Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus
berserta cabang cabangnya. Bronkitis akut kerap disertai dengan gejala
batuk dengan atau tanpa sputum yang dapat berlangsung sampai 2 minggu.
Bronkitis akut yang berulang dapat memicu terjadinya bronkitis kronis
(Harrison, 2005). Bronkitis pada anak mungkin tidak dijumpai sebagai wujud
klinis tersendiri dan dapat merupakan akibat dari beberapa keadaan pada
saluran respiratori atas dan bawah yang lain (Mansjoer, 2005).
Di Negara barat, kekerapan bronkitis diperkirakan sebanyak 1,3% di
antara populasi (WHO,2003). Di Amerika Serikat, menurut National Center
for Health Statistics, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih
dari 12 juta orang menderita bronkitis akut padatahun 1994, sama dengan 5%
populasi Amerika Serikat (Davey, 2006). Di dunia bronkitis merupakan
masalah dunia.
Frekuensi bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi
rendahdan pada kawasan industri (Harison, 2005). Bronkitis lebih banyak
terdapat pada laki-laki dibanding wanita. Di Indonesia belum ada laporan
tentang angka presentase yang pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya
penyakit ini sering ditemukan di klinik (Mansjoer., 2005).
Bronkitis akut adalah antara penyakit yang sering ditemui di
Puskesmas, Rumah Sakit dan tempat pelayanan kesehatan yang lain dan
hingga sekarang angka penyakit masih belum berkurang. Dengan ini, penulis
tertarik dengan penulisan referat Bronkitis Akut ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Bronkitis akut merupakan proses radang akut pada mukosa bronkus berserta
cabang cabangnya. Bronkitis akut kerap disertai dengan gejala batuk dengan
atau tanpa sputum yang dapat berlangsung sampai 2 minggu. Bronkitis akut yang
berulang dapat memicu terjadinya bronkitis kronis (Gonzales, 2008).

2.2 ETIOLOGI
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh:
Infeksi virus: influenza virus, parainfluenza virus, respiratory syncytial
virus (RSV), adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan lain-lain.
Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik
(Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumonia, Legionella)
Jamur
Non-infeksius: polusi udara, rokok, dan lain-lain.
Penyebab bronkitis akut yang paling sering adalah infeksi virus yakni
sebanyak 90% sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10% Fahy, 2014)

2.3 PATOGENESIS
Penyebab dari bronkitis akut adalah virus, adapun beberapa virus yang
telah diidentifikasi sebagai penyebab bronkitis akut adalah virus virus yang
banyak terdapat di saluran pernapasan bawah yakni influenza B, influenza A,
parainfluenza dan respiratory syncytial virus (RSV). RSV biasanya menyerang
orang orang tua yang terutama mendiami panti jompo, pada anak kecil yang
mendiami rumah yang sempit bersama keluarganya dan pada tempat penitipan
anak. Gejala batuk biasanya lebih berat pada pasien dengan bronkitis akut akibat
infeksi RSV. Virus yang biasanya mengakibatkan infeksi saluran pernapasan atas
seperti rhinovirus, adenovirus dapat juga mengakibatkan bronkitis akut (Gonzales,
2008).

2
Bakteri juga memerankan perannya dalam pada bronkitis akut, antara lain,
Bordatella pertusis, Bordatella parapertusis, Chlamydia pneumoniae dan
Mycoplasma pneumoniae.7 Pada kasus eksaserbasi akut dari bronkitis kronik,
terdapat bukti klinis bahwa bakteri bakteri seperti Streptococcus pneumoniae,
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenzae mempunyai peranan dalam
timbulnya gejala batuk dan produksi sputum. Namun begitu, kasus eksaserbasi
akut bronkitis kronik merupakan suatu kasus yang berbeda dengan bronkitis akut,
karena ketiga bakteri tersebut dapat mendiami saluran pernapasan atas dan
keberadaan mereka dalam sputum dapat berupa suatu koloni bakteri dan ini bukan
merupakan tanda infeksi akut (Sidney, 2007)
Penyebab batuk pada bronkitis akut tanpa komplikasi bisa dari berbagai
penyebab dan biasanya bermula akibat cedera pada mukosa bronkus. Pada
keadaan normal, paru-paru memiliki kemampuan yang disebut mucocilliary
defense, yaitu sistem penjagaan paru-paru yang dilakukan oleh mukus dan siliari.
Pada pasien dengan bronkitis akut, sistem mucocilliary defense paru-paru
mengalami kerusakan sehingga lebih mudah terserang infeksi. Ketika infeksi
timbul, akan terjadi pengeluaran mediator inflamasi yang mengakibatkan kelenjar
mukus menjadi hipertropi dan hiperplasia (ukuran membesar dan jumlah
bertambah) sehingga produksi mukus akan meningkat. Infeksi juga menyebabkan
dinding bronkhial meradang, menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan
normal), dan mengeluarkan mukus kental. Adanya mukus kental dari dinding
bronkhial dan mukus yang dihasilkan kelenjar mukus dalam jumlah banyak akan
menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Mukus yang kental dan pembesaran bronkhus akan mengobstruksi jalan napas
terutama selama ekspirasi. Jalan napas selanjutnya mengalami kolaps dan udara
terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Pasien mengalami kekurangan O2,
jaringan dan ratio ventilasi perfusi abnormal timbul, di mana terjadi penurunan
PO2 Kerusakan ventilasi juga dapat meningkatkan nilai PCO2, sehingga pasien
terlihat sianosis (Melbye dkk, 2008)
Pada bronkitis akut akibat infeksi virus, pasien dapat mengalami reduksi
nilai volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang reversibel. Sedangkan

3
pada infeksi akibat bakteri M. pneumoniae atau C. Pneumoniae biasanya
mempunyai nilai reduksi FEV1 yang lebih rendah serta nilai reversibilitas yang
rendah pula (Melbye, 2008)

2.4 PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Diagnosis dari bronkitis akut dapat ditegakkan bila; pada anamnesa pasien
mempunyai gejala batuk yang timbul tiba tiba dengan atau tanpa sputum dan
tanpa adanya bukti pasien menderita pneumonia, common cold, asma akut,
eksaserbasi akut bronkitis kronik dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya tidak khas. Dapat ditemukan
adanya demam, gejala rinitis sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis.
Sejalan dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada auskultasi dada
dapat terdengar ronki, wheezing, ekspirium diperpanjang atau tanda obstruksi
lainnya. Bila lendir banyak dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.
(Sidney, 2006).
Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk menyingkirkan
kemungkinan pneumonia pada pasien dengan batuk disertai dengan produksi
sputum yang dicurigai menderita bronkitis akut, yang antara lain bila tidak
ditemukan keadaan sebagai berikut:
Denyut jantung > 100 kali per menit
Frekuensi napas > 24 kali per menit
Suhu > 38C
Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal konsolidasi dan
peningkatan suara napas.
Bila keadaan tersebut tidak ditemukan, kemungkinan pneumonia dapat
disingkirkan dan dapat mengurangi kebutuhan untuk foto thorax (Sidney, 2006).
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang memberikan hasil definitif untuk
diagnosis bronkitis. Pemeriksaan kultur dahak diperlukan bila etiologi bronkitis
harus ditemukan untuk kepentingan terapi. Hal ini biasanya diperlukan pada
bronkitis kronis. Pada bronkitis akut pemeriksaan ini tidak berarti banyak karena
sebagian besar penyebabnya adalah virus.Pemeriksaan radiologis biasanya normal

4
atau tampak corakan bronkial meningkat. Pada beberapa penderita menunjukkan
adanya penurunan ringan uji fungsi paru. Akan tetapi uji ini tidak perlu dilakukan
pada penderita yang sebelumnya sehat. (Sidney, 2006).

2.5 DIAGNOSIS BANDING


Batuk dengan atau tanpa produksi sputum dapat dijumpai pada common
cold. Common cold sendiri merupakan istilah konvensional dari infeksi saluran
pernapasan atas yang ringan, gejalanya terdiri dari adanya sekret dari hidung,
bersin, sakit tenggorok dan batuk serta bias juga dijumpai demam, nyeri otot dan
lemas. Seringkali common cold dan bronkitis akut memiliki gejala yang sama dan
sulit dibedakan. Batuk pada common cold merupakan akibat dari infeksi saluran
pernapasan atas yang disertai postnasal drip dan pasien biasanya sering berdeham.
Batuk pada bronkitis akut disebabkan infeksi pada saluran pernapasan bawah
yang dapat didahului oleh infeksi pada saluran pernapasan atas dan oleh sebab itu
mempersulit penegakkan diagnosis penyakit ini. (Sidney, 2006).
Bronkitis akut juga sulit dibedakan dengan eksaserbasi akut bronkitis
kronik dan asma akut dengan gejala batuk. Dalam suatu penelitian mengenai
bronkitis akut, asma akut seringkali didiagnosa sebagai suatu bronkitis akut pada
1/3 pasien yang datang dengan gejala batuk. Oleh karena kedua penyakit ini
memiliki gejala yang serupa, maka satu satunya alat diagnostik adalah dengan
mengevaluasi bronkitis akut tersebut, apakah merupakan suatu penyakit tersendiri
atau merupakan awal dari penyakit kronik seperti asma. (Sidney, 2006).
Bronkitis akut merupakan penyakit saluran pernapasan yang dapat sembuh
sendiri dan bila batuk lebih dari 3 minggu maka diagnosis diferensial lainnya
harus dipikirkan. Pasien dengan riwayat penyakit paru kronik sebelumnya seperti
bronkitis kronik, PPOK dan bronkiektasis, pasien dengan gagal jantung dan
dengan gangguan sistem imun seperti AIDS atau sedang dalam kemoterapi,
merupakan kelompok yang beresiko tinggi terkena bronkitis akut dan dalam hal
ini kelompok tersebut merupakan pengecualian. (Sidney, 2006).

5
2.6 TATALAKSANA
Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan bronkitis
akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang mereka
derita seringkali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis kronik atau
common cold. Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk bronkitis akut hanya
untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu pemberian antibiotik
dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus (Sidney, 2006).

1. Pemberian antibiotik
Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65 80 % pasien dengan
bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui bahwa
pemberian antibiotik sendiri tidak efektif. Pasien dengan usia tua paling sering
menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka menerima terapi antibiotik
dengan spektrum luas(Gonzales, 2008)
Pada pasien bronkitis akut yang mempunyai kebiasaan merokok, sekitar 90%
menerima antibiotik, sampai saat ini belum ada bukti klinis yang menunjukkan
bahwa pasien bronkitis akut yang merokok dan tidak mempunyai riwayat PPOK
lebih perlu diberikan antibiotik dibandingkan dengan pasien dengan bronkitis akut
yang tidak merokok.
Kesimpulan dari beberapa penelitian itu adalah pemberian antibiotik
sebenarnya tidak bermanfaat pada bronkitis akut karena penyakit ini disebabkan
oleh virus. Dalam praktek dokter di klinik, banyak pasien dengan bronkitis akut
yang minta diberikan antibiotik dan sebaiknya hal ini ditangani dengan
memberikan penjelasan mengenai tidak perlunya penggunaan obat tersebut dan
justru pemberian antibiotik yang berlebihan dapat meningkatkan kekebalan
kuman (resistensi) terhadap antibiotik.
Namun begitu, penggunaan antibiotik diperlukan pada pasien bronkitis akut
yang dicurigai atau telah dipastikan diakibatkan oleh infeksi bakteri pertusis atau
seiring masa perjalanan penyakit terdapat perubahan warna sputum. Pengobatan
dengan eritromisin (atau dengan trimetroprim/sulfametoksazol bila makrolid tidak

6
dapat diberikan) dalam hal ini diperbolehkan. Pasien juga dianjurkan untuk
dirawat dalam ruang isolasi selama 5 hari (Sidney, 2006)

Tabel 1. Agen Antibiotik (Hudson, 2011)

2. Bronkodilator
Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan bronkodilator
tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut tanpa komplikasi.
Ringkasan statistik dari penelitian Cochrane tidak menegaskan adanya
keuntungan dari penggunaan -agonists oral maupun dalam mengurangi gejala
batuk pada pasien dengan bronkhitis akut.
Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien
bronkhitis akut dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing,
penggunaan bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan. Efek samping dari
penggunaan -agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan gemetar.
Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala batuk pada bronkitis
akut sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak dianjurkan (Sidney,
2006)

3. Antitusif

7
Penggunaan codein atau dekstrometorphan untuk mengurangi
frekuensi batuk dan perburukannya pada pasien bronkitis akut sampai saat ini
belum diteliti secara sistematis. Dikarenakan pada penelitian sebelumnya,
penggunaan kedua obat tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk
untuk pasien dengan bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut
diperkirakan memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan
kedua obat tersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan
penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan tidak
direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian (Lee P et al.,
2008)
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efektif
dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian, sebanyak
710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan gejala batuk, secara
acak diberikan dosis tunggal 30 mg Dekstromethorpan hydrobromide atau
placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara objektif menggunakan
rekaman batuk secara berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa batuk
berkurang dalam periode 4 jam pengamatan (Payesi dkk, 2009)
Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih
banyak berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi
empiris untuk batuk pada bronkitis akut dapat digunakan(Sidney, 2006)

Tabel 2. Agen Antitusif (Hudson, 2011)


Agen mukokinetik
Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis yang
menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di beberapa
penelitian, meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal(Sidney, 2006)
4. Lain lain

8
Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada penderita,
diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup, kelembaban udara yang
cukup serta masukan cairan ditingkatkan.

Obat Inhaler (g) Larutan Oral Vial Durasi


Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)
Adrenergik (2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% 4-6
(sirup)
Salbutamol 100, 200 5 5mg (pil), 0,1 ; 0,5 4-6
MDI&DPI
0,24%
(sirup)
Terbutaline 400,500 (DPI) 2,5 ; 5 0,2; 0,25 4-6
(pil)
Formoterol 4,5-12 12+
MDI&DPI
Salmeterol 25-50 12+
MDI&DPI
Antikolinergik
Ipatropium 20,40(MDI) 0,25-0,5 6-8
bromide
Oxitropium 100 (MDI) 1,5 7-9
bromide
Tiotropium 18(DPI) 24+

Methylxanthines
Aminophylline 200- 240mg 24
600mg
(pil)
Theophylline 100- 24
600mg
(pil)
Kombinasi adrenergik & antikolinergik

9
Fenoterol/Ipatropi 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8
um
Salbutamol/Ipatro 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8
pium
Inhalasi Glukortikosteroid
50-
Beclomethasone 400(MDI&DPI) 0,2-0,4
100,200,400(DP
Budenosid I) 0,20, 0,25, 0,5
50-500(MDI
Futicason &DPI)
Triamcinolone 100(MDI) 40 40
Kombinasi 2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu
inhaler
Formoterol/Buden 4,5/160; 9/320
oside (DPI)
50/100,250,500(DP
Salmoterol/Flutica I)
sone 25/50,125,250(M
DI)
Sistemik Glukortikosteroid
5-60
Prednisone mg(Pil)
4, 8 , 16
Methy-Prednisone mg (Pil)

Tabel 3. Obat-obatan lain yang digunakan(Hudson, 2011)

2.7 PROGNOSIS
Perjalanan dan prognosis penyakit ini bergantung pada tatalaksana yang
tepat atau mengatasi setiap penyakit yang mendasari. Komplikasi yang terjadi
berasal dari penyakit yang mendasari.

10
BAB III
KESIMPULAN

11
Bronkitis akut adalah peradangan akut pada bronkus dan cabang-
cabangnya, yang disebabkan sebagian besar oleh virus dan mengakibatkan
terjadinya edema dan pembentukan mukus. Gejala yang paling menonjol adalah
batuk dengan atau tanpa sputum, berlangsung tidak lebih dari 2 minggu. Untuk
menegakkan diagnosis dari penyakit ini harus disingkirkan kemungkinan adanya
penyakit pernapasan lainnya seperti pneumonia, common cold, asma akut,
eksaserbasi akut bronkitis kronik dan PPOK.
Pada penatalaksanaan bronkitis akut, antibiotik diperbolehkan bila
dicurigai penyebabnya adalah bakteri. Pemberian bronkodilator diperbolehkan
bila gejala batuk berbarengan dengan asma. Pemberian agen mukolitik tidak
direkomendasikan dan pemberian antitusif dengan Dekstrometorphan Hbr terbukti
dapat menekan gejala batuk.

DAFTAR PUSTAKA

Harrison, T.R. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th edition,


USA: The Mac Graw-Hill Companies. 1671-73

12
Mansjoer, Arif, dkk., ed. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 edisi ke-
3. Jakarta: Media Aesculapius. Hal; 224
Gonzales R, Sande M. Uncomplicated acute bronchitis. Ann Intern Med 2008;
133: 981991
Fahy JV,Dickey BF. Review Artikel Airway Mucus Function and Dysfunction.
New England of Jurnal Medicine. Vol 363. No.23. June 18,2014.
Sidney S. Braman. Chronic Cough Due to Acute Bronchitis : ACCP Evidence-
Based Clinical Practice Guidelines. Chest Journal. 2006;129;95S-
103S.
Drug Information Handbook. 20th ed. Hudson, OH: Lexi-Comp, 2011
Pavesi L, Subburaj S, Porter Shaw K. Application and validation of a
computerized cough acquisition system for objective monitoring of
acute cough. Chest 2009; 120: 11211128.
.
Lee P, Jawad M, Eccles R. Antitussive efficacy of dextromethorphan in cough
associated with acute upper respiratory infection. J Pharm
Pharmacol 2008; 52:11391142.

13

Anda mungkin juga menyukai