Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Epidemi human immune deficiency virus/acquired immune deficiency
syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
utama di dunia. Di tingkat global, AIDS menempati ranking keempat diantara
penyakit-penyakit utama penyebab kematian 1. Indonesia merupakan salah
satu negara yang mengalami peningkatan epidemi HIV/AIDS paling pesat di
dunia. Kasus HIV/AIDS pada tahun 2003 meningkat sebesar 2 kali lipat
dibandingkan dengan jumlah kasus pada awal tahun 1990an, dengan
perkiraan jumlah kasus HIV/AIDS antara 165.000 216.000.
Mathers and Loncar (2006) menyatakan bahwa berdasarkan proyeksi
penyebab kematian penduduk dunia tahun 2030, secara umum kematian
akibat penyakit menular semakin menurun, tetapi kematian karena
HIV/AIDS terus meningkat. Seberapa besar peningkatannya, sangat
tergantung pada seberapa besar akses masyarakat terhadap obat antivirus dan
seberapa besar peningkatan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS yang
dilakukan. Strategi pencegahan HIV/AIDS yang efektif bisa dilakukan
apabila factor risiko utama penularan HIV/AIDS telah diidentifikasi dengan
baik.
Faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS sangat banyak, tetapi yang
paling utama adalah faktor perilaku seksual. Faktor lain adalah penularan
secara parenteral dan riwayat penyakit infeksi menular seksual yang pernah
diderita sebelumnya. Perilaku seksual yang berisiko merupakan faktor utama
yang berkaitan dengan penularan HIV/AIDS. Partner seks yang banyak dan
tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang berisiko
merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS. Padahal, pemakaian
kondom merupakan cara pencegahan penularan HIV/AIDS yang efektif. Seks
anal juga merupakan factor perilaku seksual yang memudahkan penularan
HIV/AIDS. Pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara
suntik/injeksi atau injecting drug users (IDU) merupakan faktor utama
penularan HIV/AIDS, termasuk di Indonesia.
Purwokerto memiliki jumlah penderita HIV/AIDS kedua terbanyak di
Jawa Tengah. Sampai akhir tahun 2006, ditemukan 150 kasus HIV/AIDS
dengan penderita utama adalah heteroseksual dan IDU. Dari sisi jenis
kelamin, penderita laki-laki lebih banyak daripada wanita. Sampai saat ini,
masih belum ada data mengenai faktor risiko utama yang berhubungan
dengan penularan HIV/AIDS. Data mengenai kelompok laki laki dengan
orientasi seksual heteroseksual ataukah homoseksual yang lebih berisiko
terhadap penularan HIV/AIDS dan factor risiko utama penularan HIV/AIDS
di Purwokerto masih belum tersedia. Penemuan kasus yang lebih banyak
pada heteroseksual pada homoseksual juga belum menunjukkan keadaan
sesungguhnya di masyarakat, mengingat pemeriksaan dilakukan hanya
terhadap individu yang secara sukarela datang ke klinik VCT (Voluntary
Counselling and Test) di Rumah Sakit (RS) Banyumas maupun RS Margono
Soekarjo Purwokerto. Untuk mendapatkan data tentang kelompok
masyarakat yang paling berisiko dan faktor risiko apa saja yang berkaitan
dengan penularan HIV/AIDS di Purwokerto, perlu dilakukan penelitian yang
berbasis pada masyarakat, bukan berbasis pada rumah sakit. Dengan
demikian, dapat dilakukan langkah langkah strategis yang lebih tepat untuk
pengendalian penularan HIV/AIDS. Oleh Karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS pada laki-laki
dengan orientasi seks heteroseksual dan homoseksual di Purwokerto.
1.2. Rumusan Masalah
Factor factor risiko penularan HIV/AIDS pada laki laki dengan orientasi
seks heteroseksual dan homoseksual di Purwokerto ?
1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui factor factor risiko penularan terhadap kejadian
HIV/AIDS pada laki laki dengan orientasi seks heteroseksual dan
homoseksual di Purwokerto
b. Tujuan Khusus
1) Menganalisa factor factor yang berpengaruh terhadap penularan
kejadian HIV/AIDS di Purwokerto berdasarkan perilaku, transfuse
darah, pemakaian narkotika dan obat obatan terlarang ( narkoba )
secara suntik, infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui
hubungan seksual yang pernah diderita responden
2) Menganalisa factor risiko kejadian HIV/AIDS berdasarkan 4W + 1H
3) Mengidentifikasi factor risiko kejadian HIV/AIDS berdasarkan Host,
Agent, dan Environment
4) Mengidentifikasi factor risiko kejadian HIV/AIDS berdasarkan
Orang, Tempat, dan Waktu
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi HIV/AIDS

HIV adalah singkatan dari Human Immunodefisiency Virus yaitu virus yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia yang membuat tubuh rentan
terhadap berbagai penyakit.

Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS ) adalah suatu penyakit


retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan immunosupresi berat
yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi
neurologis. ( Vinay Kumar, 2007 ). HIV telah ditetapkan debagai agens penyakit
Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS ). AIDS adalah suatu kumpulan
kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV. ( Sylvia
Anderson Price, 2006 ). Definisi AIDS yang ditetapkan oleh pusat pengendali
penyakit, telah berubah beberapa waktu sejak gejalapertama ditemukan pada
tahun 1981. Secara umum definisi ini menyusun suatu titik dalam kontimum
penyimpangan HIV dimana penjamu telah menunjukan secara klinis disfungsi
imun. Jumlah besar infeksi oportunistik dan neoplasma merupakan tanda supresi
imun berat sejak tahun 1993. Definisi AIDS telah meliputi jumlah CD4 kurang
dari 200 sebagai criteria ambang batas. Sel CD4 adalah bagian dari limposit dan
suatu target dari infeksi HIV.
2.2. Etiologi HIV/AIDS

HIV merupakan jenis virus yang dapat menyebabkan defisiensi kekebalan


pada manusia. Seperti halnya virus-virus lain, HIV juga hanya dapat hidup dengan
menempel pada sel inang. Infeksi virus HIV akan berlanjut pada serangan
penyakit AIDS. Penyakit AIDS merupakan penyakit yang disebabkan sindrom
penurunan sistem kekebalan tubuh. Menurunnya sistem imun atau kekebalan
tubuh akan membuat penderita lebih mudah terinfeksi penyakit lain, dikenal
sebagai infeksi oportunistis. Infeksi oportunistik akan semakin parah, bahkan bisa
menyebabkan kematian.
Berdasarkan gejala yang ditunjukkan, terdapat dua kategori penderita AIDS,
yaitu penderita AIDS positif dan negatif. Penderita AIDS positif adalah orang
yang terinfeksi virus HIV dan sudah menunjukkan gejala infeksi oportunistik.
Sedangkan penderita AIDS negatif adalah orang yang terinfeksi virus HIV tetapi
belum menunjukkan gejala infeksi oportunistik.

AIDS merupakan penyakit yang sangat ditakuti karena belum ada yang
mampu disembuhkan. Dengan kata lain, penyakit ini memiliki tingkat kematian
hingga 100%.

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis retrovirus RNA. Dalam


bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit
T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam
sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat
tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap dengan infectious yang setiap saat
dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti 9 (core)
dan bagian selubung ( envelop ). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua
untaian RNA ( Ribonucleic Acid ). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis
protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein ( gp 14 dan gp 120 ).
Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit ( T4 ) yang rentan. Karena bagian
luar virus ( lemak ) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus
sensistif terhadap pengaruh ingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan
mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alcohol,
iodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relative resisten terhadap radiasi dan
sinar ultraviolet.

Virus HIV di dalam darah, saliva, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak
( siregar, 2008 ).
2.3. Cara Penularan HIV/AIDS

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, velikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar dan tempat masuk kuman ( portd entre ).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel
otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati di luar
tubuh. Sebagai velikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan
menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh tubuh. Cairan tubuh
yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau serviks dan darah
penderita.

Banyak cara diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini
cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat
ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko
penularan HIV tergantung pada penelitian pasangan seks, jumlah pasangan
seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow ( 1985 ) ditemukan
resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang
sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok
manusia berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
1) Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas


homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20 40 tahun dari semua
golongan usia.

Cara berhubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan


resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan
dengan makosarektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami
perlukaanpada saat berhubungan secara anogental.

2) Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan


heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalahkelompok
umuur seksual aktif baik pria maupun wanitayang mempunyai banyak
pasangan dan berganti ganti.

b. Transmisi Non Seksual


1) Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya ( alat
tindik ) yang terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkoti
suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama
sama. Disamping dapat juga melalui jarum suntik yang dipakai oleh
petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara
transmisi parental ini kurang dari 1 %.
2) Produk Darah
Transmisi melalui trasnfusi atau produk darah terjadi di Negara
Negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melaui
jalur ini di Negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa
sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi HIV lewat transfuse
adalah lebih dari 90 %.
c. Trasnmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mangandung HIV posistif ke anak mempunyai
resiko sebesar 90 %. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan
resiko rendah ( Siregar, 2008 ).
2.4. Pathogenesis HIV/AIDS

Dasar utama pathogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T


helper/induser yang mengandung marker CD 4 ( sel T 4 ). Limfosit T 4
merupakan pusat dan sel utama yang terlihat secara langsung maupun tidak
langsung dalam menginduksi fungsi fungsi imunologik. Menurun atau
hilangnya system imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi
sel yang berperan membentuk zat antibody pada system kekebalan tersebut, yaitu
sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk ke
dalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzyme reverse
transcriptase ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetic
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversible dan berlangsung seumur
hidup.

Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi ( penggandaan ), sehingga
ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat
laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit
T4. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada
penderita akan terihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.
Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala gejala penyakit ( masa
inkubasi ) adalah 6 bulan pada orang dewasa sampai lebih dari 10 tahun, rata
rata 21 bulan pada anak anak dan 60 bulan pada orang dewasa. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan
menunjukkan gejala gejala AIDS. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV
tidak dapat terdeteksi dengan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular
virus HIV yang dikenal sebagai masa windows period .

Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarcoma
Kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel sel syaraf,
menyebabkan kerusakan neurologis ( Faizah A. Siregar, 2008 ).
2.5. Patofisiologi HIV/AIDS

HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat ( RNA ) dan bukan dalam deoksiribonukeat ( DNA ). Virion HIV
(partikel virus yang lengkap dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung
RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung di mana p24 merupakan
komponen structural yang utama. Tombol ( knob ) yang menonjol lewat dinding
virus terdiri atas protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara
selektif berikatan dengan sel sel CD4 positif adalah gp120 dari HIV.

Sel CD 4 positif mencakup monosit, makropag dan limfosit T4 helper


(dinamakan sel sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV). Limfosit T4
helper ini merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah
terikat dengan membrane sel T4 helper, dengan menggunakan enzim yang dikenal
sebagai reverse transcriptase HIV akan melakukan pemrograman ulang materi
genetic dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double stranded DNA ( DNA
utau ganda ). DNA ini akan disatukan ke dalam nucleus sel T4 sebagai sebuah
provirus dan kemudian infeksi yang permanen.

Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitogen ( TNF alfa atau interleukin I ) atau produk gen virus seperti : CMV
(cytomegalovirus), virus Epstein Barr, herpes simplek dan hepatitis. Sebagai
akibatnya pada sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan
tunas HIV akan terjadi dan sel T4 dihancurkan. HIV yang baru ini kemudian
dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi CD4+ lainnya. Kalau fungsi
limfosit T4 terganggu mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan
penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit
yang serius. Infeksi dan malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan
system imun dinamakan infeksi oportunistik. ( Brunner & Suddar, 2002 ). Infeksi
monosit dan makrofag berlangsung secara persisten dan tidak mengakibatkan
kematian sel yang bermakna, tetapi sel sel ini menjadi reservoir bagi HIV
sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari system imun dan terangkut ke
seluruh tubuh lewat system ini untuk menginfeksi berbagai jaringan tubuh.

Tabel 2.1

Klasifikasi klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO

Stadium Gambaran Klinis Skala Aktivitas


I 1. Asimptomatik Asimptomatik, aktifitas
2. Limfadenopati generalisata normal
II 1. Berat badan menurun < 10 % Simptomatik, aktifitas
2. Kelainan kulit dan mukosa normal
yang ringan seperti, dermatitis
seboroik, prurigo, onimikosis,
ulkusoral yang rekuren,
kheilitis angularis
3. Herpes zoster dalam 5 tahun
4. Infeksi salurannapas bagian atas
seperti, sinusitis bakterialis
III 1. Berat badan menurun < 10 % Pada umumnya lemah,
2. Diare kronis yang berlangsung aktivitas ditempat tidur
lebih dari 1 bulan kurang dari 50 %
3. Demam berkepanjangan lebih
dari 1 bulan
4. Kandidiasis orofaringeal
5. Oral hairy leukoplakia
6. TB paru dalam tahun terakhir
7. Infeksi bacterial yang berat
seperti pneumonia, piomositis
IV 1. HIV wasting syndrome seperti Pada umumya sangat
yang didefinisikan oleh CDC lemah, aktivitas
2. Pneumonia Pneumocystis ditempat tidur lebih dari
carinii 50 %
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare kriptosporidiosis lebih
dari 1 bulan
5. Kriptokokosis ekstrapulmonal
6. Reinitis virus situmegalo
7. Herpes simpleks mukokutan >
1 bulan
8. Leukoensefalopati multifocal
progresif
9. Mikosis diseminata seperti
histoplasmosis
10. Kandidiasis di esophagus, trake,
bronkus, dan paru
11. Mikobakterisosi atipikal
diseminata
12. Septisemia salmonelosis non
tifoid
13. Tuberculosis diluar paru
14. Limfoma
15. Sarcoma Kaposi
16. Ensefalopati HIV

2.6. Manifestasi klinis HIV/AIDS

Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Rasa lelah dan lesu


b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit

Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu :

a. Manifestasi tumor
1) Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
2) Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1) Manifestasi pada paru
a) Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit
bernafas dalam dan demam.
b) Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
c) Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d) Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
2) Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan > 10% per
bulan.
c. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
2.7. Kebijakan dan Upaya Penanggulangan

Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang.


System imunitas menurun secara progresif sehingga muncul infeksi infeksi
opportunistic yang dapat muncul secara bersamaan pula dan berakhir pada
kematian. Sementara itu hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin
yang efektif. Pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok :
a. Pengobatan suportif
Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.
Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat sintomatik,
vitamin dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas
seperti semua/seoptimal mungkin.
b. Pengobatan infeksi oprtunistik
yaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan
secara empiris.
c. Pengobatan antiretroviral
Saat ini ditemukan beberapa obat antiretroviral ( ARV ) yang dapat
menghambat perkembangan HIV. ARV bekerja langsung menghambat
enzim reverse transcriptase atau penghambat kerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup,
menjadikan infeksi oportunistik menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih
mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi
ARV belum dapat menyembuhkan atau membunuh virus. Kendala dalam
pemberian ARV antara lain kesukaran ODHA untuk minum obat secara
teratur, adanya efek samping obat, harga yang relative mahal dan timbulnya
resistensi HIV terhadap obat ARV.

Karena belum ditemukan obat yang efektif maka pencegahan penularan


menjadi sangat penting. Dalam hal ini pendidikan kesehatan dan peningkatan
pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya
sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang terutama mengenai fakta
penyebaran penyakit pada kelompok risiko rendah bukan hanya pada kelompok
yang berisiko tinggi dan perilaku yang dapat membantu mencegah penularan HIV.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Data yang di peroleh berdasarkan Jurnal


1. Penelitian menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross-
sectional study). Populasi penelitian ini adalah semua laki-laki
homoseksual dan laki-laki heteroseksual di Purwokerto yang berusia
minimal 17 tahun. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan
metode snowballing sampling. Sampel atau responden untuk kelompok
homoseksual adalah semua laki-laki homoseksual yang diketahui
melalui contact person kelompok gay di kota Purwokerto, yang bersedia
dijadikan responden penelitian, yang dibuktikan dengan penanda
tanganan informed consent. Kelompok heteroseksual dipilih secara acak
dari teman-teman responden homoseksual yang bersedia menjadi
responden dengan menandatangani informed consent.
2. Variabel bebas penelitian adalah laki - laki dengan orientasi seks
homoseksual dan heteroseksual. Variabel terikat penelitian adalah
faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS. Faktor-faktor risiko yang
diteliti terdiri dari :
a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap
penularan HIV/AIDS, yang meliputi partner hubungan seks lebih
dari 1, seks anal, pemakaian kondom.
b. Faktor risiko parenteral, yaitu factor risiko penularan HIV/AIDS
yang berkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui
pembuluh darah vena. Faktor ini meliputi riwayat transfusi darah,
pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara
suntik (injecting drug users).
c. Faktor risiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit
infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual
yang pernah diderita responden, seperti sifilis, condiloma acuminata,
dan gonorrhoea.
3. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan format
campuran, sebagian berupa pertanyaan terbuka, sebagian tertutup.
Pengambilan data factor - faktor risiko penularan HIV/AIDS maupun
orientasi seks dilakukan dengan cara meminta responden mengisi
kuesioner yang telah dipersiapkan.
4. Dari penelitian yang dilakukan dari awal bulan Mei sampai awal
September 2007, diperoleh 107 responden, 50 laki-laki homoseksual dan
57 laki-laki heteroseksual.
3.2. Analisis Penyakit HIV/AIDS berdasarkan 4W + 1H
1. WHAT
HIV adalah singkatan dari Human Immunodefisiency Virus yaitu
virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia yang membuat
tubuh rentan terhadap berbagai penyakit yang bisa disebabkan oleh
factor perilaku seksual dan riwayat penyakit infeksi bakteri atau virus
yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita
responden, seperti sifilis, condiloma acuminata, dan gonorrhoea.
Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS ) adalah suatu
penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan
immunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis. ( Vinay Kumar, 2007 ).
2. WHEN
Purwokerto memiliki jumlah penderita HIV/AIDS kedua terbanyak di
Jawa Tengah. Sampai akhir tahun 2006, ditemukan 150 kasus
HIV/AIDS dengan penderita utama adalah heteroseksual dan IDU.
Penelitian dilakukan dari awal bulan Mei sampai awal bulan September
2007.
3. WHERE
Lokasi penelitian/kejadian di kota Purwokerto
4. WHO
Populasi penelitian ini adalah semua laki-laki homoseksual dan
laki-laki heteroseksual di Purwokerto yang berusia minimal 17 tahun.
Dengan 107 responden, 50 laki-laki homoseksual dan 57 laki-laki
heteroseksual. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode
snowballing sampling. Sampel atau responden untuk kelompok
homoseksual adalah semua laki-laki homoseksual yang diketahui
melalui contact person kelompok gay di kota Purwokerto, yang bersedia
dijadikan responden penelitian, yang dibuktikan dengan penanda
tanganan informed consent. Kelompok heteroseksual dipilih secara acak
dari teman-teman responden homoseksual yang bersedia menjadi
responden dengan menandatangani informed consent.
5. HOW
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari
sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi
(penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam
tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau
merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah beberapa
bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan
terihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa
antara terinfeksinya HIV denngan timbulnya gejala gejala penyakit
(masa inkubasi) adalah 6 bulan pada orang dewasa sampai lebih dari 10
tahun, rata rata 21 bulan pada anak anak dan 60 bulan pada orang
dewasa. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala gejala AIDS.
Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi
dengan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenal sebagai masa windows period .
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak
yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya
mudah terkena penyakit penyakit lain seperti penyakit infeksi yang
disebabkan bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit kanker seperti sarcoma Kaposi. HIV mungkin juga secara
langsung menginfeksi sel sel syaraf, menyebabkan kerusakan
neurologis.
3.3. Analisa penyakit HIV/AIDS berdasarkan Host, Agent, Environment
1. Host
Factor risiko yang dapat mempengaruhi penularan penyakit HIV/AIDS
adalah perilaku hubungan seksual yang meliputi partner hubungan seks
lebih dari satu, seks anal, pemakaian kondom, transfusi darah,
pemakaian obat obatan terlarang secara suntik dan riwayat penyakit
infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang
pernah diderita responden. Perilaku hubungan seksual sangat
berpengaruh terhadap penularan penyakit HIV/AIDS.

Tabel 3.1
Karakteristik responden berdasarkan riwayat melakukan
hubungan seksual
No. Hubungan Seks Homoseksual Heteroseksual
1. Ya 50 ( 100,0 % ) 40 ( 70,2 % )
2. Tidak 0 ( 00,0 % ) 17 ( 29,8 % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 41 ( 100 % )

Pada table 3.1 Berdasarkan informasi yang didapat dari responden,


semua (100%) responden laki-laki homoseksual pernah melakukan
hubungan seks, sedangkan pada responden laki-laki heteroseksual, 40
orang (70,2%) menyatakan pernah melakukan hubungan seksual,
sedangkan 17 orang (29,8%) menyatakan belum pernah melakukan
hubungan seksual

Tabel 3.2
Riwayat partner hubungan seks lebih dari satu
No. Partner > 1 Homoseksual Heteroseksual
1. Ya 36 ( 72,0 % ) 13 ( 31,7 % )
2. Tidak 14 ( 28,0 % ) 28 ( 68,3 % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 41 ( 100 % )
2
X = 14,716, P = 0,000
Tabel 3.3
Jumlah partner seksual
No. Jumlah Partner Homoseksual Heteroseksual
1. Jumlah partner seks 1 0
minimal
2. Jumlah partner seks 50 10
maksimal
3. Rata rata jumlah partner 67 12
4. Modus jumlah partner 1 1
t = 3,581, P = 0,000, 95 % CI 2,576 8,980

Dari Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa diantara responden yang


pernah melakukan hubungan seksual, sebagian besar laki-laki
homoseksual memiliki partner hubungan seks lebih dari satu orang, yaitu
72,0% memiliki lebih dari 1 partner. Pada kelompok laki-laki
heteroseksual, sebagian besar (68,3%) hanya memiliki satu orang partner
hubungan seksual. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan
bermakna dalam perilaku berganti-ganti pasangan antara kelompok laki-
laki homoseksual dengan kelompok laki-laki heteroseksual (X2=14,716;
P=0,000). Lelaki homoseksual lebih cenderung melakukan hubungan seks
berganti-ganti pasangan. Meskipun demikian, persentase berganti ganti
pasangan hubungan seks pada kelompok laki-laki heteroseksual yang
cukup besar (37%), tetap perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius,
mengingat faktor ini merupakan faktor risiko utama penularan
HIV/AIDS.
Pada table 3.2 Berdasarkan jumlah partner, kelompok laki-laki
homoseksual memiliki partner seks rata-rata 6-7 orang, sedangkan
kelompok laki-laki heteroseksual rata-rata 1- 2 partner. Jumlah partner
seks maksimal pada kelompok laki-laki homoseksual adalah 50 orang,
sedangkan pada kelompok laki-laki heteroseksual 10 orang.
Hasil analisis dengan uji t menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna dalam rata-rata jumlah partner seks antara kelompok laki-laki
homoseksual dan kelompok laki-laki heteroseksual (p=0,000). Kelompok
laki-laki homoseksual memiliki rata-rata jumlah partner yang lebih
banyak daripada kelompok laki-laki heteroseksual. Meskipun demikian,
baik pada kelompok homoseksual maupun kelompok heteroseksual,
modus jumlah partner seksnya adalah 1.

Tabel 3.4
Melakukan seks anal pada saat berhubungan seks
No. Seks Anal Homoseksual Heteroseksual
1. Ya, selalu 3(6%) 3 ( 7,5 % )
2. Ya, sering 3(6%) 0(0%)
3. Ya, kadang kadang 30 ( 60 % ) 7 ( 17,5 % )
4. Tidak pernah 14 ( 28 % ) 30 ( 75 % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 40 ( 100 % )
X2 = 22,279, P = 0,000

Pada table 3.4 menunjukkan bahwa dalam hal aktivitas anal seks,
ternyata kelompok laki-laki homoseksual sebagian besar melakukan
aktivitas seks anal, yaitu sebesar 60% meskipun itu kadang kadang.
Pada kelompok laki-laki heteroseksual, sebagian besar tidak pernah
melakukan aktivitas anal seks, yaitu sebesar 75%. Yang menarik adalah
jumlah responden yang menyatakan selalu melakukan aktivitas seks anal
setiap kali berhubungan seksual pada kelompok laki-laki homoseksual
maupun heteroseksual sama besar, yaitu 3 orang, dengan persentase yang
hampir sama, yaitu sekitar 6%. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang bemakna dalam aktivitas seks anal antara kelompok laki-
laki homoseksual dengan kelompok laki-laki heteroseksual (X2 = 22,279,
p = 0,000).
Table 3.5
Pemakaian kondom saat melakukan hubungan seksual
No. Seks Anal Homoseksual Heteroseksual
1. Ya, selalu 6 ( 12,0 % ) 8 ( 20,0 % )
2. Ya, sering 4 ( 8,0 % ) 5 ( 12,5 % )
3. Ya, kadang kadang 25 ( 50,0 % ) 16 ( 40,0 % )
4. Tidak pernah 15 ( 30 % ) 11 ( 27,5 % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 40 ( 100 % )
X2 = 1,900, P = 0,593

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa hanya 12,0% pada kelompok


laki-laki homoseksual dan 20,0% pada kelompok laki-laki heteroseksual
yang selalu menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan
seksual. Rendahnya angka pemakaian kondom meningkatkan risiko
penularan HIV/AIDS pada kedua kelompok. Hasil analisis menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dalam pemakaian kondom
saat melakukan hubungan seksual antara kelompok laki-laki homoseksual
dan heteroseksual (X2 = 1,900, p = 0,593). Hal ini menunjukkan bahwa
kedua kelompok memiliki risiko yang sama besar untuk tertular
HIV/AIDS pada saat melakukan hubungan seksual, terutama pada
hubungan seksual yang dilakukan dengan banyak pasangan atau dengan
pekerja seks komersial.

Tabel 3.6
Riwayat mendapatkan transfuse darah

No. Transfusi Darah Homoseksual Heteroseksual


1. Ya 1 ( 2,0 %) 4 ( 7,0 % )
2. Tidak 49 (98,0 % ) 53 ( 93, % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 57 ( 100 % )
2
X = 15,505, P = 0,220
Dari 107 responden, hanya 5 (4,7%) yang pernah mendapatkan
transfusi darah. Jumlah responden kelompok lakilaki heteroseksual yang
pernah mendapatkan transfusi darah lebih banyak, yaitu 4 orang (7% dari
total responden heteroseksual). Tidak ada satu respondenpun yang
menderita penyakit yang memerlukan transfusi darah secara rutin. Secara
statistik, tidak ada perbedaan yang bermakna dalam riwayat transfusi
darah pada kedua kelompok (X2 = 1,505, p = 0,220). Dengan demikian,
risiko tertular virus HIV/AIDS melalui transfusi darah pada kedua
kelompok sama besar.
Seluruh responden penelitian menyangkal menggunakan narkotika
dan obat-obatan terlarang secara suntik/injeksi.

Tabel 3.7
Riwayat menderita infeksi menular seksual ( IMS )
No. Riwayat IMS Homoseksual Heteroseksual
1. Ya 3 ( 6 %) 3 ( 5,3 % )
2. Tidak 47 (94, % ) 54 ( 94,7, % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 57 ( 100 % )
2
X = 0,027, P = 0,869

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 107 responden, hanya 6


orang (5,6%) yang menyatakan pernah menderita infeksi menular seksual
(IMS). Secara kuantitatif, jumlah responden yang pernah menderita
penyakit IMS pada kedua kelompok sama, yaitu 3 orang. Secara proporsi,
6% pada kelompok laki-laki homoseksual dan 5,3% pada kelompok
heteroseksual pernah menderita IMS. Secara statistic tidak ada perbedaan
risiko penularan HIV/AIDS dalam infeksi menular seksual yang
bermakna antara kedua kelompok, menandakan bahwa risiko penularan
HIV/AIDS melalui IMS pada kedua kelompok sama.
Laki-laki homoseksual ternyata memiliki faktor risiko perilaku
seksual lebih tinggi daripada laki-laki heteroseksual. Hal ini tampak dari
kecenderungannya untuk memiliki lebih banyak partner seks dan
melakukan seks anal. Perilaku pemakaian kondom, terutama pada saat
melakukan hubungan seksual berisiko, pada kedua kelompok tidak
berbeda, meskipun secara persentase lebih tinggi pada laki-laki
heteroseksual. Secara umum, laki-laki homoseksual lebih berisiko tertular
HIV/AIDS melalui berganti-ganti pasangan (memiliki partner seks lebih
dari satu), sedangkan laki-laki heteroseksual cenderung memiliki risiko
penularan HIV/AIDS lebih tinggi melalui hubungan seks berisiko tanpa
memakai kondom.
2. Agent
Virus HIV/AIDS termasuk Netrovirus yang sangat mudah mengalami
mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh
virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah
virus yang ada didalam darahnya semakin tinggi daya penularannya
maka penyakitnya juga semakin parah.
3. Environment
Lingkungan biologis, social, ekonomi dan agama sangat menentukan
penyebaran HIV/AIDS.
3.4. Identifikasi penyakit HIV/AIDS berdasarkan Orang, Tempat, dan
Waktu
1. Orang
Identifikasi factor orang meliputi :
1) Karakteristik responden penelitian berdasarkan Usia
Variable umur yang dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu
usia termuda, usia tertua, usia rata rata dan usia terbanyak
(modus).
Tabel 3.8
Karakteristik responden penelitian berdasarkan usia
No. Karakteristik Usia Homoseksual Heteroseksual
1. Usia Termuda 17 18
2. Usia Tertua 64 38
3. Usia rata rata 25,9 22,58
4. Usia Terbanyak ( modus ) 23 20
Dari Tabel 3.8 diketahui bahwa karakteristik responden laki-laki
homoseksual dan laki-laki heteroseksual tidak terlalu berbeda.
Meskipun usia tertua pada laki-laki homoseksual jauh lebih tinggi
dari kelompok heteroseksual, tetapi jumlahnya hanya 1 responden.
Usia tertua sesudah responden tersebut adalah 39 tahun, tidak jauh
berbeda dengan usia tertua kelompok laki-laki heteroseksual, 38
tahun.
2) Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan
Variable jenis pekerjaan dikelompokkan menjadi beberapa kategori
yaitu mulai dari mahasiswa, swasta, wiraswasta, pelajar, petani,
buruh, pedagang, dan tidak menjawab.

Tabel 3.9
Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan
No. Jenis Pekerjaan Homoseksual Heteroseksual
1. Mahasiswa 14 ( 28 % ) 28 ( 49,1 % )
2. Swasta 22 ( 44 % ) 17 ( 29,8 % )
3. Wiraswasta 6 ( 12 % ) 2 ( 3,5 % )
4. Pelajar 5 ( 10 % ) 1 ( 1,8 % )
5. Petani 1(2%) 0
6. Buruh 0 5 ( 8,8 % )
7. Pedagang 0 1 ( 1,8 % )
8. Tidak menjawab 1(2%) 3 ( 5, 3 % )
Jumlah 50 ( 100 % ) 57 ( 100 % )

Dari tabel 3.9 diketahui bahwa Responden laki-laki homoseksual


maupun heteroseksual memiliki jenis pekerjaan beragam, tetapi
sebagian besar bekerja sebagai karyawan swasta dan mahasiswa.

2. Tempat
Lokasi penelitian/kejadian di kota Purwokerto
3. Waktu
Sampai akhir tahun 2006, ditemukan 150 kasus HIV/AIDS dengan
penderita utama adalah heteroseksual dan IDU. Penelitian dilakukan dari
awal bulan Mei sampai awal bulan September 2007.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. HIV adalah singkatan dari Human Immunodefisiency Virus yaitu virus
yang menyerang system kekebaan tubuh manusia yang membuat tubuh
rentan terhadap berbagai penyakit yang bisa disebabkan oleh factor
perilaku seksual dan riwayat penyakit infeksi bakteri atau virus yang
ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita responden,
seperti sifilis, condiloma acuminata, dan gonorrhoea.
Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS ) adalah suatu
penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan
immunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma
sekunder dan manifestasi neurologis. ( Vinay Kumar, 2007 ).
2. Penelitian menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross-
sectional study). Populasi penelitian ini adalah semua laki-laki
homoseksual dan laki-laki heteroseksual di Purwokerto yang berusia
minimal 17 tahun. Sampel atau responden untuk kelompok homoseksual
adalah semua laki-laki homoseksual yang diketahui melalui contact person
kelompok gay di kota Purwokert. Kelompok heteroseksual dipilih secara
acak dari teman-teman responden homoseksual yang bersedia menjadi
responden dengan menandatangani informed consent. Dari penelitian yang
dilakukan dari awal bulan Mei sampai awal September 2007 diperoleh 107
responden, 50 laki-laki homoseksual dan 57 laki-laki heteroseksual.
3. Laki-laki homoseksual memiliki risiko tertular HIV/AIDS lebih besar
daripada laki laki heteroseksual, khususnya melalui perilaku seksual
berisiko, yaitu hubungan seks dengan lebih dari satu partner dan seks anal.
4.2. Saran
Mengingat faktor risiko yang lebih besar pada kelompok homoseksual,
sedangkan penemuan kasus pada kelompok ini masih rendah, perlu
dilakukan upaya upaya pencegahan kasus HIV/AIDS pada kelompok ini
secara intensif melalui kelompok kelompok gay yang ada di Purwokerto.
TUGAS PRAKTIKUM EPIDEMOLOGI KESEHATAN B

STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR BERDASARKAN


JURNAL TENTANG Faktor-Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS Pada
Laki-Laki Dengan Orientasi Seks Heteroseksual dan Homoseksual di
Purwokerto DAN ETIOLOGI PENYAKIT HIV/AIDS

DOSEN PEMBIMBING :

A.T. Diana Nerawati, SKM.M.Kes

OLEH :

Imroatul Mufidah ( P27833113068 )

Kelompok A/Kelas B/ Semester 4

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

Tahun 2015
DAFTAR PUSTAKA

Dekhe, 2014. Penyakit HIV AIDS. http://hiv-


aids.dekhe.com/2014/03/etiologi.html

Diakses pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 18.22

http://library.upnvj.ac.id/pdf/3keperawatanpdf/0910712024/bab2.pdf

Diakses pada tanggal 9 Mei 2015 pukul 18.25

Anda mungkin juga menyukai