Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

BAKTERIOLOGI
(Corynebacterium Diphtheriae)

Nama : Nuryani Rais Mahu

Nim : P07172313048

Tingkat : II (Dua)

Semester : III (Tiga)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPOBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MALUKU

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

AMBON 2014
KATA PENGANTAR

Asalamualaikum wr wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang mana karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, sehinggah penulis dapat menyelasaikan tugas yang di berikan oleh ibu dosen
mata kuliah BAKTERIOLOGI tentang Corynebacterium Diphtheriae.

Terimah kasih penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah membantu penyusunan
makalah ini dari awal sampai akhir.Terutama kepada kedua orang tua penulis yang mana, telah
memberikan segenap semangat dan dukungan mental kepada penulis. Tak lupa pula ibu dosen
mata kuliah Bakteriologi yang telah memberikan tugas untuk melatih penulis dalam memahami
tentang mata kuliah yang diberikan.

Saya sebagai penulis berharap agar tugas yang telah saya susun ini, dapat berguna bagi
kita semua. Penulis sadar bahwa penyusunan tugas ini sangat jauh dari yang namanya
kesempurnaan, maka dari itu penulis berharap kritik dan saran agar dapat menjadi tolak ukur
untuk perbaikan dalam membuat tugas selanjutnya, karena penulis hanyalah insan yang lemah
dan tak pernah luput dari yang namanya kesalahan, kekeliruan, dan kehilafan, karena
kesempurnaan itu milik Tuhan semata. Akhir kata penulis mengucapkan terimah kasih.

Ambon, 01, Oktober 2014


Sejarah dan Latar Belakang

Hippocrates memberikan penjelasan klinis pertama dari difteri pada abad ke-4 SM

Pada abad ke-17, epidemi difteri menyapu Eropa; di Spanyol penyakit dikenal sebagai " El
garatillo " (Sang pencekik "), di Italia dan Sisilia dikenal sebagai" penyakit tenggorokan ".

Pada abad ke-18, penyakit ini mencapai koloni Amerika di mana, sekitar tahun 1735 sering
kali, seluruh keluarga dalam beberapa minggu meninggal karena penyakit ini .

Bakteri yang menyebabkan difteri pertama kali dijelaskan oleh Klebs pada tahun 1883, dan telah
diisolasi oleh Loeffler pada tahun 1884,

Pada tahun 1884, Loeffler menyimpulkan bahwa C. diphtheriae menghasilkan toksin larut, dan
dengan demikian memberikan gambaran pertama dari eksotoksin bakteri.

Pada 1888, Roux dan Yersin menunjukkan adanya toksin dalam biakan cairan sel C. diphtheriae
yang bila disuntikkan ke hewan coba yang sesuai, menyebabkan manifestasi sistemik difteri.

Dua tahun kemudian, von Behring dan Kitasato berhasil mengimunisasi babi guinea- dengan
toksin yang dilemahkan /dipanaskan dan menunjukkan bahwa setelah hewan diimunisasi
mengandung antitoksin yang mampu melindungi hewan terhadap penyakit. Namun bila
diberikan kepada manusia ternyata menyebabkan reaksi lokal yang parah dan tidak dapat
digunakan sebagai vaksin.

Pada 1909, Theobald Smith, di AS, menunjukkan bahwa toksin difteri yang telah dinetralkan
oleh antitoksin (membentuk Anti-Toxin Toxin kompleks, TAT) tetap imunogenik dan reaksi
lokal yang terjadi dapat dihilangkan. Selama beberapa tahun, dimulai sekitar 1910, TAT
digunakan untuk imunisasi aktif terhadap difteri. TAT memiliki dua karakteristik yang tidak
diinginkan sebagai vaksin,. Pertama, toksin yang digunakan adalah sangat beracun, dan kuantitas
yang disuntikkan bisa mengakibatkan toksemia fatal kecuali toksin dinetralkan sepenuhnya oleh
antitoksin,. Kedua serum antitoksin berasal dari seekor kuda dimana komponen-
komponennya cenderung bersifat alergis..

Pada tahun 1913, Schick merancang tes kulit sebagai alat untuk menentukan kerentanan atau
kekebalan terhadap difteri pada manusia. Difteri toksin akan menyebabkan reaksi inflamasi
ketika jumlah yang sangat kecil disuntikkan secara intracutan . Schick Test adalah penyuntikan
dosis sangat kecil toksin di bawah kulit lengan bawah dan mengevaluasi tempat suntikan
setelah 48 jam. Sebuah tes positif (reaksi radang) menunjukkan kelemahan (nonimmunity).
Sebuah tes negatif (tidak ada reaksi) menunjukkan kekebalan (antibodi menetralisir toksin).

Pada tahun 1924, Ramon menunjukkan konversi toksin difteri dengan formaldehida supaya tidak
beracun, Dia menciptakann salah satu vaksin yang paling aman dan paling pasti sepanjang
masa, yaitu toksoid difteri.

Pada tahun 1951, Freeman membuat penemuan luar biasa strain C. diphtheriae yang patogen
(toksigen) adalah lisogenik, (yaitu terinfeksi oleh fag Beta subtropis), sedangkan strain
terlisogenisasi non avirulent. Selanjutnya, hal itu menunjukkan bahwa gen untuk produksi toksin
terletak di fag Beta DNA.

Pada awal 1960-an, Pappenheimer mempelajari efek dari racun dalam biakan sel HeLa
dan dalam sistem sel bebas, dan menyimpulkan bahwa toksin menghambat sintesis protein
dengan menghalangi transfer asam amino dari tRNA ke rantai polipeptida yang tumbuh di
ribosom. Mereka menemukan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh antitoksin difteri.
A. Pengertian Corynebacterium Diphtheriae

Berdasarkan klasifikasi ilmiah corynebacterium diklasifikasikan sebagai berikut :

Kerajaan : bacteria

Filum : actinobacteria

Kelas ; actinobacteria

Ordo ; actinomycetales

Keluarga ; corynebacteriaceae

Genus ; corynebacterium

Spesies : corynebacterium diphtheriae

Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri. Difteri


adalah suatu penyakit infeksi mudah menular dan menyerang saluran napas bagian atas berupa
pseudo membrane dan ekso toksin penularan melalui udara dan makanan. Bakteri ini dikenal
juga sebagai basillus Klebs-Lffler karena ditemukan pada 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin
Klebs (1834-1912) dan Friedrich Lffler (1852-1915).

Terdapat 3 strain C. Diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan
penyakit mereka yaitu gravis, mitis, dan intermedius . ketiganya juga sedikit berbeda dalam
morfologi koloni, dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu.
Perbedaan virulensi dari tiga basil ini dapat dikaitkan dengan kemampuan relative mereka untuk
memproduksi toksin difteri (baik kuantitas dan kualitas), dan tingkat pertumbuhan masing-
masing.

strain grafis memiliki waktu generasi 60 menit (in vitro), strain intermedius memiliki
waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan strain mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180
menit, strain mitis bersifat hemolitik , sedangkan gravis dan intermediet tidak. Dibanding dengan
kuman lain yang tidak berspora , c. diphterhiae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya ,
pengeringan , dan pembekuan. Namun kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan.dalam
tenggorokan (in vivo) tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk
menguras pasokan besi local lebih cepat dalam menyerang jaringan .

B. Morfologi Dan Sifat Biakan

Bentuk dari corynebacterioum ini seperti palu (mengalami pembesaran pada salah satu
ujung) diameter 0,1-1 mm dan panjang beberapa mm., tidak berspora , tidak bergerak, termasuk
gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphteriae bersifat anaeerob fakultatif. Namun
pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob.

basil ini hanya timbul pada medium tertentu yaitu : medium loffler, medium telluritye,
ferment glucose.

a. Pada medium loffler : bakteri tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni berwarna
abu-abu.
b. Pada medium tellurite : basil ini tumbuh lebih lambat membentuk koloni-koloni,
berwarna abu-abu kehitaman,

menurut bentuk besar dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan 3 jenis basil yaitu :

1. Gravis : koloninya besar, kasar irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis entrosit.
2. Mitis : koloninya kecil, halus, warna hutan konveks dan dapat menimbulkan hemolisis
entrosit.
3. Intermediate : koloninya kecil, halus, punya bentuk hitam ditengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibanding mitis. Karakter jenis gravis dapat
memfermentasikan tepung kanji dan glukogen sedangkan mitis dan intermediate tidak. Namun,
semua dapat memproduksi eksotoksin tapi virulensinya beda. Yang tidak virulen adalah grup
mitis tapi kadang-kadang ada bentuk gravis / intermediate yang tidak virulen pada manusia.
Strain toksigenik ini mungkin berubah non toksigenik.
Setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium dikarenakan pengaruh
bakteri Untuk mmebedakan jenis virulen dan non virulennya dapat dilakukan pemeriksaan :
Uji prespipitasi agar gel (elektroforesis),dan Inokulasi intradeunnal terhadap guinea pig.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya
basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri seperti hoffman, C Xerosis dan lain-
lain.

C. Epidemologi

Difteri terdapat diseluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini
terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak
langsung secara droplet. Banyak spesies corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat
seperti tanah , air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari corynebacteria dapat
menginfeksi, tanaman, hewan, atau manusia. namun hanya manusia yang diketahui sebagai
reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang
atau iklim tropis , tetapi dapat juga ditemukan di bagian lain dunia .

D. Penentu Patogenitas

Patogenisitas corynebacterium diphtheriae mencakup dua phenomena yang berbeda, yaitu :

1. Invasi jaringan local dari tenggorokan : yang membutuhkan kolinisasi dan proliferasi
bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap c.
diphtheria tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga dapat terlibat
dalam kolonisasi tenggorok
2. Toksigenesis : produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari c.diphtheria
tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja , sejak fase invasive mendahului
toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin
difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan, karena efek jangka pendek di
lokasi kolonisasi.

E. Patogenesis

Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan local dan pembentukan membrane. Toksin yang
dihasilkan di lokasi membrane diserap kedalam aliran darah dan di distribusikan ke dalam
jaringan tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan
neuritis dan juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein
dalam urin (proteinuria).

Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan sementara kasus yang
parah jarang di laporkan , sebenarnya ini mungkin di sebabkan oleh strain toxigen yang tidak
terdeteksi karena contoh koloni yang tidak memadai .

F. Gambaran Klinis

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari ).untuk tujuan klinis , akan lebih
muda untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manipestasi, tergantung pada tempat
penyakit.

1). Anterior nasal difteri : biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi
baik lender dan nanah) yang mungkin daraah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena
penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan
terapi antibiotic.

2). Pharyngeal dan difteri tonsilar : tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil.
Awal gejala termasuk malaise , sakit tenggorokan ,anoreksia, dan demam yang tidak terlalu
tinggi .pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan,
dan mungkin mati dalam jangka waktu 6-10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat
ditandai dengan terjadinya penyakit adema pada daerah submandibular dan leher anterior
bersama dengan limfadenopati.
3). Difteri laring : dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala temasuk demam, suara
serak,dan batuk menggonggong. Membrane dapat menyebabkan obstruksi jalan , nafas, koma,
dan kematian.

4). Difteri kulit : cukup umum di daerah tropis . infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus
dengan batas tepid an membrane yang jelas. Situs lain keterlibatan temasuk selaput lender dari
konjungtiva dan daerah vulvo-vagina , serta kanal auditory eksternal .

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh


toksin terkait dengan perluasan penyakit local. Komplikasi yang pali ng sering adalah
miokarditis difteri dan neuritis . miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat
menyebabkan gagal jantung. jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat
fatal.neoritis paling sering mempengarui saraf motoric. Kelumpuhan dari jaringan lunak , otot
mata, tungkai,dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ke tiga atau setelah minggu
kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernapasan karena obstruksi jalan
nafas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5 % - 10 % ,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20 %). Namun tingkat fatalitas untuk kasus difteri
telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

G. Diagnosis

Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah di tegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering
terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain c. diphtheria baik yang toksigenik maupun
nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies corynebacterium yang lain pun secara morfologik
mungkin serupa. karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan kuman khas difteri,
maka hsil presumtif adalah : ditemukan kuman- kuman tersangka difteri .

hal ini menunjukan pentingnya dilakukan diagnosis laboraturium, secara mudah,cepat , dan
dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaupun demikian, diagnosis
laboratorium harus dianggap sebagai penunjang, bukan pengganti diagnosis klinik, agar
penangan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya
harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus segera di kirim ke laboraturium.

H. Pengobatan

Anti toksin difteri pertama kali diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di amerika
serikat, pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang tepat
jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumitif keluar, tenpa
perlu menunggu diagnosis laboraturium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan cepat
terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversible karena ikatan tidak dapat
dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan
lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan
penyakit.

Selain antitoksin, umumnya diberi penisilin , atau antibiotic lain seperti tetrasiklin, atau
eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (streptococus) dan pengobatan
bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan ( 40
mg/kg/hari , maksimum 2 gram /hari) selama 14 hari , atau penisilin,prokain G harian,
intramuscular ( 300.000 u / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang , dan 600.000 u /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 gr ) selama 14 hari.

I. Pencegahan

Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak
melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi .selain itu, imunisasi aktif juga perlu di
lakukan.imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian dosis APT
(Alum Precipitated Toksoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertussis.
Dosis kedua di berikan pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen , namun penggunaannya harus dibatasi dengan
keaadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difterijuga
dapat diketahui dengan melakukan reaksi schick.
DAFTAR PUSTAKA

Lai, Bibiana. W, dan Hastowo Sugoyo 1992. MIKROBIOLOGI. Jakarta : CV Rajawali.

Wheller dan Volk. 1990.Mikrobiologi Dasar Edisi ke 5 Jilid 2. Jakarta : P.T . gelora aksara

Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku :Diagnosa keperawatan edisi: 8 Peneterjemah Monica


Ester.EGC.Jakarta

Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica


Ester.EGC.Jakarta

Supriadi.2004.Asuhan Keperawatan anak.Jakarta: Sagung seto

Staf pengajar Ilmu kesehatan Anak.2005.Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta: Fkui

Anda mungkin juga menyukai