Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu di antara masalah besar yang ada dalam pendidikan di Indonesia yang banyak
diperbincangkan adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin dari rendahnya rata-rata
prestasi belajar, khususnya peserta didik Sekolah Menengah Atas (SMA). Masalah lain yang
ada adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran masih terlalu didominasi peran guru
(teacher centered), yaitu guru lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan
bukan sebagai subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada peserta
didik dalam berbagai mata pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir holistik
(menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis, dan belum memanfaatkan quantum learning
sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta kurang memperhatikan
ketuntasan belajar secara individual.
Demikian juga proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, umumnya belum
menerapkan pembelajaran sampai peserta didik menguasai materi pembelajaran secara tuntas.
Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah
dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran kalau mutu pendidikan secara nasional masih
rendah.
Sesuai dengan cita-cita dari tujuan pendidikan nasional, guru perlu memiliki beberapa
prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal peserta didik di
dalam merancang strategi dan melaksanakan pembelajaran. Peningkatan potensi internal itu
misalnya dengan menerapkan jenis-jenis strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual.
Berbicara tentang rendahnya daya serap atau prestasi belajar, atau belum terwujudnya
keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan pada peran aktif peserta didik, inti
persoalannya adalah pada masalah ketuntasan belajar yakni pencapaian taraf penguasaan
minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi secara perorangan. Masalah ketuntasan
belajar merupakan masalah yang penting, sebab menyangkut masa depan peserta didik,
terutama mereka yang mengalami kesulitan belajar.
Maka dari itu diperlukan adanya pendekatan pembelajaran tuntas, yaitu salah satu usaha
dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi peserta didik mencapai penguasaan
(mastery level) terhadap kompetensi tertentu.

1
Namun pada kenyataannya kemampuan siswa berbeda-beda dalam menyerap materi yang
disampaikan oleh pendidik. Sehingga tujuan pembelajaran tidak hanya menekankan pada
ketuntasan siswa dalam menguasai materi, tapi juga bagaimana caranya agar materi yang
telah dikuasai dapat bermakna. Dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai belajar
tuntas (mastery learning) dan belajar bermakna (meaningfull learning).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, asumsi dasar dan ciri-ciri belajar tuntas ?
2. Bagaimana pelaksanaan program remidial, pengayaan dan percepatan ?
3. Apa saja indikator dan faktor serta kelebihan dan kelemahan belajar tuntas ?
4. Apa definisi belajar bermakna ?
5. Bagaimana dimensi belajar bermakna menurut Ausubel ?
6. Apa saja tipe belajar menurut Ausubel ?
7. Bagaimana penerapan teori Ausubel dalam mengajar serta cara menghindari belajar
menghafal ?
8. Apa saja kelebihan dan kelemahan belajar bermakna ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian, asumsi dasar dan ciri-ciri belajar tuntas
2. Untuk mengetahui pelaksanaan program remidial, pengayaan dan percepatan
3. Untuk mengetahui indikator dan faktor serta kelebihan dan kelemahan belajar tuntas
4. Untuk mengetahui definisi belajar bermakna
5. Untuk mengetahui dimensi belajar bermakna menurut Ausubel
6. Untuk mengetahui tipe-tipe belajar menurut Ausubel
7. Untuk mengetahui penerapan teori Ausubel dalam mengajar serta cara menghindari
belajar menghafal
8. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan belajar bermakna

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Belajar Tuntas


Model belajar tuntas pada mulanya diperkenalkan oleh Bloom dan Carroll (1963). Model
ini tidak menerima perbedaan prestasi belajar diantara peserta didik. Caroll menyatakan
bahwa sesungguhnya bakat merupakan ukuran mengenai waktu yang diperlukan untuk
mempelajari suatu tugas pada jenjang tertentu dalam kondisi pengajaran yang diharapkan.1
Belajar Tuntas (Mastery Learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang
mempersyaratkan peserta didik untuk menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi
maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.
Belajar Tuntas merupakan filosofi pembelajaran yang berdasar pada anggapan bahwa
semua peserta didik dapat belajar bila diberi waktu yang cukup dan kesempatan belajar yang
memadai. Selain itu, dipercayai bahwa peserta didik dapat mencapai penguasaan akan suatu
materi bila standar kurikulum dirumuskan dan dinyatakan dengan jelas, penilaian mengukur
kemajuan peserta didik dalam suatu materi dengan tepat, dan pembelajaran yang berlangsung
sesuai dengan kurikulum. Dalam metoda belajar tuntas, peserta didik tidak diperkenankan
untuk berpindah dari pembelajaran yang sedang dikerjakan ke tujuan belajar selanjutnya bila
ia belum menunjukkan kecakapan dalam materi sebelumnya.

B. Asumsi Dasar Belajar Tuntas


Dalam belajar tuntas semua peserta didik diberi kesempatan belajar yang sama, tetapi
diberikan perlakuan yang berbeda dalam kualitas pembelajarannya, maka akan besar
kemungkinannya bahwa peserta didik yang dapat mencapai penguasaan kompetensi akan
bertambah banyak.
Peserta didik yang tidak menyelesaikan suatu kompetensi dengan memuaskan diberi
pembelajaran tambahan sampai mereka berhasil. Sedangkan peserta didik yang menguasai
kompetensi tersebut lebih cepat akan dilibatkan dalam kegiatan pengayaan sampai semua
peserta didik dalam kelas tersebut bisa melanjutkan ke kompetensi berikutnya secara
bersama-sama. Dalam lingkungan belajar tuntas, guru melakukan berbagai teknik
pembelajaran, dengan pemberian umpan balik yang banyak dan spesifik menggunakan tes

1
] Oemar Hamalik, Pendekatan baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA Menuju Profesionalitas Guru
& Tenaga Pendidik, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009) hlm. 84

3
diagnostik, tes formatif, dan pengoreksian kesalahan selama belajar. Tes yang digunakan di
dalam metoda ini adalah tes berdasarkan acuan kriteria dan bukan atas acuan norma.
Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik
diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan,
dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan peserta didik
akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi jika peserta didik tidak diberi cukup
waktu atau tidak dapat menggunakan waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat
penguasaan kompetensi peserta didik belum optimal.2
Tingkat penguasaan dalam belajar tergantung pada jumlah waktu yang digunakan,
dibandingkan dengan jumlah waktu yang disediakan. Misalnya: peserta didik bisa fokus
dalam belajar hanya 2 jam, tetapi waktu yang disediakan 3 jam, maka tingkat keberhasilan
hanya akan mencapai 67% dari target yang direncanakan. Waktu yang disediakan untuk
belajar, selain bergantung pada kecepatan belajar peserta didik, juga ditentukan oleh kuantitas
pengajaran dan kemampuan belajar peserta didik untuk menangkap suatu uraian dalam
bentuk lisan atau tulisan.
Berdasarkan uraian di atas maka model belajar dilandasi oleh dua asumsi yaitu:
- Adanya korelasi antara tingkat keberhasilan dengan kemampuan potensial (bakat).
- Apabila dilaksanakan secara sistematis, maka semua peserta didik akan mampu
menguasai bahan yang disajikan kepadanya.

C. Ciri-ciri Belajar Dengan Prinsip Belajar Tuntas


Pada dasarnya ada enam macam ciri pokok pada belajar/ mengajar dengan prinsip belajar
tuntas, yaitu :
1. Berdasarkan atas tujuan instruksional yang hendak dicapai yang sudah ditentukan lebih
dahulu
2. Memperhatikan perbedaan individu siswa (asal perbedaan) terutama dalam kemampuan
dan kecepatan belajarnya
3. Menggunakan prinsip belajar siswa aktif
4. Menggunakan satuan pelajaran yang kecil
5. Menggunakan system evaluasi yang kontinyu dan berdasarkan atas kriteria, agar guru
maupun siswa dapat segera memperoleh balikan
6. Menggunakan program pengayaan dan program perbaikan.

2
Mulyono, Strategi Pembelajaran, (Malang. UIN-Maliki Press, 2011) hlm.56

4
D. Pelaksanaan Program Remidial, Pengayaan dan Percepatan
1. Program remidial
Program remidial bisa disebut juga program perbaikan yaitu kegiatan yang diberikan ke
peserta didik yang belum menguasai bahan pelajaran yang diberikan oleh guru, dengan
maksud mempertinggi tingkat penguasaan terhadap materi pelajaran.3
Masalah pertama yang akan selalu timul dalam pelaksanaan pembelajaran tuntas adalah
bagaimana guru menangani peserta didik yang lamban dan mengalami kesulitan dalam
menguasai KD tertentu. Dalam kondisi ini ada dua cara yang dapat ditempuh.
Pemberian bimbingan secara khusus dan perorangan bagi siswa yang belum tuntas atau
mengalami kesulitan dalam menguasai kd tertentu.
Pemberian tugas atau perlakuan secara khusus yang sifatnya penyederhanaan dari
pelaksanaan pembelajaran reguler. Bentuk penyederhanaan tersebut dapat dilakukan guru
antara lain melalui:
- Penyederhanaan isi atau materi pembelajaran untuk KD tertentu
- Penyederhanaan cara penyajian
- Penyederhanaan soal atau pertanyaan yang diberika
Program remedial diberikan hanya kepada siswa yang belum menguasai KD yang belum
dikuasai. Program remedial dilaksanaka setelah mengikuti tes atau KD tertentu.4
2. Program Pengayaan
Program pengayaan adalah kegiatan yang diberikan kepada peserta didik yang
keterampilannya atau pemahamannya lebih cepat dalam menerima materi yang diberikan.5
Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran tuntas, kondisi yang sebaliknya dari
program remedial adalah akan selalu ada peserta didik yang leih cepat menguasai kompetensi
yang ditetapkan. Mereka perlu mendapatkan tambahan pengetahuan atau keterampilan
melalui program pengayaan yang sesuai dengan kapasitasnya.
Adapun cara yang dapat ditempuh diantaranya adalah:
- Pemberian bacaan tambahan atau berdiskusi yang bertujuan memperluas wawasan
bagi KD tertentu.
- Pemberian tugas untuk melakukan analisis gambar, bacaan dan sebagainya.
- Memerikan soal-soal latihan tambahan yang bersifat pengayaan.

3
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Setrategi Belajar Mengajar,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), hlm. 22
4
Ibid., hlm. 169
5
Ibid., hlm. 22

5
Para peserta didik yang melaksanakan program ini dapat juga berkontribusi membantu
guru membimbing teman-temannya yang belum mencapai ketuntasan.6
3. Program Percepatan
Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran tuntas memungkinkan adanya siswa yang
luar biasa, cerdas dan mampu menyelesaikan KD jauh lebih cepat dengan nilai yang amat
baik pula. Peserta didik dengan kecerdasan luar biasa ini memiliki karakteristik khusus, yaitu
tdk banyak memerlukan bantuan berupa program remedial maupun pengayaan, ditakutkannya
akan mengganggu pengoptimallan belajarnya.7

E. Indikator Pelaksanaan Pembelajaran Tuntas


Adapun beberapa indikator pelaksanaan pembelajran tuntas, yakni:
a. Metode Pembelajaran
Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual, dalam arti
meskipun kegiatan belajar ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), tetapi juga
mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta
didik, sehingga pembelajaran memungkinkan berkembangnya potensi masing-masing peserta
didik secara optimal. Adapun langkah-langkahnya adalah: mengidentifikasi prasyarat
(prerequisite), membuat tes untuk mengukur perkembangan dan pencapaian kompetensi, dan
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik. Metode pembelajaran yang sangat
ditekankan dalam pembelajaran tuntas adalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan
teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis
metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran tuntas sangat mengandalkan pada pendekatan tutorial dengan sesion-sesion
kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja,
permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)
b. Peran Guru
Strategi pembelajaran tuntas menekankan pada peran atau tanggung jawab guru dalam
mendorong keberhasilan peserta didik secara individual. Pendekatan yang digunakan
mendekati model Personalized System of Instruction (PSI) seperti dikembangkan oleh Keller,
yang lebih menekankan pada interaksi antara peserta didik dengan materi atau objek belajar.
Peran guru haruslah intensif dalam hal-hal berikut: Menjabarkan/memecah KD
(Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan

6
Abdul majid, Strategi Pembelajaran (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 171
7
Ibid., hlm. 172

6
memperhatikan pengetahuan prasyaratnya, Mengembangkan indikator berdasarkan SK/KD,
Menyajikan materi pembelajaran dalam bentuk yang bervariasi, Memonitor seluruh pekerjaan
peserta didik, Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif,
psikomotor, dan afektif), Menggunakan teknik diagnostik dan Menyediakan sejumlah
alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan.
c. Peran Peserta Didik
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memiliki pendekatan berbasis kompetensi
sangat menjunjung tinggi dan menempatkan peran peserta didik sebagai subjek didik. Fokus
program pembelajaran bukan pada Guru dan yang akan dikerjakannya melainkan pada
Peserta didik dan yang akan dikerjakannya. Oleh karena itu, pembelajaran tuntas
memungkinkan peserta didik lebih leluasa dalam menentukan jumlah waktu belajar yang
diperlukan. Artinya, peserta didik diberi kebebasan dalam menetapkan kecepatan pencapaian
kompetensinya. Kemajuan peserta didik sangat bertumpu pada usaha serta ketekunannya
secara individual.
d. Evaluasi.
Penting untuk dicatat bahwa ketuntasan belajar dalam KTSP ditetapkan dengan penilaian
acuan patokan (criterion referenced) pada setiap kompetensi dasar dan tidak ditetapkan
berdasarkan norma (norm referenced). Dalam hal ini batas ketuntasan belajar harus
ditetapkan oleh guru, misalnya apakah peserta didik harus mencapai nilai 75, 65, 55, atau
sampai nilai berapa seorang peserta didik dinyatakatan mencapai ketuntasan dalam belajar.
Sistem penilaian mencakup jenis tagihan serta bentuk instrumen atau soal.8

F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Penuh


Sejumlah tokoh pendidikan yakin bahwa sebagian terbesar bahkan hampir semua murid
sanggup menguasi bahan pelajaran tertentu sepenuhnya dengan syarat-syarat tertentu. Berikut
hal-hal yang mempengaruhi prestasi belajar sehingga tercapai penguasaan penuh.
1. Bakat
Timbul anggapan bahwa antara bakat dan prestasi terdapat hubungan kausal. Bakat tinggi
menyebabkan prestasi tinggi, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi tidak ada bukti bahwa apa
yang dianggap bakat itu bersifat tetap. Masih ada kemungkinana bahwa bakat itu mengalamai
perubahan atas pengaruh lingkungan. Yang diharapkan ialah memperbaiki kondisi belajar

8
Ibid., hlm. 168

7
sehingga dapat dikurangi waktu belajar untuk mencapai penguasaan penuh atas bahan
pelajaran tertentu.
2. Kesanggupan untuk memahami pengajaran
Kalau murid tidak dapat memahami apa yang dikatakan atau disampaikan oleh guru, atau
bila guru tidak dapat berkomunikasi dengan murid, maka besar kemungkinan murid tidak
dapat menguasai mata pelajaran yang diajarkan oleh guru itu. Kemampuan murid untuk
menguasai suatu bidang studi banyak bergantung pada kemampuan untuk memahami ucapan
guru.
3. Ketekunan
Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan oleh murid untuk belajar
mempelajari sesuatu memerlukan jumlah waktu tertentu. Ketekunan belajar ini tampaknya
bertalian dengan sikap dan minat terhadap pelajaran.

G. Kelebihan dan Kelemahan Belajar Tuntas


Metode belajar tuntas mengandung beberapa kebaikan, antara lain:
1. Metode ini berjalan dengan pandangan psikologis belajar modern yang berpegang kepada
prinsip perbedaan individual dan belajar kelompok.
2. Metode ini memungkinkan belajar peserta didik jadi aktif, memberikan kesempatan
peserta didik mengembangkan diri sendiri, memecahkan masalah dengan menentukan dan
kerja sendiri.
3. Guru dan peserta didik bekerja sama secara partisipatif dan persuasive, baik dalam proses
belajar maupun dalam bimbingan peserta didik.
4. Berorientasi kepada peningkatan produktivitas hasil belajar, peserta didik mengusai
materi pelajaran dengan tuntas.
5. Tidak mengenal peserta didik yang gagal belajar karena peserta didik ternyata mendapat
hasil kurang memuaskan atau masih di bawah kriteria ketuntasan minimum.
6. Penilaian yang dilakukan terhadap kemajuan belajar peserta didik secara objektif karena
yang menilai guru dan rekan belajar.
7. Pengajaran tuntas berdasarkan suatu perencanaan yang sistematis.
8. Menyediakan waktu sesuai kebutuhan peserta didik sehingga dapat belajar lebih leluasa.
9. Mengaktifkan guru sebagai suatu regu yang harus bekerja sama secara efektif sehingga
kelangsungan belajar peserta didik jadi optimal.

8
10. Belajar tuntas berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode yang
lainnya, yang berdasarkan kepada pendekatan kelas, kelompok dan individu.9
Sedangkan, belajar tuntas memiliki beberapa kelemahan diantaranya:
1. Guru umumnya masih mengalami kesulitan dalam membuat perencanaan belajar tuntas
karena harus dibuat untuk jangka satu semester di samping penyusunan satuan-satuan
pelajaran yang lengkap dan menyeluruh.
2. Strategi ini sulit dalam pelaksanaannya karena melibatkan berbagai kegiatan, yang berarti
dituntut untuk memiliki beraneka ragam kemampuan.
3. Guru-guru yang sudah terbiasa dengan cara lama akan mengalami hambatan untuk
menyelenggarakan strategi ini yang relatif lebih sulit.
4. Strategi ini sudah pasti harus memiliki fasilitas yang lengkap, dana dan waktu yang cukup
luas.
5. Diberlakukan sistem ujian (UAS dan UN) yang menutut penyelenggarakan program
bidang studi pada waktu yang telah ditetapkan, persiapan menempuh ujian, menjadi salah
satu penghambat pelaksanaan belajar tuntas.
6. Untuk melaksanakan strategi ini yang mengacu kepada penguasaan materi belajar secara
tuntas pada gilirannya menuntut guru mengusai materi lebih luas dan lebih lengkap.

H. Pengertian Belajar Bermakna


Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1. Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Ausubel mengungkapkan bahwa, belajar bermakna adalah pengkombinasian materi baru
dengan materi yang telah diketahui dalam suatu struktur kognitif.10 Belajar dikatakan
bermakna bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi
barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat
ingatannya dan transfer belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta,
konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya
oleh siswa.
2. Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi
baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang

9
Oemar Hamalik, op.cit hlm. 86-87
10
Yusuf, dkk., Konsep Dasar dan Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar (Bandung: Andira 1993) hlm. 49

9
memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.
Ausubel dan Robinson memberikan batasan antara belajar bermakna (meaningful
learning) dengan belajar menghafal (rote learning). Dalam belajar bermakna ada dua hal
penting, pertama bahan yang dipelajari, dan yang kedua adalah struktur kognitif yang ada
pada individu. Yang dimaksud dengan struktur kognitif adalah jumlah, kualitas, kejelasan
dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu. Dalam belajar
menghafal, siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau
yang dibaca tanpa makna.11

I. Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel


Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada peserta didik
melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana
peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika
peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan
struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik
menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang
terjadi adalah belajar bermakna.

J. Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel


1. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu
kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki.
Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan
mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik
dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
2. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa bekal
pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu

11
Sukmadinata, N.S., Landasan Psikologi Proses Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosdakarya 2013) hlm. 188

10
dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan
kemudian dihafalkan.
3. Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk
final/akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan
struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar
persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang
susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan
mudah tertanam kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena
pengertian persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut
dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.
4. Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta
didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa memperhatikan
pengetahuan yang dimiliki peserta didik.

K. Penerapan Teori Ausubel dalam Mengajar


Dahar mengatakan bahwa untuk dapat menerapkan teori Ausubel dalam mengajar,
sebaiknya kita perhatikan apa yang dikemukakan oleh Ausubel dalam bukunya yang berjudul
Educational Psychology: A Cognitive View, bahwa faktor terpenting yang mempengaruhi
belajar ialah apa yang telah diketahui pelajar.12
Untuk menerapkan konsep belajar Ausubel dalam mengajar, ada beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan yaitu:13
1. Pengaturan awal (advance organizer)
Pengatura awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan
konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Penggunaan pengatur awal
tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi, terutama materi pelajaran
yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan
prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya pengatur awal itu digunakan, sehingga
pembelajaran akan lebih bermakna.
Pengaturan awal mengarahkan para pelajar ke materi yang akan mereka pelajari dan
mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan dengan materi itu, sehingga

12
Dahar, Ratna Wilis, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga 2011) hlm. 100
13
Ibid., hlm. 100

11
dapat digunakan dalam menanamkan pengetahuan baru. Pengaturan awal ini berisi konsep
atau ide yang diberikan kepada pelajar jauh sebelum materi pelajaran yang sesungguhnya
diberikan.14
2. Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep.
Caranya unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang
lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.
3. Belajar superordinate
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan kearah
deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam
struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu
saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsep-konsep yang lebih
luas dan inklusif.
4. Penyesuaian Integratif
Pada suatu saat peserta didik kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau
lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang
sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausubel
mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integratif. Caranya materi pelajaran disusun
sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas
dan ke bawah selama informasi disajikan.
Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai cara
pengajaran misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep.15

L. Menghindari Belajar Hafalan


Jika seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu
dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan
sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa siswa
SD kelas 1 atau 2 yang dapat mengucapkan: Ini Budi. Ini Ibu Budi, namun ia tidak dapat
menentukan sama sekali mana yang i dan mana yang di. Contoh lain dari belajar
menghafal adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegi panjang

14
Dewi Andriyani, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka 2008) hlm. 323
15
Ibid., hlm. 324

12
adalah l = p l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia tidak
tahu arti lambang l, p, dan l.
Setelah itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi bermakna.

M. Kelebihan dan Kelemahan Belajar Bermakna


Kelebihan belajar bermakna antara lain:16
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip
walaupun telah terjadi lupa.
Sedangkan kelemahan belajar bermakna yakni:
1. Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2. Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil
pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali
baginya.

16
Dahar, Ratna Wilis. Op.cit hlm. 98

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembelajaran tuntas merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran di mana siswa
diharapkan dapat menguasai secara tuntas standar kompetensi dari suatu unit pelajaran.
Asumsi yang digunakan dalam pembelajaran tuntas ini yaitu jika setiap siswa diberikan
waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan dan jika
siswa tersebut menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar kemungkinan siswa akan
mencapai tingkat penguasaan itu. Tetapi jika siswa tidak diberi cukup waktu atau siswa
tersebut tidak menggunakan waktu yang diperlukan, maka siswa tidak akan mencapai tingkat
penguasaan belajar.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan
(2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah peserta didik berusaha menerima dan
menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.

B. Saran
Penulis menyarankan kepada para pembaca dan seorang calon guru agar bisa memahami
apa yang dibicarakan/dibahas dalam pembahasan makalah ini, semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan terkhusus bagi para pembaca, dan apabila ada suatu kekurangan
dalam makalah ini penulis meminta maaf atas kekurangan tersebut dan penulis menunggu
atau menanti kritikan yang sifatnya membangun dari para pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Dewi. Teori dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka, 2008


Bahri, Syaiful. Setrategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.
Dahar, Ratna Wilis. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga, 2011.
Hamalik, Oemar. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA
Menuju Profesionalitas Guru& Tenaga Pendidik. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009.
Majid, Abdul. Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Mulyono. Strategi Pembelajaran. Malang. UIN-Maliki Press, 2011
Sukmadinata, N.S. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003.
Yusuf dkk. Konsep Dasar dan Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung:
Andira, 1993.

15

Anda mungkin juga menyukai