Cangkang telur ayam telah digunakan secara empiris sebagai bedak tabur oleh masyarakat
tertentu di Jawa Tengah. Karena tekstur bedak tabur dapat berfungsi sebagai penahan sinar
ultraviolet (UV), maka di dalam penelitian ini dibuat sediaan tabir surya yang berbentuk krim.
Suatu zat dapat berfungsi menahan radiasi UV dengan dua mekanisme yaitu pertama,
mengabsorpsi paparan sinar UV dan kedua, membaurkan paparan sinar UV berupa serbuk
halus. Sebagian besar dari penyusun cangkang terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3). Yang
akan dilakukan penghalusan sampai ukuran serbuk tertentu dengan metode tertentu sehingga
dapat digunakan sebagai tabir surya.
Sinar matahari memberikan efek menguntungkan dan merugikan bagi tubuh manusia. Efek
yang menguntungkan tersebut adalah berguna dalam pembentukan vitamin D yang sangat
penting di dalam pembentukan tulang. Tetapi apabila paparan dari sinar matahari tersebut
berlebihan akan menimbulkan efek yang merugikan seperti kulit terbakar bahkan kanker kulit.
Penggunaan tabir surya sebelum terpapar langsung oleh sinar matahari merupakan salah satu
cara untuk mencegah efek merugikan dari sinar matahari (Pathack, 1990).
Penggunaan tabir surya bertujuan untuk mengurangi dampak merugikan dari sinar UV pada
kulit. Kemampuan suatu sediaan tabir surya dalam melindungi kulit dinyatakan dengan nilai
FPS yang merupakan perbandingan antara dosis energi terendah untuk menghasilkan eritema
minimal pada kulit yang dilindungi sediaan dibandingkan terhadap energi terendah yang
diperlukan untuk menghasilkan eritema minimal pada kulit yang tidak dilindungi tabir surya.
Pada penelitian ini dilakukan pengolahan cangkang telur menjadi serbuk halus dengan
menggunakan blender dan ball mill, pengembangan formula krim dengan evaluasi sediaan
secara farmasetika, dan uji aktivitas sediaan dengan penentuan nilai FPS pada kelinci albino
galur New Zealand.
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai cangkang telur ayam, anatomi kulit, sinar matahari, tabir
surya, krim, serbuk, dan praformulasinya.
Lapisan stratum adalah campuran dari matriks protein yang dibuat sebelum dekomposisi
kalsium karbonat, terdiri dari lapisan kristal vertikal, palisade, dan lapisan mamilari.
Keseluruhan lapisan mengandung 95 % zat anorganik (kalsium karbonat), 3,3 % protein, dan
1,6 % air lembab. Lapisan kristal terdiri dari kristal pendek dan tipis yang tersusun secara
2
3
vertikal, sedangkan lapisan palisade sangat rapat dan keras karena struktur kristalnya terbentuk
dari kalsifikasi dari kalsium karbonat yang mengandung sejumlah kecil magnesium,
bergabung dengan kolagen membentuk suatu matriks spons. Lapisan membran terdiri dari
membran luar dan dalam, terdiri dari 70 % senyawa organik, 10 % senyawa anorganik, dan
20 % air (Davis, 2002).
1.2 Kulit
Sediaan yang akan dibuat adalah sediaan semisolida yaitu krim yang akan digunakan secara
topikal. Untuk itu diperlukan pembahasan mengenai struktur dan fungsi kulit.
Secara anatomi kulit tersusun atas dua bagian, yaitu (1) bagian ektoderm yang terdiri dari
epidermis, dermis, dan aksesorinya yaitu kelenjar keringat, kelenjar minyak, rambut, dan
kuku; (2) bagian jaringan ikat yaitu korium dan jaringan ikat.
a. Lapisan epidermis
Epidermis terdiri dari beberapa lapisan epitel pipih bertanduk yang memiliki tebal 40 um 1,6
mm. Karena tidak terdapat pembuluh darah, lapisan epidermis ini memperoleh makanan dari
korium melalui proses difusi,. Secara anatomi epidermis terdiri dari lima lapisan, yaitu stratum
corneum, stratum lucidum, stratum granulosum, stratum germinativum. Stratum corneum
terdiri dari 15 sampai 30 lapisan sel keratonisit yang memiliki kandungan air 10-20 %
Pada umumnya sel-sel ini memiliki waktu hidup selama dua minggu. Permukaan stratum
korneum bersifat kering dan dilapisi minyak yang berasal dari kelenjar sebaseus. Stratum
korneum memiliki pH 5,5-6. Keadaan pH dan adanya lapisan minyak ini dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Stratum lucidum merupakan lapisan keratotialin yang terdiri dari sel
yang tembus cahaya. Stratum granulosum terdiri dari dua sampai lima lapis sel pipih dengan
inti sel kecil. Pada lapisan ini, kebanyakan sel mulai membentuk keratin, keratohialin, dan
mulai berhenti membelah. Stratum germinativum tersusun dari sel-sel berbentuk kubus,
terletak di atas membran basal, tempat di mana sel akan berproliferasi dan membentuk sel
mati (Martini, 2001).
b. Lapisan Dermis
Lapisan dermis merupakan jaringan ikat yang tediri dari jaringan serabut kolagen dan terletak
di bawah stratum germinativum dengan ketebalan 3-5 mm. Lapisan ini berfungsi memberi
nutrisi lapisan epidermis. Lapisan dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papilari yang
merupakan jaringan elastis dan lapisa retikuler pada bagian dalam yang merupakan lapisan
penyangga. Lapisan papilari memiliki pembuluh darah, pembuluh limfatik, dan ujung saraf.
Sedangkan lapisan retikuler terdiri dari serat kolagen (Martini, 2001).
5
c. Lapisan Hipodermis
Lapisan hipodermis atau subkutan merupakan lapisan terdalam yang berada di bawah lapisan
dermis. Lapisan hipodermis ini merupakan lembaran lemak yang mengandung sejumlah besar
jaringan adiposa yang membentuk agregat dengan jaringan kolagen dan membentuk ikatan
lentur antara struktur kulit dengan permukaan tubuh (Martini, 2001).
Di samping efek menguntungkan, pemaparan sinar matahari yang berlebihan juga dapat
berdampak buruk karena sinar matahari mengandung sinar ultra violet (UV). Berdasarkan
panjang gelombang dan efek fisiologisnya, sinar UV dibagi atas tiga kelompok, yaitu : UV A,
UV B, dan UV C. UV A memiliki panjang gelombang 320-400 nm yang menyebabkan warna
coklat pada kulit tanpa terjadi inflamasi sehingga disebut daerah pigmentasi. UV B memiliki
panjang gelombang 290-320 nm sehingga dapat menimbulkan terjadinya iritasi pada kulit. Hal
ini menyebabkan rentang panjang gelombang UV B disebut daerah eritema. UV C memiliki
6
panjang gelombang 200-290 nm dan tidak dapat mencapai permukaan bumi karena sebagian
besar telah terserap oleh lapisan ozon.
Secara alami kulit mempunyai daya perlindungan terhadap sinar matahari karena adanya
beberapa lapisan kulit dan sifat karakteristiknya. Lapisan dermis mengandung melanosit
pembentuk melanin yang merupakan salah satu pigmen kulit. Adanya pemaparan sinar UV A
dapat memicu pembentukan melanin dengan penebalan lapisan tanduk dan pigmentasi kulit
dan memberikan perlindungan pada kulit. Namun jika kulit mengelupas, butir melanin akan
lepas sehingga kulit kehilanangan pelindung terhadap sinar matahari.
Masing-masing sinar UV memiliki daya tembus terhadap kulit. UV A yang memiliki energi
paling rendah dapat menembus kulit sampai ke dermis. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
elastisitas kulit dan bertanggung jawab sebagai pencetus fototoksisitas dan fotosensitisitas
kulit. UV B dapat menembus sampai ke dalam lapisan tanduk dan lapisan dermis sehingga
dapat menyebabkan eritema terutama pada orang dengan kulit berwarna terang.
250 340 nm dan merubah energi yang tersisa menjadi radiasi dengan panjang gelombang
yang lebih panjang (energi rendah) yaitu > 380 nm yang relatif tidak berbahaya. Energi yang
diabsorbsi dari radiasi UV A dan UV B besarnya sama dengan energi resonansi yang
dibutuhkan untuk delokalisasi elektron pada komponen aromatik. Dengan demikian, energi
yang diserap dari radiasi UV merupakan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan eksitasi
fotokimia pada senyawa tabir surya.
Dengan kata lain, senyawa tabir surya tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (*) dari
tingkat dasar (n) dengan menyerap radiasi UV. Molekul yang tereksitasi kembali ke tingkat
energi dasar dengan mengemisikan energi yang lebih rendah (panjang gelombang lebih tinggi)
dibandingkan energi yang diserap untuk menyebabkan eksitasi. Radiasi dengan panjang
gelombang lebih panjang diemisikan dengan berbagai cara. Jika kehilangan energi cukup
besar, panjang gelombang yang diemisikan akan berada pada daerah infra merah dan dapat
menyebabkan radiasi panas yang ringan pada kulit. Efek ini tidak dirasakan oleh kulit karena
kulit telah menerima panas yang lebih besar saat terpapar sinar matahari secara langsung
(Shaath, 1990).
1.4.1 Krim
Krim adalah sediaan setengah padat yang terdiri dari satu atau lebih bahan obat terlarut atau
terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai dengan yang diformulasikan sebagai emulsi air
dalam minyak atau minyak dalam air (Dirjen POM, 1995). Dengan kata lain, krim adalah
emulsi yang memiliki konsistensi lebih besar.
Sediaan yang akan dibuat adalah krim dengan pertimbangan bahwa krim merupakan sediaan
yang mudah dicuci, dapat memlihara kelembaban kulit karena basis krim mengandung air.
Emulsi merupakan sistem dispersi heterogen yang tediri dari dua fasa yang tidak bercampur,
yang salah satu fasanya terdispersi dalam bentuk globul dalam fasa lainnya dan secara
termodinamika tidak stabil. Partikel fase terdispersi secara terus menerus cenderung
membentuk aglomerat yang lambat laun akan membentuk suatu massa yang terpisah sebagai
fasa kontinyu kedua. Untuk memperlambat terjadinya pemisahan tersebut diperlukan suatu zat
tambahan yaitu zat pengemulsi. Dengan demikian suatu basis krim mengandung minimal satu
senyawa yang bersifat hidrofilik, satu senyawa bersifat lipofilik dan zat pengemulsi.
Suatu basis krim dapat berupa sistem minyak dalam air (m/a) atau air dalam minyak (a/m).
Dalam sistem m/a, fase terdispersi merupakan fase yang tidak bercampur dengan air dan air
merupakan fase kontinyu dari sistem. Sedangkan sistem a/m adalah sebaliknya, yaitu air
sebagai fase terdispersi di dalam fase kontinyu berupa minyak. Sebagian besar kosmetik yang
ada di pasar memiliki sistem m/a. Ini disebabkan karena sistem ini mudah untuk dibersihkan,
nyaman digunakan, dan mudah menyebar pada permukaan kulit. Sedangkan sistem a/m pada
umumnya digunakan untuk formula yang mengandung minyak dalam kadar tinggi dan bentuk
10
massa sediaan yang berminyak, contohnya krim malam, krim pijat, krim mata, dan sediaan
lain yang berfungsi sebagai emolien.
Sediaan krim dapat dibuat dengan (a) metode fusion, yaitu zat aktif dan pembawa dilelehkan
bersama sambil diaduk sehingga terbentuk fasa homogen. Yang perlu diperhatikan dalam
metode ini adalah stabilitas zat aktif dalam panas, (b) metode triturasi, yaitu zat aktif
dicampurkan dengan sedikit basis yang dipakai sampai terbentuk fasa homogen kemudian
ditambahkan lagi dengan sisa basis.
Tahap yang terjadi pada saat pembuatan basis krim adalah (a) disrupsi, di mana terjadi
pemecahan fasa terdispersi membentuk globul, (b) Stabilisasi, di mana terjadi pencegahan
bersatunya globul-globul yang sudah terbentuk oleh zat pengemulsi.
b. Pengawet
Penggunaan pengawet dimaksudkan untuk menigkatkan stabilitas fisik dan kimia sediaan
dengan mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Adanya kemungkinan pertumbuhan
mikroorganisme adalah karena adanya fasa air yang merupakan medium pertumbuhan
mikroorganisme. Contoh pengawet yang sering digunakan adalah propil paraben, metil
paraben, asam benzoat (Swarbrick and Boylan, 1995).
11
c. Dapar
Penggunaan dapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH stabilitas dari zat aktif. Pemilihan
dapar yang digunakan berdasarkan pada ketercampurannya pada basis, zat aktif serta bahan
pembantu lainnya.
d. Humektan
Pelembab digunakan dalam sediaan krim dengan tujuan menjaga kelembaban kulit dengan
mencegah penguapan air dari permukaan kulit. Contoh pelembab antara lain adalah gliserol,
propilen glikol, PEG (polietilen glikol) (Swarbrick and Boylan, 1995).
e. Antioksidan
Penggunaan antioksidan dimaksudkan untuk mencegah oksidasi fasa minyak oleh cahaya yang
dapat menimbulkan ketengikan dan mengganggu kestabilan sistem emulsi. Pada umumnya
minyak dapat mengalami oksidasi adalah minyak nabati karena bersifat tidak jenuh. Contoh
antioksidan yang umum digunakan antara lain alkil galat, tokoferol, butil hidroksi anisol
(BHA) dan butil hidroksi toluen (BHT). Ion logam berat yang dapat mengkatalisasi terjadinya
reaksi oksidasi dapat diikat dengan agen pengkhelat, seperti asam sitrat dan asam tartrat
(Swarbrick and Boylan, 1995).
b. Perubahan warna
Emulsi yang dihasilkan ditambahkan biru metil yang bersifat larut air. Jika penambahan metil
biru mengahsilkan warna biru yang terlarut homogen dalam emulsi maka emulsi yang
dihasilkan adalah m/a. Apabila ditambahkan sudan merah dan warna terlarut maka emulsi
ntersebut adalah m/a.
c. Fluoresensi
Jika emulsi disinari dengan sinar ultra violet berfluoresensi, maka emulsi tersebut adalah m/a.
d. Konduktivitas Elektrolit
Emulsi dengan tipe m/a akan menunjukkan sifat konduktor elektrolit yang relatif baik,
sedangkan emulsi tipe a/m menunjukkan kondktifitas buruk.
1.5 Serbuk
Serbuk adalah bentuk dasar dari suatu partikel padat dimana memiliki beberapa ukuran.
Menurut ukuran partikelnya, serbuk dapat dibagi menjadi enam yaitu serbuk koloid (ukuran
kurang dari 1 um), serbuk mikroskopik (1-100 um), serbuk makroskopik (> 100 um), serbuk
butiran halus (1-5 mm), serbuk butiran kasar (5-10 mm), butir granulat (lebih dari 10 mm).
Suatu bahan yang memiliki ukuran partikel yang besar di dalam penggunaanya dalam bidang
farmasi harus terlebih dahulu dilakukan milling dengan tujuan menghasilkan ukuran partikel
yang lebih kecil, luas permukaan yang besar, dan ukuran partikel yang homogen. Ada
beberapa metode milling dengan menggunakan alat tertentu. Alat milling paling sederhana
yang digunakan dalam bidang farmasi adalah mortar-stamper. Ukuran partikel yang dihasilkan
dengan menggunakan alat ini tidak terlalu kecil karena menggunakan tenaga manusia. Dengan
kata lain partikel yang dihasilkan tidak micronized. Alat lain yang dapat membuat serbuk
micronize adalah ball mill, fluid energy mill, hammer mill, dan cutting mill.
Kerja yang terjadi pada saat milling di antaranya adalah kerja remuk, kerja penghancur fisik
dan kerja penghancur teknik. Kerja remuk adalah kerja yang dialami partikel untuk pertama
kalinya terjadi patahan ketika kerja tersebut melawan gaya kohesi antar partikel. Kerja
13
penghancur fisik dialami oleh partikel untuk megubah bentuk pertikel tersebut. Kerja
penghancur teknik meliputi energi deformasi elastis, kerja gesekan, dan kerja penggerak mesin
yang diberikan kepada partikel untuk menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil lagi
(Lachman, 1990).
Ada dua macam metode di dalam menggunakan ball mill ini, yaitu wet milling, dan dry
milling. Wet milling dilakukan dengan menggunakan air atau likuida tertentu yang tidak
melarutkan bahan dan ditambahkan surfaktan untuk mencegah flokulasi dari bahan. Wet
milling dilakukan apabila pada bahan dapat terjadi cacking dengan media penggiling dan
dinding ruang ball mill. Adanya cacking ini dapat mengurangi efisiensi dari alat. Dry milling
dilakukan apabila bahan yang di-milling tidak terjadi cacking maupun kesulitan yang dapat
menurunkan efisiensi alat. Penggilingan dengan kecepatan yang rendah akan menghasilkan
serbuk mikro yang semakin baik akan tetapi akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Selain itu, serbuk mikro dapat juga dihasilkan dengan menggunakan media penggiling yang
kecil atau menggunakan metode wet milling.
Kekurangan menggunakan ball mill adalah kesulitan dalam hal membersihkan ruang dalam,
membutuhkan waktu yang cukup lama, dan membutuhkan energi yang besar
(Lachman, 1990).
14
1.6 Praformulasi
Studi praformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui penentuan dan
pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia yang penting dalam menyusun formulasi sediaan obat
yang aman digunakan.
1.6.1 Trietanolamin
Trietanolamin secara umum digunakan pada sediaan topikal farmasi untuk pembentuk sistem
emulsi. Ketika dikombinasikan secara ekuimolar dengan asam lemak seperti asam stearat atau
asam oleat, trietanolamin membentuk sabun anionik sebagai pengemulsi, menghasilkan tipel
emulsi minyak dalam air. Trietanolamin berbentuk cairan kental bening sedikit kekuningan
dengan bau amoniak (Wade and Weller, 1994).
1.6.3 Lanolin
Lanolin didefinisikan sebagai zat seperti malam yang diperoleh dari bulu domba, Ovis aries
(Fam. Bovidae), yang telah dibersihkan, dihilangkan warnanya, dan ditambahkan zat
penghilang bau. Lanolin mengandung kurang lebih 0,25 %b/b air dan 0,02 % antioksidan
(Wade and Weller, 1994).
10%, propilen glikol dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan paraben dan mencegah
interaksi paraben dengan polisorbat 80 (Wade and Weller, 1994).