Anda di halaman 1dari 18

TUGAS

HUKUM PIDANA KORUPSI

TENTANG :

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM


PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA

Oleh :

ADRIYANTI
NIM : 1121211065

Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. ELWI DANIL

JURUSAN ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNAND PADANG

0
2012
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan peradaban dunia semakin hari seakan-akan berlari menuju

modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi

kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga

senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk

yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan

ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak

lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun

seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan

dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak

pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis

kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi

ini. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan

kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang

memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula

kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.1

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang menjadi

musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di

masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua

berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum
1
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
2005. Hal.1 (buku 1).

1
merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam

masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti

oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.

Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini

meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh

kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan

jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta

eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi

dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu

bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak

secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.

Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah

banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini

sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel

organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif,

eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru,

korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat

tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur

tentang tindak pidana korupsi sudah ada.

Segala aturan hukum silih berganti digunakan untuk menanggulanginya,

namun hingga sekarang korupasi tetap merebak dan menggurita. Kebijakan legislasi

dalam perundang-undangan pidana ingin difungsikan sebagai salah satu instrument

penaggulangan kejahatan, bagaimana sistem pemidanaannya dan penegakan

hukumnya.

2
Kegagalan dalam melakukan pemberantasan korupsi cenderung diposisikan

sebagai sisi gelap penegakan hukum dalam era reformasi. Aparat penegak hukum

sebagai guardian pilar dalam pemberantasan korupsi tidak jarang pula ikut terjabak

atau melibatkan diri dalam perilaku korup. Kasus penyuapan terhadap seorang Jaksa

Agung dan indikasi korupsi yang dilakukan hakim dan jaksa telah semakin

memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan untuk memberantas

korupsi. Ketidakpercayaan itu dilukiskan dengan sebuah ungkapan mana mungkin

kita bias menyapu ruangan yang kotor dengan sapu-sapu yang kotor.2

Proses penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh kualitas dan kreativitas

penegak hukum semata. Di samping faktor penegak hukum itu sendiri, ada factor-

faktor lain yang ikut menentukan jalannya proses. Paling sedikit ada empat factor yang

akan mempengaruhi proses penegakan hukum, yaitu :3

1. Faktor hukum;

2. Faktor penegak hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum itu berlaku atau diterapkan.

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh

dilakukan serta dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang

nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin

akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum.

Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan

hukum.4

2
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, Hal. 268
3
Elwi Danil, Op.cit, Hal. 269
4
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006. Hal. 1

3
Secara yuridis normatif berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana

pemberantasan KKN sudah memadai, di antaranya yaitu UU No. 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan UU No. 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah dirubah UU

No. 20 Tahun 2001, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi, dan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim

Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi bagaimana

efektivitasnya, peraturan perundang-undangan dengan ketentuan normanya hanya bisa

implementatif bila digerakkan oleh mesin penegakan hukum. Mengapa korupsi tetap

saja semarak.

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 sebagai hukum pidana

(termasuk dalam hukum pidana khusus) didayagunakan untuk menanggulangi tindak

pidana korupsi. UU tersebut merupakan salah satu sarana (penal) yang memerlukan

sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian

perundang-undangan pidana di dalam masyarakat, maka tidak dapat terpisahkan dari

problema kemasyarakatan menyangkut politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi.

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam kasus korupsi di Indonesia.

3. Bagaimanakah dampak yang terjadi akibat korupsi dan upaya penanggulangannya.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi

Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara gamblang dijelaskan

dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.

20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan pasal-pasal

tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal

tersebut menjelaskan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi

pidana korupsi.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakar yang

memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai suatu kekuasaan mutlak.

Sebagai akibat korupsi ketimpangan antara si miskin dan sikaya semakin kentara.

Orang-orang kaya dan memiliki politisi korup bisa masuk dalam golongan elite yang

berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga memilik status sosial yang tinggi.

Korupsi menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku yang

menggunakan jabatan dan wewenang guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan

kepentingan umum Dijabarkan pula oleh Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor seorang

melakukan tindak korupsi adalah factor dorongan dalam diri (keinginan, hasrat,

kehendak) dan faktor rangsangan dari luar (kesempatan, dorongan teman-teman,

kurang kontrol, dan lain-lain).

Secara bahasa, korupsi berasal dari bahasa inggris, yaitu corrupt, yang berasal

daari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan

rupere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu

perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu

5
pemberian. Dalam prakteknya korupsi lebih dikenal menerima uang yang ada

hubungannya dengan jabatan tanpa adanya catatan administrasi. Pengertian korupsi

lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat

luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :

- Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,

administrasi yang lamban dan sebagainya.

- Warisan pemerintahan kolonial.

- Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada

kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan

oleh pejabat pemerintah.

B. Kebijakan Hukum Pidana dalam Kasus Korupsi di Indonesia

Pendayagunaan UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai kebijakan kriminal,

yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk

menanggulangi kajahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang

disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang

dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui

perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-

norma sentral dari masyarakat.5

Perencanaan penanggulangan kejahatan diperlukan agar perundang-undangan

pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dan

berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum pidana, yang

5
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158.

6
merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif, tahap penerapan

atau yudikatif, dan tahap pelaksanaan atau eksekutif/administratif.

Kebijakan perundang-undangan memfokuskan permasalahan sentral

menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak

pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana

materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam

hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum

pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana, pertanggung-

jawaban, dan sanksi pidana.6

Masalah berikutnya mengenai penentuan sanksi pidana dalam kebijakan

perundang-undangan merupakan kegiatan yang akan men-dasari dan mempermudah

penerapan maupun pelaksanaannya dalam rangka penegakan hukum pidana

inkonkreto. Penentuan sanksi pidana terhadap suatu perbuatan merupakan pernyataan

pencelaan dari sebagian besar warga masyarakat. Barda Nawawi Arief

mengemukakan, pencelaan mempunyai fungsi pencegahan karena sebagai faktor yang

dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki kesadaran

moralnya, yang akan menentukan tingkah-lakunya di masa mendatang. Jadi tidak

semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena adanya rasa

hormat tentang apa yang dipandang benar dan adil.7

Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih

konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan perundang-

undangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan

menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas

6
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang (Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990), hal. 2.
7
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hal. 26.

7
sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari

sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar

crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah

seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief 8

menyarankan dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan

pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik

sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal

dan non-penal. Pengamatan Bambang Poernomo9, kesulitan untuk menanggulangi

korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara

melainkan sudah cenderung meluas ke dalam lingkungan keluarga pejabat untuk

memanfaatkan kesempatan yang menguntungkan, dan/atau lingkungan kelompok

bisnis tertentu untuk mendapatkan keuntungan secara illegal.

Dalam penanggulangan korupsi hendaklah jangan mengukur tingkat intensitas

dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata, melainkan harus

dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang berpengaruh, seperti: sifat

kepemimpinan dapat menjadi teladan atau tidak, mekanisme pengawasan dapat

berjalan efektif atau tidak, dll10. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana dengan

pendekatan yang legalistik yang berorientasi represif hanya merupakan pengobatan

yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang ampuh untuk

memberantas korupsi. Dengan demikian, diperlukan pendekatan komprehensif,

8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1996), hal. 4.
9
Bambang Poernomo, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi. Seminar
Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan Antisipasinya terhadap
Perkembangan Kejahatan Korupsi, (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep. Kehakiman, 11
September 1999 ), hal. 3.
10
Soedjono dirdjosisworo, Fungsi perundnag-undnagan Pidana dalam penanggulangan korupsi di
Indonesia, (Bandung: CV Sinar baru, 1984), hal. 47.

8
meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen dalam

penyelenggaraan negara11.

C. Dampak Yang Terjadi Akibat Korupsi dan Upaya Penanggulangannya

Akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari korupsi yaitu :

1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman

modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.

2. Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer,

menimbulkan ketimpangan sosial budaya.

3. Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi,

hilangnya kewibawaan administrasi.

Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah

ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan

sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama

perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan

pemerintah dan tidak represif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat

korupsi diatas adalah sebagai berikut :

1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,

gangguan penanaman modal.

2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.

3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,

hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.

11
Romli Atmasasmita, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke XXI :
Suatu Orientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung, 25 September 1999), Hal. 10 14.

9
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,

hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan

pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.

Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi

kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum

dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Upaya Penanggulangan Korupsi

Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin

mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa

dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari

jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).

Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada

beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing

memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980)

memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :

1. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah

pembayaran tertentu.

2. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.

3. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan

dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling

tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan

instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk

mengurangi kesempatan korupsi.

10
4. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan

ancaman.

5. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi

dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi

organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu

pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan

dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.

Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized)

tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal

dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk

kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi

haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan

dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman

hukuman kepada pelaku-pelakunya.

Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara

pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi

deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat

masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan

timbulnya korupsi.

Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan

partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.

2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan

nasional.

11
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak

korupsi.

4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum

tindak korupsi.

5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui

penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.

6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan achievement dan bukan

berdasarkan sistem ascription.

7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi

pemerintah.

8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.

9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis

tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.

10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok

dengan pengenaan pajak yang tinggi.

Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi

korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para

koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang

memalukan lagi.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya

penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

1. Preventif

a. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi

pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik

pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.

12
b. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri

sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan

pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa

oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.

c. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap

jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka

kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya

kepada masyarakat dan negara.

d. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam

memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.

e. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol,

koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung

disalahgunakan.

f. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan sense of

belongingness dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa

peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu

berusaha berbuat yang terbaik.

2. Represif

1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.

2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis dapat menarik beberapa

kesimpulan bahwa :

1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai

demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.

2. Kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan

kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan

keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan

resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan

(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun

etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara

miliknegara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan

penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan

diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih

efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk

kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa sense of

belongingness diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang

bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan

penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)

kekayaan pejabat dan pegawai.

B. Saran

14
Kebijakan perundang-undangan harus fokus pada permasalahan sentral

menyangkut penetapan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan sebagai tindak

pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan.


kebijakan hukum dan penegakan hukum yang bermoral dan yang bekerja

berlandaskan etika profesinya akan menjadi pendukung terwujudnya supremasi hukum

yang merupakan tonggak berdirinya sistem politik demokrasi di Indonesia, yang

dalam kerangka inilah tujuan penanggulangan korupsi akan berhasil.

DAFTAR PUSTAKA

15
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta. 2005.

Bambang Poernomo, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi.


Seminar Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan
Antisipasinya terhadap Perkembangan Kejahatan Korupsi, Yogyakarta: Fak.
Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep. Kehakiman, 11 September 1999.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan


Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro)

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996.

Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006.

Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang (Pidato


Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24
Februari 1990).

Romli Atmasasmita, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke


XXI : Suatu Orientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 25
September 1999).

Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi perundnag-undnagan Pidana dalam penanggulangan


korupsi di Indonesia, Bandung: CV Sinar baru, 1984).

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981)

DAFTAR ISI

16
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I. : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 4

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi .... 5
B. Kebijakan Hukum Pidana dalam Kasus Korupsi di Indonesia 6
C. Dampak Yang Terjadi Akibat Korupsi dan Upaya
Penanggulangannya ... 9

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................ 14
B. Saran ...................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai