Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

PENGOBATAN KUSTA SELAIN WHO

Pembimbing : dr. Sofwan SR, Sp.KK

Disusun Oleh : Robi Fahlepi

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSUD R. SYAMSUDIN, SH

SUKABUMI

2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Pengobatan Kusta
Selain WHO untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Stase Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin RSUD R. Syamsudin, SH FKK UMJ.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing kita ke zaman yang penuh ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini. Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Sofwan SR,
Sp.KK selaku pembimbing, yang telah mendukung dan membimbing kami sehingga
referat ini dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam referat ini. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar referat ini
dapat menjadi lebih baik lagi. Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat
memberikan manfaat demi kemashlahatan umat dan memberikan sumbangsih bagi
perkembangan dunia kedokteran. Amin ya robbal alamin.

Wassalamu alaikum wr.wb.

Sukabumi, Mei 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang
lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit,
saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah
ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal
dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980,
dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat di
diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan
terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu
disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi
jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.
Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta,
pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra
masih terus diteliti.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, dan organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel
Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak
dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh
dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung,
cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan
tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung).

Pengobatan kusta

Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminidifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampicin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dam di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak
1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampicin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998
WHO menambahkan tiga obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.

Untuk mencegah resistensi, pengobatan kusta menggunakan Multi Drug


Treatment (MDT) sejak tahun 1971. Pada saat ini ada berbagai macam dan cara
MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat
alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah
resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat anti-kusta yang paling banyak
dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara
berkembang dengan sosial ekonomi rendah.

MDT digunakan sebagai usaha untuk:

Mencegah dan mengobati resistensi


Memperpendek masa pengobatan
Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

Efek terapeutik obat


Efek samping obat
Ketersediaan obat
Harga obat
Kemungkinan penerapannya

DDS

Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai


monoterapi. Pada tahun 1960, Shepard berhasil melakukan inokulasi M. Leprae ke
dalam telapak kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan
inokulasi dengan adanya resistensi terhadap DDS oleh Pettit dan Rees, disusul secara
beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan
adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan
kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.

Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps
sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah
menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis,
bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan tiba-tiba aktif kembali dengan
timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan
dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M. Leprae masih sensitif
terhadap DDS. M. Leprae yang semula dorman, bangun dan aktif kembali. Pada
pengobatan sebelumnya, kuman dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT
apapun. Pada relaps resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan oabat yang
sama. Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histopatologi yang khas, dapat
dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit bahwa M.
Leprae resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan
pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai
pengamatan secara klinis, bakterioskopik , dan histopatologik. Apabila fasilitas
mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang rendah, sedang,
sampai yang tinggi. Inokulasi mencit pernah dilaksakan di bagian mikrobiologi
FKUI Jakarta.

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar
oelh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi
terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi bila orang
ditulari oleh M. Leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai
tipe (TT, BT, BB, BL, LL) bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang
tinggi DD tidak dapat dipakai lagi. Resistensi sekunder terjadi oleh karena:

Monoterapi DDS
Dosis terlalu rendah
Minum obat tidak teratur
Minum obat tidak adekuat, baik sosis maupun lama pemberiannya
Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbunemia, dan methemoglobinemia.

Rifampicin

Rifampicin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampicin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistennsi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.

Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti-tuberkulosis pada tahun 1965 oleh
Rees dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan
pada tahun 1976 oleh Jacobson dan Hastings.

Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala


gastrointestinal, flu-like sydrome, dan erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene) :

Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari
atau 3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari
namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.

Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan
pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang
merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial,
mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis
tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare,
anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan
warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan.

Ofloksasin:

Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium


leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan
dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar
99,99%.

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya.,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,
nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan
biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati,
karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat
pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru,
jadi lebih efektif.

Minosiklin:

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi


daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian
100 mg. Efek sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak di anjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan

Klaritromisin:

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal


terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan
diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

WHO Recommended treatment regimens

6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy

*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25
Dapson Rifampisin
Dewasa 100 mg 600 mg

50-70 kg Setiap hari Sebulan sekali di bawah


pengawasan
Anak 50 mg 450 mg

10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah


pengawasan
mg setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan

12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy

Dapsone Rifampisin Clofazimin


Dewasa 100 mg 600 mg 50 mg DAN 300 mg

50-70 kg Setiap Hari Sebulan sekali Setiap Sebulan sekali


di bawah hari di bawah
pengawasan pengawasan
Anak 50 mg 450 mg 50 mg DAN 150 mg

10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali Setiap Sebulan sekali


di bawah hari di bawah
pengawasan pengawasan

*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan,
klofazimin, 50 mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan
sebulan sekali di bawah pengawasan

Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications


taken together)

Rifampisin Ofloxasin Minosiklin


Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

50-70 kg
Anak 300 mg 200 mg 50 mg

5- 14 tahun *
*
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tipe PB
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT
(released from treatment)

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps


petugas (300mg+150mg) + DDS (2x300mg) + DDS 1
1 tab (50mg) tab (100mg)

Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)

*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB
Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang
diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif.

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps


(300mg+150mg) + (2x300mg) +
Klofazimin 3caps klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab (3x100) + DDS 1 tab
(50mg) (100mg)

Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab Klofasimin 1cap


(50mg) + DDS 1 tab (100mg) + DDS 1 tab
(50mg) (100mg)

* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB


Pengobatan kusta selain yang dianjurkan oleh WHO

1. Fluoroquinolon
Kelompok senyawa ini menggunakan efek antimikrobanya dengan
menghambat subunit dari gyrase DNA (enzim yang tidak terpengaruh oleh
agen terapeutik lainnya yang digunakan) dan dengan demikian mengganggu
replikasi DNA bakteri. Beberapa fluoroquinolones seperti ofloxacin,
pefloxacin, sparfloxacin, dan moxiflxacin semuanya terbukti efektif terhadap
M. leprae. Ofloxacin lebih disukai karena dua obat lainnya perlu diberikan
dalam dosis yang sangat tinggi untuk mencapai efek yang sama seperti
ofloxacin pada dosis 400 mg. Bila diberikan setiap hari selama 22 hari, ia
membunuh 99% organisme yang hidup. Moxifloxacin telah ditemukan lebih
efektif daripada fluoroquinolones lainnya.
Moxifloxacin digunakan pertama kali untuk pengobatan kusta pada
tahun 2009. Fluoroquinolone Moxifloxacin telah terbukti sebagai regimen
yang ampuh untuk melawan M. Leprae. Merupakan obat sintetik broad
spectrum 8-methoxy-fluoroquinolone antibiotik. Pada tahun 2000 Ji dan
Grasset merekomendasikan pemakaian Rifapentin + Moxifloxacin +
Minocycline untuk percobaan pada manusia. Pada tahun 2008 Fe Eleanor
F.Pardillo et al mencoba menggunakan Moxifloxacin pada delapan MB
pasien dan terbukti sangat efektif. Pada tahun 2009 Fe Eleanor F.Pardillo et al
melaporkan respon klinis yang cepat dan membunuh secara signifikan basil
pada dua pasien dengan pengobatan monoterapi Moxifloxacin. Pre Congress
Workshop (17th International Leprosy Congress, Hyderabad 2008)
merekomendasikan Rifapentine 900 mg atau (Rifampicin 600 mg) +
Moxifloxacin 400 mg + Clarithromycin 1000 mg (atau Minocycline 200 mg)
kombinasi untuk diberikan sekali sebulan dalam pengawasan.
2. Macrolide
Beberapa anggota kelompok ini telah dievaluasi, dan klaritromisin
tampaknya menjanjikan. Klaritromisin adalah antibiotik macrolide semi-
sintetis yang berhubungan dengan eritromisin. Studi footpad mouse
menunjukkan aktivitas bakterisida potensial dari obat ini, namun kurang
efektif dibandingkan rifampisin. Dengan dosis 500 mg per hari, obat tersebut
dilaporkan membunuh 99% M. leprae sebanyak 58 hari. Pemberian
rifampisin bersamaan menurunkan konsentrasi serum klaritromisin hingga
80%.
3. Minocycline

Minocycline adalah satu-satunya tetrasiklin yang menunjukkan


aktivitas signifikan terhadap M. leprae. Itu karena obatnya bersifat lipofilik
yang memungkinkannya menembus dinding sel bakteri. Bakteris melawan M.
leprae tapi lebih rendah dari rifampisin. Obat tersebut mengikat secara
reversibel ke unit S dari ribosom 30, sehingga menghalangi pengikatan
transfer aminoasil transfer RNA ke kompleks RNA-ribosom utusan dan
dengan demikian menghambat sintesis protein.

Kombinasi regimen
Rifapentin, turunan rifampisin, adalah obat lain yang memiliki sifat
farmakokinetik yang jauh lebih tinggi daripada rifampisin dengan konsentrasi serum
puncak yang jauh lebih tinggi dan waktu paruh serum yang jauh lebih lama. Temuan
terbaru dari eksperimen tikus menunjukkan bahwa rifapentine dan moxifloxacin
secara signifikan lebih bakterisida, masing-masing, dibandingkan rifampisin dan
ofloksasin, yang jauh lebih bakterisida daripada ROM. Kombinasi rifapentine-
moxifloxacin-minocycline (PMM) ditemukan lebih unggul.
Rifampisin 600 mg juga dikombinasikan dengan klaritromisin sebulan
sekali dengan dosis 1000 mg dan minocycline 200 mg. Regimen ini telah
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan M. leprae yang signifikan pada tikus.
Demikian pula, kombinasi untuk harian ofloxacin dengan minocycline bersamaan
dengan rifampisin bulanan juga telah dicoba. Regimen lain termasuk MDT-MB biasa
disertai penambahan ofloksasin dan minocycline sekali sebulan. Regimen jangka
pendek intensif yang terdiri dari dosis harian rifampisin dengan ofloksasin selama 1
bulan pada pasien MB telah menghasilkan tingkat kambuh yang tinggi.
Dalam sebuah penelitian di Belgia, pasien MB diberi mingguan dosis
rifampisin, ofloxacin, clofazimine, dan minocycline selama 6 minggu. Hasil awal
sangat menggembirakan. Relepse rate hanya 2%. Namun, tindak lanjut jangka
panjang diperlukan dalam semua rejimen yang dipersingkat ini.
BAB 3
KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.
Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL, dan
menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta
dilakukan berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis.
Penatalksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan
untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi.
Daftar Pustaka

1. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas


and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007.
2. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008.
3. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5
Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007.
4. Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
5. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehat Lingkungan 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Kusta.
Jakarta. 2012.
6. P V S Prasad and P K Kaviarasan. Leprosy Therapy, past and present: can we hope to
eliminate it?. Indian Journal of Dematology. 2010.
7. Fine PE. Leprosy's global statistics- still room for improvement. Lepr Rev. 2008.

8. Clinical trial of sparfloxacin for lepromatous leprosy. Antimicrobial Agents and


Chemotherapy.
9. Powerful Bactericidal Activity of Moxifloxacin in Human Leprosy. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy.

Anda mungkin juga menyukai