Bab Ii
Bab Ii
TINJAUAN PUSTAKA
2.4 PH
pH adalah tingkat keasaman suatu zat yang ditandai dengan konsentrasi ion
hidrogen didalamnya. Angka pH biasanya dimulai dari 0 hingga 14. Yang mana
jika dibawah angka 7 berarti asam dan jika berada di atas angka 7 berarti basa. pH
tujuh juga disebut sebagai pH netral. Namun bukan berarti air berpH tujuh disebut
sebagai air yang aman, sebab masih banyak sekali parameter yang harus dipenuhi
sebelum air dinyatakan aman untuk dikonsumsi selain parameter pH ini
(Salmin,2005).
2.3.1 Fungsi Pengukuran pH
Alasan pertama tentang mengapa pH itu penting diukur adalah untuk
mengetahui tingkat kemanan dari air itu sendiri. Air yang memiliki pH dibawah 7
disebut asam dan diatas 7 disebut bersifat basa. Dan semakin jauh dari angka
tersebut maka air bisa dikatakan tidak aman. Baik untuk dikonsumsi maupun untuk
dilepaskan ke lingkungan atau badan perairan (Hammer, 1986).
Air yang memiliki pH jauh diatas atau dibawah nilai netral akan memberikan
dampak buruk bagi kesehatan. Air tersebut bisa menyebabkan iritasi pada kulit,
bahkan penyakit serius bila dikonsumsi dalam jangka panjang. Kalau alasan kedua
ini, tentunya terkait dengan persyaratan yang diberikan oleh pemerintah. Di
Indonesia air dikatakan dapat dikonsumsi ataupun dibuang ke lingkungan sekitar
apabila memiliki pH 6-9 sehingga perusahaan yang kedapatan membuang air
limbah dengan nilai pH diluar range tersebut dapat ditangkap dan diperkarakan
dipengadilan sebab sudah mencemari lingkungan (Hammer, 1986).
Pengukuran pH juga terkait dengan produksi. Cukup banyak industri yang
mensyaratkan air yang digunakan memiliki pH diatas 7 dengan range maksimal
8,5. Salah satu industri tersebut adalah industri keramik. Sebab jika berada di bawah
7 maka air akan cenderung korosif dan merusak peralatan serta produk. jadi
menjaga air agar tetap berada diatas angka tujuh akan membuat produk dan
peralatan produksi tetap dalam keadaan baik (Hammer, 1986).
2.6 Sistem Pengolahan Limbah Cair dengan Sistem Aplikasi Lahan ( Land
Application )
Ada beberapa pilihan dalam pengelolaan limbah cair PKS setelah diolah di
kolam pengelolaan limbah (IPAL) diantaranya adalah dibuang ke badan sungai atau
diaplikasikan ke areal tanaman kelapa sawit yang dikenal dengan land application.
Pembuangan limbah cair ke badan sungai bisa dilakukan dengan syarat telah
memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Alternatif ini
mempunyai beberapa kelemahan diantaranya (Salmin,2005):
1. Pengelolaan limbah cair sehingga menjadi layak dibuang ke badan sungai (BOD
dibawah 100 ppm ), secara teknis bisa dilakukan tetapi memerlukan biaya dan
teknologi yang tinggi di samping waktu retensi efluen yang panjang di kolam-
kolam pengelolaan.
2. Tidak ada nilai tambah baik bagi lingkungan maupun bagi perusahaan.
3. Merupakan potensi sumber konflik oleh masyarakat karena perusahaan dianggap
membuang limbahnya ke badan sungai adalah berbahaya walaupun limbah
tersebut mempunyai BOD di bawah 100 ppm.
Model alternatif lainnya dalam pengelolaan effluent adalah dengan
mengaplikasikan ke areal pertanaman kelapa sawit (land application), sebagai
sumber pupuk dan air irigasi. Banyak lembaga penelitian yang melaporkan bahwa
effluent banyak mengandung unsur hara yang cukup tinggi. Potensi ini menjadi
semakin penting artinya dewasa ini karena harga pupuk impor yang meningkat
tajam serta kerap terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan (Salmin,2005).
Sistem ini hanya menggunakan kolam limbah cair untuk proses
pengolahannya, selanjutnya hasil akhir dimanfaatkan ke areal tanaman yang dapat
dijadikan sebagai system pemupukan kedalam lahan-lahan tanaman yang telah
dibuat sedemikian rupa dalam bentuk sistem distribusinya limbah cair. Pada
prinsipnya konsep pembuangan limbah cair yang dapat berfungsi sebagai pupuk
sehingga dapat menghemat dalam pemupukan terhadap tanaman kelapa sawit dari
aspek ekonomis metode ini sangat menguntungkan tetapi tetap harus
memperhatikan aspek kesehatan lingkungan dengan berpegang pada baku mutu
sebelum dialirkan ke parit-parit didalam kebun, tidak dibenarkan pembuangan atau
mengalirkan tanpa memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan
limbah cair dari hasil produksi kelapa sawit (Salmin,2005).
Pemanfaatan metode ini meliputi pengawasan terhadap pemakaian limbah di
areal, agar diperoleh keuntungan dari segi agronomis dan tidak menimbulkan
dampak yang merugikan (Dirjen PHP, 2006). Pemilihan teknik aplikasi yang sesuai
untuk tanaman kelapa sawit sangat tergantung kepada kondisi maupun faktor
berikut (Azwir, 2006):
a. Jenis dan volume limbah cair, topografi lahan yang akan dialiri
b. Jenis tanah dan kedalaman permukaan air tanah, umur tanaman kelapa sawit
c. Luas lahan yang tersedia dan jaraknya dari pabrik, dekat tidaknya dengan air
sungai atau pemukiman penduduk.