TENTANG :
Oleh :
ADRIYANTI
NIM : 1121211065
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. H. ELWI DANIL
0
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan
ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak
lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun
seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan
dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak
Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis
kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi
ini. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang menjadi
musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di
masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua
berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum
1
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
2005. Hal.1 (buku 1).
1
merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam
masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi
dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu
bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah
banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini
sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel
eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru,
korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat
namun hingga sekarang korupasi tetap merebak dan menggurita. Kebijakan legislasi
hukumnya.
2
Kegagalan dalam melakukan pemberantasan korupsi cenderung diposisikan
sebagai sisi gelap penegakan hukum dalam era reformasi. Aparat penegak hukum
sebagai guardian pilar dalam pemberantasan korupsi tidak jarang pula ikut terjabak
atau melibatkan diri dalam perilaku korup. Kasus penyuapan terhadap seorang Jaksa
Agung dan indikasi korupsi yang dilakukan hakim dan jaksa telah semakin
kita bias menyapu ruangan yang kotor dengan sapu-sapu yang kotor.2
Proses penegakan hukum tidak hanya ditentukan oleh kualitas dan kreativitas
penegak hukum semata. Di samping faktor penegak hukum itu sendiri, ada factor-
faktor lain yang ikut menentukan jalannya proses. Paling sedikit ada empat factor yang
1. Faktor hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum itu berlaku atau diterapkan.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh
dilakukan serta dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang
nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin
akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum.
Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan
hukum.4
2
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011, Hal. 268
3
Elwi Danil, Op.cit, Hal. 269
4
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006. Hal. 1
3
Secara yuridis normatif berbagai peraturan perundang-undangan sebagai sarana
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah dirubah UU
No. 20 Tahun 2001, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pemberantasan Korupsi, dan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim
implementatif bila digerakkan oleh mesin penegakan hukum. Mengapa korupsi tetap
saja semarak.
pidana korupsi. UU tersebut merupakan salah satu sarana (penal) yang memerlukan
sarana lain (non-penal) secara terpadu, dan kesemuanya itu sebagai pengoperasian
B. Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No.
tersebut menjelaskan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi
pidana korupsi.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakar yang
memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai suatu kekuasaan mutlak.
Sebagai akibat korupsi ketimpangan antara si miskin dan sikaya semakin kentara.
Orang-orang kaya dan memiliki politisi korup bisa masuk dalam golongan elite yang
berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga memilik status sosial yang tinggi.
Korupsi menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku yang
kepentingan umum Dijabarkan pula oleh Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor seorang
melakukan tindak korupsi adalah factor dorongan dalam diri (keinginan, hasrat,
Secara bahasa, korupsi berasal dari bahasa inggris, yaitu corrupt, yang berasal
daari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan
rupere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu
perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu
5
pemberian. Dalam prakteknya korupsi lebih dikenal menerima uang yang ada
lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat
- Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada
kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan
yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk
disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang
dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui
pidana menjadi sarana yang baik untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dan
berlaku efektif. Kegiatan ini memasuki lingkup kebijakan hukum pidana, yang
5
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 113, 158.
6
merupakan suatu proses terdiri dari tahap formulasi atau legislatif, tahap penerapan
pidana, dan sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan. Dalam hukum pidana
materiil kedua hal tersebut termasuk pula perhatian terhadap orang/pelakunya, dalam
hal ini menyangkut masalah pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam hukum
pidana materiel dikenal masalah pokok yang menyangkut tindak pidana, pertanggung-
dapat mempengaruhi perilaku. Hal itu diterima oleh si pelaku memasuki kesadaran
semata-mata taat pada ancaman yang menderitakan, melainkan karena adanya rasa
6
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang (Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fak. Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990), hal. 2.
7
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), hal. 26.
7
sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari
crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah
pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik
sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal
korupsi itu disebabkan lingkaran pelakunya yang tidak lagi hanya para pejabat negara
dan volumenya hanya dari segi perundang-undangan pidana semata, melainkan harus
berjalan efektif atau tidak, dll10. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana dengan
yang bersifat simptomatik dan tidak merupakan sarana hukum yang ampuh untuk
8
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
1996), hal. 4.
9
Bambang Poernomo, Kebijakan Non-Penal dalam Menanggulangai Kejahatan Korupsi. Seminar
Nasional Menyambut Lahirnya UU Tindak Pidana Korupsi Yang baru dan Antisipasinya terhadap
Perkembangan Kejahatan Korupsi, (Yogyakarta: Fak. Hukum UGM, KEJATI DIY, dan Dep. Kehakiman, 11
September 1999 ), hal. 3.
10
Soedjono dirdjosisworo, Fungsi perundnag-undnagan Pidana dalam penanggulangan korupsi di
Indonesia, (Bandung: CV Sinar baru, 1984), hal. 47.
8
meliputi pendekatan sosiologis, kultural, ekonomi, manajemen dalam
penyelenggaraan negara11.
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri,
11
Romli Atmasasmita, Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad ke XXI :
Suatu Orientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fak. Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung, 25 September 1999), Hal. 10 14.
9
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa
dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means).
Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada
beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980)
pembayaran tertentu.
dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling
tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan
10
4. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan
ancaman.
dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi
organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu
tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk
kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara
pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi
deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat
masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya korupsi.
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
nasional.
11
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak
korupsi.
tindak korupsi.
pemerintah.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para
koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang
memalukan lagi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
1. Preventif
pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik
12
b. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri
sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan
pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa
jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka
kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya
d. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam
disalahgunakan.
peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
2. Represif
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis dapat menarik beberapa
kesimpulan bahwa :
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan
etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara
diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih
kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa sense of
bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan
B. Saran
14
Kebijakan perundang-undangan harus fokus pada permasalahan sentral
DAFTAR PUSTAKA
15
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta. 2005.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996.
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006.
DAFTAR ISI
16
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I. : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi .... 5
B. Kebijakan Hukum Pidana dalam Kasus Korupsi di Indonesia 6
C. Dampak Yang Terjadi Akibat Korupsi dan Upaya
Penanggulangannya ... 9
DAFTAR PUSTAKA
17