Anda di halaman 1dari 17

Uji Kualitas Mikrobiologi Makanan Dalam Kaleng Berdasarkan Angka Lempeng Total

Koloni Bakteri

Laporan Mikrobiologi Pangan

disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Mikrobiologi Pangan yang dibimbing oleh

Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd. dan Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si, M.Si.

Oleh

Kelompok 2

Offering GHI-P

Iif Fitrotul Mahmudah 150342600856


Mastika Marisahani Ulfa 150342607507
Riza Eka Novita Sari 150342602425
Siti Nur Khoriatin 150342600290
Zauhara Faiqohtun Wuriana 150342605971

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Oktober 2017
A. Tujuan
1. Untuk mengetahui jumlah koloni bakteri pada makanan dalam kaleng yang masih
layak untuk dikonsumsi dan yang tidak layak untuk dikonsumsi.
2. Untuk mengetahui kualitas mikrobiologi makanan dalam kaleng yang masih layak
untuk dikonsumsi dan yang tidak layak untuk dikonsumsi berdasarkan angka
lempeng total koloni bakteri.
B. Dasar Teori
Dengan berkembangnya teknologi pangan mempengaruhi beragam kemasan produk
makanan. Kemasan produk pangan mempunyai arti penting dan luas untuk sebuah produk
pangan. Pengemasan suatu produk pangan sendiri dimaksudkan untuk membatasi antara
bahan pangan dengan keadaan normal sekelilingnya, untuk menunda proses dalam jangka
waktu yang diinginkan. Dengan demikian pengemasan memberikan peranan yang
utama dalam mempertahankan bahan pangan dalam keadaan bersih dan higienis
(Supardi dan Sukamto, 1999).
Proses mengemas dengan wadah kaleng disebut pengalengan. Pengalengan
didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dikemas secara
hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba dan benda asing lainnya) dalam suatu
wadah yang dikemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba
patogen (penyebab penyakit pada manusia khususnya) dan mikroba pembusuk (penyebab
kebusukan atau kerusakan bahan pangan). Dengan demikian sebenarnya pengalengan
memungkinkan terhindar dari kebusukan atau kerusakan, perubahan kadar air,
kerusakan akibat oksidasi atau ada perubahan citarasa. Prinsip utamanya yang
dilakukan pada makanan kaleng adalah selalu menggunakan perlakuan panas yang
ditujukan untuk membunuh mikroba yang kemungkinan ada (Ray, 2004).
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kerusakan makanan oleh mikroba pada
makanan kaleng, yakni suhu yang tidak cukup dingin setelah proses seterilisasi atau
disimpan pada temperatur tinggi sehingga memberikan kesempatan thermophilic spore
forming bacteria berkecambah dan tumbuh, suhu pemanasan tidak cukup tinggi sehingga
memberikan kesempatan pada bakteri yang tergolong mesophilic (yang hidup pada
suhu 25 45C) bertahan dan selanjutnya dapat tumbuh, selain itu adanya kebocoran
kaleng yang memungkinkan mikroba yang ada lingkungan masuk ke dalam kaleng (Ray,
2004). Jay (2000) menyatakan bahwa perlakuan sebelum proses pengalengan atau
praprocessing terhadap bahan pangan juga berpengaruh terhadap keberadaan mikroba di
dalam makanan kaleng. Selain itu tahapan proses pengalengan yang tidak sempurna juga
turut memicu adanya mikroba.
Kerusakan pada makanan kaleng dapat menurut suhu dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok, yaitu Thermofilik spore-forming bacteria (bakteri thermofilik pembentuk spora),
bakteri ini merupakan bakteri pembentuk spora yang tahan panas. Perkecambahan
sporanya terjadi pada suhu > 43C dan tumbuh baik pada suhu >30C (Ray, 2004).
Bakteri jenis Thermofilik spore-forming bacteria dikelompokkan lagi dalam beberapa tipe
yaitu, Flat sour, tandanya kaleng tidak menggelembung atau rata tetapi produk menjadi asam
yang disebabkan oleh aktivitas Bacillus stearothermophillus yang bersifat anaerob
facultativ). Selanjutnya yakni tipe Thermofilic Anaerobic (TA), tandanya kaleng
menggelembung karena adanya gas dan produk menjadi asam. Pertumbuhan dan aktivitas
bakteri Clostridium thermosaccharolyticum memproduksi sejumlah gas CO2 dan asam
sehingga menyebabkan kaleng menggelembung, selanjutnya dapat terjadi terbukanya kaleng
akibat desakan gas yang diproduksi terus menerus, dan tipe Sulfur stinker (senyawa sulfida),
tandanya kaleng tetap rata tetapi produk menjadi berwarna hitam dan bau seperti telur
busuk. Penyebabnya adalah bakteri Desulfotomaculum nigrificans yang memproduksi
H2S. Sulfur yang dihasilkan dapat bereaksi dengan besi (iron/ Fe) dari kaleng maka
terbentuk Iron sulfide (FeS) yang menyebabkan warna hitam pada produk makanan di
dalam kaleng (Frazier, 1988).
Bakteri penyebab kerusakan pada makanan kaleng menurut suhu yang ke dua yaitu
Mesophilic spore-forming bacteria (Bakteri mezophilik pembentuk spora). Bakteri ini
merupakan bakteri pembentuk spora yang tumbuh pada rentang suhu 25 45C dan optimum
pada suhu 37C. Kerusakan yang diakibatkan oleh adanya bakteri kelompok ini lebih
dikarenakan pemanasan yang kurang sempurna atau tidak cukup sehingga ada spora bakteri
yang dapat bertahan pada suhu tersebut dapat berkecambah dan tumbuh. Ada 2 kelompok
bakteri yang mendominasi yakni Clostridium dan Bacillus (Ray, 2004).
C. Alat dan Bahan
Alat:
1. Otoklaf
2. Cawan petri
3. Pipet
4. Timbangan
5. Inkubator
6. Sendok
7. Pisau
8. Mortar
9. Pestle
10. Labu Erlenmeyer 100 ml

Bahan:

1. Medium NA
2. Larutan air pepton 0,1%
3. Aquades steril
4. Alkohol 70%
5. Makanan dalam kaleng yang masih layak untuk dikonsumsi (sarden asahi)
6. Makanan dalam kaleng yang tidak layak untuk dikonsumsi (sarden asahi).
D. Cara Kerja

Diperiksa kondisi kaleng kemasan makanan, lalu dicatat tanggal kadaluarsanya, kondisi
kaleng dan kondisi label dari makanan kaleng.

Dibersihkan tutup kaleng dengan tissue yang telah diberi alcohol 70%, lalu dibuka tutup
kaleng tersebut

Ditimbang 10 gram sampel makanan dalam kaleng, lalu di haluskan dengan


menggunakan mortar mortar dan pestle

Kemudian dilarutkan 90 ml larutan pepton 0,1% sehingga diperoleh suspense dengan


tingkat pengenceran 10-1

Diambil 1 ml suspense dengan tingkat pengenceran 10-1, lalu dimasukkan ke dalam


tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pepton 0,1% maka diperoleh larutan suspense
dengan tingkat pengenceran 10-2

Dilakukan pengenceran suspensi dengan tingkat pengenceran 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6
Suspensi makanan dalam kaleng diteteskan pada tingkat pengenceran 10-1 , 10-2 , 10-3, 10-
4
, 10-5 dan 10-6 masing-masing sebanyak 0,1 ml pada permukaan medium lempeng NA,
kemudian diratakan.

Semua medium lempeng NA yang telah diinokulasi dengan suspense tersebut diinkubasi
pada suhu 370C selama 1 x 24 jam. Medium lempeng diletakkan dengan posisi terbalik di
dalam inkubator

Jumlah total koloni bakteri dalam tiap gram atau ml makanan kaleng dihitung baik yang
masih layak untuk dikonsumsi maupun yang tidak layak untuk dikonsumsi

Kualitas mikrobiologi makanan dalam kaleng ditentukan, baik yang masih layak untuk
dikonsumsi maupun yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi berdasarkan angka
lempeng total koloni bakteri dengan mengacu pada ketentuan dari DIRJEN POM

E. Data pengamatan

Tabel 1.1 pengamatan hasil perhitungan angka lempeng total koloni bakteri pada makanan
kaleng sarden dalam saos tomat merk ASAHI A1 kadaluarsa.

No Tingkat Pengenceran Jumlah Koloni Keterangan


1. 10-1 13 TSUD
2. 10-2 96
3. 10-3 94
4. 10-4 60
5. 10-5 95
6. 10-6 23 TSUD

Kondisi Kaleng :

- Tanggal Kadaluarsa : 22 Januari 2017


- Kondisi Kaleng : Berkarat
- Label : Terkelupas pada bagian bawah

Tabel 1.2 Pengamatan hasil perhitungan angka lempeng total koloni bakteri pada makanan
sarden dalam saos tomat merk ASAHI A1

No Tingkat Pengenceran Jumlah Koloni Keterangan


1. 10-1 0
2. 10-2 0
3. 10-3 0
4. 10-4 0
5. 10-5 0
6. 10-6 0

Kondisi Kaleng :

- Tanggal Kadaluarsa : 19 April 2020


- Kondisi Kaleng : Baik tidak berkarat
- Label : Baik tidak ada cacat
F. Analisis Data

Macam macam rerata tingkat pengenceran tertinggi dan terendah pada makanan yang
kadaluarsa.

9.500.000 + 9.600 = 9.509.600 = 4.754.800


2 2
= 4,8 x 106

Berdasarkan perhitungan rerata tersebut menunjukkan rerata >2, sehingga yang di


laporkan pengenceran terkecil yaitu 10-2 dengan jumlah koloni 96 jadi nilai ALT sebesar =

= 96 x 10 x 1
10-2
= 96.000
= 9,6 x 104
Berdasarkan SNI batas maksimum untuk produk ikan makanan kaleng sebesar < 1 x
10-1 cfu/g, sehingga makanan kaleng dari hasil perhitungan ALT tidak layak di konsumsi
karena memiliki nilai lebih dari batas maksimum yaitu 9,6 x 104.
Pada praktikum sampel makanan sarden kaleng ASAHI A1 yang telah kadaluarsa
pada tingkat pengenceran 10-1 setelah ingkubasi selama 24 jam mendapati jumlah koloni
bakteri sejumlah 13 koloni, sedangkan pada pengenceran 10-2 terdapat 96 koloni,
pengenceran 10-3 terdapat 94 koloni bakteri, pengenceran 10-4 terdapat 60 koloni bakteri,
pengenceran 10-5 terdapat 95 koloni bakteri dan pengenceran yang terakhir yaitu 10-6 terdapat
23 koloni bakteri. Kondisi kelayakan konsumsi setelah di analisis dengan ALT angka
menunjukkan bahwa bahan makanan salden kaleng ASAHI A1 yang telah kadaluarsa tidak
layak di konsumsi, sedangkan pada makanan kaleng sarden ASAHI A1 yang masih belum
kadaluarsa tidak di temukan koloni bakteri setelah uji ALT. sehingga makanan tersebut layak
di konsumsi sesuai standart layak pangan.

G. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini yaitu tentang uji kualitas mikrobiolohi makanan dalam kaleng
berdasarkan angka lempeng total koloni bakteri. Makanan kaleng yang kami gunakan adalah
sarden ikan laut produk dari asahi. Menurut Firman (2011) sarden adalah ikan laut yang
terdiri dari beberapa spesies dari famili Clupeidae. Ikan ini cocok digunakan sebagai
makanan dihidangkan dengan saus cabe atau saus tomat. Dimana kami menggunakan 2
sampel yaitu sampel pertama sudah tidak layak dikonsumsi atau sudah melewati batas
tanggal kadaluarsa dan sampel kedua masih layak untuk dikonsumsi atau tidak kadaluarsa.

Pengalengan ikan merupakan salah satu pengawetan ikan dengan menggunakan suhu
tinggi (sterilisasi) dalam kaleng. Pengalengan juga dapat didefinisikan sebagai suatu cara
pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba
dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah yang kemudian disterilkan secara komersial
untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit pada manusia khususnya) dan
mikroba pembusuk (penyebab kebusukan atau kerusakan bahan pangan) (Fadli 2011). Prinsip
pengalengan ikan adalah pengawetan ikan dengan cara memasukkan ikan ke wadah yang
tertutup dan dipanaskan dengan tujuan untuk mematikan atau menghambat perkembangan
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan kapang, serta perombakan enzimatis. Proses
sterilisasi komersial pada pengalengan di desain untuk melindungi kesehatan konsumen dan
untuk melindungi produk dari mikroba pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian secara
ekonomis (Saidah, 2005)

Menurut SNI 01 3548 1994 syarat mutu dan kriteria uji dari makanan kaleng jenis
sardine ini adalah keadaan kaleng, kehampaan, keadaan isi, media, PH, ruang kosong, zat
warna makanan tambahan, cemaran logam, cemaran As da cemaran mikroba.

Dalam praktikum ini, kami melakukan pengamatan pada keadaan kaleng serta cemaran
mikroba dengan menggunakan Uji Angka Lempeng Total. Pada pengamatan keadaan kaleng,
kaleng pada sampel pertama menunjukkan kaleng berkarat dan labelnya terkelupas pada
bagian bawah, sedangkan pada kaleng sampel kedua menunjukkan baik, tidak menggembung
maupun tidak berkarat dan label tidak cacat. Hal ini menunjukkan bahwa kaleng pada sampel
pertama mengalami kerusakan, sesuai dengan pendapat Mayasari (2013) kerusakan pada
produk kaleng terutama adalah kerusakan kimia yaitu perkaratan (korosi) adalah
pembentukan lapisan longgar dari peroksida yang berwarna merah coklat sebagai hasil proses
korosi produk pada permukaan dalam kaleng. Pembentukan karat memerlukan banyak
oksigen, sehingga karat biasanya terjadi pada bagian head space dari kaleng. Perkaratan pada
kemasan kaleng ini dapat menyebabkan terjadinya migrasi Sn ke dalam makanan yang
dikemas.

Pengamatan yang selanjutnya adalah uji cemaran mikroba dengan menggunakan Angka
Lempeng Total pada kedua sampel makanan kaleng tersebut. Setelah di uji ALT kaleng
sampel pertama pada pengenceran 10-1 menujukkan jumlah koloni 13, pengenceran 10-2
menunjukkan jumlah koloni 96, pengenceran 10-3 jumlah koloni 94, pengenceran 10-4 jumlah
koloni 60, pengenceran 10-5 jumlah koloni 95 dan pengenceran 10-6 jumlah koloni 23. Hasil
dari perhitungan analisis menunjukkan bahwa angka koloni total dari kaleng sampel pertama
adalah 9,6 x 104 cfu/g, namun berdasarkan SNI pada BPOM batas maksimum untuk produk
ikan makanan kaleng sebesar < 1 x 10-1 cfu/g. Hal ini menunjukkan bahwa makanan kaleng
sampel pertama tidak layak dikonsumsi karena memiliki nilai ALT diatas maksimum dari
standart yang sudah ditentukan. Menurut Mayasari (2013) Kerusakan pada makanan kaleng
secara mikrobiologis dapat disebabkan oleh meningkatnya resistensi mikroba terhadap panas
setelah proses sterilisasi, rusaknya kaleng setelah proses sterilisasi sehingga memungkinkan
masuknya mikroorganisme ke dalam kaleng. Kerusakan kaleng yang memungkinkan
masuknya mikroorganisma adalah pada bagian sambungan kaleng atau terjadinya gesekan
pada saat proses pengisian (filling). Menurut Afrianti (2013) kerusakan makanan kaleng
ditandai dengan :

1. Flat sour. Dimana isi kaleng menghasilkan rasa asam yang disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme tanpa menghasilkan suatu gas. Kerusakan disebabkan oleh aktivitas
bakteri berspora yang tahan panas dan tidak mati selama proses pemanasan
berlangsung.
2. Swells yaitu terjadinya proses penggelumbungan kaleng akibat terbentuknya gas
dalam kemasan.
3. Hydrogen swells dan springers atau penggelumbungan yang disebabkan oleh gas
hydrogen karena adanya korosi hasil reaksi dengan isi kaleng.
4. Stack burn yaitu kerusakan kaleng akibat penempata dan penumpukan kaleng selama
penyimpanan tidak sempurna.
5. Botulinum, dimana bakteri pembentuk spora akan tumbuh pada makanan yang
termasuk non acid food yang tidak diproses secara sempurna.
Mikroorganisme juga dapat masuk pada saat pengisian apabila kaleng yang digunakan
sudah terkontaminasi terutama jika kaleng tersebut dalam keadaan basah. Kerusakan juga
dapat disebabkan karena kaleng kehilangan kondisi vakumnya sehingga mikroorganisme
dapat tumbuh. Pada kaleng sampel kedua tidak menunjukkan tanda-tanda adanya koloni
bakteri, sehingga makanan kaleng pada sampel kedua masih layak untuk dikonsumsi.
Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional 2007 mikroba yang terdapat pada makanan kaleng
yaitu Clostridium botulinum dan Bacillus. Bakteri yang terdapat pada suatu makanan
bermacam-macam. Umumnya bakteri yang dapat menyebabkan keracunan yaitu Salmonella,
Shigella, Campylobacter, Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolityca, Staphylococcus
aureus, Clostridium perfringens, Clostridium botulinum, Bacillus cereus, Vibrio cholerae.
Vibrio parahaemolyticus, E.coli enteropatogenik dan Enterobacter sakazaki (BPOM RI,
2008).

Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah air,


oksigen, suhu dan nilai pH. Selain itu apabila kondisi penyimpanan mendukung maka bakteri
tersebut akan tumbuh dan berkembang biak dan kelak dapat memproduksi racun (Sri, 2011).
Untuk menghindari adanya pertumbuhan bakteri tersebut maka diperlukan proses untuk
membunuh mikroba secara tepat yaitu proses sterilisasi. Proses sterilisasi ini merupakan
upaya penghancuran mikroba patogen beserta sporanya. Akibat terdapat spora bakteri
tertentu yang tahan terhadap suhu tinggi, sterilisasi harus dilakukan pada suhu 2500F (1210C)
dengan menggunakan uap panas (autoclave) selama 15 menit. Produk selanjutnya ditutup
secara hermetis sehingga tidak memberi kesempatan mikroba masuk kembali (Fardiaz, 1993).

Sterilisasi pada makanan kaleng digunakan untuk memastikan hilangnya Clostridium


botulinum tidak terdapat dalam makanan kaleng. Selain Clostridium botulinum terdapat
mikroba lain yaitu bakteri bersifat mesofilik dan thermofilik. Bakteri mesofilik merupakan
bakteri pembentuk spora yang tumbuh pada rentang suhu 25-45C, Kerusakan yang
diakibatkan oleh adanya bakteri kelompok ini lebih dikarenakan pemanasan yang kurang
sempurna atau tidak cukup sehingga ada spora bakteri yang dapat bertahan pada suhu
tersebut dapat berkecambah dan tumbuh. Bakteri thermofilik Bakteri ini merupakan bakteri
pembentuk spora yang tahan panas. Perkecambahan sporanya terjadi pada suhu > 43C dan
tumbuh baik pada suhu >30C (Ray, 2004).

H.DISKUSI

1. Adakah perbedaan antara jumlah total koloni bakteri dalam makanan kaleng
yang masih layak untuk dikonsumsi dan yang tidak layak untuk dikonsumsi?
Jelaskan mengapa terdapat perbedaan tersebut!
Ada, pada makanan kaleng yang masih layak untuk dikonsumsi tidak ada sedikit
tanda-tanda terdapat koloni bakteri sedangkan pada makanan kaleng yang sudah tidak
layak terdapat banyak sekali koloni bakteri. Hal ini dapat disebabkan oleh
meningkatnya resistensi mikroba terhadap panas setelah proses sterilisasi, rusaknya
kaleng setelah proses sterilisasi sehingga memungkinkan masuknya mikroorganisme
ke dalam kaleng. Kerusakan kaleng yang memungkinkan masuknya mikroorganisma
adalah pada bagian sambungan kaleng atau terjadinya gesekan pada saat proses
pengisian (filling). Mikroorganisme juga dapat masuk pada saat pengisian apabila
kaleng yang digunakan sudah terkontaminasi terutama jika kaleng tersebut dalam
keadaan basah. Kerusakan juga dapat disebabkan karena kaleng kehilangan kondisi
vakumnya sehingga mikroorganisme dapat tumbuh
2. Adakah perbedaan antara kualitas mikrobiologi makanan dalam kaleng yang
masih layak untuk dikonsumsi dan yang tidak layak untuk dikonsumsi
berdasarkan angka lempeng total koloni bakteri? Jelaskan mengapa terdapat
perbedaa tersebut!
Ada, pada makanan dalam kaleng yang masih layak dikonsumsi tidak ditemukan
adanya mikroba pada saat dilakukan pengujian, sedangkan pada makanan dalam
kaleng yang tidak layak dikonsumsi dari perhitungan analisis menunjukkan bahwa
angka koloni total dari kaleng yang kadaluarsa adalah 9,6 x 104 cfu/g, namun
berdasarkan SNI pada BPOM batas maksimum untuk produk ikan makanan kaleng
sebesar < 1 x 10-1 cfu/g. Hal ini menunjukkan bahwa makanan kaleng sampel
pertama tidak layak dikonsumsi karena memiliki nilai ALT diatas maksimum dari
standart yang sudah ditentukan. Perbedaan tersebut dikarenakan pada makanan kaleng
yang kadaluarsa terdapat mikroorganisme yang hidup akibat terjadi kerusakan kaleng.

3. Faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi pertumbuhan bakteri dalam


makanan kaleng? Jelaskan!
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yaitu :
a. Air. Semua organisme membutuhkan air untuk kehidupannya. Pengaruh air
terhadap pertumbuhan mikroorganisme dinyatakan sebagai aktivitas air (Aw),
yaitu jumlah air bebas yang tersedia dan dapat digunakan untuk pertumbuhan
mikroorganisme dalam bahan makanan. Jenis mikroorganisme yang berbeda
membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya.
b. Oksigen, beberapa mikroorganisme memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya,
yang disebut mikroorganisme aerobik. Contoh mikroorganisme aerobik adalah
kapang. Dan untuk beberapa mikroorganisme lainnya, oksigen bersifat racun.
Mikroorganisme ini dinamakan anaerob, seperti Clostridium botulinum.
Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kondisi tanpa dan dengan
adanya oksigen. Kelompok ini disebut fakultatif anaerobik, contohnya Bacillus,
kebanyakan khamir dan bakteri lainnya.
c. Suhu, Berdasarkan suhu optimum pertumbuhannya, mikroorganisme dapat
dibedakan atas tiga grup, yaitu:
Psikrotropik: suhu optimum 14-20oC, tetapi dapat tumbuh lambat pada suhu
refrigerator (4oC).
Mesofilik: suhu optimum 30-37oC. Suhu ini merupakan suhu normal gudang.
Termofilik: suhu optimum kebanyakan termofilik pada suhu 45-60oC. Jika
spora bakteri tidak dapat bergerminasi dan tidak tumbuh di bawah suhu 50oC,
bakteri tersebut disebut obligat termofil. Jika tumbuh pada kisaran suhu 50-
66oC atau pada suhu yang lebih rendah (38oC), bakteri ini disebut fakultatif
termofilik. Beberapa obligat termofil dapat tumbuh pada suhu 77oC dan
bakteri ini sangat resisten terhadap pemanasan (121oC selama 60 menit).
Bakteri termofilik tidak memproduksi toksin selama pertumbuhannya pada
makanan.
d. Nilai pH. Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH dimana pertumbuhan
masih memungkinkan dan masing-masing biasanya mempunyai pH optimum
kebanyakan organisme tumbuh pada pH sekitar 7.0 (6.6-7.5), dan hanya beberapa
yang dapat tumbuh di bawah pH 4.0. Bakteri mempunyai kisaran pH pertumbuhan
lebih sempit dibandingkan dengan kapang dan khamir. Sebagai contoh,
kebanyakan bakteri tidak dapat tumbuh pada pH di bawah 4.0 dan di atas 8.0,
sedangkan kapang mempunyai kisaran pH pertumbuhan 1.5-11.0, khamir
mempunyai kisaran pH pertumbuhan 1.5-8.5. Oleh karena itu, makanan yang
mempunyai pH lebih rendah akan semakin awet karena semakin sedikit jenis
mikroorganisme yang dapat tumbuh.
I.Kesimpulan
1.
jumlah koloni bakteri pada makanan yang tidak layak di konsumsi pada pengenceran
10-1 sebesar 13 ,10-2 sebesar 96, 10-3 sebesar 94,10-4 sebesar 60,10-5 sebesar 95, dan
pada 10-6 sebesar 23, sedangkan pada makanan kaleng yang masih layak dikonsumsi
tidak ditemukan tanda-tanda koloni bakteri
2. Berdasarkan SNI batas maksimum untuk produk ikan makanan kaleng sebesar < 1 x
10-1 cfu/g, sehingga makanan kaleng dari hasil perhitungan ALT tidak layak di
konsumsi karena memiliki nilai lebih dari batas maksimum yaitu 9,6 x 104,
Daftar Rujukan

Afrianti, Leni. H. (2013). Teknologi Pengawetan Pangan. Bandung : Penerbit Alfabeta

BPOM. (2008). Pengujian Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Pusat Pengujian Obat Dan
Makanan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik Indonesia.

Fadli, Wan Khairul. 2011. Manajemen proses pada pengalengan ikan lemuru (Sardinella
Longiceps) di PT. Pasific Harvest Banyuwangi Jawa Timur. Sidoarjo : Akademi
Perikanan

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Frazier, W.C. and Westhoff ,D.C. 1988. Food Microbioloy, 4ed. Singapore : McGraw-Hill,
Inc.

Jay, J.M. 2000. Modern Food Microbiology, 6ed. Maryland : Aspen Publishers Inc.,
Gaithernburg.

Mayasari, Lina Dwi. 2013. pengaruh hasil tangkapan ikan lemuru terhadap produksi
pengalengan ikan PT. Maya Muncar Banyuwangi. Surabaya: Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Surabaya

Ray, B. 2004. Fundamental Food Microbiology, 3 ed. Whasington DC : CRC Press.

Saidah, Zumi. 2005. Kajian ekuitas marek ikan kaleng dan implikasinya terhadap Bauran
(studi kasus di kota Bogor). Bogor: IPB

Sri. 2011. Mikrobiologi Pangan. (Online) (http://www.srimutiar89-makanan.com/) diakses


15 Oktober 2017.

Supardi I., dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan.
Bandung : Penerbit Alumni.
Lampiran

Kemasan Makanan kaleng yang kadaluarsa Kemasan Makanan kaleng yang tidak kadaluarsa

Kondisi Makanan kaleng yang kadaluarsa Kondisi Makanan kaleng yang tidak kadaluarsa

Pengamatan makanan kadaluarsa pada berbagai tingkat pengenceran

Koloni Bakteri pengenceran 10-1 Koloni Bakteri pengenceran 10-2


Koloni Bakteri pengenceran 10-3 Koloni Bakteri pengenceran 10-4

Koloni Bakteri pengenceran 10-5 Koloni Bakteri pengenceran 10-6

Pengamatan makanan tidak kadaluarsa pada berbagai tingkat pengenceran

Koloni Bakteri pengenceran 10-1 Koloni Bakteri pengenceran 10-2


Koloni Bakteri pengenceran 10-3 Koloni Bakteri pengenceran 10-4

Koloni Bakteri pengenceran 10-5 Koloni Bakteri pengenceran 10-6

Anda mungkin juga menyukai