Anda di halaman 1dari 16

6

BAB II

DASAR TEORI

2.1 PENDAHULUAN

Pada bab ini akan menjelaskan teori tentang baja tahan karat (Stainless steel), jenis-
jenis stainless steel , stainless steel 304 , pengertian stainless steel, faktor-faktor
terjadinya korosi, mekanisme korosi, Jenis-Jenis korosi, Dampak korosi, laju korosi,
SEM (Scaning Electron Microscopy)

2.2 BAJA TAHAN KARAT (STAINLESS STEEL)

Stainless steel merupakan baja paduan yang mengandung sedikitnya 11,5% krom
berdasar beratnya. Stainless steel memiliki sifat tidak mudah terkorosi sebagaimana
logam baja yang lain. Stainless steel berbeda dari baja biasa dari kandungan kromnya.
Baja karbon akan terkorosi ketika diekspos pada udara yang lembab. Besi oksida yang
terbentuk bersifat aktif dan akan mempercepat korosi dengan adanya pembentukan
oksida besi yang lebih banyak lagi. Stainless steel memiliki persentase jumlah krom
yang memadai sehingga akan membentuk suatu lapisan pasif kromium oksida yang
akan mencegah terjadinya korosi lebih lanjut (Sumarji, 2011).

Untuk memperoleh ketahanan yang tinggi terhadap oksidasi biasanya dilakukan


dengan menambahkan unsur Chromium (Cr) pada baja , minimum sejumlah 12%.
Unsur Cr ini akan bereaksi dengan oksigen yang ada di udara (atmosfir) dan
membentuk lapisan Cr-oksida yang sangat tipis dipermukaan logam. Lapisan tipis ini
kedap dan kuat sehingga berfungsi sebagai tembok yang melindungi permukaan

http://digilib.mercubuana.ac.id/
7

logam dibawahnya, lapisan tersebut akan mencegah proses korosi (karat)


berkelanjutan. Lapisan Cr-oksida ini dapat dikatakan bersifat permanen, karena jika
lapisan tersebut rusak misalkan akibat goresan, maka segera akan kembali terbentuk
lapisan Cr-oksida yang baru (Tryckeri, 2013).

2.3 JENIS- JENIS STAINLESS STEEL

Stainless steel merupakan salah satu logam ferro dari klasifikasi logam baja (Fe+C =
Fe3C) dan dari klasifikasi logam baja paduan tinggi (high alloy) yang unsur paduan
di atas 8-10 %.Sedangkan stainless steel memiliki unsur paduan utamanya adalah
Chromium(Cr) dan Nickel (Ni) sebagian. Terdapat 5 pembagian dari stainless steel
(ASTM committee, 2004) yaitu:

2.3.1 Austenitic Stainless Steels

Kelompok ini terkandung paling sedikit 16% chromium dan 6% nickel and range
hingga paduan tinggi ( high alloy) atau super austenitics seperti AISI 904L dan 6%
molybdenum grades. Penambahan elemen paduan lainnya bisa dilakukan terhadap
stainless steel ini seperti molybdenum, titanium atau copper,untuk memodifikasi atau
meningkatkan sifat-sifatnya. Membuat stainless steel ini sangat cocok untuk
pengaplikasian kondisi-kondisi kritis ( critical applications) yang melibatkan
temperatur tnggi dengan performa ketahannan korosi tidak berkurang. Grup ini juga
sangat cocok untuk apllikasi material cryogenic (material yang beroperasi pada
temperatur rendah). Stainless steel austenitic sebenarnya sifat-sifat struktur kristal
FCC di dominasi oleh pengaruh unsur nickel.Sehingga unsur nickel mencegah
kerapuhan (brittleness) pada temperatur rendah membuat stainless steel austenitic
memiliki karakteristik untuk menjadi material cryogenic.

2.3.2 Ferritic Stainless


Stainless steel ini merupakan baja dengan paduan murni unsur chromium (10.5 to
18%) grades tanpa nickel seperti Grade AISI 430 dan AISI 409.Kemampuan
ketahanan korosinya berkisar menengah (moderate) dan sifat fabrikasinya rendah
ditingkatkan dengan cara menambah paduan lain lebih banyak seperti Grades AISI
434 dan AISI 444.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
8

2.3.3 Martensitic Stainless Steels


Martensitic stainless steels adalah didasarka terhadap penambahan unsur chromium
sebagai paduan utama (major alloying element) tetapi dengan kadar karbon di
pertinggi dan pada umumnya kadungan unsur chrome di perendah yaitu dengan
takaran minimal (e.g. 12% pada Grade AISI 410 dan AISI 416) dari pada jenis
ferritic di atas takaran minimal, sedangkan Grade AISI 431 memiliki kandungan
unsur chrome berkisar 16%, tetapi struktur mikronya masih berupa martensite
meskipun level kendungan chromium-nya tinggi. Hal ini dikarenakan grade ini
terkandung 2% nickel.

2.3.4 Duplex Stainless Steels


Duplex stainless steels seperti AISI 2304 dan AISI 2205 (Kode ini mengindikasikan
komposisi unsur chromium dan Nickel, yaitu 23% chromium, 4% nickel dan 22%
chromium, 5% nickel,dan juga unsur-unsur paduan lain dalam jumlah rendah)
memiliki struktur mikro penggabungan atau pencampuran antara austenite dan
ferrite. Bisa dikatakan 50:50 Duplex ferritic austenitic steels mengkombinasikan
beberapa fitur dari setiap kelas.

Stainless steel ini tahan terhadap tegangan retak korosi (stress corrosion
cracking), meskipun tak sebaik baja ferritic. Ketangguhan stainless steel ini di atas
stainless steel ferritic tetapi dibawah stainless steel austenitic, dan kekuatannya lebih
besar di banding stainless steel austenitic. Sebagai tambahan duplex stainIess steel
ini ketahanan korosinya juga sama baik dengan tipe 304 dan 316, dan pada
umummnya ketahan korosi pitting lebih tinggi dibanding AISI 316. Stainless steel
ini kehilangan ketangguhan ketika temperatur berkisar50C dan ulet diatas 300C,
sehingga penngunaannya hanya untuk range temperature tersebut.

Meskipun semua stainless steel tergantung pada presentase unsur chrome


(sebagian besar) dan nickel, elemen paduan lainnya juga sering di tambahkan untuk
meningkatkan sifat-sifat stainless steel tersebut menjadi lebih baik lagi. Kategori
stainless steel tidak seperti pada logam-logam alamiah pada umumnya struktur kirstal
yang berubah-ubah pada suhu kamar (stabil) tergantung presentase unsur chrome dan
nickel yaitu FCC (austenitic), BCC (ferritic), penggabungan FCC dan BCC (Duplex)
dan BCT (Martensitic)

http://digilib.mercubuana.ac.id/
9

2.4 STAINLESS STEEL 304

Baja paduan SS 304 merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang
memiliki komposisi 0.042%C, 1.19%Mn, 0.034%P, 0.006%S, 0.049%Si,
18.24%Cr, 8.15%Ni, dan sisanya Fe (Irfan Mardhani, 2013). Beberapa sifat mekanik
yang dimiliki baja karbon tipe 304 ini antara lain: kekuatan tarik 646 Mpa, yield
strength 270 Mpa, elongation 50%, kekerasan 82 HRB. Stainless steel tipe 304
merupakan jenis baja tahan karat yang serbaguna.dan paling banyak digunakan.
Komposisi kimia, kekuatan mekanik, kemampuan las dan ketahanan korosinya sangat
baik dengan harga yang relative terjangkau. Stainless steel tipe 304 ini banyak
digunakan dalam dunia industri maupun skala kecil. Penggunaannya antara lain untuk:
tanki dan container untuk berbagai macam cairan dan padatan, peralatan
pertambangan, kimia, makanan, industri farmasi dan yang terbaru juga sebagai stack
PEM fuel cell.

2.4.1 Karakteristik Stainless steel 304


1. Tahan Terhadap Korosi
Stainless steel 304 adalah salah satu produk baja yang bisa digunakan pada
berbagai kondisi termasuk untuk lingkungan dengan perubahan cuaca yang
drastis. Material ini sangat tahan terhadap korosi dan bisa menghadapi nitrat,
klorida, air panas dan perubahan suhu yang menyebabkan baja menjadi rusak.
2. Tahan Panas
Stainless steel 304 juga memiliki salah satu sifat yang unik yaitu mampu tahan
terhadap panas dan bisa menghadapi suhu sekitar 870 derajat celsius. Namun
jika ingin mempertahankan sifat baja terhadap korosi maka suhu 400 sampai
860 derajat celcius sangat dilarang karena bisa memperpendek dari umur baja
itu sendiri. Stainless steel ini juga sangat tahan terhadap material kimia karbid
dengan suhu yang panas.
3. Tahan Terhadap Suhu Tinggi
Stainless steel 304 juga memliki sifat yang tahan terhadap suhu yang sangat
tinggi sehingga banyak digunakan untuk aplikasi industi yang bekerja hingga

http://digilib.mercubuana.ac.id/
10

suhu 500 sampai 800 derajat celcius. Akibat pemakaian ini hanya ketahanan
baja yang kurang terhadap korosi.
4. Sifat Pengelasan
Stainless steel 304 ini bisa dilas tanpa menggunakan material logam campuran.
Selain itu perlakuan las memerlukan sistem panas setelah proses pengelasan
untuk mencegah kerusakan pada bagian dalam stainless steel.

2.5 PENGERTIAN KOROSI

Korosi merupakan proses atau reaksi elektrokimia yang bersifat alamiah dan
berlangsung dengan sendirinya pada logam yang berada dalam suatu lingkungan
korosif baik itu berbentuk gas maupun cairan atau elektrolit. Oleh karena itu korosi
tidak dapat dicegah atau dihentikan sama sekali, tetapi proses korosi dapat
dikendalikan, sehingga akan memperlambat proses perusakannya. Korosi
didefinisikan sebagai perusakan atau penurunan kualitas material karena bereaksi
dengan lingkungannya (Fontana, 1986).

Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat adanya reaksi oksidasi-
reduksi antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya dan menghasilkan
senyawa-senyawa/residu yang tidak dikehendaki yaitu karat, sehingga dalam bahasa
sehari-hari proses korosi biasa disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling umum
adalah perkaratan pada logam besi atau baja (Chemberlain,1998).. Korosi dapat juga
diartikan sebagai serangan yang merusak logam karena logam bereaksi secara kimia
dengan lingkungannya. Ada definisi lain mengatakan bahwa korosi adalah kebalikan
proses ekstraksi logam dari bijih materialnya. Contohnya, bijih material logam besi
di alam bebas ada dalam bentuk senyawa besi oksida (FeO) atau besi sulfida (FeSO),
setelah diekstraksi dan diolah, akan dihasilkan besi yang digunakan untuk pembuatan
baja atau besi paduan. Selama pemakaian, besi atau baja tersebut akan bereaksi
dengan lingkungan yang menyebabkan korosi dan kembali menjadi senyawa besi
oksida.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
11

2.6 FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA KOROSI

Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi proses korosi antara lain
(Chemberlain, 1998), yaitu:

1 Suhu Kenaikan suhu akan menyebabkan bertambahnya kecepatan reaksi korosi.


Hal ini terjadi karena makin tinggi suhu maka energi kinetik dari partikel-
partikel yang bereaksi akan meningkat sehingga melampaui besarnya harga
energi aktivasi dan akibatnya laju kecepatan reaksi (korosi) juga akan makin
cepat, begitu juga sebaliknya.
2 Kecepatan Alir Fluida Atau Kecepatan Pengadukan Laju korosi cenderung
bertambah jika laju atau kecepatan aliran fluida bertambah besar. Hal ini karena
kontak antara zat pereaksi dan logam akan 15 semakin besar sehingga ion-ion
logam akan makin banyak yang lepas sehingga logam akan mengalami
kerapuhan (korosi).
3 Konsentrasi Bahan Korosif Hal ini berhubungan dengan pH atau keasaman dan
kebasaan suatu larutan. Larutan yang bersifat asam sangat korosif terhadap
logam dimana logam yang berada didalam media larutan asam akan lebih cepat
terkorosi karena karena merupakan reaksi anoda. Sedangkan larutan yang
bersifat basa dapat menyebabkan korosi pada reaksi katodanya karena reaksi
katoda selalu serentak dengan reaksi anoda.
4 Oksigen Adanya oksigen yang terdapat di dalam udara dapat bersentuhan
dengan permukaan logam yang lembab. Sehingga kemungkinan menjadi korosi
lebih besar. Di dalam air (lingkungan terbuka), adanya oksigen menyebabkan
korosi.
5 Waktu Kontak Aksi inhibitor diharapkan dapat membuat ketahanan logam
terhadap korosi lebih besar. Dengan adanya penambahan inhibitor kedalam
larutan, maka akan menyebabkan laju reaksi menjadi lebih rendah, sehingga
waktu kerja inhibitor untuk melindungi logam menjadi lebih lama. Kemampuan
inhibitor untuk melindungi logam dari korosi akan hilang atau habis pada waktu
tertentu, hal itu dikarenakan semakin lama waktunya maka inhibitor akan
semakin habis terserang oleh larutan.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
12

2.7 MEKANISME KOROSI

Hampir semua logam mengalami korosi yang meliputi perpindahan atau serangan
elektron dalam larutan. Semua reaksi korosi dalam air melibatkan reaksi anodik,
potensial yang menyertai kelebihan elektron selalu berkurang pada laju korosi. Ini
merupakan dasar dari proteksi katodik untuk mengurangi laju korosi pada pipa,
tangki baja air panas, dan lain-lain. Semua reaksi korosi larutan merupakan reaksi
elektrokimia. Banyak reaksi korosi melibatkan air dan juga fasa uap kondensat,
reaksi korosi kering tanpa melibatkan perpindahan elektron dalam zat padat pada
keadaan elektrolit dan dianggap sebagai elektrokimia.

Reaksi anodik untuk logam yang rusak:

M M n+ + ne
Sebagai contoh:

Fe Fe 2+ + 2e
Reaksi reduksi dari oksidasi ion dalam larutan disebut reaksi redoks sebagai contoh:

Fe 3+ + e- Fe 2+

Reduksi dari oksigen terlarut selalu diamati dalam larutan netral dan asam. Reaksi
reduksi oksidasi

O2 + 2H2O + 4e- 4OH dan O2 + 4H+ + 4e-

Pada keadaan semua reaksi reduksi, air akan tereduksi.

2H2O + 2e H2 + 2OH

Dari reaksi diatas diasumsikan peruraian air menjadi H+ dan air mengurangi OH-
dari kedua sisi reaksi.

Laju korosi akan bertambah cepat jika dipengaruhi oleh ; peningkatan


temperatur, adanya beda potensial antara dua logam , adanya perlakuan panas pada
logam dan jika ada tegangan atau adanya stress pada logam.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
13

2.8 JENIS JENIS KOROSI

Adapun jenis-jenis korosi menurut mekanisme terjadinya korosi adalah sebagai


berikut (Jones, 1992).

2.8.1 Uniform Corrosion


Korosi ini adalah korosi yang terjadi secara menyeluruh dipermukaan. Bentuk korosi
ini mudah diprediksi karena kecepatan atau laju korosi di setiap permukaan adalah
sama. Dalam upaya pencegahan biasanya kita dapat melakukan pelapisan (coating) di
permukaan yang terpapar oleh lingkungan.

Gambar 2.1. Contoh uniform corrosion


(Sumber: Jones, 1992)

2.8.2 Galvanic Corrosion

Korosi ini terjadi akibat dua logam atau lebih yang memiliki potensial reduksi (Eored)
yang berbeda baik dihubungkan atau terhubung. Berdasarkan deret volta / deret
galvanik, material yang memiliki potensial reduksi yang lebih kecil akan mengalami
korosi.

Gambar 2.2. Contoh Galvanic Corrosion


(Sumber: Jones, 1992)

http://digilib.mercubuana.ac.id/
14

2.8.3 Crevice Corrosion

Korosi ini terjadi karena terdapat celah antara 2 logam sejenis yang digabungkan.
Sehingga terbentuk kadar oksigen yang berbeda diantara area di dalam celah dan
diluarnya, sehingga akan menyebabkan korosi.

2.8.4 Stress Corrosion Cracking (SCC)

Korosi terjadi karena adanya tegangan beban tarik pada suatu material di lingkungan
korosif. Logam pertama-tama akan terkena korosi pada suatu titik, dan kemudian akan
terbentuk retakan. Retakan ini akan menjalar dan dapat menyebabkan kegagalan pada
komponen tersebut. Sifat yang khas dari korosi ini adalah crack yang berbentuk akar
serabut.

Gambar 2.3 Contoh stress corrosion cracking


(Sumber: Jones, 1992)

2.8.5 Corrosion Fatigue Cracking (CFC)

Korosi terjadi karena adanya tegangan beban fatik pada suatu material di lingkungan
korosif. Hal ini sewaktu-waktu akan menyebabkan material tersebut akan terkena
korosi pada satu titik yang menyebabkan crack yang menjalar berbentuk tidak serabut.

2.8.6 Erosion-Corrosionand Fretting

Korosi ini terjadi karena adanya fluida korosif yang mengalir pada permukaan
material. Fluida tersebut dapat berupa liquid (Erosion Corrosion) maupun gas
(Fretting Corrosion) dengan kecepatan tinggi. Karena kecepatan tinggi dari fluida
korosif yang mengalir, terjadi efek keausan mekanis atau abrasi. Lapisan pasif atau

http://digilib.mercubuana.ac.id/
15

pun coating pada permukaan material akan terkikis, sehingga kemungkinan terjadinya
korosi semakin besar.

2.8.7 Hydogen Induced Cracking (HIC)

Korosi terjadi karena adanya tegangan internal pada suatu material karena adanya
molekul-molekul gas hidrogen yang berdifusi ke dalam struktur atom logam.
Hidrogen dapat terbentuk akibat reduksi H2O ataupun dari asam. Penetrasi hidrogen
ini akan menyebabkan korosi pada material, dan kemudian terjadi perpatahan getas.

2.8.8 Intergranular Corrosion (Korosi Batas Butir)

Korosi terjadi akibat adanya chrome pada sekitar batas butir yang membentuk
presipitat kromium karbida di batas butir. Kemudian akan terjadi crack yang menjalar
sepanjang batas butir.

2.8.9 Pitting Corrosion

Korosi yang terjadi akibat rusaknya lapisan pasif di satu titik karena pengaruh dari
lingkungan korosif. Contoh lingkungan korosif tersebut seperti pada air laut. Air laut
yang mengandung Ion Cl-akan menyerang lapisan pasif dari logam. Ketika terjadi
permulaan pitting pada satu titik di permukaan lapisan pasif, maka ion Cl- akan
terkonsentrasi menyerang pada permukaan lapisan pasif yang terjadi pitting terlebih
dahulu sehingga pitting akan menjadi dalam. Pecahnya lapisan pasif mengakibatkan
gas hidrogen dan oksigen mudah masuk dan mengkorosikan material tersebut.
Material yang biasa mengalami pitting corrosion salah satunya adalah stainless steel.

Gambar 2.4 Contoh pitting corrosio


(Sumber: Jones, 1992)

http://digilib.mercubuana.ac.id/
16

2.9 DAMPAK KOROSI

Korosi yang terjadi pada logam tidak dapat dihindari, tetapi hanya dapat dicegah dan
dikendalikan sehingga struktur atau komponen mempunyai masa pakai yang lebih
lama. Setiap komponen atau struktur mengalami tiga tahapan utama yaitu
perancangan, pembuatan dan pemakaian. Ketidakberhasilan salah satu aspek seperti
korosi menyebabkan komponen akan mengalami kegagalan. Kerugian yang akan
dialami dengan adanya korosi meliputi finansial dan safety, diantaranya:
1 Penurunan kekuatan material
2 Penipisan
3 Downtime dari equipment
4 Retak & Pitting
5 Kebocoran fluida
6 Embrittlement
7 Penurunan sifat permukaan material
8 Penurunan nilai / hasil produksi
9 Modification

2.10 LAJU KOROSI


Laju korosi merupakan suatu besaran cepat atau lambat suatu material bereaksi
dengan lingkungannya dan mengalami korosi. Menurut (Fontana, 1987) dalam
bukunya Corrosion Engineering laju korosi dapat di definisikan dalam berbagai
macam, seperti presentase kehilangan massa, miligram per sentimeter persegi per
hari dan gram per inchi persegi per jam. Selain itu juga digunakan mils per year
(mpy) yang menyatakan laju penetrasi serangan korosi. Menghitung laju korosi pada
umumnya menggunakan 2 cara yaitu:

2.10.1 Metode Kehilangan Berat

Metode kehilangan berat adalah perhitungan laju korosi dengan mengukur


kekurangan berat akibat korosi yang terjadi. Metode ini menggunakan jangka waktu
penelitian hingga mendapatkan jumlah kehilangan akibat korosi yang terjadi.
Perhitungan laju korosi atas dasar kehilangan berat selama pengujian , seperti pada

http://digilib.mercubuana.ac.id/
17

persamaan di bawah ini (Sumarji, 2011):

(2.1)

Keterangan:
CR = laju korosi (mpy)
K = konstanta laju korosi = 5,44 x 10-2
W = massa yang hilang (g)
T = waktu perendaman (jam)
A = luas permukaan spesimen (cm2)
D = densitas spesimen (g/cm3)

Metode ini adalah mengukur kembali berat awal dari benda uji (objek yang
ingin diketahui laju korosi yang terjadi padanya), kekurangan berat dari pada berat
awal merupakan nilai kehilangan berat. Kekurangan berat dikembalikan kedalam
rumus untuk mendapatkan laju kehilangan beratnya. Pada penelitian yang dilakukan
(Ornelasari, 2015) dijelaskan dari hasil perhitungan dengan metode kehilangan berat
pada media air nira aren dan asam asetat bahwa ada beberapa hal yang bisa
mempengaruhi dari laju korosi yaitu dari pengaruh waktu perendaman dan kadar
dari keasaman larutan pH di penelitian ini di jelaskan bahwa untuk perendaman
dalam air nira aren dengan pH 4,6 laju korosi terbesarnya adalah 48,669 mpy dengan
waktu perendaman selama 4 hari. Sedangkan untuk laju korosi terkecil sebesar 14,36
mpy dengan waktu perendaman selama 7 hari. Untuk perendaman dalam larutan
asam asetat dengan pH 2,5 laju korosi terbesarnya adalah 69,574 mpy juga terjadi
pada waktu perendaman 4 hari, sedangkan untuk laju korosi terkecil sebesar 13,936
mpy dialami oleh sample dengan waktu perendaman selama 7 hari. Berdasarkan
data bahwa semakin lama perendaman laju korosi yang terjadi akan semakin
menurun dan laju korosi terbesar terjadi pada diawal proses perendaman yaitu pada
waktu 4 hari. Hal ini berkaitan dengan permukaan logam yang masih telanjang
belum terselimuti oleh lapisan hasil korosi. Pada rentang waktu 4 sampai 7 hari laju
korosi menurun, hal ini dikarenakan terbentuknya lapisan hasil korosi.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
18

2.10.2 Metode Elektrokimia

Metode elektrokimia adalah metode mengukur laju korosi dengan mengukur beda
potensial objek hingga didapat laju korosi yang terjadi, metode ini mengukur laju
korosi pada saat diukur saja dimana memperkirakan laju tersebut dengan waktu yang
panjang (memperkirakan walaupun hasil yang terjadi antara satu waktu dengan
waktu lainya berbeda).
Kelemahan metode ini adalah tidak dapat menggambarkan secara pasti laju
korosi hanya pada waktu tertentu saja, hingga secara umur pemakaian maupun
kondisi untuk dapat di treatmen tidak dapat diketahui.
Kelebihan dari metode ini adalah kita bisa langsung mengetahui laju korosi
pada saat di ukur, hingga waktu pengukuran tidak memakan waktu yang lama dan
salah satu contoh alat dari metode elektrokimia yang dipakai untuk penelitian ini
adalah potensiostat.

1. Potensiostat
Teknik elektrokimia untuk keperluan analisis kuantitatif instrumental
membutuhkan pengetahuan dan alat-alat tambahan untuk pengolahan data .
Hal ini berkenaan dengan kenyataan bahwa pembangkit sinyal analitik yang
dihasilkan dalam komponen instrumen memerlukan pengolahan agar dapat
memberikan data yang mudah dibaca dan diolah untuk bahan informasi.
Potensiostat merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur arus
yang melewati pasangan elektroda kerja dan elektroda kounter dan selalu
menjaga keseimbangan beda potensial antara elektroda kerja dan elektroda
pembanding. Potensiostat mengukur arus yang mengalir antara elektroda kerja
dan elektroda pembanding. Variabel yang dikontrol oleh potensiostat adalah
potensial sel, sedangkan variabel yang diukur adalah arus sel. Bentuk dari
potensiostat dapat dilihat pada gambar yang terdiri dari lima komponen yaitu:
sinyal generator, power amplifier, elektrometer, I/E converter dan perekam.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
19

Gambar 2.5 Susunan dasar Potensiostat


(Sumber: Anggraeni, 2008)

Signal Generator (Pembangkit Sinyal) Pembangkit sinyal ini menghasilkan


perbedaan potensial antara elektroda kerja dengan elektroda pembanding.
Perbedaan potensial dibentuk dari potensial tunggal atau potensial yang
dikontrol oleh komputer. Output digital ke analog (D/A) mengubah bilangan
yang dihasilkan komputer kedalam potensial. Pemilihan yang tepat dari
urutan bilangan memungkinkan komputer menghasilkan potensial yang
konstan, potensial yang linier dan gelombang sinusdatar (sinusoidal).
Bilangan dari eksitasi potensial menghasilkan variasi yang berbeda dari
voltammetri.
Elektrometer Rangkaian elektrometer mengukur beda potensial antara
elektroda kerja dengan elektroda pembanding. Outputnya memiliki dua
fungsi yaitu feedback signal pada rangkaian potensiostat dan sinyal diukur
sewaktu-waktu potensial sel dibutuhkan. Elektrometer yang ideal memiliki
arus input nol dan memiliki impedansi input yang tidak terbatas.
The I/E conventer (pengubah arus ke potensial) Pengubah arus ke potensial
merupakan rangkaian pengikut arus untuk mengukur arus sel dan
menampilkan sebagai potensil. Potensial output, Eout diperoleh dari arus sel
X resistor feedback.
The Power Amplifier (Daya Amplifier) Daya amplifier atau pengontrol
amplifier dari potensiostat berfungsi mengatur potensial pada elektroda

http://digilib.mercubuana.ac.id/
20

kounterelektroda kerja untuk mencapai selisih yang tepat pada elektroda


pembanding-elektroda kerja. Pengontrol amplifier membandingkan potensial
sel yang diukur dengan potensial yang diharapkan dan mengendalikan arus
yang masuk kedalam sel untuk memaksa potensialnya menjadi sama.
Potensial yang diukur adalah input yang masuk ke dalam input negatif dari
pengontrol amplifier.
Perekam Data/ The Recorder Merupakan peralatan sederhana untuk
menampilkan dan merekam potensiostat dalam bentuk chart recorder output
atau voltmeteter digital.

2.11 SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang memproduksi berkas elektron pada
tegangan dipercepat sebesar 2 30 kV. Berkas elektron tersebut dilewatkan pada
beberapa lensa elektromagnetik untuk menghasilkan image berukuran <~10nm pada
sampel yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi atau ke dalam tabung layar.
Diagram skematik dan cara kerja SEM digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.6 Diagram skematik fungsi dasar dan cara kerja SEM
(Sumber: Anggraeni, 2008)

SEM sangat cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan pengamatan


permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali sampai 500.000 kali.

http://digilib.mercubuana.ac.id/
21

Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning raster mendeflesikan berkas


elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil scan ini tersinkronisasi dengan
tabung sinar katoda dan gambar sampel akan tampak pada area yang di-scan.
Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar katoda timbul karena hasil
refleksi yang berbeda-beda dari sampel. Sewaktu berkas elektron menumbuk
permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan sebagai backscattered electron
(BSE) dan yang lain membebaskan energi rendah secondary electron (SE). Emisi
radiasi elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi
tapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan adalah
daerah panjang gelombang cahaya tampak (cathodoluminescence) dan sinar-X.
Elektron-elektron BSE dan SE yang direfleksikan dan dipancarkan sampel
dikumpulkan oleh sebuah scintillator yang memancarkan sebuah pulsa cahaya pada
elektron yang datang. Cahaya yang dipancarkan kemudian diubah menjadi sinyal
listrik dan diperbesar oleh photomultiplier.
Setelah melalui proses pembesaran sinyal tersebut dikirim ke bagian grid
tabung sinar katoda. Scintillator biasanya memiliki potensial positif sebesar 5 10 kV
untuk mempercepat energi rendah yang dipancarkan elektron agar cukup untuk
mengemisikan cahaya tampak ketika menumbuk scintillator. Scintillator harus
dilindungi agar tidak terkena defleksi berkas elektron utama yang memiliki potensial
tinggi. Pelindung metal yang mengandung metal gauze terbuka yang menghadap
sampel memungkinkan hampir seluruh elektron melalui permukaan scintillato
(Anggraeni, 2008).

http://digilib.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai