Anda di halaman 1dari 23

Skrining Kanker Serviks dengan Tes IVA

Karinna Pratiwi 102011397


Lucia Anastasha Eka Wara 102012209
Karinda Lado 102012434

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan

Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk
mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Tidak seperti
apa yang biasanya terjadi dalam kedokteran, tes skrining yang dilakukan pada orang tanpa tanda-
tanda klinis penyakit.

Tujuan dari skrining adalah untuk mengidentifikasi penyakit pada komunitas awal,
sehingga memungkinkan intervensi lebih awal dan manajemen dengan harapan untuk
mengurangi angka kematian dan penderitaan dari penyakit.1 Meskipun skrining dapat mengarah
ke diagnosis sebelumnya, tidak semua tes skrining telah terbukti bermanfaat bagi orang yang
sedang diputar; overdiagnosis, misdiagnosis, dan menciptakan rasa aman palsu beberapa efek
negatif dari penyaringan. Untuk alasan ini, tes yang digunakan dalam program skrining, terutama
untuk penyakit dengan insiden rendah, harus memiliki sensitivitas yang baik selain kekhususan
diterima. Beberapa jenis skrining ada: skrining universal melibatkan skrining semua individu
dalam suatu kategori tertentu (misalnya, semua anak pada usia tertentu). Temuan Kasus
melibatkan skrining sekelompok kecil orang berdasarkan adanya faktor risiko (misalnya, karena
anggota keluarga telah didiagnosis dengan penyakit keturunan).1

Seiring dengan meningkatnya populasi, maka insidens kanker leher rahim juga
meningkat sehingga meningkatkan beban kesehatan negara.2 Padahal penyakit ini dapat dicegah
dengan deteksi dini lesi prankanker yang apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi
kanker leher rahim.

1
Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di berbagai
negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang sangat sederhana,
murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan hanya mengoleskan asam asetat
(cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati perubahannya, dimana lesi prakanker dapat
terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim. Murah, karena biaya yang diperlukan
hanya sekitar Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena prosedurnya tidak rumit,
tidak memerlukan persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana
saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif,
spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan dan perawat yang terlatih.1,2
Beberapa karakteristik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan
ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya pengkajian penggunaan
metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerah-daerah yang memiliki sumber
daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan dalam pembuatan kebijakan kesehatan
nasional di Indonesia.

Test skrining dapat dilakukan dengan cara :

1. Pertanyaan/kuesioner

2. Pemeriksaan Fisik

3. Pemeriksaan Laboratorium

4. X-ray, termasuk diagnostic imaging

Jenis penyakit yang tepat untuk skrining :

1. Merupakan penyakit yang serius

2. Pengobatan sebelum gejala muncul harus lebih untung dibandingkan setelah gejala
muncul

3. Prevalensi penyakit pre klinik harus tinggi pada populasi yang diskrining

2
Syarat syarat skrining :

1. Penyakit harus merupakan masalah kesehatan yang penting

2. Harus ada cara pengobatan yang efektif

3. Tersedia fasilitas pengobatan dan diagnosis

4. Diketahui stadium prepatogenesis dan pathogenesis

5. Test harus cocok, hanya mengakibatkan sedikit ketidaknyamanan, dapat diterima oleh
masyarakat

6. Telah dimengerti riwayat alamiah penyakit

7. Harus ada policy yang jelas

8. Biaya harus seimbang, biaya skrining harus sesuai dengan hilangnya konsekuensi
kesehatan

Macam-macam skrining

1. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu.


2. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria tertentu, contoh
pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca servik pada wanita yang sudah
menikah.
3. Case finding screening adalah upaya dokter/tenaga kesehatan untuk menyelidiki suatu
kelainan yang tidak berhubungan dengan keluhan pasien yang datang untuk kepentingan
pemeriksaan kesehatan.
4. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis penyakit
5. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu jenis
penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas.

Validitas tes skrining adalah kemampuan tes skrining tersebut dalam mengukur sesuatu yang
seharusnya diukur. Validitas tes skrining dapat dinilai dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif, nilai prediksi negatif, dan akurasi.2,3

3
1. Sensitivitas

Sensitifitas menggambarkan kemampuan tes skrining menentukan seseorang menderita


suatu penyakit. Sensitivitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar positif dibandingkan
hasil positif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen dihitung dengan
membagi hasil pemeriksaan benar positif (true positive) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar
positif dan negatif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik
kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit tertentu sehingga dapat memperoleh
penanganan dini.2,3

2. Spesifisitas

Spesifisitas menggambarkan kemampuan tes skrining menentukan seseorang bukan


penderita suatu penyakit. Spesifisitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar negatif
dibandingkan hasil negatif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen dihitung
dengan membagi hasil pemeriksaan benar negatif (true negatif) dengan jumlah hasil pemeriksaan
benar negatif dan positif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka
semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang tidak menderita penyakit tertentu.2,3

3. Nilai Prediksi Positif

Nilai Prediksi Positif (NPP/PPV) menggambarkan kemampuan tes skrining memprediksi


kemungkinan seseorang benar-benar menderita penyakit dari hasil pemeriksaan positif menurut
tes skrining. Nilai Prediksi Positif dihitung dengan membandingkan hasil benar positif dengan
seluruh hasil tes positif menurut uji skrining (True Positif dan Palse Positif) dalam per sen.
Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang menderita penyakit akan
membantu petugas kesehatan memberikan penanganan yang tepat dan segera.3

4. Nilai Prediksi Negatif

Nilai Prediksi Negatif (NPN/NPV) menggambarkan kemampuan tes skrining


memprediksi kemungkinan seseorang benar-benar tidak menderita penyakit dari hasil
pemeriksaan negatif menurut tes skrining. Nilai Prediksi Negatif dihitung dengan
membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh hasil tes negatif menurut uji skrining (True
Negatif dan Palse Negatif) dalam per sen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining

4
memperkirakan seseorang tidak menderita suatu penyakit akan sangat membantu petugas
kesehatan menghindarkan penanganan atau pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar dari
efek samping pengobatan.3

Hasil Test

Hasil test sesuatu skrining di gambarkan secara positif maupun negative. Suatu test
dikatakan valid apabila tes tersebut dapat memprediksi secara sempurna dan benar, di mana
semua orang yang positif berdasarkan hasil tes skrining adalah benar-benar sakit dan semua yang
tesnya negatif adalah mereka yang benar-benar tidak sakit. Pada kenyataannya tidak ada test
yang benar-benar sempurna.

Tabel 1. Hasil skrining di banding status penyakit.3

Hasil Skrining Status Penyakit Total


Tes
Positif Negatif

-Positif a b a+b

-Negatif c d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus

Sensitivitas : TP/(TP+FN)

Spesifisitas: TN / (TN + FP)

Nilai prediksi positif : TP/ (TP + FP) X 100%

Nilai prediksi negatif : FN/ (FN + TN) X 100%

5
Reliabilitas tes skrining

Hasil konsisten jika dilakukan lebih 1 kali pada individu yang sama pada situasi yang
beda waktu berbeda (pengamat sama), pengamat berbeda atau tes serupa.3 Dipengaruhi oleh:3,4

1. Variasi pada Metode Pemeriksaan - tergantung stabilitas instrumen alat harus dibakukan.

2. Variasi didalam subyek / individu (biologis) misal : hasil pengukuran suhu tubuh pagi berbeda
dengan siang dan malam hari.

3. Variasi intraobserver misal : pembacaan hasil rontgen pada waktu yang berbeda,hasil berbeda
karena jenuh, lelah & lingkungan.

4. Variasi interobserver misal : 2 radiologis mempunyai interpretasi yang berbeda thd sebuah
hasil rontgen gunakan orang terlatih & motivasi tinggi.

Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini menempati
urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di Indonesia ada sekitar 100
kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks yang sudah
masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain
itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.2

Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50
tahun. Periode laten dari fase prainvasif menjadi invasif memakan waktu selama 10 tahun.
Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat
diagnosis, sedangkan 53% dari KIS (kanker in situ) terdapat pada wanita di bawah usia 35
tahun.2

Skrining Kanker Serviks

Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher
rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang sering dijumpai di Indonesia baik di antara
kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker. Kejadiannya hampir 27% di antara
penyakit kanker di Indonesia. Namun demikian lebih dari 70% penderita datang memeriksakan
diri dalam stadium lanjut, sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan
dan diobati. Kanker serviks atau juga disebut kanker leher rahim merupakan jenis kanker kedua

6
yang paling banyak diderita wanita di dunia yang berusia di atas 15 tahun. Berdasarkan survey
tahun 2001, di Indonesia, ditemukan penderita baru yang mengidap kanker leher rahim
berjumlah 2429 atau 25,91% dari seluruh penderita kanker. Penyebab kanker leher rahim yaitu
virus HPV (Human Papiloma Virus) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit
ini dapat menyerang semua wanita, khususnya wanita yang aktif secara seksual. Saat ini sudah
terdapat vaksin untuk mencegah infeksi HPV khususnya tipe 16 dan tipe 18 yang diperkirakan
menjadi penyebab 70% kasus kanker serviks di Asia.2-6

Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker leher
rahim, yaitu:5

a. Faktor HPV

- tipe virus

- infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan

- jumlah virus (viral load)

b. Faktor host/ penjamu

- status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV positif)


yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan kanker.

- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker

c. Faktor eksogen

- merokok

- ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya

- penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral

Faktor risiko yang potensial menyebabkan terjadinya kanker leher atau penularan kanker
rahim adalah

a. Melakukan hubungan seks pada usia muda,

7
b. sering berganti-ganti pasangan

c. sering menderita infeksi di daerah kelamin terutama virus HPV ( Human Papilloma Virus),

d. melahirkan banyak anak,

e. Kebiasaan merokok (risiko 2x lebih besar).

f. Juga kekurangan vitamin A, C, dan E.

Seringkali gejala kanker leher rahim pada stadium dini tidak menunjukkan gejala atau
tanda yang khas. Sedangkan jika telah timbul gejala diantaranya keputihan, perdarahan setelah
hubungan intim suami istri, perdarahan spontan setelah masa menopause (masa tidak haid lagi),
keluar cairan kekuningan yang berbau busuk atau bercampur darah, nyeri panggul, atau tidak
dapat buang air kecil, maka kemungkinan besar penyakit telah masuk stadium lanjut.5

Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO, yaitu:7

a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap
sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.

b. Perempuan yang pernah mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya.

c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama


atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya.

d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.

Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini adalah
antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun yang belum pernah
diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus kanker leher
rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual perlu
menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan yang sudah
menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada
kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa
dilihat dengan inspeksi spekulum. Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perempuan yang
sudah mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program skrining, untuk

8
menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu disertakan informed consent
pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak ditemukannya lesi prekanker
tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan perempuan ini.

Jenis-jenis skrining untuk kanker serviks

Ada beberapa metode skrinning yang dapat digunakan, tergantung dari ketrsediaan sumber
daya. Metode skrining yang baik memiliki beberapa persyaratan, yaitu akurat, dapat diulangi
(reproducible), murah, mudah dikerjakan dan ditindak-lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa
metode yang diakui WHO adalah sebagai berikut.6

1. Metode sitology
a. Tes pap konvensional

Tes pap atau pemeriksaan sitology diperkenalkan oleh dr. George papanicolau sejak
tahun 1943. Sejak tes ini dikenal luas, kejadian kanker leher Rahim di Negara-negara maju
menurun drastic. Pemeriksaan ini merupakan suatu prosedur pemeriksaan yang mudah, murah
dan non-invasif. Beberapa penulis melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78%-
93%, teapi pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 15-37% dan negative palsu 7-
40%. Sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak
adekuat, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi.

Pemeriksaan apusan Pap saat ini merupakan suatu keharusan bagi wanita, sebagai sarana
pencegahan dan deteksi dini kanker serviks, yang seyogyanya dilaksanakan oleh setiap wanita
yang telah menikah sampai dengan umur kurang lebih 65 tahun, bila dua kali pemeriksaan
apusan pap terakhir negative dan tidak pernah mempunyai riwayat hasil pemeriksaan abnormal
sebelumnya.

Pemeriksaan ini harus dilakukan secara berkala minimal satu tahun sekali, walaupun
awanita itu tidak mempunyai keluhan pada organ saluran genital, karena kanker serviks pada
stadium dini biasanya tanpa keluhan dan dengan mata biasa tidak mungkin dapat dideteksi.

Pemeriksaan skrining apusan pap secara berkala, diharapkan dapat menemukan kasus-
kasus kanker serviks dini atau lesi prakanker yang belum menimbulkan gejala secara klinik,
sehingga dapat dilakukan terapi dengan tuntas.

9
Ketepatan diagnosis sitology pada skrinning deteksi kanker serviks terutama sangat
tergantung pada representative tiaknya sediaan apusan Pap yang dibuat, disamping factor-faktor
lain, seperti fiksasi, pulasan sediaan dan kemahiran interpretasi.

Representative tidaknya sediaan apusan Pap sangat dipengaruhi oleh cara/ tenik
pengambilan bahan pemeriksaan, cara pembuatan sediaan dan alat pengambil secret yang
digunakan.

Oleh karena itu sebelum melangkah kepada penilaian sitology apusan pap perlu dipahami
terlebih dahulu mengenai cara pengambilan dan cara pembuatan sediaan sitology apusan pap
yang tepat dan benar dngan cara seksama.

Pemeriksaan skrning deteksi kanker serviks dengan hanya memeriksa sekrt vagina saha
didapatkan hasil negative palsu sebesar 45%, dengan hanya memeriksa secret servikal saja
menurunkan hasil negative palsu menjadi 6%, dan dengan memeriiksa secret endoservikal saja,
yang diambil dengan lid kapas atau aspirator, menurunkan hasil negative palsu menjadi 45. Bila
pemeriksaan skrinning deteksi kanker serviks dilakukan dengan memeriksa sediaan servikal dan
endoserviikal maka tidak didapatkan hasil negative palsu.

Dalam penggunaan apusan Pap untuk tujuan diagnosis dan deteksi dini kanker serviks
sering timbul masalah yaitu apabila iagnosis klinik tidak sesuai dengan diagnosis sitology, dan
hal ini sering terjadi akibat hasil negative palsu dari pemeriksaan sitology apusan pap (palse
negative).

Menurut literature, hasil negative palsu disebabkan oleh kesalahan lokasi pengambilan
secret, kesalahan dalam proses pembuatan sediaan 9fiksasi0 dan kesalahan dalam intrpretasi
sediaan sitology.

Untuk mendapat hasil pemeriksaan skrining sitology apusan pap yang akurat, maka perlu
diperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan sitology menjadi negative
palsu seperti diatas.

Faktor kesalahan lokasi pengambilan dapat diatasi dengan memperhatikan lebih cermat
lokasi pengambilan sewaktu mengambil secret, yaitu untuk secret servikal harus diambil seluruh
permukaan portio serviks dan untuk secret endoservikal harus diambil dari permukaan mukosa

10
endoserviks, sedangkan secret vagina tidak bermanfaat sama sekali untuk pemeriksaan skrining,
karena nilai negative palsuunya snagat besar. Hal ini perlu ditekankan pada dokter atau bidan
yang biasa mengambil sediaan Pap.6

2. Metode inspeksi visual


a. Inspeksi visual denga lugol iodin (VILI)
b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)

Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolposkopi dan servikografi

Program IVA di Puskesmas

Early Diagnosis dan Prompt Treatment

Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang terorganisasi dengan
sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap
tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif.
Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker) memerlukan biaya yang
lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker leher rahim. Beberapa hal
penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang
dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama
berkaitan dengan sumber daya yang terbatas.5
Sasaran yang akan menjalani skrining: (1) perempuan berusia 30-50 tahun, (2)
perempuan yang menjadi klien pada klinik dengan discharge vagina yang abnormal atau nyeri
abdomen bawah (bahkan jika di luar kelompok usia), (3) perempuan yang tidak hamil (walaupun
bukan suatu hal yang rutin, perempuan yang sedang hamil dapat menjalani penapisan dengan
amna, tetapi tidak boleh menjalani pengobatan dengan krioterapi) oleh karena itu IVA tidak
masukkan pelayanan klinik antenatal, (4) perempuan yang mendatangi puskesmas, klinik KB
yang secara khusus menangani penapisan kanker leher rahim.5
Ketua Yayasan Kanker Indonesi Provinsi DKI Jakarta melihat kanker serviks merupakan
salah satu masalah kesehatan perempuan yang perlu menjadi perhatian utama sebagai bentuk
perlindungan bagi perempuan di indonesia. Program ini merupakan langkah positif menyadarkan
kaum perempuan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati. Dengan target pencapaian

11
1.4 juta perempuan di DKI Jakarta diperiksa untuk mendeteksi dini kanker serviks ditahun
2017.6
Periode pemeriksaan IVA secara gratis dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2013 dengan
waktu pelayanan pukul 08.00 sampai 12.00 di 286 puskesmas se-DKI Jakarta. Dimana
sebelumnya pada tahun 2007 sampai 2012 terdapat 53.815 perempuan yang telah diperiksa
dengan melibatkan kader dan anggota PKK serta PPKS Yayasan Kanker Indonesia DKI Jakarta.6

Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang
memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan
segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti.2,6 Metode satu kali
kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah
krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan
cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker.5

IVA Sebagai Metode Skrining Alternatif

Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan adanya
pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi visual
dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining alternatif untuk kanker leher
rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode skrining IVA itu.
Mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan
dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-
alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan
sederhana.6

Metode IVA

Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap telah
menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun di
negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya
menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan. Ada beberapa
kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratorium sitologi dan tenaga
sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat dalam rentang waktu
yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan).4,6 Skrining dengan metode tes Pap memerlukan

12
tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat
dipenuhi oleh negara-negara berkembang.4,6 Hanya sebagian kecil dari perempuan yang
menjalani dan mendapatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang
semestinya bila ditemukan abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker leher
rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Masalah yang berkembang
akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong banyak penelitian untuk mencari
metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu metode yang dianggap dapat dijadikan
alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Efektivitas IVA sudah di
teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian perbandingan masing-masing penelitian tentang
IVA agak sulit dievaluasi karena perbedaan protokol dan populasi.

Dasar Pemeriksaan IVA

Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang. 46,49,55
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas leher
rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%.56Pemberian asam asetat itu
akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari
intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma,
tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga
epitel putih (acetowhite).Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna
putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat
menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam
dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi
koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan
jaringannya.6 Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher
rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan
tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan
didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih

13
(mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan
merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.

Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut:

Tabel 2. Kategori temuan IVA.5

Gambar 1. Hasil yang dapat ditemukan pada IVA test.5

14
Pembahasan Skenario

Tabel 3. Hasil tes IVA terhadap kanker serviks.

Test skrining IVA Sakit Tidak Sakit Total


Tes (+) 6 24 30
Tes (-) 3 467 470
Total 9 491 500

Sensitivitas : (6/9) x 100% = 67%

Spesifisitas : (467/491) x 100% = 95%

Nilai prediksi positif : (6/30) x 100% = 20%

Nilai prediksi negatif : (467/470) x 100% = 99%

Meskipun protokol pelaksanaan pemeriksaan ini bervariasi, hasil penelitian yang


dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa metode IVA mempunyai
sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi prakanker derajat tinggi
meskipun spesifisitasnya lebih rendah dari tes Pap.2

Kurang spesifiknya skrining dengan metode ini diantaranya karena subyektivitas petugas
medis yang melakukan pemeriksaan di lapangan, selain dipengaruhi juga oleh prevalensi kasus.
Pada daerah dengan prevalensi kasus yang rendah, angka kejadian positif palsu dari pemeriksaan
akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang memiliki prevalensi kasus lebih tinggi. 2
Hal tersebut dapat diperbaiki dengan meningkatkan supervisi.

15
Tabel 4. Sensitifitas, spesifisitas berbagai metode skrining.5

Penatalaksanaan Medis

Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung leher rahim yang telah
dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%, jika ada perubahan warna atau tidak muncul plak putih,
maka hasil pemeriksaan dinyatakan negative. Sebaliknya jika leher rahim berubah warna
menjadi merah dan timbul plak putih, maka dinyatakan positif lesi atau kelainan pra kanker. Jika
sudah terdeteksi mengidap kanker serviks, maka ada beberapa metode pengobatan yang bisa
dilakukan.2,7
Jika terdeteksi kanker serviks stadium awal, maka pengobatannya dilakukan dengan cara
menghilangkan kanker serviks tersebut dengan cara dilakukan pembedahan, baik pembedahan
laser, listrik atau dengan cara pembekuan dan membuang jaringan kanker serviks. Metode
krioterapi adalah membekukan serviks yang terdapat lesi prakanker pada suhu yang amat dingin
(dengan gas CO2) sehingga sel-sel pada area tersebut mati dan luruh, dan selanjutnya akan
tumbuh sel-sel baru yang sehat.2,7

Untuk kasus kanker serviks stadium lanjut akan dilakukan pengobatan dengan cara
kemoterapi serta radioterapi, namun jika sudah terdeteksi cukup parah, tiada lain kecuali dengan
mengangkat rahim (histerektomi) secara menyeluruh agar kanker tidak berkembang.2

Pencegahan Kanker Serviks

Upaya Pencegahan
Pencegahan adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan dan
angka kematian akibat kanker serviks. Pencegahan terdiri dari beberapa tahap yaitu pencegahan
primodial, pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan tertier.5

16
1. Pencegahan Primodial
Tujuan pencegahan primodial adalah mencegah timbulnya faktor risiko kanker serviks
bagi perempuan yang belum mempunyai faktor risiko dengan cara, seperti pendidikan seks
bagi remaja, menunda hubungan seks remaja sampi pada usia yang matang yaitu lebih dari
20 tahun.
2. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan primer adalah upaya yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
faktor risiko bagi perempuan yang mempunyai faktor risiko. Untuk mengetahui bagaimana
pencegahan primer dapat dilakukan pada kanker serviks, maka perlu diketahui
karsinogenesisnya yaitu bagaimana kanker dapat timbul. Pencegahan dilakukan dengan
menghindari diri dari bahan karsinogen atau penyebab kanker. Berikut adalah beberapa cara
yang dapat dilakukan:
a. Hindari hubungan seks terlalu dini
b. Hindari kebiasaan berganti-ganti pasangan seks
c. Hindari kebiasaan pencucian vagina
d. Upayakan pola hidup sehat dan Periksa kesehatan secara berkala dan teratur.:
perbanyak makan buah dan sayuran, kurangi makanan yang diasinkan, dibakar ,
diasap, atau diawetkan dengan nitrit karena dapat menghasilkan senyawa kimia yang
dapat berubah menjadi karsinogen aktif.
3. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan kasus-kasus dini
sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan, termasuk skrining,deteksi dini
(Paps smear) dan pengobatan.
Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining, dimana dengan program skrining
dapat memperoleh beberapa keuntungan yaitu : memperbaiki prognosis pada sebagian
penderita sehingga terhindar dari kematian akibat kanker, tidak diperlukan pengobatan
radikal untuk mencapai kesembuhan, adanya perasaan tentram bagi mereka yang
menunjukkan hasil negatif dan penghematan biaya karena pengobatan yang relative murah.
Di beberapa negara maju yang telah melakukan program skrining penyakit kanker serviks
dalam upaya menemukan penyakit pada tingkat prakanker, dapat menurunkan kematian
sampai lebih dari 50%.Adapun strategi skrining kanker serviks di Indonesia: Mengingat di

17
Indonesia kanker serviks masih menduduki urutan yang teratas perlu dilakukan upaya untuk
menanggulangi atau paling sedikit menurunkan angka kejadiannya. Konsep patogenesis
kanker serviks mempunyai arti penting dalam skrining kanker serviks. Secara teoritis suatu
program skrining penyakit kanker harus tepat guna dan ekonomis. Hal ini hanya dapat
tercapai bila:5
a. Penyakit ditemukan relatif sering dalam populasi
b. Penyakit dapat ditemukan dalam stadium pra-kanker
c. Teknik mempunyai kekhususan dan kepekaan tinggi untuk mendeteksi stadium pra-
kanker
d. Stadium pra-kanker ini dapat diobati secara tepat guna dan ekonomis
e. Terdapat bukti pengobatan stadium pra-kanker menurunkan insiden kanker invasif.
Kanker serviks mengenal stadium pra-kanker yang dapat ditemukan dengan skrining
sitologi yang relatif murah, tidak sakit.
4. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tertier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kanker
serviks. Penderita yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena
pengobatan perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau fungsi organ yang
cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Rehabilitasi
yang dapat dilakukan untuk penderita kanker serviks yang baru menjalani operasi contohnya
seperti melakukan gerakan-gerakan untuk membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk
mengurangi pembengkakan, bagi penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat
khemoterapi dan radioterapi bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara karena
umumnya rambut akan tumbuh kembali.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan kaum perempuan dalam hal mencegah
kanker serviks agar tidak menimpa dirinya, antara lain:5,6

Jalani pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang cukup nutrisi dan bergizi
Selalu menjaga kesehatan tubuh dan sanitasi lingkungan
Hindari pembersihan bagian genital dengan air yang kotor
Jika anda perokok, segera hentikan kebiasaan buruk ini
Hindari berhubungan intim saat usia dini

18
Selalu setia kepada pasangan anda, jangan bergonta-ganti apalagi diikuti dengan
hubungan intim.
Lakukan pemeriksaan pap smear minimal lakukan selama 2 tahun sekali, khususnya bagi
yang telah aktif melakukan hubungan intim
Jika anda belum pernah melakukan hubungan intim, ada baiknya melakukan vaksinasi
HPV

Vaksinasi secara berulang dibutuhkan untuk merangsang tubuh membentuk antibodi


(kekebalan tubuh) yang kuat untuk melindungi tubuh dari serangan virus HPV yang akan masuk.
Antibodi akan menangkap virus yang akan masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh terhindar dari
infeksi HPV.5,6 Idealnya vaksinasi diberikan sebelum adanya bahaya infeksi HPV. Vaksinasi ini
paling efektif apabila diberikan pada perempuan berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif
secara seksual. Namun bukan berarti wanita yang sudah menikah atau berhubungan seksual tidak
boleh mendapatkannya. Hanya saja angka proteksinya tidak setinggi pada golongan sebelumnya.

Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu (bulan ke 0,1,dan 6). Dengan
vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.5,6

Rujukan

Tabel 5. Daftar Rujukan.5

Temuan IVA Tindakan Rujukan

Bila ibu dicurigai menderita kanker leher Segera rujuk ke RS Kab/Kota atau Provinsi
rahim yang dapat memberikan pengobatan kanker
yang memadai.

Ibu dengan hasil tes positif yang lesinya Rujuk untuk penilaian dan pengobatan di
menutupi rahim lebih dari 75%, meluas ke fasilitas terdekat yang menawarkan LEEP
dinding vagina atau lebih luas 2 mm dari atau cone biopsy. Jika tidak mungkin atau
probe krioterapi dianggap tidak akan pergi ke fasilitas lain,
beritahu tentang kemungkinan besar
persistensi lesi dalam waktu 12 bulan dan

19
tentang perlunya pengobatan ulang.

Ibu dengan hasil tes positif yang memenuhi Beritahu tentang kelebihan dan kekurangan
kriteria untuk mendapat pengobatan segera semua metode pengobatan . Rujuk ke RS
tetapi meminta diobati dengan tindakan lain, Kab / Kota atau Provinsi terdekat yang
bukan dengan krioterapi menawarkan pengobatan sesuai keinginan
klien

Ibu dengan hasil tes positif yang meminta tes Rujuk ke fasilitas tersier (RS Provinsi /
lebih lanjut (diagnosa tambahan), yang tidak Pusat) yang menawarkan klinik ginekologi
tersdia di puskesmas (bila diindikasikan)

Ibu dengan hasil tes positif yang menolak Beritahu tentang kemungkinan pertumbuhan
menjalani pengobatan penyakit dan prognosisnya. Anjurkan untuk
datang kembali setelah setahun untuk
menjalani tes IVA kembali untuk menilai
status lesinya.

Promosi Kesehatan

Dalam promosi kesehatan, tidak ada satu pun tujuan dan pendekatan atau serangkaian
kegiatan yang benar. Hal terpenting adalah bahwa kita harus mempertimbangkan tujuan dan
kegiatan yang kita miliki, sesuai dengan nilai-nilai dan penilaian kita terhadap kebutuhan klien.
Hal ini berarti bahwa nilai kita sebagai seorang promotor kesehatan dan kebutuhan klien di sisi
lain harus berada dalam suatu keadaan persepi agar tujuan dan kegiatan yang dilakukan dapat
berfungsi optimal.8

Menurut Ewles dan Simnett (1994), terdapat kerangka lima pendekatan yang
menunjukkan nilai-nilai yang dianut, meliputi: pendekatan medik, perubahan perilaku,
pendidikan, pendekatan berpusat pada klien, dan perubahan sosial.8

1. Pendekatan medik

20
Tujuan pendekatan medik adalah membebaskan dari penyakit dan kecacatan yang
didefinisikan secara medik, seperti penyakit infeksi, kanker, dan penyakit jantung. Pendekatan in
melibatkan intervensi kedokteran untuk mencegah dan meringankan kesakitan, mungkin dengan
menggunakan metode persuasif atau paternalistik (misal memberi tahu orangtua agar membawa
anak mereka untuk imunisasi, wanita untuk memanfaatkan KB). Pendekatan ini memberikan arti
penting terhadap tindakan pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi
kedokteran membuat kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.8

2. Pendekatan perubahan perilaku

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang
antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Pendekatan perubahan perilaku bertujuan
mengubah sikap dan perilaku individual masyarakat sehingga mereka mengadopsi gaya hidup
sehat.8

Orang-orang yang menggunakan pendekatan ini akan merasa yakin bahwa gaya hidup
sehat merupakan hal paling baik bagi klien, dan akan melihatnya sebagai tanggung jawab mereka
untuk mendorong sebanyak mungkin orang guna mengadopsi gaya hidup sehat yang mereka
anjurkan. Contoh pengunaan pendekatan perilaku antara lain: mengajari orang bagaimana
menghentikan merokok, pendidikan tentang minum alkohol, mendorong orang melakukan
kegiatan olahraga.8

3. Pendekatan pendidikan

Bertujuan untuk memberikan informasi dan memastikan pengetahuan dan pemahaman


tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan yang ditetapkan atas dasar informasi yang
ada. Misalnya program pendidikan kesehatan sekolah yang menekankan upaya membantu murid
mempelajari keterampilan hidup sehat, tidak hanya memperoleh pengetahuan saja.8

4. Pendekatan berpusat pada klien

Tujuan pendekatan adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu mereka
mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat keputusan dan

21
pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai mereka. Promotor berperan sebagai
fasilitator, membantu individu mengidentifikasi kepedulian-kepedulian mereka dan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan supaya memungkinkan terjadi perubahan.
Klien dihargai sebagai individu yang punya keterampilan, kemampuan kontribusi.8

5. Perubahan sosial

Tujuan pendekatan ini adalah melakukan perubahan-perubahan pada lingkungan fisik,


sosial, dan ekonomi dalam upaya membuatnya lebih mendukung untuk keadaan sehat.
Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan perilaku setiap individu. Orang-
orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan nilai penting bagi hak demokrasi mereka
mengubah masyarakat, memiliki komitmen pada penempatan kesehatan dalam agenda politik di
berbagai tingkat.8

Kesimpulan

Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk
mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Skrining
yang sering di lakukan di Puskesmas adalah skrining ca cervix dengan tes IVA karena skrining
ini mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan
dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-
alat yang dibutuhkan juga sangat sederhana. Metode satu kali kunjungan (single visit approach)
dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker
(see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim,
sekaligus mengobati lesi prakanker.

Jika terdeteksi kanker serviks stadium awal, maka pengobatannya dilakukan dengan cara
menghilangkan kanker serviks tersebut dengan cara dilakukan pembedahan, baik pembedahan
laser, listrik atau dengan cara pembekuan dan membuang jaringan kanker serviks.

22
Untuk kasus kanker serviks stadium lanjut akan dilakukan pengobatan dengan cara
kemoterapi serta radioterapi, namun jika sudah terdeteksi cukup parah, tiada lain kecuali dengan
mengangkat rahim (histerektomi) secara menyeluruh agar kanker tidak berkembang.

Meskipun hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan


bahwa metode IVA mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi
lesi prakanker derajat tinggi meskipun spesifisitasnya lebih rendah dari tes Pap.

Daftar pustaka

1. Nursalam. 2010. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

2. Melianti, M. 2008. Skining kanker serviks dengan metode inspeksi visual dengan asam

asetat (IVA) test. Jakarta: Departmen Kesehatan Republik Indonesia.

3. Sarwana, K. 2012. Metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 130-3.

4. Sastroasmoro, S. 2011. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto.


219-30.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Petunjuk teknis pencegahan, deteksi


dini kanker leher rahim dan kanker payudara. Jakarta: DEPKES RI. 1-32.

6. Petignat, P. Roy, M. 2007. Diagnosis and management of cervical cancer. BMJ.


335:765-8.

7. Sukaca, E.B. 2009. Cara cerdas menghadapi kanker serviks (Leher Rahim). Yogyakarta:
Genius Printika.

8. Maulana, H.D.J. 2009. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC. 43-6.

23

Anda mungkin juga menyukai