Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelapa Sawit


Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus
dengan tingginya dapat mencapai 24 meter dan dari famili Palmae. Tanaman tropis
ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Benih
kelapa sawit pertama kali yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari
Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanah hitam Hulu
Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911 (Oktaria, 2011).
Penyebaran kelapa sawit di Indonesia terdapat dibeberapa daerah seperti
Aceh, Pantai Timur Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Habitat aslinya adalah semak
belukar. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik didaerah tropis (15o LU-15o LS).
Tanaman ini tumbuh sempurna diketinggian 0-500 meter dari permukaan laut
dengan kelembaban 80-90%. Tanaman kelapa sawit membutuhkan iklim dengan
curah hujan stabil, 2000-2500 mm/tahun, yaitu daerah yang tidak tergenang dengan
air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan
mempengaruhi perilaku pembuangan dan produksi buah sawit (Agustina, 2004).
Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut (Oktaria, 2011) :

Sumber : Oktaria, 2011


Gambar 2.1 Buah Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis yaitu Elaeis
guineensis dan Elaeis oleifera. Jenis pertama yang banyak dibudidayakan oleh
masyarakat. Dari kedua spesies kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-
masing. Elaeis guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan Elaeis oleifera
memiliki tinggi tanaman yang rendah. Buah kelapa sawit memiliki warna bervariasi
dari hitam, ungu hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol
dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah, minyak yang dihasilkan berasal dari
buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah, setelah melewati
fase matang, kandungan asam lemak bebas akan meningkat dan buah akan rontok
dengan sendirinya. Buah terdiri dari tiga lapisan yaitu (Agustina, 2004) :
- Eksoskarp, yaitu bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
- Mesoskarp, yaitu serabut buah.
- Endoskarp, yaitu cangkang pelindung inti.

2.2 Pengertian Limbah


Limbah adalah sampah dari suatu lingkungan masyarakat yang terdiri dari air
yang telah digunakan dengan hampir 0,1% daripadanya berupa benda benda padat
yang terdiri dari zat organik. Peningkatan luas perkebunan kelapa sawit telah
mendorong tumbuhnya industri-industri pengolahan, diantaranya pabrik minyak
kelapa sawit (PMKS) yang menghasilkan crude palm oil (CPO).PMKS merupakan
industri yang sarat dengan residu pengolahan.PMKS hanya menghasilkan 25-30 %
produk utama berupa 20-23 % CPO dan 5-7 % inti sawit (kernel).Sementara sisanya
sebanyak 70-75 % adalah residu hasil pengolahan berupa limbah. ( William, 2011).
Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan dari sisa
tanaman yang tertinggal pada saat pembukaan areal perkebunan, peremajaandan
panen kelapa sawit. Limbah ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat,
limbah cair dan limbah gas ( Kurniati, Elly 2008).
a. Limbah Padat
Salah satu jenis limbah padat industri kelapa sawit adalah tandan kosong
kelapa sawit dan cangkang kelapa sawit. Limbah padat mempunyai ciri khas pada
komposisinya.
b. Limbah Cair
Limbah ini berasal dari kondensat,stasiun klarifikasi dan dari
hidrosilikon.Lumpur (sludge) disebut juga lumpur primer yang berasal dari proses
klarifikasi merupakan salah satu limbah cair yang dihasilkan dalam proses
pengolahan minyak kelapa sawit, sedangkan lumpur yang telah mengalami proses
sedimentasi disebut lumpur sekunder. Kandungan bahan organik lumpur juga
tinggi yaitu pH berkisar 3-5.
c. Limbah Gas
Selain limbah padat dan cair, industri pengolahan kelapa sawit juga
menghasilkanlimbah bahan gas. Limbah bahan gas ini antara lain gas cerobong
dan uap air buangan pabrik kelapa sawit.

2.1.1 Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ( PKS )


Limbah cair industri kelapa sawit berasal dari unit proses pengukusan
(sterilisasi), proses klarifikasi dan buangan dari hidrosiklon. Limbah cair industri
minyak kelapa sawit mengandung bahan organik yang sangat tinggi, sehingga kadar
bahan pencemaran akan semakin tinggi (Kardila.V, 2011)
Limbah cair industri minyak kelapa sawit mengandung bahan organic yang
sangat tinggi yaitu BOD 25.500 mg/l, dan COD 48.000 mg/l sehingga kadar bahan
pencemaran akan semakin tinggi. Oleh sebab itu untuk menurunkan kandungan
kadar bahan pencemaran diperlukan degradasi bahan organik. Secara umum
dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair industri kelapa sawit adalah
tercemarnya badan air penerima yang umumnya sungai karena hampir setiap
industri minyak kelapa sawit berlokasi didekat sungai. Limbah cair industri kelapa
sawit bila dibiarkan tanpa diolah lebih lanjut akan terbentuk ammonia, hal ini
disebabkan bahan organik yang terkandung dalam limbah cair tersebut terurai dan
membentuk ammonia. Terbentuk ammonia ini akan mempengaruhi kehidupan
biota air dan dapat menimbulkan bau busuk (Azwir, 2006).
Limbah buangan pabrik kelapa sawit terdiri dari limbah padat dan limbah
cair. Limbah cair buangan pabrik kelapa sawit merupakan limbah yang
mengandung padatan terlarut dan emulsi minyak di dalam air dan senyawa organik.
Sistem ini hanya menggunakan kolam limbah cair untuk proses pengolahannya,
selanjutnya hasil akhir dimanfaat dimanfaatkan ke areal tanaman yang dapat
dijadikan sebagai pemupukan kedalam lahan-lahan limbah cair buangan pabrik
kelapa sawit dapat dikelompokkan (Azwir, 2006):
1. Low polluted effluent
Low polluted effluent adalah limbah cair yang tidak berdampak pada
lingkungan sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus dalam pengelolaannya.
Dalam konteks pabrik kelapa sawit tersebut, hanya memiliki suhu diatas rata-rata
(40-80oC), sedangkan parameter lain memenuhi persyaratan, sehingga limbah cair
ini hanya membutuhkan proses pendingin secara alami saja, sebelum di buang ke
lingkungan.
2. High polluted effluent
High polluted effluent adalah limbah cair yang sangat berdampak terhadap
lingkungan, sehingga memerlukan perlakuan khusus sebelum di buang ke
lingkungan. Limbah ini mempunyai karakteristik BOD, COD, TSS, pH dan
parameter lain yang tidak memenuhi persyaratan. High polluted effluent bersumber
dari proses sterilisasi (berupa kondensat rebusan), klarifikasi (berupa air bercampur
lumpur dan minyak), hydrocyclone ( air pemisah kernel dan cangkang) (Azwir,
2006).

2.2 Kebutuhan Oksigen Biologi (Biochemical Oxygen Demand, BOD5)


BOD5 adalah sejumlah oksigen dalam air yang diperuntukan oleh bakteri
aerob untuk menetralisasi atau menstabilkan bahan-bahan sampah (organik) dalam
air melalui proses oksidasi biologi secara dekomposisi dalam waktu inkubasi 5 hari
pada temperatur 200 C dan disingkat BOD5 (Sugiharto, 1987).
Menurut Purwanto (2005), banyaknya oksigen yang diperlukan untuk
memecah atau mendegradasi senyawa organik dengan bantuan mikroorganisme
disebut dengan kebutuhan oksigen biologik (BOD - Biochemical Oxygen Demand).
Oleh karena itu kondisi limbah organik dinyatakan dengan kandungan BOD.
Standart pengukuran BOD adalah pada temperatur 200C dan waktu 5 hari yang
dikenal sebagai BOD5. Kandungan BOD pada limbah sebenarnya bukanlah BOD5,
tetapi BOD mula-mula atau disebut BOD puncak (ultimate BOD).
Menurut Mahida (1993), uji BOD5 ini merupakan salah satu uji kualitas air
yang penting untuk menentukan kekuatan atau daya cemar air limbah. Pada
penerapan yang lebih luas, uji BOD5 juga dipakai untuk pengukuran kemelimpahan
limbah organik dalam upaya perencanaan perlakuan biologik dan evaluasi efisiensi
suatu perlakuan penanggulangan limbah organik.

2.3 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD)


COD menunjukkan jumlah oksigen yang diperlukan untuk dekomposisi
kimiawi. Pengukuran COD mempunyai arti penting atau khusus bila BOD5 tidak
dapat ditentukan karena adanya bahan beracun tetapi tidak memberikan informasi
besarnya limbah yang dapat dioksidasi oleh bakteri (Mara, 1976).
Untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan uji yang
lebih cepat dari uji BOD5 yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan,
uji tersebut disebut uji COD, yaitu suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya Kalium dikromat, untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air. Tes COD hanya merupakan suatu
analisa yang menggunakan suatu reaksi oksidasi kimia yang menirukan oksidasi
biologis, sehingga merupakan suatu pendekatan saja. Oleh karena itu tes COD tidak
dapat membedakan antara zat-zat yang teroksidasi secara biologis (Fardiaz, 1992).
COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari
uji BOD5 karena bahan-bahan yang stabil terhadap rekasi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD , seperti selulosa (Fardiaz,
1992). Pengukuran BOD5 dan COD saling melengkapi, apabila sampel BOD5
mengandung zat racun maka pertumbuhan bakteri berkurang sehingga nilai BOD5
nya rendah. Nilai COD tidak tergantung pertumbuhan bakteri (Fardiaz, 1992).

2.3 Total Suspended Solid (TSS)


TSS adalah jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada dalam limbah
setelah mengalami pengeringan. Penentuan zat padat tersuspensi (TSS) berguna
untuk mengetahui kekuatan pencemaran air limbah domestik, dan juga berguna
untuk penentuan efisiensi unit pengolahan air (BAPPEDA dalam Ika, 2012).

2.4 PH
pH adalah tingkat keasaman suatu zat yang ditandai dengan konsentrasi ion
hidrogen didalamnya. Angka pH biasanya dimulai dari 0 hingga 14. Yang mana
jika dibawah angka 7 berarti asam dan jika berada di atas angka 7 berarti basa. pH
tujuh juga disebut sebagai pH netral. Namun bukan berarti air berpH tujuh disebut
sebagai air yang aman, sebab masih banyak sekali parameter yang harus dipenuhi
sebelum air dinyatakan aman untuk dikonsumsi selain parameter pH ini
(Salmin,2005).
2.3.1 Fungsi Pengukuran pH
Alasan pertama tentang mengapa pH itu penting diukur adalah untuk
mengetahui tingkat kemanan dari air itu sendiri. Air yang memiliki pH dibawah 7
disebut asam dan diatas 7 disebut bersifat basa. Dan semakin jauh dari angka
tersebut maka air bisa dikatakan tidak aman. Baik untuk dikonsumsi maupun untuk
dilepaskan ke lingkungan atau badan perairan (Hammer, 1986).
Air yang memiliki pH jauh diatas atau dibawah nilai netral akan memberikan
dampak buruk bagi kesehatan. Air tersebut bisa menyebabkan iritasi pada kulit,
bahkan penyakit serius bila dikonsumsi dalam jangka panjang. Kalau alasan kedua
ini, tentunya terkait dengan persyaratan yang diberikan oleh pemerintah. Di
Indonesia air dikatakan dapat dikonsumsi ataupun dibuang ke lingkungan sekitar
apabila memiliki pH 6-9 sehingga perusahaan yang kedapatan membuang air
limbah dengan nilai pH diluar range tersebut dapat ditangkap dan diperkarakan
dipengadilan sebab sudah mencemari lingkungan (Hammer, 1986).
Pengukuran pH juga terkait dengan produksi. Cukup banyak industri yang
mensyaratkan air yang digunakan memiliki pH diatas 7 dengan range maksimal
8,5. Salah satu industri tersebut adalah industri keramik. Sebab jika berada di bawah
7 maka air akan cenderung korosif dan merusak peralatan serta produk. jadi
menjaga air agar tetap berada diatas angka tujuh akan membuat produk dan
peralatan produksi tetap dalam keadaan baik (Hammer, 1986).

2.5 Minyak dan Lemak


Salah satu kelompok senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan, hewan
atau manusia dan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia ialah lipid. Untuk
memberikan definisi yang jelas tentang lipid sangat sukar, sebab senyawa yang
termasuk lipid tidak mempunyai rumus struktur yang serupa atau mirip. Sifat kimia
dan fungsi biologinya juga berbeda beda. Walaupun demikian para ahli biokimia
bersepakat bahwa lemak dan senyawa organik yang mempunyai sifat fisika seperti
lemak, dimasukkan dalam satu kelompok yang disebut lipid. Adapun sifat fisika
yang dimaksud ialah: (1) tidak larut dalam air, tetapi larut dalam satu atau lebih dari
satu pelarut organik misalnya eter, aseton, kloroform, benzene yang sering juga
disebut pelarut lemak; (2) ada hubungan dengan asam asam lemak atau
esternya, (3) mempunyai kemungkinan digunakan oleh makhluk hidup.
Kesepakatan ini telah disetujui oleh Kongres Internasional Kimia Murni dan
Terapan (International Congress of Pure and Applied Chemistry).
Jadi berdasarkan pada sifat fisika tadi, lipid dapat diperoleh dari hewan atau
tumbuhan dengan cara ekstraksi menggunakan alkohol panas, eter atau pelarut
lemak yang lain. Macam senyawa senyawa serta kuantitasnya yang diperoleh
melalui ekstraksi itu sangat tergantung pada bahan alam sumber lipid yang
digunakan.

2.6 Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan Sistem Aplikasi Lahan ( Land
Application )
Ada beberapa pilihan dalam pengelolaan limbah cair PKS setelah diolah di
kolam pengelolaan limbah (IPAL) diantaranya adalah dibuang ke badan sungai atau
diaplikasikan ke areal tanaman kelapa sawit yang dikenal dengan land application.
Pembuangan limbah cair ke badan sungai bisa dilakukan dengan syarat telah
memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Alternatif ini
mempunyai beberapa kelemahan diantaranya (Salmin,2005):
1. Pengelolaan limbah cair sehingga menjadi layak dibuang ke badan sungai (BOD
dibawah 100 ppm ), secara teknis bisa dilakukan tetapi memerlukan biaya dan
teknologi yang tinggi di samping waktu retensi efluen yang panjang di kolam-
kolam pengelolaan.
2. Tidak ada nilai tambah baik bagi lingkungan maupun bagi perusahaan.
3. Merupakan potensi sumber konflik oleh masyarakat karena perusahaan dianggap
membuang limbahnya ke badan sungai adalah berbahaya walaupun limbah
tersebut mempunyai BOD di bawah 100 ppm.
Model alternatif lainnya dalam pengelolaan effluent adalah dengan
mengaplikasikan ke areal pertanaman kelapa sawit (land application), sebagai
sumber pupuk dan air irigasi. Banyak lembaga penelitian yang melaporkan bahwa
effluent banyak mengandung unsur hara yang cukup tinggi. Potensi ini menjadi
semakin penting artinya dewasa ini karena harga pupuk impor yang meningkat
tajam serta kerap terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan (Salmin,2005).
Sistem ini hanya menggunakan kolam limbah cair untuk proses
pengolahannya, selanjutnya hasil akhir dimanfaatkan ke areal tanaman yang dapat
dijadikan sebagai system pemupukan kedalam lahan-lahan tanaman yang telah
dibuat sedemikian rupa dalam bentuk sistem distribusinya limbah cair. Pada
prinsipnya konsep pembuangan limbah cair yang dapat berfungsi sebagai pupuk
sehingga dapat menghemat dalam pemupukan terhadap tanaman kelapa sawit dari
aspek ekonomis metode ini sangat menguntungkan tetapi tetap harus
memperhatikan aspek kesehatan lingkungan dengan berpegang pada baku mutu
sebelum dialirkan ke parit-parit didalam kebun, tidak dibenarkan pembuangan atau
mengalirkan tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan
limbah cair dari hasil produksi kelapa sawit (Salmin,2005).
Pemanfaatan metode ini meliputi pengawasan terhadap pemakaian limbah di
areal, agar diperoleh keuntungan dari segi agronomis dan tidak menimbulkan
dampak yang merugikan (Dirjen PHP, 2006). Pemilihan teknik aplikasi yang sesuai
untuk tanaman kelapa sawit sangat tergantung kepada kondisi maupun faktor
berikut (Azwir, 2006):
a. Jenis dan volume limbah cair, topografi lahan yang akan dialiri
b. Jenis tanah dan kedalaman permukaan air tanah, umur tanaman kelapa sawit
c. Luas lahan yang tersedia dan jaraknya dari pabrik, dekat tidaknya dengan air
sungai atau pemukiman penduduk.

2.7 Syarat-syarat dalam Penerapan Land Application


Adapun persyaratan yang harus diperhatikan dalam melakukan penerapan
land application yaitu sebagai berikut: (Novandaharto, 2013)
1. Pemanfaatan limbah cair kelapa sawit sebagai air irigasi pada perkebunan
kelapa sawit dengan cara land application dapat dilakukan apabila limbah
cair bersangkutan telah mengalami pengolahan anaerobik.
2. Pemanfaatan limbah cair kelapa sawit dengan land application dapat
dilakukan pada areal perkebunan sendiri, cara ini dimaksudkan selain untuk
memperoleh manfaat ekonomis juga karena land application merupakan
proses daur ulang limbah cair dalam keseluruhan proses produksi.
3. Penerapan land application sebagaimana disebut pada point ke (2) diatas
tidak boleh pada lahan bergambut, berpasir dan areal yang sering terkena
banjir.
4. Kualitas limbah cair kelapa sawit yang diperkenankan untuk dimanfaatkan
sebagai suplemen pupuk dan air irigasi pada perkebunan kelapa sawit adalah
pada kadar BOD <5000 mg/l dengan pH 6-9.
5. Jumlah limbah cair yang diaplikasikan ke areal kebun harus setara dengan 7-
15cm REY.
6. Jarak lokasi land application dari pemukiman karyawan kebun atau
pemukiman penduduk luar kebun minimum 200 meter.
7. Pada bagian hilir lahan supaya dibuat parit penampungan limbah. Apabila
terjadi over flow akibat kondisi flat bed yang tidak memenuhi syarat ataupun
over flow karena air hujan.

Anda mungkin juga menyukai