Anda di halaman 1dari 6

RESUME PARASITOLOGI Nama : Awalia Siska Puji Lestari

NIM/Offering : 150342605762 / GHI-K

CESTODA PARASIT (TAENIASIS)

Jenis cacing pita yang umum menginfeksi manusia di dunia adalah Taenia, Echinococcus,
Diphyllobothrium, Hymenolepis, dan Dipylidium. Namun yang bersifat obligatory-
cyclozoonoses adalah T. saginata, T. solium, dan T. saginata taiwanensis, karena hanya manusia
sebagai inang definitif yang dapat terinfeksi cacing dewasa. Sedangkan cacing yang lain inang
definitif utamanya adalah karnivora. Tentu saja yang bertindak sebagai inang antara (infeksi
larva) adalah hewan ternak, kesayangan, bahkan hewan liar yang erat berhubungan dengan
kehidupan manusia baik dalam rantai makanan maupun kontak dengan lingkungan mereka.
Taeniasis merupakan penyakit akibat infeksi parasit (cacing) yang dapat ditemukan diseluruh
dunia. Taeniasis adalah suatu penyakit zoonosis (menular dari hewan ke manusia) yang
disebabkan oleh cacing Teania. Taeniasis umumnya ditemukan pada masyarakat dengan sanitasi
yang tidak baik. Di Indonesia, kasus taeniasis banyak ditemukan di Provinsi Irian Jaya, dimana
konsumsi terhadap daging babi sangat tinggi. Kista Taenia solium ini bersifat neurocysticercosis
yang teridentifikasi sebagai penyebab 30-50% kasus epilepsi di negara berkembang. Manusia
merupakan hospes definitive, sesangkan babi merupakan hospes perantara. Menurut CFSPH
2005, konsumsi daging babi mentah atau setengah matang merupakan faktor resiko terbesar
penyebab Taeniasis pada manusia.

Taenia saginata

Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih
panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa
mencapai 25m yang terdiri atas kurang lebih 2000 segmen seperti yang terlihat pada gambar 1.
Cacing ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel pada permukaan
selaput lendir usus manusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya
telah mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur matang
disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap
segmen. Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar dari anus
penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika defekasi. Apabila telur yang
bebas dari segmen gravid tersebut mencemari lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur yang
tertelan ternak menetas dalam ususnya. Embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus
kemudian bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada habitat yang
cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga disebut metacestoda atau lebih
dikenal sebagai cacing gelembung yang berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang
menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan dalam
jaringan otot/organ tubuh sapi/kerbau. Habitat utamanya adalah otot lidah, otot pengunyah,
diafragma, jantung, namun dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus
tersebar ke seluruh otot sapi coba. Di dalam tubuh sapi cysticercus dapat bertahan hidup selama
beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi daging sapi yang mengandung cysticercus hidup
selanjutnya berkembang menjadi T. saginata dalam ususnya, siklus hidup T. saginata dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Morfologi T. saginata. Gambar 2. Siklus hidup T. saginata.


Taenia solium

Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai
inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek
dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m. Setiap individu cacing dewasa terdiri atas
800 hingga 1000 segmen seperti yang terlihat pada gambar 3. Berbeda dengan scolex T. saginata,
selain diameternya lebih kecil yaitu 1mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling
rostellumnya. Mungkin karena ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung
4000 telur. Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita taeniasis solium.
4 Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain, yang
membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun menurut beberapa penulis pernah
dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya dapat juga sebagai inang antaranya. Babi adalah
hewan omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa ekor
babi menderita cysticercosis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging tampak ratusan
Cysticercus cellulosae. Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi.
Celakanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak
sebagai inang antara walaupun secara kebetulan. Pada tubuh manusia penderita cysticercosis,
larva cacing (Cysticercus cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil,
selaput otak, jantung, mata, dan di bawah kulit. Penularan dapat terjadi secara langsung karena
menelan telur cacing yang mengontaminasi makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi
adalah autoinfeksi melalui tangan yang kurang bersih/setelah menggaruk-garuk bagian tubuh
yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh refleks muntah pada
penderita taeniasis.

Gambar 3. Morfologi T. Solium.


Siklus Hidup

Telur Taenia solium masuk kedalam tubuh babi melalui pakan yang tercemar oleh telur
atau proglotid fravid Taenia solium. Di dalam saluran pencernaan babi, telur tersebut kemudian
menetas menjadi oncosphere. Oncosphere pecah yang kemudian menginvasi mukosa usus dan
bermigrasi ke otot menjadi sistiserkus. Sistiserkus tersebut dapat bertahan bertahun-tahun di
dalam otot. Manusia akan terinfeksi apabila : telur masuk kedalam tubuh babi/sapi melalui pakan
yang tercemar oleh telur atau proglotid gravid Taenia. Dalam saluran pencernaan babi/sapi, telur
menetas menjadi oncosphere yang kemudian pecah. Oncosphere yang pecah kemudian
menginvasi mukosa usus dan bermigrasi ke otot menjadi sistiserkus. Sistiserkus dapat bertahan
hingga beberapa tahun. Manusia akan terinfeksi apabila mengkonsumsi daging mentah atau tidak
matang yang mengandung sistiserkus. Di dalam saluran pencernaan manusia, selama 2 bulan
sistiserkus tersebut akan berubah menjadi cacing dewasa yang mampu bertahan hingga beberapa
tahun. Cacing dewasa akan melekat di mukosa usus dengan scolex (pengait yang terdapat di
bagian mulut). Cacing dewasa akan menghasilkan proglotid yang akan berkembang menjadi
gravid/telur yang akan keluar melalui anus (bersama feses). Telur tersebut akan bertahan di
lingkungan selama beberapa minggu. Siklus ini dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Siklus hidup T. solium


Cara Penularan

Infeksi Taenia ke manusia dapat melalui makanan yaitu mengonsumsi daging babi atau
sapi yang terinfeksi Taenia yang tidak dimasak sempurna atau mentah. Infeksi sistiserkosis akan
menyebabkan gejala klinis pada saluran pencernaan, namun apabila mengkonsumsi sayuran atau
makanan yang tercemar telur Taenia maka cacing tersebu akan tumbuh dan berkembang menjadi
sistiserkosis yang terdapat di otot. Babi dapat terinfeksi akibat mengkonsumsi pakan yang
tercemar telur cacing atau memakan feses babi yang terinfeksi.

Gejala Klinis

Gejala klinis pada babi yang terinfeksi umumnya tidak menunjukkan gejala klinis sama
sekali. Sistiserkus terdapat di otot, otak, hati dan jantung. Gejala klinis pada manusia umumnya
bersifat asimptomatis, namun pada sebagian kasus pasien akan mengalami rasa sakit pada perut,
diare, pada balita sebagian pasien mengalami muntah, diare, demam dan penurunan berat badan.
Gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah dan lokasi larva.

Pencegahan dan Pengandalian Taeniasis


Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit merupakan titik kritis dalam
menentukan strategi pencegahan maupun pengendalian. Titik kritis tersebut adalah sumber
infeksi, inang yang rentan, serta transmisi penyakit yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan. Manusia maupun hewan penderita taeniasis menghasilkan telur/segmen gravid atau
larva infektif serta segala sesuatu yang tercemar telur cacing merupakan sumber penularan
potensial. Pemberian anticestoda bagi penderita adalah upaya pengendalian yang penting
terutama pada manusia. Pengobatan cysticercosis pada ternak jarang dilakukan karena dinilai
kurang ekonomis, disamping itu sebelumnya perlu diagnosis terlebih dahulu dengan biaya yang
memerlukan biaya cukup mahal. Kalaupun dilakukan uji serologis pada populasi ternak biasanya
untuk keperluan studi epidemiologis. Sedangkan cysticercosis pada manusia (neuro-cysticercosis,
ocular-cysticercosis) biasanya berakibat fatal sebelum dilakukan pengobatan. Peningkatan
pemeriksaan kesehatan daging di rumah pemotongan hewan (RPH) oleh pejabat berwenang
sangat diperlukan untuk pencegahan taeniasis manusia. Selain itu penyuluhan tentang sanitasi
lingkungan dan konsumsi daging masak kepada masyarakat terutama yang berisiko tinggi.
Pemasakan daging yang dapat membunuh cysticercus adalah pemanasan dengan suhu 50-600 C
atau pembekuan pada suhu -100 C selama 10-14 hari. Banyak perdebatan tentang ketentuan
tersebut karena berat/jumlah daging yang dipanaskan berhubungan dengan waktu pemanasan
agar larva yang terkandung mati. Dengan demikian pula dengan pembekuan pada suhu -50 C
memerlukan waktu 4 hari, -150 C selama 3 hari, dan -240 C cukup sehari. Perbaikan tata laksana
peternakan sapi maupun babi adalah satu hal yang harus dilakukan untuk pencegahan
cysticercosis pada ternak. Pada prinsipnya adalah mencegah kontak antara ternak/pakan ternak
dengan tinja manusia penderita taeniasis. Hal-hal yang lebih rinci tentang pencegahan dan
pengendalian kecacingan ini telah dituangkan dalam buku petunjuk sebagai buku saku oleh
Departemen Kesehatan RI yang berkoordinasi dengan Direktorat Jendral Peternakan. Dalam
buku tersebut antara lain menguraikan prosedur diagnosis dengan beberapa metode, prosedur
pengobatan yang efektif sampai dengan tahap evaluasi, serta beberapa ketentuan untuk
pencegahan.

PERTANYAAN
1. Cacing pita yang terdapat dalam daging sapi atau T. saginata, merupakan cacing yang
makroskopis sehingga dapat dilihat langsung oleh mata. Misalnya, didapati daing sapi
yang terkontaminasi T. saginata, lalu cacing tersebut dibuang. Apakah masih berbahaya
untuk dikonsumsi?
Jawab : Tentu saja masih berbahaya, meskipun cacing yang makroskopis tersebut
dibuang, pasti masih tersisa cacing yang masih dalam tahap mikroskopis, misalnya
adalah larva. Larva tersebut menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini disebut
Cysticercus bovis, dapat ditemukan dalam jaringan otot/organ tubuh sapi. Manusia akan
terinfeksi apabila mengkonsumsi daging mentah atau tidak matang yang mengandung
sistiserkus. Di dalam saluran pencernaan manusia, selama 2 bulan sistiserkus tersebut
akan berubah menjadi cacing dewasa yang mampu bertahan hingga beberapa tahun.
Sehingga, sebelum dikonsumsi alangkah lebih baiknya dimasak atau direbus dahulu, agar
semua kontaminan mati.
2. Apakah perbedaan yang terdeapat pada siklus hidup T. saginata dan T. solium?
Jawab : Perbedaan antara siklus hidup T. saginata dan T. solium yakni telur T. solium
juga dapat menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai inang
antara walaupun secara kebetulan. Sedangkan pada T. saginata, segmen gravid secara
spontan keluar dari anus penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja
ketika defekasi. Apabila telur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari
lingkungan pakan ternak sapi/kerbau, telur yang tertelan ternak menetas dalam ususnya.
Jadi, telur dari T. sagianata hanya menetas pada inang perantaranya yaiti misalnya pada
usus sapi.

Anda mungkin juga menyukai