DI
S
U
S
U
N
OLEH :
RIZKI YAUMUS SHAFAR
YAZIR AKRAMULLAH
DOSEN PEMBIMBING:
SEMESTER GANJIL
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan
manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................................................
BAB III.
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
3.2 Referensi............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman
budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang
kaya akan budaya.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita pungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor
utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional.
Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruk terhadap budaya
nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan
sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal.
Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari
suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan
melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan
merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut
-Untuk mengetahui peran rumah adat Aceh dalam membangun karakter manusia
BAB II
PEMBAHASAN
Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan
merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk
provinsi ini sekitar 4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India
dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah
tenggara dan selatan. Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan
memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke- 17,
Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah
Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk
bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi
lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung tinggi nilai agama).Persentase
penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam.
Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri
karena alasan sejarah.
Menurut bukti-bukti arkeologis, awalnya penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen,
di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-
ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta
hewan-hewan darat seperti babi dan badak. Pada saat itu mereka sudah menggunakan api dan
menguburkan mayat dengan upacara tertentu.
Selanjutnya pembentukan suku-suku Aceh terjadi ketika perpindahan suku-suku asli Mantir
dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang
datang dan membentuk penduduk pribumi Aceh. Selain itu bangsa asing, seperti bangsa India selatan,
serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia, Turki, dan Portugis juga merupakan bagian komponen
pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah
menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan
laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak merupakan campuran dari
bangsa-bangsa lain:Proto dan Deutero Melayu.
Menurut legenda rakyat Aceh, penduduk Aceh terawal berasal dari suku-suku asli, yaitu;
1. Suku Mante (Mantir)
Suku Mante diduga berkerabat dekat dengan suku Batak, suku Gayo, dan Alas. Sedangkan
suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung Malaya
atau Hindia Belakang (Champa, Burma).
Suku Mante mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-
tempat lainnya. Ada pula dugaan secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa
Funisia di Babilonia atau Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum
dapat ditetapkan oleh para ahli kepastiannya.
Ketika Kerajaan Sriwijaya memasuki masa kemundurannya, diperkirakan sekelompok suku
Melayu mulai berpindah ke tanah Aceh. Di lembah sungai Tamiang yang subur mereka kemudian
menetap, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan suku Tamiang. Setelah mereka ditaklukkan oleh
Kerajaan Samudera Pasai (1330), mulailah integrasi mereka ke dalam masyarakat Aceh, walau secara
adat dan dialek tetap terdapat kedekatan dengan budaya Melayu.
Suku Minang yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di sekitar Meulaboh dan
lembah Krueng Seunagan. Umumnya daerah subur ini mereka kelola sebagai persawahan basah dan
kebun lada, serta sebagian lagi juga berdagang. Penduduk campuran Aceh-Minang ini banyak pula
terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah sekitar Susoh, Tapaktuan, dan Labuhan Haji.
Mereka banyak yang sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh maupun bahasa Aneuk Jamee,
yaitu dialek khusus mereka sendiri.
Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh Darussalam ke wilayah
sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur dengan suku-suku Alas, Gayo, Karo, Nias, dan Kluet.
Pengikat kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan itu terutama ialah dalam
bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat khas setempat, sebagaimana yang dirumuskan oleh
Sultan Iskandar Muda dalam undang-undang Adat Makuta Alam.
Suku Aceh juga ada yang merupakan keturunan dari bangsa-bangsa lain di luar negeri.
Mereka datang dari luar dalam rangka perdagangan dan penyebaran agama. Berikut suku-suku bangsa
tersebut;
1. India
Keturunan bangsa India di Aceh berhubung erat dengan perdagangan dan penyebaran agama
Hindu-Buddha dan Islam di tanah Aceh. Bangsa India kebanyakan dari Tamil dan Gujarat.
2. Arab
Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut, Yaman.
Di antara para pendatang tersebut terdapat antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-
Attas, al- Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain, yang semuanya merupakan
marga-marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama penyebar agama
Islam dan sebagai perdagang. Daerah Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak
memiliki ulama-ulama keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan
sebutan Teungku Jet atau Habib. Demikian pula, sebagian Sultan Aceh adalah juga
keturunan sayyid. Keturunan mereka di masa kini banyak yang sudah kawin campur dengan
penduduk asli suku Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
3. Persia
Bangsa Persia umumnya datang untuk menyebarkan agama dan berdagang di
Aceh, namun kemudian juga menetap disana.
4. Turki
Bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi ulama, pedagang senjata,
pelatih prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh.Saat ini dapat ditemukan keturunan
bangsa Persia dan Turki di wilayah Aceh Besar. Nama-nama warisan Persia dan Turki biasa
digunakan orang Aceh untuk menamai anak-anak mereka. Kata Banda dalam nama kota
Banda Aceh juga adalah kata yang berasal dari bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan").
5. Portugis
Keturunan bangsa Portugis banyak terdapat di wilayah Kuala Daya, Lam No
(pesisir barat Aceh). Mereka datang saat pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda
Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka, sempat singgah dan berdagang di
wilayah Lam No, di mana sebagian di antara mereka lalu tinggal menetap di sana.
Peristiwa tersebut tercata dalam sejarah antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam
No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya. Dan
sampai saat ini, masih dapat dilihat keturunan rakyat Aceh yang masih memiliki profil
wajah Eropa.
Rumah adat Nangro Aceh Darussalam atau disebut juga Rumoh Aceh merupakan
rumah panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya.
Namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Untuk
memasukinya harus menaikit beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di
dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.
Rumah Aceh yang bertipe tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan untuk tipe lima
ruang memiliki 24 tiang. Bahkan salah satu rumoh Aceh (peninggalan tahun 1800-an) yang
berada di persimpangan jalan Peukan Pidie, Kabupaten Sigli, milik dari keluarga Raja-raja
Pidie, Almarhum Pakeh Mahmud (Selebestudder Pidie Van Laweung) memiliki 80 tiang,
sehingga sering disebut dengan rumoh Aceh besar.
Rumah adat Aceh (bahasa Aceh: Rumoh Aceh) adalah rumah adat dari suku Aceh. Rumah
ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari
rumah Aceh yaitu seuramo keu (serambi depan), seuramo teungoh (serambi tengah) dan seuramo
likt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap
rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.
Model rumah adat berbentuk rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian
tambahan. Lantai bangunan tinggi sekitar 9 kaki atau lebih dari permukaan tanah. Bersandar pada
tiang-tiang penyangga dari kayu dengan ruang kolong di bawahnya.
Rumah adat Aceh berbeda seperti beberapa rumah adat daerah lain yang ada di Indonesia.
Fungsi masing-masing ruangan ini ditata agar sedapat mungkin menggambarkan fungsi pokok-pokok
ruangan pada rumah tempat tinggal tradisional masyarakat Aceh.
Bagian dalam rumah Aceh terdiri dari tiga bagian utama dan satu bagian tambahan yaitu
seuramo keu (serambi depan), seuramo teungoh (serambi tengah) dan seuramo likt (serambi
belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
1.Seramoe keue
Seramoe keue atau serambi depan merupakan bagian untuk ruang tamu yang terbentang
sepanjang rumah. Ruangan ini dipakai menerima tamu, kegiatanke keagamaan dan juga sebagai
tempat musyawarah keluarga.
2.Seuramo teungoh
Bagian kedua dari Rumah Aceh adalah "rambat" atau Seuramo teungoh (ruang tengah).
Merupakan bagian ruang penghubung yang terdapat diantara dua kamar tidur. "Rambat" digunakan
khusus untuk sesama penghuni rumah, untuk para sanak keluarga atau apabila orang lelaki, hanyalah
untuk mereka yang telah akrab dengan seluruh keluarga secara terbatas. Ini disebabkan oleh karena
ruang ini hanya dapat menuju ke serambi belakang (seuramoe likot), dimana para wanita tinggal dan
melakukan kesibukan sehari-hari.
3.Seuramoe likot
Seuramoe likot atau serambi belakang dipakai sebagai ruang keluarga dan juga dipakai
sebagai ruang dapur. Ruang dapur selalu ditempatkan pada bagian ujung Timur ruangan ini. Hal ini
agar tidak mengganggu kegiatan ibadat shalat. Seuramoe likot merupakan tempat berkumpul anggota
keluarga, mengasuh anak dan melakukan kegiatan hari-hari para wanita, seperti menjahit, menganyam
tikar dan lain sebagainya.
Setiap daerah di Aceh memiliki cirri khas masing-masing dan tentunya tidak memiliki perbedaan
yang signifikan, karena pada dasarnya filosfi rumah Aceh hampir sama di setiap daerahnya,
perbedaannya mungkin timbul dari kebudayaan yang berbeda ataupun pengaruh eksternal lainnya.
Rumah tradisional Aceh merupakan rumah panggung yang memiliki proporsi ketinggian
beragam, biasanya memiliki ketinggian tiang kolom sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah sedengakan
proporsi dinding memiliki tinggi yang lebih rendah yaitu berukurana 1,5 2 meter.
Warna Kesan
menumbuhkan semangat.
dan menyenangkan.
Pada rumah tradisional Aceh, ada beberapa motif hiasan ornamen yang dipakai, yaitu:
Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk
daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan
ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam
hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada
bagian kap, dan jendela rumah;
Motif Aceh memiliki arti bagi masyarakat Aceh, salah satunya seperti motif pucok reubong
yang berarti berproses.Pucok reubong adalah tunas bambu yang diibaratkan sebagai awal mula
kehidupan mengalami proses tumbuh besar. Oleh karena itu masyarakat Aceh yang pada dasarnya
adalah masyarakat yang berjiwa seni, senang menghias rumahnya dengan motif-motif Aceh yang
memiliki makna tersendiri dalam kehidupan.
Arah kiblat
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Dalam
agama Islam, ibadah shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat memanjang ke
arah kiblat, yakni ke arah barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis
imajiner dengan Kabah yang berada di Mekkah. Itu sebabnya pada seuramo rinyeuen tangga dan
pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di sebelah Timur atau di tengah
seuramo, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang Shalat menghadap ke
kiblat.Kuatnya pengaruh orientasi dan ritual agama menyebabkan dalam proses pembangunan rumah
tradisional Aceh juga membutuhkan kehadiran seorang Teungku atau tokoh agama. Rinyeuen (tangga)
Rumoh Aceh adalah juga berfungsi sebagai pengontrol, bila tidak ada laki-laki di dalam rumah maka
menurut adat Aceh tamu yang bukan muhrim tidak dibenarkan naik ke rumah.
Bukaan pada dinding seuramo rumoh Aceh tidak terlalu besar dan untuk pencahayaan
digunakan screen (lubang-lubang kecil) untuk meredam terik matahari. Lubang lubang kecil pada
dinding ini mengingatkan kita pada Masyrabiyya di Saudi Arabia.
Tidak seperti halnya serambi rumah Betawi yang terbuka lebar, yang sering kita lihat pada
sinetron Si Doel anak Betawi, serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja bagian yang
terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke dalam tetapi orang dari dalam dapat melihat keluar.
Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah memberi pesan agar aurat itu jangan diobral
keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam Rumoh Aceh, ada dua buah
serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam, yaitu seuramo keue, untuk kaum
pria dan seuramo likt khusus untuk kaum wanita.
Nabi mengajarkan thaharah, bersuci dengan mandi, berwudhu dan istinja, agar badan kita
menjadi bersih. Raga yang bersih sebagai cerminan dari hati yang suci. Orang Aceh menaruh guci
pembasuh kaki dibawah tangga rumoh Aceh. Sebaiknya kita bersuci dulu, sebelum naik ke rumah.
Karena Rumoh Aceh itu bersih, tidak ada kotoran, tidak ada kayu dan jendela di rumah ini yang
diperoleh dari hasil korupsi. Bersuci itu lahir dan batin. Ideofactnya suci, sosiofactnya berwudhu,
artefaknya guci. Itu sebabnya penulis mengusulkan kepada bapak Rektor UTU (Universitas Teuku
Umar) di Meulaboh untuk menempatkan guci di gerbang masuk kampus yang akan dibangun, agar
semua yang ada didalam kampus itu suci dan bersih jiwa raganya.
Guci Aceh adalah salah satu karya seni gerabah yang hendaknya dapat dihidupkan kembali
eksistensinya. Tanah Aceh menurut pak Dr Ahmad Akmal sangat potensial untuk seni kriya membuat
keramik ini. Bahan bakunya tersedia dalam jumlah yang banyak dan kualitasnyapun sangat baik.
Dengan adanya prodi Seni kriya ISBI semoga kreasi-kreasi baru Guci Aceh dan benda-benda seni
terapan lainnya akan kembali muncul menghiasi bumi Aceh.
Seperti banyak rumah-rumah tradisional di Indonesia lainnya, yang memiliki bagian- bagian
yang terdiri atas kepala, badan dan kaki, maka Rumoh Aceh pun demikian. Namun ada sedikit
perbedaan nama sebutan saja. Kepala rumah biasa disebut bubng. Bubng berarti atap, atau bagian
atap. Biasanya atap ini tidak memakai plafon tetapi langsung menaungi ruangan pada badan rumah
yang fungsional. Sebuah ruang kecil terdapat diantara bubng dan badan rumah, yakni loteng yang
disebut para. Gunanya sebagai gudang. Bagian badan rumah disebut Ateuh Rumoh, yang berarti
bagian atas. Dinamakan seperti ini sebab posisinya memang berada jauh diatas tanah, untuk mencapai
lantai rumah ini perlu menggunakan tangga. Pada ateuh rumoh ini terdapat ruang-ruang fungsional
rumah. Bagian bawah rumah disebut yup moh. Yup moh berarti bagian bawah rumah. Bagian bawah
ini berupa kolong yang ketinggiannya sekitar 2,5 meter. Bangunan dibuat berpanggung/ bertiang
tinggi untuk menghindari banjir
Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki
24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal
menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau Timur rumah. Selain itu,
pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu
berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak yang mampu menyelesaikan
berbagai permasalahan gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami lebih mendalam, terdapat
elemen- elemen lain yang membantu kekuatan struktur, diantaranya balok-balok pengunci untuk
menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen yang berbeda, dihubungkan dengan cara memasukkan
bagian ujung elemen ke lubang yang tersedia pada elemen lain. Lalu diberi pasak. Begitulah cara utoh
Aceh menghubungkan setiap elemen sehingga menjadi rumah. Tidak memakai paku. Disini timbul
kekuatan struktur dalam merangkai elemen-elemen tersebut. Sebab bila rangkaian tersebut tidak
dipikirkan secara matang, maka konstruksi rumah tidak dapat berdiri dengan kokoh, dan tidak
mungkin dapat bertahan hingga saat ini.
Bagi elemen-lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan
mengikatkan tali. Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud dari
dibuatnya konstruksi tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh dipikirkan
untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya sekadar menyambung-nyambungkan
elemen-elemen belaka. Misal, elemen tameh raja dan putroe dipilih yang paling baik, karena sebagai
penyambut di serambi depan, selain juga berfungsi sebagai struktur utama sebagaimana mestinya.
Berikut ditampilkan elemen-elemen yang ada pada rumah adat Aceh utara beserta makna-
makna ataupun maksudnya.
Setiap elemen ini memiliki dimensi yang spesifik. Bukan dalam satuan meter, namun dalam
hitungan tradisional. Ukuran-ukuran yang sering digunakan antara lain jaroe, paleut dan hah. Juga
ditambahkan dengan ukuran jeungkai, lhuek, dan deupa. (Indonesian Houses, Peter Nas, 2004
hal.141). Namun pada masa sekarang ukuran-ukuran tersebut lebih sering dikonversikan ke dalam
ukuran meter.
Tidak hanya aspek struktur dan konstruksi saja yang sangat ditentukan oleh kondisi
lingkungan alam setempat. Unsur ruang, baik jenis, fungsi, dan perletakan juga sangat memperhatikan
faktor lingkungan. Bagian depan Rumoh Aceh selalu menghadap utara atau selatan. Sehingga bagian
dinding yang berbentuk segitiga menghadap ke arah barat dan timur. Alasannya adalah untuk
menghindari pukulan keras dari angin yang datang. Pada dinding yang berbentuk segitiga itu pula
terdapat komponen tulak angen yang berlubang-lubang. Konstruksi rumah ini memungkinkan
angin untuk melewatinya pada bagian kolong, maupun bagian bawah bubung dengan melewati tulak
angen terlebih dahulu. Terik matahari tidak menjadi masalah pada orientasi rumah ini, karena jendela-
jendela yang ada tidak besar, dan pencahayaan dapat masuk dari celah-celah lubang pada ukiran.
Rumah Aceh utara memiliki sedikit banyak perbedaan dengan rumah aceh pada umumnya,
selain bentuknya yang sedikit berbeda, pada rumah adat Aceh utara memiliki beberapa fitur-fitur
menarik seperti adanya jeungki, kroeng, dan balai, namun dirumah aceh jenis lain juga terdapat fitur
ini namun kebanyakannya terdapat rumah aceh utara.
JEUNGKI
Pada zaman dahulu, sebelum ada mesin pengolah beras menjadi tepung, masyarakat aceh
menggunakan Jeungki sebagai alat penumbuk beras.ukuran jeungki ini sangat bervariasi mulai dari
ukuran diameter 25 cm s/d 35 cm, panjang normalnya yaitu 3 meter
Pada bagian depan alat tumbuk Jeungke ini terdapat sebuah mata penumbuk berbentuk kayu
yang bediameter 10 cm, dan ada lobang untuk mengisi beras yang akan ditumbuk yang kurang lebih
berdiameter 30 cm.
KROENG
Kroeng dalam bahasa Indonesianya karung adalah tempat untuk menyimpan padi. Berjumlah
tiga buah dan berada di halaman rumah. disinilah padi setelah panen di simpang sampai sekian lama
dan awet tanpa obat pengawet. Bahan bakunya yaitu bambu atau dahan pohon aren, kedua alat ini
JEUENGKI & KROENG selalu berdekatan letaknya. Mitos tentang itu sampai sekarang belum juga
terkuak, apalagi jaman instan seperti sekarang kedua alat ini tidak dibutuhkan lagi sehingga
kepunaanya pun begitu cepat. .ukuran kroeng ini bisa diatur sesuai keinginan karena bersifat elastis
Konstruksi pada rumah tradisional aceh utara umumnya memiliki konstruksi yang sama
dengan rumah adat aceh daerah lainnya, berikut akan diuraikan beberapa bagian/konstruksi dari
rumah adat Aceh utara.
PONDASI UMPAK
Kebanyakan rumah aceh memang memakai pondasi umpak, ukuran umpak ini bermacam-
macam, mulai dari ukuran 35x35 cm hingga 50x50 cm tergantung keperluannya, namun pada
umumnya ukuran pondasi umpak yang digunakan pada rumah aceh yaitu ukuran 35x35 cm,
penggunaan pondasi umpak pada rumah Aceh sendiri disebabkan karena pada zaman itu masyarakat
Aceh belum mengenal sistem beton bertulang atau lain sejenisnya, penggunaan pondasi umpak disini
juga berguna saat terjadi gempa atau bencana alam lainnya rumah ini tidak mudah roboh, karena
pondasi umpak ini sangat fleksibel, dan bisa menyesuaikan.
KONSTRUKSI TIANG
Dari segi konstruksi, penempatan tiang rumah menyebabkan pembagian ruang rumah
tradisional Aceh pada umumnya terdiri tiga ruang bertiang 16 atau lima ruang bertiang 24. Rumah
tradisional Aceh didirikan di atas tiang-tiang kayu atau bambu dengan maksud untuk menghindarkan
diri dari serangan binatang buas dan banjir. Karena berkolong maka orang hidup di atas lantai yang
selalu kering, jadi lebih sehat.Rumah tradisional Aceh terbukti mampu bertahan dari gempa karena
struktur utama yang kokoh dan elastis. Kunci kekokohan dan keelastisan ini ada pada hubungan antar
struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe, tanpa paku, serta membentuk
kotak tiga dimensional yang utuh (rigid). Keelastisan ini menyebabkan struktur bangunan tidak
mudah patah, namun hanya terombang-ambing ke kanan kiri yang, ukuran kayu yang digunakan
sangat bervariasi namun umunya berukuran diameter 30-35 cm.
Umumnya tiang yang digunakan pada rumah aceh bermaterial kayu, kelas kayu yang
digunakan adalah kayu kelas 1 diantara kayu yang sering digunakan pada tiang rumah Aceh yaitu
kayu Merebau, dan kayu Damar laut.
Dinding rumah tradisional Aceh terbuat dari papan kayu atau bilah bambu,
penggunaan material tersebut mempengaruhi penghawan udara yang sangat baik karena
udara dapat pengalir melalui selah selah antara atap dan dinding. Pada bagian dinding rumah
tradisional Aceh terdapat tempelan tempelan ornamen yang mempengaruhi unsur tradisional
Aceh.
Masyarakat aceh pada zaman dulu tentu belum mengenal system pemakuan atau perekatan,
jadi pada masa itu masyarakat aceh menggunakan system pasak untuk merekatkan bagian bagian dari
rumah mereka. Bagi elemen-lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan
mengikatkan tali.
Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak ini mampu menyelesaikan
berbagai permasalahan gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami lebih mendalam, terdapat
elemen- elemen lain yang membantu kekuatan struktur, diantaranya balok-balok pengunci untuk
menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen yang berbeda, dihubungkan dengan cara memasukkan
bagian ujung elemen ke lubang yang tersedia pada elemen lain. Lalu diberi pasak. Begitulah cara utoh
Aceh menghubungkan setiap elemen sehingga menjadi rumah. TANPA memakai paku. Disini timbul
kekuatan struktur dalam merangkai elemen-elemen tersebut. Sebab bila rangkaian tersebut tidak
dipikirkan secara matang, maka konstruksi rumah tidak dapat berdiri dengan kokoh, dan tidak
mungkin dapat bertahan hingga saat ini.
Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud dari dibuatnya
konstruksi tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh dipikirkan untuk
kebutuhan dan keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya sekadar menyambung-nyambungkan
elemen-elemen belaka. Misal, elemen tameh raja dan putroe dipilih yang paling baik, karena sebagai
penyambut di serambi depan, selain juga berfungsi sebagai struktur utama sebagaimana mestinya.
Atapnya ditutupi oleh jalinan daun rumbia yang disusun menjadi penutup atap ,B ahan
penutup berbahan rumbia yang memiliki andil besar dalam memperingan beban bangunan sehingga
saat gempa tidak mudah roboh.Karena dulunya belum ada paku maka solusi untuk perekat atap yaitu
menggunakan pengikat, selain itu ini juga berfungsi agar kayu tidak mudah lapuk, pada salah satu
bagian atap rumah ini ada sebuah tali yang biasa disebut taloe pawai yang berfungsi sebagai
keseluruhan atap dengan bangunan.
Tali Ini berfungsi sebagai pelepas seluruh atap apabila terjadi kebakaran.taloe pawai berada
di ujung papan bui teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang deretan depan dan belakang. Taloe
pawai cukup di potong sehingga terputus, maka jatuhlah seluruh konstruksi atap tersebut.
Pada dinding sebelah depan yang menghadap ke halaman rumah terdapat pintu masuk yang
disebut pinto rumah, yang berukuran lebih kurang lebar 0,8 meter, dan tingginya 1.8 meter. Pintu
masuk ini kadang-kadang terdapat pada dinding sebelah kanan ruangan serambi depan namun pada
rumah tradisional Aceh utara tangga masuk terdapad di bagian depannya.
Pintu utama Rumoh Aceh utara ini tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang
dewasa. Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120 - 150 cm sehingga setiap orang yang
masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang
sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang duduk
bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada
tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu
juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh.
Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang berukuran lebih kurang
lebar 0.6 meter dan tingginya 1 meter yang disebut tingkap. Kadang-kadang jendela terdapat juga
pada dinding sisi depan. Jendela-jendela tersebut terdapat pada rumah yang berdinding papan,
sedangkan pada rumah yang berdinding tepas/bamboo pada umumnya tidak memakai jendela.
Warna rumah adat Aceh utara yang kami survey yaitu percampuran merah dan orange
kecoklatan serta hitam pada bagian tiang, dan bagian struktur lainnya, serta coklat pada bagian
tangga.
Warna merah sendiri berarti emosi yang berubah-ubah, hidup menggairahkan dan
menyenangkan serta menumbuhkan semangat.
Warna orange sendiri memiliki makna kesehatan pikiran, kegembiraan, dan kehangatan dan
warna hitam memiliki kesan sebagai pelindung sedangkan dari warna coklat sendiri, coklat tidak
memilik filosofi pada rumah tradisionl Aceh
ORNAMEN PADA RUMAH TRADISIONAL ACEH UTARA
TAMPAK DEPAN
TAMPAK BELAKANG
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada banyaknya
ruweueng (ruang). Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh ruang. Beranda muka
disebut seuramo keue(karena di sini ditempatkan tangga masuk, disebut juga seuramo rinyeuen),
serambi belakang disebut seuramo likot. Bagian utama rumah adalah pada bagian tengah, yang
dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian utama rumah ini disebut Tungai
Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar) tidur, yaitu rumoh Inong dan anjng.
Rumoh inong adalah bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan anjng adalah bilik untuk anak
perempuan.
Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga adalah
hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah dan di lantai
tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara seuramo rinyeuen dengan
seuramo likt, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada rumoh dapu
(dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramo likt. Dapur mendapat posisi
terendah. Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai tambahan ruang pada rumah
saja.
Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki. Secara
fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal ini :
RUMOH Tungai
ANJONG RAMBAT
R U M O H IN O N G
INONG
SEURAMOKEUE
Tameh Raja
Tameh Putroe
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily,
local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka
local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.
Nilai kearifan lokal pada arsitektur tradisonal tentunya tidak hanya dipengaruhi olehkondisi
lingkungan alam saja, tetapi juga dipengaruhi sosial budayasetempat yang meliputiperilaku, tradisi,
adat, dan keper!ayaan setempat, yangpada penerapannya juga hanyadapat dilakukan oleh masyarakat
setempat. 7erhadap nilai-nilai tersebut perlu sebuahpengkajian se!ara mendalam untukpenerapan nilai
tersebut dalam kondisi global diluar darimasyarakatsetempat tersebut.
Sangat banyak kearifan lokal dari masyarakat Aceh utara yang bertahan hingga sekarang,yang
sedikit banyaknya telah disebutkan pada bagian pembahasan sebelumnya, yang dijelaskan secara
exsplisit.berikut akan diuraikan beberapa kearifan lokal masyarakat Aceh utara :
Masih terdapat banyak sistem seperti ini pada saat ini, namun tak sedikit pula yang sudah
melupakan sistem seperti ini karena beradaptasi atau mengikuti perkembangan zaman.
PENATAAN RUANG YANG MEMISAHKAN LELAKI DAN PEREMPUAN
Ruang-ruang pada rumah Aceh di tata sedemikian rupa, agar lelaki dan pria berpisah,
dimana pria di seramoe keu dan wanita di seramoe likot, tangganya juga dipisahkan. Hal ini
membuktikan nilai keislaman yang sangat tinggi di Aceh.
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Dalam
agama Islam, ibadah shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat memanjang ke
arah kiblat, yakni kurang lebih ke arah barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Kabah yang berada di Mekkah. Itu sebabnya pada seuramo
rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu berada di sebelah
Timur atau di tengah seuramo, maksudnya agar tidak mengganggu orang yang sedang Shalat
menghadap ke kiblat.
Tameh raja dan tameh putroe dimaksudkan untuk menyambut para tamu, sehingga kedua
tameh ini memiliki ukuran yang berbeda dengan yang lainnya.
Hal ini menggambarkan seorang tamu sudah seharusnya menghormati sang tuang rumah,
ketika tamu masuk ke rumah, maka si tamu harus membungkukkan sedikit badanya agar muat, dan
membungkukan badan sedikit merupakan salah satu simbol menghormati/menghargai.
Serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja bagian yang terbuka. Orang dari luar
sukar melihat ke dalam tetapi orang dari dalam dapat melihat keluar. Demikian cara Aceh
membudayakan seni interior, seolah memberi pesan agar aurat itu jangan diobral keluar ke semua
orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam Rumoh Aceh, ada dua buah serambi yang sengaja
dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam, yaitu seuramo keue, untuk kaum pria dan seuramo
likt khusus untuk kaum wanita.
BAB lll
PENUTUPAN
1.1 KESIMPULAN
Rumah tradisional Aceh adalah rumah adat yang dibangun atas dasar kepercayaan dan
religious ataupun mitologi setempat.Bangunan dan strukturnya didasarkan atas orientasi pada lelulur.
Pada proses pembangunan rumah tradisional Aceh, teknis dan jenis pembangungan adalah dengan
berdasarkan letak daerah dan dapat membedakan bentukan,rumah adat ini juga dibangun secara
gotong royong,hal ini membuktikan bahwa masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang bersosial
tinggi. Semakin besar suatu rumah adat semakin tingkat dan statusnya, namun hal itu tidak ada kaitan
dengan keinginan bermegah-megahan melainkan karena memang masyarakat dengan tingkat dan
status sosial tinggi sering menerima kedatangan tamu.
1.2 REFERENSI
https://www.slideshare.net/Syifa_ars/powerpoint-rumoh-tradisional-aceh-kirim
www.academi.edu
https://depts.washington.edu/chinaciv/3intrhme.htm
http://sekarnegari.files.wordpress.com
www.kaskus.co.id
http://camyanpharchitecture.blogspot.com/2011/04/aceh-courtyard-house-siheyuan.html)
http://sekarnegari.files.wordpress.com)
http://camyanpharchitecture.blogspot.com/2011/04/tipologi aceh.html)
http://camyanpharchitecture.blogspot.com/2011/04/aceh/dalam/cerita .html)