umumnya dapat dibagi empat :

1) Arteri koronaria normal atau ada penyempitan yang tidak

bermakna. Pasien golongan ini biasanya tidak dilakukan

intervensi lebih lanjut.

2) Didapatkan penyempitan arteri koronaria yang cukup bermakna

yang penyempitan 70% dan yang struktur anatominya cocok

unutk dilebarkan dengan angioplasti ditambah stenting (PCI).

3) Ditemukan penyempitan yang bermakna namun tidak

memungkinkan dilakukan angioplasti akan tetapi cocok

dilakukan operasi bypass sebagai contoh penyempitan cukup

bermakna terjadi dicabang paling besar atau disebut left main,

atau penyempitan terjadi dipangkal dua arteri ebsar, sedangkan

pembuluh dibagian sesudah penyempitan kondisi baik, maka

pasien ini dianjurkan untuk dilakukan operasi bypass.

4) Ditemukan penyempitan berat dimana-mana yang tidak cocok

untuk dilakukan PCI ataupun operasi bypass. Pasien golongan ini

hanya dapat diberikan obat-obatan.

16
Oleh karena tindakan kateterisasi jantung bukan tanpa risiko, maka

perlu indikasi yang tepat bagi pasien yang akan dilakukan

kateterisasi jantung.

Indikasi kateterisasi jantung :

1) Riwayat henti jantung pasca infark miokardia atau tanpa infark

miokard. Karena adanya riwayat henti jantung menunjukkan

pasien memiliki risiko tinggi mati mendadak

2) Treadmill test positif yaitu pada waktu dilakukan tes timbul

gejala nyeri adad disertai perubahan gambaran EKG

3) Angina pektoris pasca infark miokard

4) Pasien umur >40 tahun yang akan dilakukan operasi katup

jantung. Hal ini disebabkan karena penderita umur >40 tahun

sudah memiliki kemungkinan akan adanyya penyempitan arteri

koroner, maka perlu dilakukan kateterisasi jantung dengan

tujuan, apabila memang ada penyempitan, maka pada waktu

dilakukan operasi katup sekalian dilakukan operasi bypass.

5) Situasi khusus untuk pasien yang memiliki tanggung jawab besar

seperti ppilot, walaupun keluhan nyeri dada tidak khas namun

memiliki banyak faktr risiko, atau pada EKG gambaran LBBB

atau LVH yang menghalangai interpretasi Treadmill test.

17
G. STRATIFIKASI FAKTOR RISIKO 11

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk

SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI

(Thrombolysis In Myocardial Infarction), dan GRACE (Global Registry of

Acute Coronary Events, sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk

stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with

Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk

menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan . Stratifikasi perdarahan penting

untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi

18
risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya

(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang

masing-masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah

usia 65 tahun, 3 faktor risiko, stenosis koroner 50%, deviasi segmen ST

pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu,

peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir.

Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner 50% merupakan variabel

yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko

kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian

kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian

kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk

prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA

termasuk UAP/NSTEMI.

Tabel 3

19
Tabel 4

Klasifikasi GRACE (Tabel 5) mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas

Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang

gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut

jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di

rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi

kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE 108 dianggap

mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan

skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian

menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan

setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE 88 dianggap

mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan

skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian

menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).

20
Tabel 5

21
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga

segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin.

Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor

selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain

kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal

jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah

sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor,

namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE

yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.

22
Tabel 6

23
Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat

risiko perdarahan, yang dapat dilihat dalam tabel 7

Tabel 7

Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan di atas, untuk tujuan revaskularisasi

dan strategi invasif, pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok risiko, yaitu

risiko sangat tinggi dan risiko tinggi. Penentuan faktor risiko ini berperan dalam

penentuan perlu-tidaknya dilakukan angiografi dan waktu dari tindakan tersebut.

Kriteria faktor risiko untuk strategi invasif dapat dilihat di tabel 8 dan 9.

24
Tabel 8

Tabel 9

H. PERTANDA PENINGKATAN RISIKO 11

1. Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti usia lanjut, adanya

diabetes, gagal ginjal dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat

diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala

saat istirahat memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang

berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi dan gagal

jantung juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan

diagnosis dan penanganan segera.

25
2. Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien dengan EKG

yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik

dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya

depresi segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan

anterior, depresi segmen ST 0,1 mV atau 0,05 mV di dua atau lebih

sadapan yang bersebelahan, dan elevasi segmen ST 0,1 mV di sadapan

aVR memberikan prognosis yang lebih buruk.

I. PENATALAKSANAAN 11,12

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk

dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi

invasif melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien

dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan

angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi

4 kategori, yaitu:

1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C). Dilakukan bila

pasien memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high

risk) (Tabel 10)

2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A). Dilakukan bila

pasien memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria

risiko tinggi (high risk) primer (Tabel 11)

3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A). Dilakukan bila

pasien memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau

dengan gejala berulang.

26
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif

(Kelas III-A). Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak

dilakukan secara rutin.

Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko

tinggi dan dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria

berikut ini:

1. Nyeri dada tidak berulang

2. Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung

3. Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam

ke-6 hingga 9)

4. Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6

hingga 9)

5. Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI

juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan

strategi konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini

berdasarkan evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress

test untuk menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible)

untuk perencanaan pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif.

Risk Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan

revaskularisasi. Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan

penjelasan di atas.

27
OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN :

1. Anti Iskemia

a. Penyekat Beta (Beta blocker).

Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya

terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi

oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien

dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma

bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus,

preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.

Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI,

terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama

tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-B). penyekat beta oral

hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat

beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi

ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B).

Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan

penyekat beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan

kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip III (Kelas I-B). Beberapa

penyekat beta yang sering dipakai dalam praktek klinik dapat dilihat

pada tabel 12.

28
Tabel 10

b. Nitrat

Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang

mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik

ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang.

Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik

yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.

1) Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam

fase akut dari episode angina (Kelas I-C).

2) Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada

berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit

sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus

dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada

indikasi kontra (Kelas I-C).

3) Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal

jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI.

Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh

29
menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas

seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes

inhibitor (ACE-I) (Kelas I-B).

4) Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik

<90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia

berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung,

atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).

5) Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah

mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam,

tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat

setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas III-

C).

Tabel 11

c. Calcium channel blockers (CCBs)

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan

sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya

verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV

30
Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB

tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang.

Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan

obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi

menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya

memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam

mengatasi keluhan angina.

1) CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala

bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta

(Kelas I-B).

2) CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien

NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas

I-B).

3) CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan

sebagai pengganti terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).

4) CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik

(Kelas I-C).

5) Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release)

tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan

penyekat beta. (Kelas III-B).

31
Tabel 12

2. ANTI PLATELET

a. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra

dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg

setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi

pengobatan yang diberikan (Kelas I-A).

b. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera

mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi

kontra seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).

c. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan

bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat

reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat

perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan

pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia

65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid

(Kelas I-A).

d. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12

bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis

(Kelas I-C).

32
e. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko

kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan

troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali

sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan

awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah

mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian

dihentikan) (Kelas I-B).

f. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa

menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg,

dilanjutkan 75 mg setiap hari (Kelas I-A).

g. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300

mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk

pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa

mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).

h. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)

perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang

dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).

i. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor

ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi

(termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan

selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau

clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat

risiko kejadian iskemik yang tinggi (Kelas IIa-C).

33
j. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan

(atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman

(KelasIIa-B).

k. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat

COX-2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).

Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa

memperdulikan jenis stent.

Tabel 13

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor

glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian

iskemik dan perdarahan (Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor

glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah

mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan

troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas

I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum

angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT

yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

34
4. Antikoagulan

Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat

mungkin.

a. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang

mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).

b. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan

iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.

(Kelas I-C).

c. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan

berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5

mg setiap hari secara subkutan (Kelas I-A).

d. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,

penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU

untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa)

perlu diberikan saat IKP (Kelas I-B).

e. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien

dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak

tersedia (Kelas I-B).

f. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau

heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang

direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau

enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).

35
g. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian

antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari

rumah sakit (Kelas I-A).

Tabel 14

5. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin

Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam

mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita

pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung,

dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya terbatas pada

pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan

faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa

penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.

Tabel 14

36
6. Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan

modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase

(statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk

mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat

indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya

dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk

mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL (Kelas I-A). Menurunkan

kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly, L.S. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of

Medical Student and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia.

Lippincott William & Wilkins, 2007; 225-243

2. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidline for the

management of patient with unstable angina. Non-ST-elevation

myocardial infaction; a report of the American College of cardiology/

American Heart Association Task Force on Practice Guidelines 50: el.

3. Irmalita. 2000. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, Buku ajar kardiologi;

Jakarta.

4. Aslan, Ahmad dkk. 2004. ACC/AHA Guideline for the Management of

Patient with ST Elevation myocardial Infarction. Cardiac Cath Conference

5. Gray. H, dkk. 2003. Lecture Notes Kardiologi Edisi keempat. EMS

Erlangga Medical Series: Jakarta

6. Braunwald E. et al. 2007. Prasugrel versus clopidogrel in patient with

acute coronary syndrome. N Engl J Med, 357;2001-15

7. Santoso, M, Setiawan,.2005. Penyakit Jantung Koroner, Cermin Dunia

kedokteran.

8. Haru, Sirajuddin et al. 2006. Infark Miokard akut tanpa elevasi ST dalam

Aru W.S et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI.

Jakarta

9. Elizabeth J. C. 2009. Buku saku patofisiologi edisi ke 3. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta

38
10. Hamm CW, et al. 2011. A Classfication of Unstable Angina revised

Circulation.

11. Irmalita, et al. 2015. Pedoman Tatalaksanan Sindrom Koroner Akut.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Jakarta

12. Kabo, Peter. 2011. Bagaimana menggunakan Obat-obat Kardiovascular

secara rasional. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta

39

Anda mungkin juga menyukai