Anda di halaman 1dari 4

Pendahuluan

Hidung merupakan bagian menonjol dari struktur wajah dan piramid hidung merupakan
bagian tersering patah tulang daerah wajah. Bagian piramid hidung merupakan struktur yang
kompleks yang terdiri dari dua tulang hidung dan dua tulang prosesus maksilaris bagian frontal.

Patah tulang hidung bagian piramid dapat terjadi diberbagai daerah, namun yang paling
penting untuk diperhatikan adalah ketika terjadi patah tulang di daerah diding lateral hidung, dorsum
nasal dan septum nasal.

Pemeriksaan klinis dapat mempertimbangkan standart diagnosis yang membedakan patah


tulang hidung, hematoma dan edema jaringan sekitar yang berdekatan. Pemeriksaan penunjang,
foto pada mid-face trauma diperlukan untuk alasan pemeriksaan forensik. Pemeriksaan radiologi
adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis trauma pada hidung
namun bila menggunakan foto konvensional akan sulit menentukan lokasi fraktur. CT scan
merupakan gold standart dan merupakan pilihan dalam penegakkan diagnosis complex facial
fracture terutama mid-facial fracture. Namun, pemeriksaan CT Scan terbilang mahal dan paparan
radiasi yang ditimbulkan cukup beresiko terhadap pasien. Selain itu, lokasinya berdekatan dengan
mata dan kelenjar tiroid sehingga meningkatkan resiko katarak dan karsinoma tiroid pada paparan
radiasi setelah dilakukan CT Scan. Selain itu, pemeriksaan CT Scan juga tidak dapat dilakukan pada
wanita hamil dan coronal CT sections tidak dapat digunakan untuk pasien dengan trauma servikal
dan pada pasien yang tidak kooperatif. Dengan adanya berbagai resiko maka perlu dipertimbangkan
teknik lain sebelum dilakukan pemeriksaan CT Scan.

Ultrasonografi merupakan teknik pengambilan gambar non-invasif dan terbilang cukup


murah yang dapat digunakan untuk fraktur daerah wajah seperti fraktur nasal, tulang dasar orbita,
dinding anteriol dari sinus frontal dan fraktur zygomatikus. Dalam penelitian sebelumnya telah
mengevaluasi penggunaan ultrasonografi dalam pemeriksaan fraktur nasal setelah sebelumnya
pasien sudah didiagnosis fraktur nasal. Namun, sensivisitas dan spesifisitas ultrasonografi belum diuji
dalam mendiagnosis fraktur nasal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi nilai
diagnostik ultrasonografi dalam mendeteksi fraktur nasal dibandingkan dengan CT Scan dengan
menggunakan metode single-blind study.

Materials and methods

Dalam penelitian ini menggunakan cross sectional study , 40 pasien ( 9 perempuan dan 31
laki-laki ) dengan mid-facial fracture, dengan suspek fraktur nasal dimasukan kedalam kriteria
inklusi. Pasien yang dimasukkan sebagai kriteria inklusi adalah semua pasien yang memiliki hasil CT
scan yang kemudian dikirim ke Department of Oral and Maxillofacial Surgery, Imam Reza Hospital,
Tabriz University of Medical Sciences, Tabriz, Iran, between April 2009 and March 2010. Pasien
dengan abrasi berat, yang hanya dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan ultrasonografi
dimasukkan kedalam kriteria inklusi.

Pemeriksaa bagian coronal dan axial dari CT diperoleh dengan single slice spiral scanner
(Somatom Balance, Siemens Medical Solutions, Forchheim, Germany). Pemeriksaan ultrasonografi
pada semua pasien menggunakan small linear 7.5 MHz transducer (Aloka 3500, Tokyo, Japan) yang
ditempatkan sejajar tulang hidung tanpa stand-off pad oleh sorang ahli radiologi yang memiliki
pengalaman klinis selama 10 tahun dan merupakan seorang ahli dalam pencitraan jaringan lunak dan
muskuloskeletal. Radiologist tidak mengetahui hasil yang didapatkan dari penelitian ini. Pasien
diperiksa dalam posisi supine untuk memperlihatkan gambaran yang dapat menunjukkan bagian
kanan dan kiri dari nasal. Apapun perubahan kontinuitas dan posisi dari os. Nasal didiagnosis sebagai
fraktur nasal. Pasien sudah diberikan penjelasan mengenai jalannya penelitian serta sudah diberikan
informed consent. Pemeriksaan dilakukan pada semua pasien yang memiliki riwayat trauma
sebelumnya dan jarak antara hari terkena trauma dan pemeriksaan ultrasonografi tidak lebih dari 15
hari. Pasien kemudian akan diperiksa kurang lebih 5 menit.

Data yang diperoleh setelah dilakukan ultrasonofrafi dibandingkan dengan gambaran CT scan
sebelumnya sehingga didapatkan perbandingan sensivisitas, spesifisitas dan nilai prediktifnya.
Sensivisitas dihitung menggunakan rumus : TP/TP+FN (TP,true-positive results; FN, false-negative
results); spesifisitas dihitung menggunakan rumus TN/TN+FP (TN, truenegative results; FP, false-
positive results); dan positive predictive values (PPV) and negative predictive (NPV) values dihitung
menggunakan rumus TP/TP+FP and TN/FN+TN, respectively. Tes X 2 dapat digunakan untuk
menghitung nilai signifikan. Untuk analisis statistik digunakan program SPSS 16.

Results

Berdasarkan hasil CT Scan, dapat didiagnosis fraktur nasal pada 24 pasien dari 40 pasien ( 9
fraktur unilateral dan 15 fraktur bilateral ). Ditemukan 39 fraktur nasal secara keseluruhan. Hasil
ultrasonografi menunjukkan fraktur nasal pada 23 pasien ( 9 fraktur unilateral dan 14 fraktur bilateral
). Gambar 2 menunjukan CT Scan (a) dan ultrasonografi (b) pada kasus dengan fraktur nasal dan
ultrasonografi dapat mendeteksi fraktur nasal. Namun, ultrasonografi tidak dapat menunjukkan letak
fraktur pada kasus fraktur bilateral maupun unilateral (Gambar 3). Oleh karena itu terdapat 2 false
negatif. Sedangkan pada saat tidak terdapat fraktur, didapatkan hasil yang sama baik pada CT Scan
maupun ultrasonografi ( Gambar 4 ). Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 1. Sensitivitas dan
spesifisitas dalam mendeteksi fraktur ultrasonografi dibantingkan dengan CT Scan yaitu 94.0 % dan
100 %. Evaluasi positive predictive values dan negative predictive values pada gambaran
ultrasonografi fraktur nasal yaitu 100% dan 95.3%. Tidak ditemukan hasil yang signifikan pada tes X2
dalam mendeteksi fraktur nasal baik pada ultrasonografi maupun CT Scan (p=0,819).

Discussion

Selain pemeriksaan klinis (krepitasi, deviasi dan dislokasi), fraktur nasal juga sering
didiagnosis dari hasil pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi konvensional tidak dapat
menunjukkan dengan tepat garis fraktur pada hasil gambarannya dengan jelas. CT Scan dengan
resolusi kontras yang tinggi tidak tergantung pada operator dan dapat menunjukkan gambaran baik
jaringan padat maupun jaringan lunak dengan jelas. Namun, CT Scan memerlukan biaya yang besar
dan tidak selalu tersedia diberbagai fasilitas kesehatan. CT Scan juga selalu menimbulkan radiasi yang
besar bagi pasien. Dalam beberapa tahun terakhir, ultrasonografi merupakan salah satu pilihan
alternatif dalam mengevaluasi fraktur maxilofacial karena terbilang mudah dan cepat, murah serta
non-invasive.

Nezafati et al meneliti 17 pasien dengan suspek fraktur zygomatikus dan menyimpulkan


bahwa ultrasonografi adalah alat diagnosis yang akurat dengan rata-rata sensivisitas dan spesifisitas
88,2% dan 100%. Jank et all menyarankan menggunakan ultrasonografi sebagai alternatif untuk
diagnosis fraktur dasar orbita. Dalam penelitian lainnya, Jank et all tidak menemukan perbedaan
yang signifikan baik ultrasonografi maupun CT Scan dalam diagnois fraktur orbita dan fraktur dasar
orbita.

Friedrich et all meneliti 81 pasien dengan tanda klinis mid-facial fracture. Dalam penelitian
tersebut, digambarkan kelemahan terpenting dari ultrasonografi dalam mendiagnosis fraktur dan
dislokasi fraktur daerah wajah. Selain itu, menunjukkan juga bahwa ultrasonografi tidak dapat
menunjukkan secara pasti letak fraktur atau dislokasi. Hasilnya menunjukkan bahwa sinyal ultrason
hanya dapat menggambarkan kelainan pada kartilago sedangkan fraktur tidak dapat digambarkan
melalui ultrasonografi. Semua dislokasi karena fraktur dapat didiagnosis dengan ultrasonografi.

Dalam penelitian ini, 40 pasien dengan mid facial fracture , suspek fraktur nasal diperiksa
dengan ultrasonografi (7,5 MHz) dan semua hasil ultrasonografi diperiksa oleh satu ahli radiologi.
Dalam penelitian ini, didapatkan sensivisitas dan spesifisitas masing-masing 94,9% dan 100% dalam
mendiagnosis frakur nasal ; PPV dan NPV rata-rata 100% dan 95,3. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kishibe dkk, dalam penelitian tersebut membandingkan penggunaan
ultrasonografi dan CT Scan dalam mendiagnosis fraktur nasal pada 12 pasien. Hasil yang didapatkan
adalah ultrasonografi dan CT Scan menunjukkan gambaran yang sama pada os.nasal.

Beberapa penelitian telah membandingkan gambaran ultrasonografi dan CT Scan dalam


mendiagnosis fraktur nasal.

Thiede et all membandingkan ultrasound dan CT Scan dalam mendiagnosis fraktur nasal
pada 63 pasien dengan suspek fraktur nasal. Ultrasonografi memberikan gambaran yang lebih akurat
dalam mengevaluasi dinding lateral nasal dengan nilai signifikan (p=0,04). Namun teknik CT Scan
lebih menunjukkan keakuratan dalam mengvaluasi bagian dorsum nasal dengan nilai signifikan yang
lebih akurat. Sedangkan hasil ultrasonografi yang dievaluasi oleh dua ahli radiologi yang berbeda,
tidak didapatkan perbedaan yang signifikan. Namun, para penulis menekankan bahwa hasil
ultrasonografi akan lebih akurat apabila pemeriksa dan pembaca hasil adalah orang yang sama.

Gurkov et all menunjukkan bahwa tingkat akurasi ultrasonografi lebih tinggi dibandingkan
dengan CT Scan dalam mendiagnosis fraktur nasal. Selain itu, beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa ultrasonografi bisa mendeteksi fraktur nasal.

Dalam sebuah penelitian pada 26 anak dengan trauma nasal, yang rutin pemeriksaan
radiologi, terdapat 14 anak dengan fraktur dari 26 anak. Pemeriksaan CT Scan dilakukan pada anak
yang tidak terdeteksi fraktur pada pemeriksaan ultrasonografi. Pada akhirnya, Hong et all
menunjukkan penggunaan ultrasonografi sebagai alternatif dalam mendiagnosis fraktur nasal.

Dalam penelitian ini, dilakukan juga pemeriksaan ultrasonografi pada orang yang tidak
mengalami fraktur nasal, semua kasus yang diperiksa menggunakan ultrasonografi tidak
menunjukkan hasil positif palsu seperti yang ditunjukkan oleh CT Scan (gold standard).
Ultrasonografi juga sudah diperkenalkan sebagai gold standard dalam memperlihatkan gambaran
fraktur.

Selanjutnya, hasil pemeriksaan ultrasonografi dievaluasi dalam mendiagnosis fraktur nasal.


Frekuensi yang digunakan juga memberikan hasil yang berbeda pada hasil gambar walaupun tetap
bergantung pula pada keahlian operator. Probe linear 7,5 MHz digunakan dalam penelitian ini dan
hasilnya sesuai dengan penelitian Mohammadi dan Thiede.

Keterbatasan utama dalam penggunaan ultrasonografi adalah bergantung pada keahlian dan
pengalaman operator.

Conclusion

Penggunaan ultrasonografi dalam mendiagnosis fraktur nasal sudah banyak digunakan.


Melihat penggunaan ultrasonografi yang mudah, mudah didapatkan, murah serta radiasi yang
ditimbulkan minimal, penggunaan ultrasonografi baik un tuk wanita hamil dan anak-anak. Selain itu,
evaluasi intraoperatif serta reposisi hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ultrasonografi.
Dalam kasus curiga fraktur omplet wajah penggunaan CT Scan harus dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai