Telah banyak dilakukan penelitian dan dokumentasi tentang efektifitas terapi oksigen
hiperbarik pada bidang selular tubuh. Terapi oksigen hiperbarik juga telah merambah ke
bidang orthopedi.Banyak dokter bedah orthopedi dan traumatologist membuat terapi oksigen
hiperbarik sebagai terapi adjuvant. Beberapa penyakit orthopedi yang mendapat terapi oksigen
hiperbarik sebagai terapi adjuvant adalah:
Dengan berkembangnya terapi oksigen hiperbarik pada bidang orthopedi, membuat para
peneliti dari Taiwan ingin mengetahui tingkat keamanan terapi tersebut. Pada Oktober 2002
hingga September 2004, Kuo Chin Huang,MD dan rekan-rekannya dari Departemen Ortopedi
Rumah Sakit Chang Gung Memorial di Chia Yi, Taiwan membuat evaluasi keamanan terapi
oksigen hiperbarik pada pasien orthopedi.
Sebanyak 240 pasien diambil sebagai sampel dengan 4,638 sesi terapi oksigen hiperbarik di
pusat pengobatan hiperbarik mereka.Hasilnya adalah sebanyak 1.83% insiden komplikasi
tercatat.Lebih dari 94% komplikasi tersebut ringan hingga sedang sehingga digolongkan
menjadi komplikasi minor.Kurang dari 6% merupakan komplikasi mayor dimana komplikasi
berat atau mengancam nyawa.Insiden toksisitas oksigen pada system saraf pusat terjadi
sebanyak 0.109%.Tidak ada mortalitas yang tercatat pada penelitian ini.Sebagai kesimpulan,
terapi oksigen hiperbarik pada pasien orthopedi dikatakan sebagai terapi yang aman karena
komplikasi yang sangat rendah.
Karakteristik pasien yang mengalami toksisitias oksigen pada SSP selama terapi
dengan oksigen hiperbarik
4.1 Luka Kaki DiabetikKomplikasi kronik dari penyakit DM mempengaruhi banyak system
organ dan bertanggung jawab terhadap sebagian besar morbiditas dan mortalitas dari penyakit
system organ tersebut. Komplikasi kronik dari DM dapat dibagi menjadi komplikasi vascular
dan non vascular. Komplikasi vascular sendiri dibagi lagi menjadi mikrovaskular ( retinopati,
neuropati, nefropati ) dan makrovaskular ( penyakit jantung coroner, penyakit arteri perifer,
penyakit pembuluh serebral ). Komplikasi non vascular antara lain infeksi, perubahan pada
kulit, dan gastroparesis. DM kronik berhubungan dengan hilangnya pendengaran.
Berdasarkan konsensus ADA, terdapat enam intervensi dalam perawatan luka kaki dibetik:
1. Off-loading
Menghindari secara total tumpuan berat badan pada ulkus sehingga trauma mekanik yang
menggangu penyembuhan luka terhindari. Berbaring di tempat tidur, peralatan orthotic dapat
membatasi tumpuan berat pada luka atau titik tekan.
2. Debridement
3. Wound dressing
Menggunakan hydrocolloid membantu proses penyembuhan luka dengan menciptakan suasana
lembab dan melindungi luka. Agen antiseptic dihindari.Penggunaan antibiotic topical dibatasi
penggunaannya.
Proses terjadi terjadi tumpang tindih. Semua luka harus melewati semua tahapan proses
penyembuhan ini agar terbentuk integritas jaringan yang sempurna.
Luka diklasifikasikan menjadi akut dan kronik.Luka akut menyembuh dalam tahapan dan
waktu yang normal dan apabila terdapat komplikasi dapat menyembuh dengan sempurna.
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah :
Sistemik Lokal
1. Usia 1. Injuri Mekanik
2. Nutrisi 2. Infeksi
3. Trauma 3. Edema
4. Penyakit Metabolic 4. Jaringan nekrosis/ Iskemi
5. Supresi imunitas 5. Agen Topical
6. Gangguan jaringan ikat 6. Radiasi Ionizing
7. Merokok 7. Oksigen Rendah
8. Benda asing
Tanda infeksi yang dapat terlihat adalah eritema, selulitis, edema, cairan purulent.
TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA LUKA KAKI DIABETIK
Ulkus diabetik pada kaki terjadi pada 1.9% individu dengan diabetes setiap tahunnya
dengan angka amputasi 15%-20% pasien dalam 5 tahun.Terapi oksigen hiperbarik pada ulkus
yang tidak responsive dengan terapi konvensional dan bedah telah disetujui berdasarkan bukti
ilmiah menjadi terapi adjuvant.
Proses penyembuhan luka yang normal mempunyai tahap dimana setelah injuri, proses
inflamasi terjadi pada daerah luka, daerah pusat luka mengalami hipoksia dan kadar laktat
meningkat sehingga menstimulasi replikasi fibroblast, produksi kolagen, dan pertumbuhan sel
endothelial. Stimulasi dan pertumbuhan jaringan tersebut menjadi optimal bila terdapat
perpindahan gradient oksigen dari perifer ke daerah hipoksia. Konsentrasi oksigen terlarut yang
tinggi terjadi pada terapi oksigen hiperbarik sehingga mengoptimalkan konsentrasi gradient
oksigen dan memfasilitasi perbaikan luka.
Saat konsentrasi oksigen yang tinggi, terdapat stimulasi phagocyte oxidative killing dan
meningkatkan modifikasi kolagen.Terapi oksigen hiperbarik secara langsung meningkatkan
replikasi fibroblast, aktifasi osteoclast, vascular endothelial growth factor, dan platelet-derived
growth factors.Efek persisten setelah administrasi terapi oksigen hiperbarik adalah stimulasi
pertumbuhan kapiler.
Pada studi yang dilakukan pada tulang hipovaskular kerusakan akibat radiasi, Marx et
al mendemonstrasikan setelah terapi oksigen hiperbarik beberapa sesi, densitas kapiler
meningkat hingga 80%.Observasi ini diperhitungkan sebagai mekanisme fisiologis utama pada
pengobatan oksigen hiperbarik untuk osteoradionecrosis.Terapi oksigen hiperbarik juga
menginduksi pertumbuhan kapiler perifer pada luka yang tidak menyembuh.
Tekanan oksigen pada daerah sekitar luka yang tidak menyembuh dapat diukur dengan
elektroda polarografik dalam larutan ionik, terpisah dari epidermis dengan oxygen-permeable
membrane. Oksigen yang terdifusi pada bantalan kapiler dibawah elektroda akan tereduksi oleh
katoda sehingga menghasilkan gelombang yang menggambarkan konsentrasi oksigen.
Pemeriksaan transcutaneous oxygen concentration(Tcpo2) memberikan parameter objektif
yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien. Pada umumnya, luka tidak menyembuh
pada pasien diabetik dengan Tcpo2 > 35 mmHg mempunyai kecenderungan untuk sembuh
tanpa terapi adjuvant oksigen hiperbarik.Sebaliknya, bila nilai Tcpo2 < 20 mmHg
meningkatkan resiko tidak sembuh sebesar 39 kali. Walaupun tidak terdapat niai pasti Tcpo2
untuk menilai keberhasilan terapi oksigen hiperbarik, pasien dengan Tcpo2 200 mmHg
dengan 100% oksigen pada tekanan 2.5 atm cenderung untuk sembuh luka diabetiknya.
Studi retrospektif yang dilakukan oleh Fife et al mengukur Tcpo2 dan penggunaan
oksigen hiperbarik pada pasien dengan daerah sekitar luka yang hipoksia. Hasil yang
didapatkan adalah pasien dengan Wagner III mempunyai respon sebesar 77%, Wagner IV 64%
dan Wagner V 30%.Ratio kesembuhan pada pasien dengan Wagner I dan II adalah sebesar
83%. Hasil tersebut berlawanan dengan percobaan dengan topical recombinant human platelet-
derived growth factor BB (becaplermin; Regranex, Ortho-McNeil) sebesar 44% dengan
eksklusi luka hipoksia (Tcpo2 < 30 mmHg) dan luka Wagner III,IV,V
Percobaan terkontrol pertama pada luka diabetic ekstremitas bawah dengan terapi
oksigen hiperbarik dilakukan sekitar 35 tahun yang lalu.Sejak itu, banyak studi dilakukan untuk
menilai efektifitas terapi oksigen hiperbarik pada luka diabetic tidak menyembuh pada
ektremitas bawah.
Abidia et al melakukan studi acak pada 18 pasien diabetic dengan ulkus iskemik dan
mendapatkan terapi oksigen 100% pada tekanan 2.4 atm selama 90 menit setiap harinya untuk
30 kali sesi terapi. Penyembuhan total terjadi setelah 1 tahun terapi pada 5 dari 8 orang pada
kelompok hiperbarik dan 1 dari 8 orang pada kelompok control. Hasil dari studi tersebut adalah
terdapat penurunan yang signifikan pada daerah luka pada pasien kelompok hiperbarik
dibandingkan dengan kelompok control.
Efek terapi oksigen hiperbarik pada penyembuhan luka terbukti dapat bertahan lama.
Lebih dari 90% luka tetap tertutup setelah 4 tahun follow up. Studi yang dilakukan oleh Kalani
et al, 76% pasien yang diterapi dengan oksigen hiperbarik mempunyai kulit yang intak setelah
3 tahun follow-up, dibandingkan dengan 48% pasien kelompok control. Terdapat reduksi
amputasi sebesar 20% pada kelompok yang mendapat terapi oksigen hiperbarik.
Studi yang dilakukan oleh Faglia et al terhadap 68 pasien diabetic dengan luka tidak
menyembuh pada ekstremitas bawah untuk melihat efektifitas terapi oksigen hiperbarik pada
resiko amputasi.Seluruh individu penelitian mendapatkan perawatan klinis standar dengan
evaluasi makrovaskular sebelum mengikuti studi tersebut, sebanyak 35 subjek acak
mendapatkan terapi oksigen hiperbarik sebanyak 38.8 sesi. Amputasi yang dilakukan oleh tim
bedah terjadi pada 3 dari 35 subjek pada kelompok hiperbarik dan 11 dari 33 subjek pada
kelompok control.
Infeksi akut sering berhubungan dengan penyebaran infeksi secara hematogen ke tulang pada
anak. Dewasa juga dapat infeksi akut hematogenous terutama pada implant prostesa metal dan
alat fiksasi. Subakut osteomyelitis mempunyai durasi beberapa minggu dan beberapa bulan,
sedangkan infeksi kronik minimal selama beberapa bulan.
Virulensi organisme
Penyakit yang mendasari
Status imun penderita
Tipe tulang yang terinfeksi
Lokasi tulang yang terinfeksi
Vaskularisasi tulang yang terinfeksi
Osteomyelitis sering didiagnosa secara klinis dengan gejala nonspesifik seperti demam,
menggigil, lesu, lemah, atau rewel. Tanda klasik inflamasi seperti nyeri local, bengkak, atau
kulit kemerahan dapat terjadi dan akan menghilang dalam 5-7 hari.
Osteomyelitis kronik pasca trauma memerlukan riwayat anamnesis yang terperinci untuk
membuat diagnosis termasuk injuri awal, pengobatan antibiotic sebelumnya dan terapi bedah
yang didapat.Ekstremitas yang terkena mengalami gangguan fungsi dan tidak dapat menahan
beban tubuh.Riwayat nyeri local, bengkak, eritema, juga dapat ditemukan.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan luka skar atau proses penyembuhan luka yang
terganggu dan dapat diikuti oleh tanda cardinal inflamasi. Pada ekstremitas yang terkena juga
dapat ditemukan terbatasnya ruang gerak sendi, deformitas, dan tanda rusaknya vaskularitas.
Pemeriksaan kultur darah positif hanya pada 50% kasus osteomyelitis. Bahan kultur harus
diambil sebelum atau minimal 48 jam sesudah terapi antibiotik. Biopsy tulang merupakan
diagnosis definitive dengan mengisolasi pathogen secara langsung dari lesi tulang.
Biopsy tulang dilakukan melalui jaringan yang tidak terinfeksi dan sebelum terapi
antibiotic dimulai atau > 48 jam setelah terapi dihentikan.
Pengobatan antibiotic harus berdasarkan jenis pathogen yang didapat pada hasil kultur
tulang terapi antibiotic parenteral dini dapat dilakukan hingga hasil kultur keluar. Setelah hasil
kultur didapat, terapi dapat dimodifikasi sesuai organisme pada kultur. Umumnya lama terapi
antibiotic pada osteomyelitis 4 6 minggu.Antibiotic oral yang terbukti efektif termasuk
klindamisin, rifampin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan fluoroquinolone.
Tindakan pembedahan diindikasikan bagi penderita yang tidak ada respon terhadap terapi
antimikroba. Berdasarkan klasifikasi Cierny-Mader, kategori 1 dan 2 umumnya tidak
membutuhkan terapi bedah, kategori 3 dan 4 mempunyai respon yang baik terhadap terapi
bedah. Tindakan bedah sendiri meliputi drainase yang adekuat, debridemen jaringan neksrosis,
penutupan jaringan lunak yang adekuat, mengembalikan supply darah.Apabila infeksi terjadi
pada alat penopang dalam tulang, alat dikeluarkan dan digunakan fiksasi eksternal.
4.5 Osteomyelitis
Komplikasi tersering pada anak dengan osteomyelitis adalah rekurensi infeksi tulang.Infeksi
kronik dapat terjadi pada 5-10% pasien dengan pengobatan yang tepat. Komplikasi umum pada
anak dengan usia kurang dari 18 bulan adalah destruksi tulang, osteomyelitis kronik,
pertumbuhan tulang yang terganggu terutama bila lempeng pertumbuhan terinfeksi. Walaupun
jarang, destruksi tulang yang hebat atau penipisan korteks dapat mengakibatkan fraktur
patologis.
Terapi yang tidak adekuat dapat berakibat pada infeksi yang relapse dan infeksi
kronik.Avaskularitas tulang menyebabkan kronik osteomyelitis hanya dapat diterapi dengan
reseksi radikal atau amputasi.
Pemeriksaan CT digunakan dalam penuntun biopsi pada infeksi tertutup dan untuk
perencanaan perioperative dalam mendeteksi abnormalitas tulang, benda asing, atau tulang
nekrotik dan jaringan lunak.Pemeriksaan osteomyelitis dengan modalitas MRI mempunyai
tingkat sensitifitas yang tinggi sehingga mendukung tingkat kesuksesan terapi.Lokasi
osteomyelitis dan daerah yang terkena didemonstrasikan bersama dengan perubahan patologi
pada sumsum tulang dan jaringan lunak.
Terapi oksigen hiperbarik biasanya digunakan pada osteomyelitis akut, kronik, atau
refraktori.Terapi oksigen hiperbarik digunakan hanya sebagai terapi adjuvant osteomyelitis dan
harus dilaksanakan bersama dengan antibiotic parenteral, debridement, dukungan nutrisi, dan
bedah rekonstruksi.Karena osteomyelitis dapat kambuh walaupun telah bertahun-tahun hasil
terapi sukses, evaluasi minimal 2-5 tahun direkomendasikan.
Tekanan oksigen dalam tulang osteomyelitik rendah, jarang melebihi 25 mmHg. Mader
et al, melakukan percobaan dengan hewan dan hasil penelitian menunjukkan tekanan oksigen
pada tulang yang normal maupun yang terinfeksi meningkat pada terapi oksigen hiperbarik.
Pada keadaan tanpa oksigen hiperbarik, tekanan oksigen pada tulang normal adalah 45
mmHg sedangkan di tulang osteomyelitik adalah 23 mmHg.Dengan terapi oksigen hiperbarik,
tekanan oksigen dinaikkan menjadi 104 mmHg pada tulang osteomyelitik dan 322 mmHg pada
tulang normal.
Sel PMN merupakan sel yang bertanggung jawab terhadap perlawanan infeksi bakteri. Dengan
menggunakan model S.aureus, Mader menunjukkan hubungan proporsional antara tekanan
oksigen dan kemampuan fagosit. Meningkatkan oksigen hingga 150 mmHg dan 760 mmHg
membunuh sebagian besar S.aureus.Penelitian menunjukkan hasil terapi osteomyelitis
staphylokokus membaik dengan terapi adjuvant oksigen hiperbarik.
Fibroblast tidak dapat mensintesa kolagen atau migrasi ke daerah terinfeksi apabila tekanan
oksigen kurang dari 20 mmHg.Meningkatkan tekanan oksigen di atas 200 mmHg
mengembalikan aktifitas fibroblastik ke dalam fungsi normal.
Penelitian yang dilakukan oleh M.Kawahima dkk di Rumah Sakit Orthopedi Kawashima,
Nakatsu, Jepang pada 256 kasus osteomyelitis tanpa terapi oksigen hiperbarik (hanya
dilakukan debridement pada daerah infeksi dengan irigasi tertutup). Hasil yang didapat adalah
sebanyak 226 kasus (88.3%) menunjukkan hasil yang bagus, 7 kasus (2.7%) hasil yang sedang,
dan sebanyak 23 kasus (9.0%) menunjukkan hasil yang jelek. Pada 433 kasus osteomyelitis
yang diterapi dengan oksigen hiperbarik, 398 kasus (91.9%) menunjukkan hasil yang bagus,
hasil sedang pada 10 kasus (2.3%), dan hasil yang buruk sebanyak 25 kasus (5.8%).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil terapi dengan oksigen hiperbarik lebih baik
dibandingkan tidak mendapatkan terapi oksigen hiperbarik (p<0.01).
Iskemi perifer traumatic akut merupakan kategori untuk cedera yang disebabkan oleh trauma
dan berakibat pada iskemia jaringan dan edema. Pada kategori tersebut crush injury dan
compartment syndrome termasuk di dalamnya.
Crush injury terjadi ketika bagian tubuh terkena tekanan atau dengan derajat tinggi, umumnya
setelah terjepit diantara dua objek yang berat atau tak bergerak. Compartment syndrome
merupakan keadaan dimana peningkatan tekanan diantara ruang tertutup (tekanan
kompartemen) melebihi tekanan perfusi kapiler, yang berakibat pada terganggunya
mikrovaskular sehingga terjadi kematian sel akibat kekurangan oksigen. Compartment
syndrome dapat terjadi setelah fraktur, kompresi tungkai, olahraga yang berlebihan, atau luka
bakar. Istilah crush syndrome didefinisikan sebagai manifestasi sistemik kerusakan sel otot
akibat tekanan atau himpitan disertai atau tidak disertai dengan compartment syndrome.
Crush injury dapat terjadi pada keadaan individual (kecelakaan pada tempat kerja yang
berhubungan dengan mesin atau kendaraan) atau bencana alam seperti gempa bumi. Crush
injury sering terjadi pada ekstremitas karena injuri pada badan atau kepala dan leher sangat
fatal. Crush injury umumnya mempunyai prognosa yang buruk karena usaha tubuh untuk
menangani cedera primer, menyebabkan tubuh menghasilkan lebih banyak cedera akibat
respon reperfusi.
Penyebab umum compartment syndrome
Fraktur tibia
Orthopedic
Fraktur antebrachii
Injuri iskemik-reperfusi
Vascular
Perdarahan
Tusukan vascular pada pasien dalam keadaan antikoagulasi
Iatrogenic
Injeksi obat intravena atau intraarterial
Kompresi tungkai lama
Injuri jaringan lunak Crush injury
Luka bakar
Crush injuries merupakan cedera iskemia yang traumatik yang menyebabkan kerusakan hebat
pada jaringan sehingga angka survival jaringan dipertanyakan, biasanya, dua atau lebih
jaringan mengalami injury hebat sehingga survival jaringan tersebut tidak dapat dipastikan.
Edema akibat hipoksia jaringan mempunyai efek merusak pada proses penyembuhan luka dan
pemantauan infeksi. Hal tersebut berhubungan dengan ketersediaan oksigen dalam sel-sel yang
dalam keadaan membutuhkan oksigen yang banyak daripada biasanya. Efek merusak lain dari
edema adalah kapiler yang collapse. Cairan edema meningkatkan tekanan interstitial di sekitar
kapiler. Ketika tekanan cairan interstitial meningkat dibandingkan tekanan perfusi kapiler
dalam ruang tertutup, capillary bed collapses sehingga aliran mikrosirkulasi terhenti.
Bakteri berkembang biak dengan baik apabila sirkulasi terganggu pada lokasi injuri. Pasokan
darah yang terganggu atau rusak, antibiotic tidak dapat mencapai area injuri atau infeksi.
Pada lingkungan hipoksia, neutrophil kehilangan daya untuk menghasilkan sel oksigen reaktif
yang membunuh bakteri-bakteri tersebut. Selain area yang kehilangan pasokan darah dan tidak
adanya daya untuk melawan infeksi, permasalahan yang lain pada lokasi injuri tersebut adalah
terganggunya proses penyembuhan luka. Sebuah luka tidak akan sembuh apabila tidak terdapat
konsentrasi oksigen yang memadai agar fibroblast dapat berfungsi, tekanan oksigen jaringan
yang dibutuhkan fibroblast bermobilisasi dan menghasilkan matriks kolagen untuk
neovaskularisasi dan penyembuhan luka adalah 300 mmHg.
Sebanyak 40% compartment syndrome terjadi pada tibia dan fibula. Tungkai bawah
mempunyai empat kompartemen yaitu anterior, lateral, posterior superfisial, posterior
dalam.Tungkai atas mempunyai tiga kompartemen yaitu anterior, posterior dan
medial.Ekstremitas atas bagian antebrachii merupakan bagian yang sangat beresiko tinggi
dalam pembentukan compartment syndrome.Bagian tersebut mempunyai tiga kompartemen
yaitu flexor, ekstensor dan mobile wad.
Trauma pada otot berakibat pada peningkatan konsentrasi ion kalsium di ekstraseluler. Dengan
bertambahnya cedera dan kematian sel, potassium, fosfat, myoglobin, kreatinine kinase, dan
urate terkandung banyak di dalam sirkulasi darah. Serum haptoglobin mengikat myoglobin
tetapi tersaturasi ketika 100 gram jaringan otot mati. Myoglobin yang bersirkulasi mempunyai
dampak yang buruk terhadap ginjal.Kerusakan membrane pada sel otot dan edotel kapiler
sistemik berakibat pada kehilangan volume vascular dan hipovolemia.Hyperkalemia dan
hipokalsemia menyebabkan aritmia dan henti jantung.Asidosis metabolic akibat hipovolemik
dan syok toksik memperberat aritmia. Gagal ginjal merupakan komplikasi serius pada crush
syndrome. Pathogenesis kegagalan ginjal tersebut mempunyai banyak factor termasuk sistemik
hipoperfusi, nefrotoksik dari myoglobin, kandungan urate dan fosfat yang tinggi pada tubulus
distal. Kandungan urate dan fosfat yang tinggi dieksaserbasi oleh rendahnya pH urine dan
volume urine. Myoglobin juga secara tidak langsung mempunyai efek nefrotoksik melalui
induksi lipid peroksidase dan produksi oksigen radikal bebas.
Tekanan normal kompartemen otot adalah < 15 mmHg. Setelah crush injury, edema seluler
terjadi sehingga menghasilkan peningkatan tekanan pada kompartemen yang mempunyai
volume yang tetap tersebut. Tekanan > 30 mmHg menghasilkan iskemia otot, kerusakan
irreversible saraf dan kerusakan otot, terjadi setelah 4 hingga 6 jam.
Pain
o Nyeri yang dirasakan terus menerus dan merata, diperparah dengan gerakan, sentuhan,
atau tekanan.
Paresthesia (atau anesthesia)
Passive stretch
o Nyeri hebat ketika otot dalam kompartemen yang terkena ditarik
Pressure
o Palpasi pada kompartemen yang terkena didapatkan kesan keras, kencang dan kadang
hangat.
Pulselessness
o Tanda tersebut kurang dapat diandalkan karena baru terjadi pada tahap
lanjut.Pemeriksaan denyut nadi kurang dapat diandalkan karena compartment
syndrome melibatkan mikrovaskular sehingga pembuluh darah utama umumnya tidak
terlibat.
Kontraktur iskemik Volkmann merupakan akibat compartment syndrome yang akut dimana
jaringan fibrosa digantikan dengan otot yang mati.
Tatalaksana pada crush injury adalah resusitasi cairan dengan normal saline 1 2 liter
bolus menggunakan dua jalur IV yang besar. Analgetik juga diberikan pada pasien tersebut.
Apabila pasien mengalami entrapment dalam durasi yang panjang, bicarbonate 1 ampul/ jam
harus dipikirkan. Kadar potassium serum harus dipantau secara serial.Pasien dirawat di dalam
ruangan unit intensif untuk pemantauan administrasi cairan dan status elektrolit.Keluaran urine
harus sebesar 200 hingga 300 ml/jam untuk dewasa.Alkalinisasi urine dapat diberikan dengan
tujuan pH urine pH > 6 dengan menggunakan bicarbonate.Apabila metabolic alkalosis terjadi,
acetazolamide dapat diberikan sebanyak 500 mg IV.Hemodialysis darurat dapat diberikan pada
pasien dengan anuria, hyperkalemia, atau kelebihan cairan.
Pada keadaan bencana alam akibat gempa bumi, prosedur fasciotomy kebanyakan
dilakukan > 12 jam setelah trauma. Peninjauan ulang dari kasus- kasus berikut, didapatkan
tingkat infeksi yang tinggi, mortalitas dan amputasi yang meningkat dengan hasil akhir yang
buruk. Berdasarkan hasil tersebut, fasciotomy diindikasikan pada korban yang dapat ditangani
dalam waktu 6 jam tetapi kurang dari 12 jam setelah trauma. Apabila paralisis terjadi pada
tungkai yang terkena, fasciotomy tidak diindikasikan.Fasciotomy yang dilakukan pada
kompartemen yang awalnya normal tetapi kemudian berkembang menjadi compartment
syndrome, angka infeksi dilaporkan tinggi dan memanjang, perdarahan local yang hebat juga
dapat terjadi.
Volar Arm Fasciotomy
Terapi Oksigen Hiperbarik pada Compartment Syndrome
Terapi oksigen hiperbarik juga mengurangi jumlah otot skeletal yang mengalami nekrosis.
Terapi oksigen hiperbarik pada kasus crush injury harus dimulai sedini mungkin, idealnya
dalam waktu 4-6 jam setelah cedera. Setelah intervensi pembedahan darurat, pasien diberikan
terapi oksigen hiperbarik dengan tekanan 2 2.5 atm selama 60-90 menit.Untuk 2-3 hari
berikutnya, terapi oksigen hiperbarik dilakukan tiga kali sehari setiap harinya kemudian dua
kali sehari setiap harinya selama 2-3 hari, lalu setiap hari selama 2-3 hari berikutnya.
Oksigen hiperbarik juga digunakan sebagai terapi tambahan pada manajemen compartment
syndromes dan iskemi perifer traumatic akut lainnya. Terapi oksigen hiperbarik tidak
direkomendasikan untuk compartment syndrome dalam tahap suspek (compartment syndrome
belum terlihat tetapi mungkin dalam tahap impending). Terapi oksigen hiperbarik bermanfaat
ketika compartment syndrome sudah dalam tahap impending yaitu tanda objektif terlihat
(nyeri, kelemahan, nyeri saat regangan pasif, kompartemen yang tegang). Dengan tanda-tanda
tersebut, walaupun terapi pembedahan tidak dipilih akibat tekanan kompartemen atau stabilitas
pasien, terapi oksigen hiperbarik menjadi indikasi.Apabila pasien telah menjalankan fasiotomi,
terapi oksigen hiperbarik dapat digunakan untuk mengurangi morbiditas.
Infeksi nekrosis jaringan lunak dibagi atas necrotizing fasciitis dan necrotizing myositis.
Necrotizing fasciitis merupakan infeksi jaringan lunak subkutan dan jaringan fasia yang jarang
tetapi sangat agresif dan mengancam nyawa, biasanya ditemukan pada pasien diabetik.
Jaringan otot biasanya tidak terinfeksi. Pada pemeriksaan klinis,kulit tampak eritema, kadang-
kadang terdapat beberapa bula kecil, pada region luka tusuk. Indurasi local sering ditemukan,
kadang-kadang krepitasi subkutan yang disebabkan oleh gas pada jaringan lunak dapat
ditemukan.Udara dalam jaringan lunak umumnya dapat terlihat pada pemeriksaan radiologi
sederhana pada infeksi gas-producing clostridial.Pemeriksaan serial diperlukan untuk mencari
tahu sumber infeksi, yang mengalami progress cepat mengikuti alur drainase vena.
Debridement darurat pada jaringan non vital (kadang diperlukan amputasi) diikuti dengan
antibiotic diperlukan untuk mencegah mortalitas.
Lokasi tersering necrotizing fasciitis adalah genitalia eksternal, perineum, ekstremitas, dan
dinding abdomen. Kuman pathogen yang sering ditemukan pada pasien dengan infeksi
nekrosis jaringan lunak adalah organisme gram positif; streptococci group A, enterococci,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermis, dan Clostridium. Organisme gram negative
yang sering dihubungkan dengan infeksi nekrosis adalah Escherichia coli, Enterobacter,
Pseudomonas.Pada kasus infeksi nekrosis, infeksi polimikrobial lebih sering terjadi
dibandingkan organisme tunggal.
1. Diabetes mellitus
2. Arteriosklerosis berat
3. Penggunaan obat intravena
4. Ulkus dekubitus
5. Malnutrisi
6. Obesitas
7. Alkoholisme kronik
8. Penyakit vascular perifer yang berat
9. Pasien post operasi atau pasien dengan trauma penetrasi
10. Penggunaan steroid
11. Sirosis
12. Abses pada traktus genital wanita
1. Diabetes mellitus
2. Penyakit vascular perifer yang berat
3. Trauma
4. Strain otot
5. Varisela
6. Wanita yang baru saja partus
Injuri awal yang tersering menyebabkan infeksi adalah trauma minor (80% kasus), luka
operasi, dan ulkus decubitus. Presentasi kasus biasanya akut atau subakut, 3-14 hari setelah
injuri. Pada beberapa kasus, terutama yang berhubungan dengan infeksi group A streptococcus,
onset mendadak, kondisi dapat berjalan secara dramatis dari abrasi kecil hingga syok septik,
dengan nekrosis subkutan massif dalam 24 jam. Pada infeksi group A Streptococcus, lebih dari
50% pasien tidak memiliki penyakit yang mendasari dan dalam kondisi kesehatan yang baik.
Setelah invasi bakteri awal, infeksi menyebar sepanjang fascia dan lemak subkutan, jaringan
yang iskemik memfasilitasi penyebaran nekrosis.Pada tahap awal, pemeriksaan histologi
biopsy kulit tidak menunjukkan kelainan.Akan tetapi lemak subkutan dan fascia menunjukkan
reaksi inflamasi nonspesifik dengan arteriolitis fibrinoid, thrombosis pembuluh darah dan pada
akhirnya nekrosis. Jika kondisi tersebut tidak diterapi, kulit yang melapisinya akan menjadi
nekrosis akibat oklusi thrombosis vena dan arteri yang memperdarahinya.
Necrotizing fasciitis dapat disebabkan oleh infeksi sinergis polibakterial dimana paling sedikit
satu organisme anaerobic (umumnya Bacteroides, Peptostreptococcus, atau Peptococcus)
terisolasi dengan kombinasi satu atau lebih organisme facultative (umumnya Streptococci,
E.coli, Klebsiella, S.aureus) atau dapat juga disebabkan oleh organisme tunggal, biasanya
S.pyogenes. Pada kebanyakan kasus yang disebabkan oleh polimikrobial, organisme multiple
dapat ditemukan dengan rata-rata tiga atau empat mikroba dalam satu pasien.
Orgamisme tersering
Non-group A streptococci
Enterobacteriaceae organisme
Bacteroides
Peptostreptococcus
Terdapat riwayat injuri sebelumnya dan onset gejala dimulai beberapa jam atau hari
sesudahnya dengan keluhan nyeri dan bengkak yang disertai demam dan tubuh yang menggigil.
Nyeri berjalan progresif, terus menerus, dan berat, seringkali dirasakan melebihi apa yang
tampak pada pemeriksaan fisik.
Terdapat daerah eritema pucat pada daerah yang terkena. Progresi yang cepat dari eritema
menjadi bullae, ekimosis, dan necrosis atau gangrene. Perubahan warna kulit menjadi coklat
kebiruan akan terjadi pada tahap lanjut. Apabila kondisi tersebut dibiarkan, gangrene kulit
dapat terlihat.
Nyeri secara bertahap akan digantikan dengan rasa baal atau analgesia akibat kompresi dan
rusaknya saraf kulit. Hyperesthesia daerah yang terkena dapat menjadi tanda perjalanan
penyakit terus berlanjut.
Edema ditemukan pada kebanyakan pasien.Edema dapat ditemukan jauh dari batas eritema
kulit.
Krepitasi tidak umum ditemukan tetapi dapat ditemukan pada pasien dengan tahap lanjut
perjalanan penyakit.
Vesikel-vesikel dapat ditemukan pada daerah yang eritema, seringkali diikuti langsung oleh
gangrene kulit yang nyata.
Necrotizing fasciitis pada tungkai bawah. Tampak eritema yang dusky , dengan vesikel
dan gangrene kulit
Hasil post operasi pada gambar atas. Seluruh jaringan nekrosis subkutan dieksisi
Diagnosa Banding
1.Selulitis :Infeksi akut meluas pada kulit dan jaringan lunak yang ditandai dengan eritema,
edema, nyeri, dan kalor.Perjalanan penyakit yang terus berjalan walaupun telah diberikan
antibiotic, terjadi toksisitas sistemik, nyeri hebat, nekrosis kulit mengarahkan kepada diagnosa
necrotizing fasciitis dibandingkan selulitis.
2. Pyomyositis : Supurasi pada otot skeletal.Nyeri terlokalisir pada kelompok otot yang spesifik
dan tidak terjadi toksisitas sistemik.Pemeriksaan radiologi otot mengkonfirmasi diagnosa.
3. Erythema induratum : Nyeri pada penekanan, nodul eritema subkutan terjadi pada tungkai
bawah terutama bagian cruris.Tidak ada demam, toksisitas sistemik, dan nekrosis kulit
mengarahkan kepada eritema induratum daripada necrotizing fasciitis.Lesi pada erythema
induratum dapat berjalan secara kronis, rekurensi, dan pasien memiliki riwayat tuberculosis.
4. Clostridial myonecrosis : Infeksi nekrosis akut pada jaringan otot disebabkan oleh organisme
clostridial. Eksplorasi bedah dan pemeriksaan kultur diperlukan untuk membedakannya
dengan necrotizing fasciitis.
5.Streptococcal or staphylococcal toxic shock syndrome. Respon inflamasi sistemik terhadap
bakteri penghasil toksin.Ditandai dengan demam, hipotensi, erythroderma generalisata,
myalgia, dan keterlibatan organ multisystem.Necrotizing fasciitis dapat terjadi sebagai bagian
dari toxic shock syndrome.
Managemen
Sebelum terapi antimicrobial dimulai, pengambilan bahan kultur dan pemeriksaan Gram
dilakukan dengan aspirasi jarum langsung pada daerah yang terkena. Dengan mengeksisi kecil
kulit atau melalui drainase, dapat terlihat proses necrotizing fasciitis yang terjadi dibawah kulit.
Biopsy kulit dapat membantu diagnose.
Prinsip managemen pada necrotizing fasciitis adalah menjaga keadaan umum tetap baik,
administrasi antimicrobial, tindakan pembedahan. Digunakan pengawasan melalui vena sentral
dan kateter arteria, administrasi cairan intravena untuk mengkoreksi dehidrasi, menjaga
oksigenasi yang adekuat, terapi penyakit yang mendasari (seperti koreksi ketoasidosis atau
gagal jantung kongestif), dan memperhatikan status nutrisi pasien. Nutrisi yang adekuat
dibutuhkan setelah post operasi untuk peningkatan kebutuhan nitrogen yang besar dalam
proses perbaikan jaringan, hipertermia, sepsis, dan kebutuhan organ vital.
Pemilihan antibiotika berdasarkan hasil pewarnaan Gram.Apabila pemeriksaan mikrobiologi
spesifik tidak ada, penggunaan antibiotika spectrum luas digunakan, termasuk menjangkau
organisme anaerob. Aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin) 3 5 mg/kg sehari dalam 3
dosis terbagi atau 5-7 mg/kg dosis tunggal, ditambahkan klindamisin 1200 2400 mg/hari
dalam 3-4 dosis terbagi, adalah terapi awal yang adekuat.
Apabila mikroba batang gram positif dalam jumlah banyak ditemukan atau group A
streptococcus dicurigai, penisilin G ditambahkan 20-24 juta U/hari dalam dosis terbagi.
Kombinasi klindamisin dan penisilin diperkirakan sebagai terapi pilihan pada infeksi berat
jaringan lunak akibat group A streptococcus. Penggunaan immunoglobulin intravena 0.4
g/kg/hari selama 4-5 hari atau 2 g/kg dosis tunggal dengan dosis berulang dalam 48 jam
merupakan terapi tambahan pada pasien dengan streptococcal toxic shock syndrome.
Untuk necrotizing fasciitis tipe I, regimen awal antibiotic harus mencakup gram positif,
negative dan organisme anaerob. Regimen lini pertama adalah:
Managemen utama adalah eksplorasi bedah, debridement, dan drainase yang harus dilakukan
segera.Diperlukan debridemen dan eksisi jaringan adipose subkutan dan fascia yang telah
nekrosis.Luka dibiarkan terbuka.Eksplorasi harian dalam anestesi umum diperlukan pada
infeksi di daerah perianal dan trunkus dan untuk seluruh pasien yang dalam keadaan
toksik.Penggantian balutan dilakukan sesering mungkin hingga jaringan granulasi sehat
tumbuh.Mungkin diperlukan tindakan amputasi untuk mengontrol penyakit.
Pemeriksaan Penunjang
Penampakan umum ditemukan fascia yang bengkak, berwarna abu gelap dengan daerah
yang nekrosis
Nekrosis pada fascia dan jaringan lemak menghasilkan pus yang berair dan sangat bau.
Histologi menunjukkan nekrosis jaringan lemak subkutan, vasculitis, dan perdarahan
local.
Prognosis
Tingkat mortalitas sebesar 20% - 47% walaupun terapi yang agresif dan terbaru.Diagnosis dini
dan terapi dapat menurunkan tingkat mortalitas hingga 12%.Usia di atas 50 tahun, diabetes,
dan gagalnya debridement yang adekuat berhubungan dengan tingkat mortalitas.
Studi terbaru menunjukkan penurunan morbiditas sebanyak 50% dan mortalitas sebanyak 34%
pada penggunaan hiperbarik pada pasien dengan necrotizing fasciitis.
Riesman melaporkan tingkat mortalitas sebesar 66% pada pasien necrotizing fasciitis yang
tidak diterapi dengan oksigen hiperbarik dan 23% pada pasien yang mendapatkan terapi
oksigen hiperbarik.
Studi klinis multiple yang dilakukan berdasarkan studi kasus, studi retrospektif dan prospektif,
dan percobaan klinis non randomized menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik
menurunkan angka mortalitas dan morbitas pada pasien dengan necrotizing fasciitis. Pada 2
studi yang dilakukan, angka mortalitas menurun sebesar 11,9% dibandingkan dengan kasus
yang tidak diterapi dengan oksigen hiperbarik (34%). Pada kelompok studi yang lain,
kelompok yang mendapatkan terapi oksigen hiperbarik mempunyai kondisi klinis diabetes,
syok, dan tetap menunjukkan penurunan angka mortalitas sebesar 23% dibandingkan
kelompok control (66%).
Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi adjuvant pada necrotizing fasciitis.Terapi utama
tetap debridement yang agresif.Insisi dini yang luas pada kulit dan jaringan subkutan hingga
menjangkau jaringan yang sehat, diikuti dengan eksisi seluruh fasia nekrosis, kulit dan jaringan
subkutan yang sudah nekrosis diperlukan.Terapi antibiotic merupakan manajemen penting
dalam kasus necrotizing fasciitis tetapi kedudukannya hanya sebagai adjuvant terapi juga.
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa oksigen hiperbarik mempunyai reaksi toksik terhadap
bakteria anaerob, meningkatkan fungsi polimorfonuklear dan bakterisida.Oksigen hiperbarik
juga mengurangi adhesi neutrophil berdasarkan fungsi inhibisi beta-2 integrin.Pada necrotizing
fasciitis yang disebabkan oleh organisme clostridial, oksigen hiperbarik dapat menghentikan
kerja toksin alfa yang dikeluarkan oleh organisme tersebut.Bukti yang terbatas menunjukkan
bahwa oksigen hiperbarik dapat memfasilitasi penetrasi antibiotic atau kerja beberapa kelas
antibiotic termasuk aminoglikosida, sefalosporin, sulfonamide dan amphotericin.
Mader dan Thom membuat ketentuan rasional dalam penggunaan oksigen hiperbarik sebagai
terapi adjuvant necrotizing fasciitis. Tujuan utama adalah:
Secara keseluruhan, terapi oksigen hiperbarik menstimulasi mekanisme pertahanan tubuh dan
mekanisme perbaikan sel melalui sintesa kolagen dan angiogenesis.
Terapi oksigen hiperbarik awal dilakukan secara agresif dua kali per hari diimbangi dengan
debridement.Umumnya tekanan 2.0 2.5 atm adekuat pada terapi necrotizing fasciitis.
7 Fraktur Terbuka
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Fraktur terbuka merupakan fraktur yang berhubungan dengan injuri jaringan lunak diatasnya,
terdapat komunikasi antara lokasi fraktur dengan kulit.Istilah fraktur terbuka tidak hanya
digunakan pada tulang yang terekspose di luar tetapi digunakan pula pada luka tusuk yang
mempunyai kedalaman hingga ke lokasi fraktur yang mendasari.Luka tusuk tersebut dapat
dihasilkan oleh tekanan eksternal atau oleh fragmen tukang yang tajam yang secara transien
menembus kulit kemudian kembali lagi ke bawah lapisan kulit.
Klasifikasi Deskripsi
I Luka < 1 cm, kontaminasi minimal, cimminution, kerusakan jaringan lunak
II Luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak moderat dan minimal periosteal stripping
Perlukaan disertai kerusakan luas pada jaringan lain seperti kerusakan kulit, otot,
III dan neurovascular atau fraktur comminutif berat atau segmental tanpa melihat
besarnya perlukaan.
Kontaminasi, kerusakan jaringan lunak yang parah tetapi masih dapat menutupi
III A
fraktur, biasanya karena trauma dengan energy tinggi
Kontaminasi, periosteal stripping, kerusakan jaringan lunak yang parah,
III B
penutupan fraktur yang tidak adekuat
Fraktur terbuka yang disertai injuri arterial yang memerlukan tindakan
III C
perbaikan.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme Otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada ekstremitas. Deformitas dapat
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.
Kebanyakan pasien dengan fraktur terbuka mengalami injuri multiple dan syok berat.Luka
harus ditutup dengan dressing yang tepat dan steril.Profilaksis tetanus diberikan.Semua fraktur
terbuka dianggap terkontaminasi. 4 pilar manajemen fraktur terbuka adalah :
1. Debridemen luka
2. Profilaksis antibiotic / anti tetanus
3. Stabilisasi fraktur
4. Menutup luka agar tidak terekspose dengan lingkungan
Komplikasi Lokal pada Fraktur
Penyembuhan fraktur dibagi menjadi penyembuhan primer dan sekunder. Pada penyembuhan
primer, korteks tulang mencoba membangun kembali komponennya tanpa formasi callus
(penyembuhan osteonal atau haversian). Proses ini terjadi apabila fraktur secara anatomis
berkurang, supply darah terjaga, dan fraktur difiksasi dengan internal fixation. Penyembuhan
sekunder merupakan hasil dari formasi callus dan keikutsertaan periosteum dan jaringan lunak
eksternal.Respon penyembuhan ini diperkuat oleh gerakan dan dihambat oleh fiksasi ketat.
1. Inflamasi
2. Formasi soft callus
3. Formasi hard callus
4. Bone remodeling
1. Inflamasi
Setelah fraktur terjadi, proses inflamasi terjadi dengan cepat dan berakhir hingga jaringan
fibrosa, kartilago, atau formasi tulang dimulai (1-7 hari setelah fraktur). Awalnya terbentuk
hematoma dan eksudate inflamasi dari pembuluh darah yang rupture.Nekrosis tulang terlihat
pada ujung fragmen tulang yang fraktur.Injuri pada jaringan lunak dan degranulasi platelets
menghasilkan cytokines.Cytokines menghasilkan reaksi inflamasi seperti vasodilatasi,
hyperemi, migrasi dan proliferasi polimorfonuklear neutrophil, makrofag, dan lainnya.Di
dalam hematoma, terdapat anyaman fibrin, reticulin fibrils, dan fibrils kolagen.Hematoma
fraktur secara bertahap digantikan oleh jaringan granulasi.Osteoclast menghancurkan tulang
yang telah nekrosis pada ujung fragmen.
Nyeri dan edema berkurang dan pembentukan soft callus dimulai. Proses ini terjadi saat
fragmen tulang sudah tidak dapat bergerak bebas lagi, kurang lebih 2-3 minggu setelah fraktur.
Osifikasi intramembranosa.Jaringan granulasi digantikan dengan jaringan fibrin dan
kartilago dan pembentukan pembuluh darah ke dalam callus yang terkalsifikasi. Proses
ini dimulai pada bagian perifer dan bergerak kearah tengah.
Hasil akhir pembentukan callus adalah stabilitas sehingga pemendekan tulang terhindar
walaupun pergeseran sudut mungkin masih dapat terjadi pada lokasi fraktur.
Tahap pembentukan soft callus ditandai dengan pertumbuhan callus.Sel progenitor pada
cambial layer periosteum dan endosteum distimulasi dan menjadi osteoblast.Pembentukan
tulang intramembranosa dimulai pada lapisan periosteum dan endosteum dengan arah
menjauhi fracture gap, membentuk woven bone periosteally dan mengisi intramedullary canal.
Pada proses ini juga terjadi pertumbuhan kapiler di dalam callus sehingga vaskularisasi
meningkat. Daerah dekat fracture gap, sel mesenkimal progenitor proliferasi dan mingrasi
melalui callus, berdiferensiasi menjadi fibroblast atau kondrosit dan secara perlahan
menggantikan hematoma.
Ketika ujung fraktur telah dihubungkan dengan soft callus, tahap hard callus dimulai dan
berakhir saat fragmen telah bersatu dengan kuat oleh tulang yang baru (3-4 bulan). Saat formasi
tulang intramembranosa berlanjut, jaringan lunak diantara fragmen mengalami osifikasi
endochondral dan callus dikonversi menjadi jaringan keras yang terkalsifikasi (woven bone).
Pertumbuhan callus tulang dimulai pada daerah perifer lokasi fraktur, dimana regangan paling
rendah. Formasi hard callus dimulai dari arah perifer dan secara progresif bergerak kea rah
pusat fraktur dan fracture gap. Jaringan lunak pada fracture gap digantikan dengan woven bone
pada proses osifikasi endochondral.
4. Remodeling
Tahap ini dimulai apabila fraktur telah disatukan dengan solid oleh woven bone. Woven bone
kemudian secara perlahan digantikan oleh lamellar bone melalui erosi lapisan dan osteonal
remodeling. Tahap ini berlangsung dalam beberapa bulan hingga tahun, berakhir ketika tulang
telah kembali seutuhnya pada morfologi awal.
Terapi Oksigen Hiperbarik pada Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka, terjadi keadaan hipoksia local yang diikuti oleh iskemia jaringan, lesi
vaskuler, nekrosis ujung fragmen tulang yang patah dan gangguan proses metabolisme seluler.
Kejadian tersebut akan mengakibatkan gangguan perfusi dan oksigenasi jaringan lunak dan
tulang.
HBO adalah tekanan oksigen lebih dari 1 atmosfer yang menyebabkan tekanan oksigen pada
jaringan juga meningkat , sehingga gradient difusi oksigen kedalam sel akan meningkat .
Erythrocyt akan lebih mudah menyesuaikan bentuk dengan dinding kapiler yang telah rusak
sehingga dapat dilaluinya dan turut membantu tranportasi oksigen ke daerah fraktur .
Oksigen yang larut tersebut akan masuk ke ekstravaskuler dan ruang intraselluler dengan cara
difusi dan kemudian dapat dipergunakan oleh sel-sel yang mengalami hipoksia oleh karena
fraktur terbuka. Selanjutnya akan meningkatkan metabolisme enzimatik dalam sel serta
aktifitas metabolic dari fungsi osteogenesis.
1. Tekanan Oksigen
Tekanan oksigen pada daerah fraktur biasanya menurun dan jarang melebihi 25
mmHg.Penelitian binatang oleh Hunt, Kivisaari dan Mader menunjukan P O2 pada fraktur
terbuka tidak lebih dari 23 mmHg, pada tulang normal 40 mmHg. HBO (O2 100%, 2 ATA)
dapat meningkatkan P O2 sampai 104 mmHg pada fraktur terbuka, pada tulang normal 322
mmHg. Hipoperfusi dan inflamasi sekunder terjadi akibat tekanan oksigen yang rendah
menimbulkan peningkatan tekanan intramedular pada fraktur terbuka yang kemungkinan
mengalami infeksi, dimana pus dan debris mengisi system Havers dan medullary canal.
Seperoxide dismutase dan catalase merupakan mekanisme enzimatik yang digunakan oleh
bakteri aerob untuk menurunkan toksik radikal oksigen pada fraktur terbuka yang
terinfeksi.Pada Anaerobic organisme dan organisme mikroaerofilik kurang kemampuannya
untuk memproduksi enzim ini.Kuman Anaerob sangat sensitif terhadap radikal oksigen pada
intraselular dan ekstraselular selama terapi HBO.
Terapi HBO akan menghambat alpha toxin dari organisme clostridial yang merusak membran
sel dan meningkatkan permeabilitas kapilar pada fraktur terbuka yang terinfeksi. HBO
merupakan bakterisidal pada sebagian besar spesies clostridial.Pada penelitian in vitro HBO
mempunyai mekanisme membunuh secara tidak langsung pada bacteri clostridium perfringen
melalui lekosit PMN mekanisme.
Fibroblast tidak dapat mensintesis kolagen dalam membentuk callus pada daerah fraktur
terbuka yang terinfeksi saat tekanan oksigen kurang dari 20 mmHg. Peningkatan oksigen
sampai 200 mmHg menghasilkan fungsi yang normal.
Antibiotika ini tidak dapat melakukan mempenetrasi pada daerah fraktur terbuka yang
terinfeksi sehingga aktivitasnya menurun sebagai akibat dari tekanan oksigen yang rendah.
Dengan HBO akan meningkatkan aktivitas Bakterisidal dari antibiotika tersebut.
Pada percobaan yang dilakukan oleh Dong Wu, Malda, Crawford, dan Yin pada tahun 2007,
didapatkan hasil bahwa oksigen hiperbarik menstimulasi proliferasi osteoblast. Oksigen
hiperbarik juga meningkatkan biomineralisasi dengan peningkatan formasi bone nodule,
deposit kalsium, dan aktifitas alkaline fosfatase. Data tersebut memperkirakan terpaparnya
osteoblast dengan oksigen hiperbarik meningkatkan diferensiasi kepada osteogenik.Bukti
ilmiah tersebut mempunyai potensi terhadap penerapan terapi oksigen hiperbarik dalam
penyembuhan fraktur dan regenerasi tulang.
Sejak tahun 1966, terapi oksigen hiperbarik telah disarankan untuk menunjang proses
penyembuhan fraktur terutama pada non-union fraktur. Pada percobaan dengan binatang,
oksigen hiperbarik menunjukkan peningkatan generasi tulang dan pengangkatan tulang yang
telah mati atau abnormal. Pada studi yang lain dengan menggunakan kucing sebagai subjek,
oksigen hiperbarik menunjukkan formasi tulang yang meningkat tetapi tidak memperbaiki
vaskularisasi, gambaran radiologis atau gambaran histologi (Kerwin 2000). Oleh karena itu,
penggunaan oksigen hiperbarik pada pasien dengan fraktur masih kontroversial.
8. Rheumatoid Arthritis
Istilah gangguan rheumatic meliputi berbagai penyakit yang menyebabkan nyeri kronik,
kekakuan, dan bengkak sekitar sendi dan tendon.Rheumatoid arthritis merupakan penyebab
tersering penyakit kronik inflamasi sendi. Tanda klinis tersering adalah polyarthritis yang
simetris dan tenosynovitis, kekakuan pada pagi hari, peningkatan laju endap darah dan
pemeriksaan serum anti-IgG globulins (rheumatoid factor) yang positif.
Prevalensi rheumatoid arthritis adalah 1-3% dengan insiden tertinggi pada usia dekade empat
atau lima. Perempuan terserang lebih sering 3-4 kali dibanding pria.Penyebab rheumatoid
arthritis masih belum dimengerti sepenuhnya. Faktor-faktor penting yang diketahui memiliki
peranan dalam perkembangan rheumatoid arthritis adalah:
1. Kecenderungan genetik
2. Reaksi imunologi, mungkin melibatkan antigen asing, terutama yang menargetkan
jaringan synovial
3. Reaksi inflamasi pada sendi dan serat tendon
4. Adanya anti-IgG antibodi (rheumatoid factor) pada darah dan cairan synovial
5. Proses inflamasi yang berjalan terus menerus
6. Destruksi kartilago articular
Rheumatoid arthritis mengenai jaringan synovial dan kartilago dan tulang yang
mendasarinya.Membrane synovial, serat tendon dan bursae merupakan lapisan tipis jaringan
ikat.Pada sendi, lapisan tersebut menyatukan permukaan tulang yang saling berhadapan.Tanda
khas pada RA adalah inflamasi synovial dan proliferasi synovial, erosi tulang, penipisan
kartilago articular. Inflamasi kronik menyebabkan hiperplasia lapisan synovial dan formasi
pannus (jaringan granulasi fibrovaskular yang menebal dan menginvasi kartilago dan tulang).
Kerusakan structural dari kartilago yang termineralisasi dan tulang subchondral dimediasi oleh
osteoclast.Lesi kerusakan secara topikal berlokasi pada membrane synovial yang memasuki
permukaan periosteal pada sisi tepi tulang yang dekat dengan kartilago articular dan pada
daerah melekatnya ligament dan serat tendon. Proses ini menjelaskan mengapa erosi tulang
biasanya terbentuk pada sisi radial sendi metacarpal.
Proses Patologi Pada Sendi dan Tendon
Tahap 1 : synovitis
Perubahan awal adalah kongesti vascular, proliferasi synoviocytes dan infiltrasi lapisan
subsynovial oleh sel plasma, limfosit dan polimorfonuklear.Terjadi penebalan struktur
kapsular, formasi villous synovium dan efusi cairan yang mengandung banyak sel pada sendi
dan serat tendon.Keluhan pada tahap ini adalah nyeri, bengkak dan nyeri pada penekanan.
Walaupun demikian, struktur masih intact dan dapat digerakkan (mobile), dan gangguan
tersebut masih reversible.
Tahap 2 : destruksi
Bukti terbaru menyatakan erosi tulang merupakan akibat hyperplasia synovial disbanding
inflamasi (Kirwan, 1997). Perubahan yang sama terjadi pada serat tendon sehingga
menyebabkan tenosynovitis sehingga pada akhirnya terjadi rupture tendon sebagian atau
seluruhnya.
Efusi synovial seringkali mengandung bahan fibrinoid yang melimpah sehingga menghasilkan
pembengkakan pada sendi dan tendon.
Tahap 3 : deformitas
Kombinasi dari destruksi articular, peregangan kapsular, dan rupture tendon menghasilkan
instabilitas sendi dan deformitas sendi.Pada tahap ini, reaksi inflamasi telah mereda.
Mekanisme pathogen dari inflamasi synovial disebabkan oleh factor lingkungan, genetic, dan
faktor imunologi.Ketiga faktor tersebut meyebabkan disregulasi sistem imunitas.Hal yang
mencetuskan dan bagaimana genetic dan lingkungan dapat merusak system imunitas masih
belum terjawab.
Insiden rheumatoid arthritis meningkat pada usia antara 25 tahun dan 55 tahun, kemudian garis
kurva mendatar hingga usia 75 tahun kemudian menurun setelah usia tersebut.
Gejala yang timbul pada rheumatoid arthritis merupakan hasil dari inflamasi pada sendi, tendon
dan bursae. Pasien sering mengeluhkan kaku sendi pada pagi hari yang berlangsung selama 1
jam dan membaik dengan aktifitas fisik. Sendi yang terlibat pertama kali adalah sendi-sendi
kecil pada tangan dan kaki. Keterlibatan sendi dapat monoarticular, oligoarticular ( 4 sendi)
atau poliarticular (> 5 sendi), biasanya simetris.
Z-line deformity
Swan Neck Deformity
Kriteria Rheumatoid Arthritis ACR-EULAR 2010
Skor
Keterlibatan
1 sendi besar (bahu, siku , panggul, lutut, mata kaki) 0
sendi
2-10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (MCP, PIP,interphalangeal digiti I manus,MTP,
2
pergelangan tangan)
4-10 sendi kecil 3
>10 sendi (paling sedikit 1 sendi kecil) 5
Serologi Rheumatoid factor (-) 0
Positif rendah RF atau anti-CCP antibodies ( 3 kali batas atas
2
normal)
Positif tinggi RF atau anti-CCP antibodies (> 3 kali batas atas
3
normal)
Fase akut
LED dan CRP normal 0
reaktan
LED dan CRP abnormal 1
Durasi gejala < 6 minggu 0
6 minggu 1
Serum IgM RF ditemukan positif pada 75-80% pasien dengan rheumatoid arthritis sehingga
hasil yang negative tidak menyingkirkan diagnose RA. Hasil yang postif juga ditemukan pada
penyakit jaringan ikat yang lain seperti SLE. Serum RF juga dapat ditemukan positif pada 1-
5% populasi individu sehat.
Serum anti-CCP antibodies mempunyai sensitifitas yang sama dengan serum RF untuk
mendiagnosa RA. Namun demikian, spesifisitasnya mendekati 95% sehingga hasil yang positif
mempunyai nilai penting dalam mendiagnosa RA dengan penyakit arthritis lain. Tidak semua
individu dengan rheumatoid arthritis mempunyai nilai anti-CCP antibodies yang positif dan
tidak semua penderita RA dengan rheumatoid factor positif mempunyai nilai positif pada anti-
CCP antibodies.Individu yang memiliki nilai anti-CCP antibodies positif memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan yang tidak.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sendi dengan modalitas radiologi digunakan untuk mendiagnosa RA dan menilai
progresi kerusakan sendi.Foto polos merupakan modalitas tersering yang digunakan tetapi
mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat melihat struktur tulang dengan jelas dan kerusakan
kartilago articular.Pemeriksaan dengan MRI dan ultrasound dapat menilai perubahan pada
jaringan lunak seperti synovitis, tenosynovitis, dan efusi dan dapat melihat abnormalitas tulang.
Foto X-ray menunjukkan erosi pada sendi
proximal interphalangeal
Terapi oksigen hiperbarik telah banyak digunakan sebagai terapi adjuvant pada penderita
rheumatoid arthritis tanpa adanya data komplikasi akibat penggunaan modalitas oksigen
hiperbarik.Bukti terbaru menyatakan oksigen hiperbarik menginhibisi kerja beberapa cytokins,
bekerja sebagai imunomodulator, dan memperbaiki disfungsi kognitif.
D.J. Wallace, Silverman, Goldstein, dan D.Hughes melakukan studi efek terapi oksigen
hiperbarik pada penyakit arthritis. Hasil yang didapat adalah oksigen hiperbarik mempunyai
efek immunisuppresive.
Proses inflamasi pada rheumatoid arthritis menyebabkan jaringan sekitar menjadi edema dan
mengganggu sirkulasi darah sehingga jaringan menjadi hipoksia dan metabolism sel menjadi
rendah. Hipoksia pada rheumatoid arthritis selain disebabkan oleh edema jaringan juga
disebabkan oleh kebutuhan oksigen yang banyak pada jaringan yang mengalami inflamasi.
Studi menemukan bahwa terapi oksigen hiperbarik memperbaiki reperfusi jaringan,
menurunkan reaksi radang dan mensupresi reaksi imunologi sehingga proses destruksi sendi
oleh mediator imun terhenti.
Pada tahun 1995, Proceedings of the Eleventh International Congress on Hyperbaric Medicine
mempublikasikan hasil dari studi tentang efek hiperbarik pada rheumatoid arthritis, dengan
hasil sebagai berikut :
sembuh 23.4%
efek yang terlihat jelas 51.4%
terdapat perbaikan klinis 16.2%
tidak ada efek 8.1%
KESIMPULAN
Therapy oksigen hyperbarik mempunyai peran penting dalam manajemen terapi bidang
orthopaedi. Efektifitasnya telah banyak diuji oleh para peneliti dan terbukti mempunyai peran
dalam proses penyembuhan luka, mengurangi proses inflamasi, membantu proses unifikasi
fracture tulang, dan peran penting lainnya.
Pada kasus penyembuhan luka kaki diabetik, oksigen hyperbarik mengoptimalkan konsentrasi
gradient oksigen sehingga menstimulasi dan mendorong pertumbuhan jaringan pada pusat luka
yang mengalami hypoxia.Terapi oksigen hyperbarik secara langsung meningkatkan replikasi
fibroblast, aktifasi osteoclast, vascular endothelial growth factor, dan platelet-derived growth
factors.Efek persisten setelah administrasi terapi oksigen hyperbarik adalah stimulasi
pertumbuhan capiler.
Therapy oksigen hyperbarik digunakan hanya sebagai terapi adjuvant osteomyelitis dan harus
dilaksanakan bersama dengan antibiotic parenteral, debridement, dukungan nutrisi, dan bedah
rekonstruksi.Pada keadaan tanpa oksigen hyperbarik, tekanan oksigen pada tulang normal
adalah 45 mmHg sedangkan di tulang osteomyelitis adalah 23 mmHg.Dengan terapi oksigen
hyperbarik, tekanan oksigen dinaikkan menjadi 104 mmHg pada tulang osteomyelitis dan 322
mmHg pada tulang normal.Meningkatkan oksigen hingga 150 mmHg dan 760 mmHg juga
membunuh sebagian besar S.aureus yang merupakan salah satu kuman pathogen dalam
osteomyelitis.Selain itu, hyperbarik juga meningkatkan aktifitas fibroblast dan meningkatkan
aktifitas bacterisidal pada golongan aminoglikosida.
Terapi hiperbarik juga membantu proses terapi crush injury dan compartemen syndrome antara
lain dengan efek secundernya yaitu vasoconstriksi. Efek tersebut menyebabkan berkurangnya
edema pada lokasi injury.Kandungan oksigen yang meningkat dalam sirkulasi pada terapi
oksigen hyperbarik mengkompensasi aliran sirculasi yang berkurang akibat
vasoconstriksi.Terapi oksigen hyperbarik juga mengurangi jumlah otot skeletal yang
mengalami nekrosis. Terapi oksigen hyperbarik pada kasus crush injury harus dimulai sedini
mungkin, idealnya dalam waktu 4-6 jam setelah cedera.
Studi terbaru menunjukkan penurunan morbiditas sebanyak 50% dan mortalitas sebanyak 34%
pada penggunaan hyperbarik pada pasien dengan necrotizing fasciitis. Terapi oksigen
hyperbarik merupakan terapi adjuvant pada necrotizing fasciitis.Terapi utama tetap
debridement yang agresif.Secara keseluruhan, therapy oksigen hyperbarik menstimulasi
mekanisme pertahanan tubuh dan mekanisme perbaikan sel melalui synthesa kolagen dan
angiogenesis.
Oksigen hyperbarik juga mempunyai peran dalam proses penyembuham fracture terbuka
dengan meningkatkan tekanan oksigen pada daerah fracture, meningkatkan fungsi phagosit
bakteri, membentuk radikal oksigen yang dapat membunuh kuman anerob, menghambat alpha
toxin, merangsang aktifitas fibroblast, dan meningkatkan daya serap amoinoglikosida.
Hypoxia pada rheumatoid arthritis selain disebabkan oleh edema jaringan juga disebabkan oleh
kebutuhan oksigen yang banyak pada jaringan yang mengalami inflamasi. Studi menemukan
bahwa therapy oksigen hyperbarik memperbaiki reperfusi jaringan, menurunkan reaksi radang
dan mensupresi reaksi imunologi sehingga proses destruksi sendioleh mediator immun
terhenti. Efektifitas total therapy oksigen hyperbarik pada RA adalah sebesar 91.9%