Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung merupakan salah satu bagian vital pada tubuh manusia. Jantung
ini merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot. Otot jantung adalah salah
satu bagian yang istimewa karena bentuk dan susunannya menyerupai otot
lurik namun memiliki cara kerja seperti otot polos (bekerja secara tidak sadar
atau diluar kehendak kita).
Hingga saat ini penyakit kardiovaskuler masih menjadi penyakit tidak
menular utama yang menyebabkan kematian. Kementerian Kesehatan RI pada
tahun 2013 menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskuler termasuk dalam 10
penyakit tidak menular dengan prevalensi tertinggi.
Menurut Ova Emilia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada,
pada tahun 2008 diperkirakan 17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler dan lebih dari 3 juta kematian tersebut terjadi pada usia di
bawah 60 tahun. Sementara itu, ketua umum ASM 2017, Elisabeth Siti Herini
mengatakan penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit dengan mortalitas
dan morbiditas yang tinggi. Oleh sebab itu, menurut dia, upaya pencegahan
terhadap penyakit tersebut harus dilakukan.
Myocarditis adalah peradangan pada otot jantung atau miokardium.
Seringnya disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi tapi bisa juga disebabkan
oleh reaksi alergi terhadap obat-obatan dan bahan toksic bahan radiasi kimia.
Myocarditis adalah salah satu penyakit jantung yang cukup banyak terjadi.
dibeberapa RS kasus-kasus myocarditis akut sering dijumpai, terutama pada
kasus-kasus tifoid toksic, demam rematik, difteri, penyakit lupus, dan lain
sebagainya.
Dari banyaknya kasus kematian akibat penyakit jantung ini, salah satunya
myocarditis, penyusun bermaksud untuk membahas tentang myocarditis
secara lebih mendetail dalam makalah ini.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan myocarditis?
2. Bagaimana klasifikasi dari myocarditis?
3. Apa saja penyebab dari penyakit myocarditis?
4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit myocarditis?
5. Apa saja tanda dan gejala dari penyakit myocarditis?
6. Apa saja komplikasi yang bisa disebabkan oleh penyakit myocarditis?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui penyakit myocarditis?
8. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk penderita penyakit
myocarditis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan dari myocarditis?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan melaksanakan asuhan
keperawatan myocarditis.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit
myocarditis.
b. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang klasifikasi
myocarditis.
c. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang penyebab dari
myocarditis.
d. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang patofisiologi dari
myocarditis.
e. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang tanda dan gejala
dari myocarditis.
f. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang komplikasi yang
mungkin saja ditimbulkan karena penyakit myocarditis.
g. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang macam-macam
pemeriksaan penunjang penyakit myocarditis.

2
h. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan
pada penyakit myocarditis.
i. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang asuhan
keperawatan pada pasien myocarditis.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Myocarditis
Myocarditis merupakan kondisi peradangan pada myocardium.
Myocardium lapisan medial dinding jantung yang terdiri atas jaringan otot
jantung yang sangat khusus (Brooker, 2001). Miokardium adalah dinding
jantung yang komposisinya adalah otot. Bila miokard berkontraksi, maka
darah akan keluar dari jantung, bila berelaksasi darah akan kembali ke jantung.
Bagian luar (pembungkus) jantung disebut perikard, dan bagian dalam dari
jantung disebut endokard.
Menurut Idrus Alwi dan Lukman H. Makmun (2009) myocarditis
merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang bisa disebabkan karena
infeksi maupun non infeksi. Myoarditis primer diduga karena infeksi virus
akut atau respons autoimun pasca infeksi viral. Myocarditis sekunder adalah
inflamasi miokard yang disebabkan pathogen spesifik.
Menurut Arif Muttaqin (2009) myocarditis adalah peradangan pada otot
jantung atau miokardium. Pada umumnya myocarditis disebabkan oleh
penyakit-penyakit infeksi tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap
obat-obatan dan efek toksik bahan-bahan kimia radiasi dan infeksi.

B. Klasifikasi
Menurut Dorland (2002) klasikasi myocarditis berdasarkan penyebabnya
adalah sebagai berikut :
1. Acute isolated myocarditis adalah myocarditis interstitial acute dengan
etiologi tidak diketahui.
2. Bacterial myocarditis adalah myocarditis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri.
3. Chronic myocarditis adalah penyakit radang miokardial kronik.

4
4. Diphtheritic myocarditis adalah myocarditis yang disebabkan oleh toksin
bakteri yang dihasilkan pada difteri : lesi primer bersifat degeneratif dan
nekrotik dengan respon radang sekunder.
5. Fibras myocarditis adalah fibrosis fokal/difus miokardial yang disebabkan
oleh peradangan kronik.
6. Giant cell myocarditis adalah subtipe myocarditis akut terisolasi yang
ditandai dengan adanya sel raksasa multinukleus dan sel-sel radang lain,
termasuk limfosit, sel plasma dan makrofag dan oleh dilatasi ventrikel,
trombi mural, dan daerah nekrosis yang tersebar luas.
7. Hypersensitivity myocarditis adalah myocarditis yang disebabkan reaksi
alergi yang disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap berbagai obat,
terutama sulfonamide, penicillin, dan metildopa.
8. Infection myocarditis adalah disebabkan oleh agen infeksius ; termasuk
bakteri, fungi, virus, riketsia, protozoa. Agen tersebut dapat merusak
miokardium melalui infeksi langsung, produksi toksin, atau perantara
respon imunologis.
9. Interstitial myocarditis adalah myocarditis yang menyerang jaringan ikat
interstitial.
10. Parenchymatus myocarditis adalah myocarditis yang terutama mengenai
substansi ototnya sendiri.
11. Protozoa myocarditis adalah myocarditis yang disebabkan oleh terutama
terjadi pada penyakit Chagas dan Toxoplasmosis.
12. Rheumatic myocarditis adalah gejala sisa yang umum terjadi pada demam
rematik.
13. Rickettsial myocarditis adalah myocarditis yang terjadi akibat infeksi
riketsia.
14. Toxic myocarditis adalah degenerasi dan nekrosis fokal serabut
miokardium yang disebabkan oleh obat, bahan kimia, bahan fisik, seperti
radiasi hewan/toksin serangga atau bahan/keadaan lain yang menyebabkan
trauma pada miokardium.

5
15. Tuberculosis myocarditis adalah peradangan granulumatosa miokardium
pada tuberkulosa.
16. Viral myocarditis disebabkan oleh infeksi virus terutama oleh entero virus,
paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil, dan pada pasien dengan
tanggap immune rendah.

C. Etiologi
Penyebab miokarditis menurut Idrus Alwi dan Lukman H. Makmun
(2009) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Infeksi
a. Virus (coxsackievirus, echo virus, HIV (Human Immunodeviciency
Virus), virus epsteinbarr, influenza, cytomegalovirus, adenovirus,
hepatitis A dan B, MUMPs, folio virus, rabies, respiratori syincitial
virus, rubella, vaccinea, varicella zoster, arbovirus)
b. Bakteri (corynebacterio diphteriae, salmonella, streptococuspyogenis,
staphilococcus aureus, haemophilus pneumoniae, leptospira, nieserria
gonorrhoeae, treponema pallidum, mycobacterium tuberkulosis,
mycoplasma pneumonia, riketsia.
c. Jamur (candida, aspergilus)
d. Parasit (tripanosoma cruzii, toxoplasma, schistosoma, trichina)
2. Non infeksi
a. Obat-obatan yang menyebabkan reaksi hypersensitifitas
1) Antibiotik (sulfonamida, penisilin, cloramfenicol, tetrasiklin,
streptomicyn)
2) Anti Tuberculosis (isoniazin, paraaminosalisilik acid)
3) Anti konfulsan (phenindion, phenitoin, carbamazepin)
4) Anti inflamasi (indometasin, sulfonilurea)
5) Diuretik (acetazolamid, klortalidon, spironolacton)
b. Obat-obatan yang tidak reaksi hypersensitifitas, seperti Kokain,
Siklofosfamid, Litium, Interferon alfa.
c. Penyebab lain selain obat-obatan adalah : Radiasi dan Giant cell

6
D. Patofisiologi
Menurut Arif Muttaqin (2009) kerusakan miokard oleh kuman-kuman
infeksius dapat melalui tiga mekanisme dasar yaitu invasi langsung ke
miokard, proses immunologis terhadap miokard, mengeluarkan toksin yang
merusak miokardium. Sedangkan proses miokarditis viral ada dua tahap,
yaitu fase pertama (akut) berangsung kira-kira 1 minggu (pada tikus) di mana
terjadi invasi virus ke miokardium, replikasi virus dan lisis sel. Kemudian
terbentuk neutralizing antibody dan virus akan dibersihkan atau dikurangi
jumlahnya dengan bantuan makrofag dan neutral killer cell (sel NK).
Fase kedua miokardium akan diinfiltrasi oleh sel-sel radang dan sistem
imun akan diaktifkan antara lain dengan terbentuknya antibodi terhadap
miokardium, akibat perubahan permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase
ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti
kerusakan miokardium dan yang minimal sampai yang berat.
Enterovirus sebagai penyebab miokarditis viral juga merusakkan sel-sel
endotel dan terbentuknya antibodi endotel, diduga sebagai penyebab spasme
mikrovaskular. Walaupun etiologi kelainan mikrovaskular belum pasti, tetapi
sangat mungkin berasal dari respon imun atau kerusakan endotel akibat infeksi
virus.
Jadi pada dasarnya terjadi spasme sirkulasi mikro yang menyebabkan
proses berulang antara obstruksi dan reperfusi yang mengakibatkan larutnya
matriks miokardium dan habisnya otot jantung secara fokal menyebabkan
rontoknya serabut otot, dilatasi jantung, dan hipertrofi miosit yang tersisa.
Akhirnya proses ini mengakibatkan habisnya kompensasi mekanis dan
biokimiawi yang berakhir dengan payah jantung.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis miokarditis menurut Wajan Juni Udjianti (2010) yaitu
dada terasa berat dan sesak napas; demam, takikardia; anoreksia; gallops,
bunyi jantung lemah; tanda-tanda gagal jantung kanan. Sedangkan tanda dan

7
gejala myocarditis menurut Linda S. Williams dan Paula D. Holper (2007)
bervariasi dari tidak ada manifestasi jantung yang parah. Kelelahan, demam,
faringitis, malaise, dyspnea, palpitasi, nyeri otot, gangguan saluran
pencernaan (GI), dan pembesaran kelenjar getah bening dapat terjadi lebih
awal dari infeksi virus. Manifestasi jantung seperti ketidaknyamanan dada,
nyeri, atau takikardia dapat terjadi sekitar 2 minggu setelah infeksi virus.
Terkadang, kematian mendadak bisa terjadi.
Tanda dan gejala myocarditis menurut Idrus Alwi dan Lukman H.
Makmun (2010) bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai terjadi syok
kardiogenik. Keterlibatan jantung biasanya muncul 7-10 hari setelah penyakit
sistemik. Gejala paling jelas yang menunjukan myocarditis adalah sindrom
infeksi viral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan malaise. Sebagian
besar pasien tidak mempunyai keluhan kardiovaskuler yang spesifik namun
mungkin memiliki kelainan segmen ST dan gelombang T pada
elektrokardiogram. Nyeri dada ditemukan sampai dengan 35% pasien dan
mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada umumnya pericardial. Nyeri
dada biasanya menunjukan perikarditis yang terkait, namun terkadang
dikarenakan adanya iskemia miokard.
Kardiomiopati dilatasi akut pada miokarditis limfositik dapat
menyebabkan gagal jantung ringan, sedang, atau berat. Sebagian besar pasien
dengan gejala ringan mengalami tahap peyembuhan spontan fungsi
ventricular dan normalisasi pada ukuran jantung. Pasien dengan gagal jantung
New York Heart Association (NYHA) kelas III atau IV umumnya memiliki
derajat pelebaran ventricular dan disfungsi ventrikel yang lebih besar.
Meskipun sebagian sembuh dengan spontan, diperkirakan bahwa separuh
akan dihadapkan dengan gejala sisa disfungsi myocarditis dan seperempatnya
akan meninggal atau membutuhkan transplantasi jantung. Pasien dengan
myocarditis berat seringkali disertai dengan kolaps sirkulasi dan tanda-tanda
disfungsi organ. Pasien seringkali mengalami demam, disfungsi miokard
global berat, dan peningkatan minimal dimensi ventrikuler kiri dan dimensi

8
pada akhir diastolic. Dibutuhkan support sirkulasi mekanik sebagai jembatan
untuk transplantasi jantung atau penyembuhan.
Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinis yang serupa dengan
infark miokard akut, dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada
EKG. Pasien mungkin mengalami sinkop atau palpitasi dengan blok
atrioventicular (AV) atau aritmia ventricular.

F. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi bila terkena myocarditis antara lain :
1. Kardiomiopati kongestif/dilated merupakan penyakit yang etiologinya
tidak diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan besar kelainan ini
merupakan hasil akhir dari kerusakan miokard akibat produksi berbagai
macam toksin, zat metabolit atau infeksi (Sally Aman Nasution, 2009)
2. Payah jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel
tubuh akan nutrient dan oksigen secara adekuat (Wajan Juni Udjianti,
2010).
3. Efusi perikardial mengacu pada masuknya cairan ke dalam kantung
pericardium (Smeltzer, C. Suzanne, 2001)
4. AV block total disebabkan oleh gangguan pada beberapa bagian sistem
konduksi AV sinus-denyut awal diperlambat atau secara lengkap di blok
dari pengaktivasi ventrikel (Gallo Hudak, 1994).

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Idrus Alwi dan Lukman H. Makmun (2009) pemeriksaan yang
bisa dilakukan untuk mengetahui myocarditis, antara lain :
1. Laboratorium : leukosit, LED, limfosit, LDH.
Pemeriksaan laboratorium ini untuk menentukan etiologi. Biakan
darah dapat menemukan sebagian besar organisme patogen. Pada infeksi
parasit terdapat eosinofilia sebagai laju endapan meningkat. Enzim keratin
kinase atau laktat dehidroginase (LDH) dapat meningkat sesuai luasnya

9
nekrosis miokard. Peningkatan ASTO dapat menunjukan adanya infeksi
streptococcus.
2. Elektrokardiografi
EKG hamper selalu menunjukan sinus takikardia, perubahan segmen
ST dan gelembung T serta low voltage. Kadang ditemukan aritmia arial
atau ventrikuler, AV block, intra ventrikulerconduction defek dan QT
memanjang.
3. Rontgen thorax
Rasio kardiothorak biasanya normal, terutama pada fase awal penyakit
sebelum terjadinya kardiomiopati. Fungsi ventrikel kiri yang menurun
progresif dapat mengakibatkan kardiomegali. Dapat ditemukan manifestasi
gagal jantung kongestif seperti sefalisasi atau edema paru.
4. Echocardiografi
Echocardiografi dapat menunjukan disfungsi sitolik ventrikel kiri pada
pasien dengan dimensi ventrikel kiri yang berukuran normal. Trombus
ventrikel terdeteksi sekitar 15%. Gambaran echocardiografi pada
myocarditis aktif dapat meniru restriktif, hipertropik, atau kardiomiopati
dilatasi.
5. Biopsi endomiokardial
Melalui biopsi tranvernous dapat diambil endomiokardium ventrikel
kanan kiri. Hasil biopsi yang positif memiliki nilai diagnostic sedang
negative tidak dapat menyingkirkan myocarditis. Diagnosis ditegakkan
bila pada biopsi endomiokardial didapatkan nekrosis atau degenerasi
parasit yang dikelilingi infiltrasi sel-sel radang.
6. Radio Nuclide Scaning dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Ditemukan adanya perubahan inflamasi dan kronis yang khas pada
myocarditis. Baru-baru ini, contrast medium-enhanched MRI telah
digunakan untuk mendeteksi perubahan miokardial pada myocarditis.

10
H. Penatalaksanaan (medik)
Penatalaksanaan pada pasien dengan gangguan myocarditis menurut
Brunner & Suddarth (2011) adalah sebagai berikut :
1. Pasien diberikan terapi khusus untuk mengatasi penyebab awal gangguan
tersebut jika penyebabnya diketahui (misal, menggunakan penisilin untuk
streptokokus hemolitik) dan dibaringkan di tempat tidur untuk mengurangi
beban kerja jantung, kerusakan miokardium, dan komplikasi.
2. Pada pasien muda, aktivitas, terutama atletik, harus dibatasi selama
periode 6 bulan atau setidaknya sampai ukuran dan fungsi jantung kembali
normal; aktivitas fisik ditingkatkan secara perlahan.
3. Jika pasien mengalami gagal jantung atau disritmia, penatalaksanaan pada
intinya sama seperti untuk semua penyebab gagal jantung dan disritmia;
hindari penggunaan penyekat beta.

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Fokus Pengkajian
Penkajian pasien myocarditis menurut Marilynn E. Doenges (1999)
meliputi :
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas.
2. Pernapasan
Gejala : napas pendek (napas pendek kronis memburuk pada malam hari).
Tanda : DNP (dispnea nocturnal paroxysmal), batuk, inspirasi mengi,
takipnea, krekels, dan ronchi, pernapasan dangkal.
3. Sirkulasi
Gejala : riwayat demam rematik, penyakit jantung congenital, bedah
jantung, palpitasi, jatuh pingsan.
Tanda : takikardia, disritmia, perpindahan impuls maksimal, kardiomegali,
frivtion rub, murmur, irama gallop (S3 dan S4), edema, DVJ, petekie,
hemoragi splinter, nodus osler, lesi Janeway.
4. Eliminasi
Gejala : riwayat penyakit ginjal/gagal ginjal, penurunan frekuensi urine.
Tanda : urine pekat gelap.
5. Nyeri
Gejala : nyeri tertimpa beban berat dan terasa terbakar.
Tanda : perilaku distraksi, misalnya gelisah.
6. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi virus, bakteri, jamur (myocarditis, trauma dada,
penyakit keganasan/radiasi thorakal, dalam penanganan gigi, pemeriksaan
endoskopik, terhadap GI/GU), penurunan sistem immune, SLE, atau
penyakit kolagen lainnya.
Tanda : demam

12
B. Pathway

Enterovirus

Endotel miokard

Replikasi virus

Sel lisis

Eliminasi virus oleh


makrofag & sel NK

MK : Nyeri MK : Intoleransi
MYOCARDITIS Aktivitas
Akut

Antibody endotel Neutralizing antibodi

Spasme
mikrovaskuler

r
Obstruksi Reperfusi

Proses berulang

Matriks Otot jantung mengalami


miokardium larut kerusakan secara fokal

Rontoknya Dilatasi jantung Hipertrofi miosit


serabut otot

13
Penurunan kontraktivitas Hipertensi
otot jantung

Tahanan perifer
Kebutuhan O2 dan meningkat
nutrisi jantung tidak Payah jantung
terpenuhi
Peningkatan kontraksi
otot jantung
MK : Penurunan
Cardiaouput
Kardiomegali

Efek forward Efek backward


Kerusakan otot
jantung
Penumpukan darah pada
Penurunan suplai
ventrikel dan atrium kiri
darah ke seluruh
tubuh
Refluk darah di
vena pulmonal
Otak Ginjal

Distensi vena
MK : Penurunan pulmonal
Perfusi Jaringan

Extravasasi

Edema pulmo Dipsnea

Gangguan difusi

MK : Kerusakan MK : Perubahan
Pertukaran Gas pola napas

14
C. Nursing Care Plan
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan degenerasi sel-sel
otot miokard, penurunan curah jantung.
a. Tujuan :
Dapat melakukan mobilisasi secara mandiri.
b. Kriteria Hasil :
1) Aktivitas fisik yang mempengaruhi denyut jantung menjadi
berubah sesuai tekanan darah berubah serta pola pernapasan diatas
batas normal.
2) Efek samping dari latihan yang berlebihan menimbulkan gejala
lain.
3) Kulit normal yang umumnya hangat dan lembab saat beraktivitas.
4) Pemahaman tentang jenis kebutuhan secara bertahap saat aktivitas
meningkat berdasarkan pengujian, toleransi dan gejala yang timbul.
5) Memahami toleransi ketika beraktivitas.
c. Intervensi
1) Lakukan pengkajian pada klien mengenai kegiatan sehari-hari.
Mobilisasi klien secepat mungkin. Ketika pasien beristirahat maka
sakit dirongga dada dan stress akan berkurang. Posisikan klien
dengan posisi tegak untuk membantu menjaga distribusi zat cair
dan gas agar optimal (Perme dan Chandrashekar, 2009).
EB : sebuah studi menunjukan grafik yang signifikan saat mineral
tulang menurun maka kekuatan di pinggul, paha, dan otot betis
tidak bisa bergerak (Berg et al, 2007)
2) Jika klien seorang pasien yang hiperaktif sebaiknya menggunakan
kursi roda. Dengan menggunakan kursi roda, pasien bisa bebas
merasakan suasana baru dan tidak hanya berdiam diri diruangan
tersebut, menurut Nelson et al (2003) ; Perme dan Chandrashekar
(2009).
3) Sarankan klien untuk menghentikan segala aktivitas, laporkan ke
dokter jika pasien mengalami gejala : frekuensi ketidaknyamanan

15
meningkat; sesak atau ada tekanan pada dada, punggung, leher,
rahang, bahu dan lengan; debar jantung; pusing; kelelahan, tidak
biasa dan kelemahan ekstrim. Ini adalah gejala umum pada angina
yang disebabkan oleh ketidakcukupan suplai darah pada koroner.
Biasanya denyutan terjadi secara cepat dan berlangsung sesaat. Jika
gejala terjadi 5 sampai 10 menit, evaluasi klien dan beri oksigenasi
hingga darah arteri menunjukkan jantung kembali normal dan tidak
terjadi hipoksia, menurut Grimes (2007) ; Schmitz (2007)
4) Amati warna kulit pasien dan dokumentasi setiap hari. Kurangi
aktivitas berat, jika mengakibatkan jantung berdebar dan
menyebabkan tekanan pada jantung, menurut Fauci et al (2006).
Hal ini mengacu pada resiko rencana perawatan pada Integritas
Kulit.
5) Instruksikan dan bantu klien COPD dalam menggunakan teknik
pernapasan secara sadar selama latihan, termasuk pernapasan
mengerutkan bibir, dan penggunaan otot inspirasi.
EBN : sebuah tinjauan sistemik ditemukan dengan mengerutkan
bibir dan bernapas efektif dapat mengurangi/menurunkan sesak
napas (Carrieri- Kohlmen et al, 2008).
EB : sebuah tinjauan sistemik menemukan bahwa latihan otot
inspirasi efektif dalam meningkatkan daya tahan tubuh klien dan
mengurangi sesak napas (Langeret et al, 2009).

2. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi miokardium, efek-efek sistemik


dari infeksi, iskemia jaringan (Doenges, 1999).
a. Tujuan :
Nyeri hilang atau terkontrol.
b. Kriteria Hasil :
1) Nyeri berkurang atau hilang.
2) Klien tampak tenang.
c. Intervensi :

16
1) Nilai tingkat nyeri pada klien menggunakan self-report pain tool
yang valid dan bisa dipercaya, seperti skala penilaian nyeri 0-10
numerik. Langkah pertama dalam penilaian rasa sakit adalah untuk
menentukan apakah klien dapat memberikan laporan sendiri.
Mintalah klien untuk menilai intensitas rasa nyeri atau memilih
deskriptor intensitas nyeri dengan menggunakan self-report pain
tool yang valid dan dapat dipercaya (Breivik et al, 2008; Pasero et
al, 2009)
EB : penilaian nyeri dimensi tunggal yang valid dan dapat
dipercaya, digunakan sebagai ukuran tingkat intensitas nyeri
(Breivik et al, 2008)
EBN : investigasi etika keperawatan dan kepercayaan tentang
penilaian nyeri mengungkapkan bahwa penggunaan skala penilaian
nyeri secara efektif ditentukan oleh sikap pribadi perawat tentang
efektivitas (Layman-Young, Horton & Davidhizar, 2006)
2) Mintalah klien untuk menjelaskan pengalaman rasa nyeri
sebelumnya, efektivitas intervensi manajemen rasa sakit,
tanggapan terhadap obat analgesik termasuk terjadinya efek
samping, dan kekhawatiran tentang rasa sakit.
EBN : mengetahui riwayat nyeri individual dapat membantu
mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin sesuai dengan
keinginan klien untuk melaporkan rasa nyeri, dan juga faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi intensitas nyeri, respon klien
terhadap rasa nyeri, kecemasan, dan farmakokinetik analgesik
(Kalkman et al, 2003; Deane & Smith, 2008; Dunwoody et al,
2008) Pengelolaan nyeri harus dilakukan secara individual kepada
klien dan mempertimbangkan kondisi medis, psikologi, dan fisik;
usia; tingkat ketakutan dan kecemasan; prosedur operasi; gondok
dan preferensi; dan respon sebelumnya terhadap analgesik
(Bhavani-Shankar & Oberol, 2009)
3) Jelaskan efek samping dari rasa nyeri yang tidak pernah hilang.

17
EBN : rasa nyeri akut yang tidak dapat diobati dapat memiliki
konsekuensi fisiologis dan psikologis yang memfasilitasi hasil
klien negatif, secara tidak efektif penanganan rasa nyeri akut
memiliki potensi untuk perubahan neurohumoral, pemodelan
neuron, dampak pada fungsi kekebalan tubuh, dan fisiologis jangka
panjang, psikologi, dan tekanan emosional, dan menyebabkan
sindrom nyeri kronis (Brennan, Carr, & Cousin, 2007; Dunwoody
et al, 2008; Evans et al, 2009)
4) Selain memberikan analgesik, gunakan metode nonfarmakologis
yang mendukung klien dalam mengendalikan rasa nyeri, seperti
gangguan, citra, relaksasi, dan penerapan panas dan dingin.
Strategi perilaku kognitif dapat memulihkan rasa control diri klien,
efikasi pribadi, dan partisipasi aktif dalam perawatannya sendiri
(Lassetter, 2006; APS, 2008)
5) Bila klien dapat mentolerir analgesik oral, periksalah resep untuk
beralih ke jalur oral, gunakan grafik equianalgesik untuk
menentukan dosis awal dan sesuaikan dengan toleransi silang yang
tidak lengkap. Rute oral lebih disukai karena lebih nyaman dan
hemat biaya (APS, 2008)

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan degenerasi otot jantung,


penurunan/kontriksi fungsi ventrikel menurut Doenges (1999)
a. Tujuan :
Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
b. Kriteria Hasil :
1) Melaporkan/menunjukkan penurunan periode dispnea, angina, dan
disritmia.
2) Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil
c. Intervensi :
1) Monitor gejala gagal jantung dan penurunan curah jantung;
dengarkan suara jantung, suara paru-paru; catat gejala termasuk

18
dispnea, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, cheyne-stokes
respirations, kelelahan, kelemahan, suara jantung ketiga dan
keempat, retak pada paru-paru, penurunan tekanan vena lebih dari
16 cm H2O, dan positif refleks hepatojugular. Ini adalah criteria
utama untuk mendiagnosa gagal jantung-kriteria Framingham
(Kasper et al, 2005)
2) Monitor intake dan output klien. Jika klien mengalami sakit parah,
ukur output urine perjam dan catat penurunan terapi diuretik.
EB : mengutip pedoman praktik klinik bahwa pemantauan output
dan input berguna untuk memantau efek terapi diuretik (Jessup et
al, 2009).
3) Sajikan pada klien sedikit kopi atau minuman yang mengandung
kafein (tidak lebih dari 4 cangkir per-24 jam) agar tidak
menyebabkan disritmia.
EB dan EBN : ulasan studi tentang kafein dan aritmia jantung
menyimpulkan bahwa mengkonsumsi kafein dalam jumlah sedang
tidak akan meningkatkan frekuensi atau memutuskan aritmia
jantung (Schneider, 1987; Myers & Haris, 1990; Hogan, Hornick,
& Bouchoux, 2002)
4) Nilai adanya kegelisahan. Lihat Intervensi Keperawatan dan
Rasional untuk Kegelisahan untuk memudahkan reduksi
kegelisahan pada klien dan keluarga.
EBN dan EB : studi menjelaskan bahwa ditemukan tingkat
komplikasi yang lebih tinggi diikuti infark pada klien dengan
kegelisahan meningkat (Moser & Dracup, 1996; Watkins,
Blumenthal & Carney, 2002; Carpeggiani et al, 2005)
5) Rujuk untuk perawatan ketika mengalami depresi.
EBN : dalam sebuah studi menilai bahwa kualitas hidup terkait
kesehatan menemukan bahwa depresi awal bersama dengan kontrol
yang dirasakan adalah prediktor kuat dari status gejala fisik (Heo et
al, 2008)

19
EB : dalam ulasan sistematis pada klien HF ditemukan bahwa 21%
memiliki depresi signifikan secara klinis, yang mana hasil dari nilai
kematian konsisten lebih tinggi, kunjungan departemen gawat
darurat, rawat inap, dan perawatan kesehatan (Rutledge et al, 2006)

4. Gangguan perfusi jaringan berhubugan dengan penurunan suplai darah ke


seluruh tubuh, spasme arteri koroner, kerusakan otot jantung sekunder
terhadap proses inlamasi menurut Doenges (1999).
a. Tujuan :
Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
b. Kriteria hasil :
1) Bebas dari nyeri dada yang berhubungan dengan angina.
2) Tidak memiliki aritmia, takikardia, atau bradikardia.
3) Tidak mengalami mual dan muntah.
4) Memiliki kulit yang kering dan suhu normal.
c. Intervensi :
1) Monitor klien pada daerah dada, leher dan sakit rahang, sesak nafas,
diaphoresis, nausea, dan muntah. Ini adalah tanda dan gejala
penurunan perfusi jaringan jantung dan serangan jantung
(American Heart Association, 2009)
2) Jika klien mengalami nyeri dada, berikan oksigen melalui kanul
nasal sesuai perintah. Pertahankan saturasi oksigen pada tingkat
90% atau lebih, karena dapat mengurangi nyeri terkait iskemia
miokardial dengan kenaikan jumlah oksigen yang dialirkan
miokardium (Overbaugh, 2009)
3) Monitor elektrokardiografi, denyut dan ritme jantung, tekanan
darah, tekanan vena utama, dan saturasi oksigen (pulse oxymetry),
SvO2, atau ScvO2 pada klien.
EBN : tekanan vena sentral digunakan untuk pengukuran status
cairan. Takikardia dan bradikardia disebabkan oleh menurunnya
perfusi di koroner. Penurunan tekanan darah akan diamati sebagai

20
fungsi jantung yang terganggu dan cardiac output menurun.
Oksigenasi di sel akan lebih rendah karena disebabkan hipoperfusi,
hipotensi, kesalahan distribusi aliran darah, penebalan dinding
kapiler, dan ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen,
monitoring permintaan dan pengiriman oksigen (Bridge & Dukes,
2005; Goodrich, 2006; Sharma, 2006)
4) Monitor cardiac output, indeks jantung, dan resistensi vaskuler
sistemik pada klien.
EBN : cardiac output akan meningkat dan resistensi vaskuler
sistemik akan menurun saat sirkulasi klien mengalami vasodilatasi.
Cardiac output dan indeks jantung keduanya akan menurun saat
ada cidera pada otot jantung (Bridge & Dukes, 2005; Sharma,
2006)
5) Monitor dan evaluasi intake dan output pada klien.
EBN : peningkatan tingkat cairan adalah tanda gagal jantung
kongestif yang mungkin disebabkan oleh rendahnya perfusi
koroner (Varughese, 2007)

5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gas darah arteri tidak


normal, pernapasan tidak normal, dispnea, diaphoresis, sianosis menurut
Doenges (1999).
a. Tujuan dan kriteria Hasil :
1) Mendemonstrasikan ventilasi membaik dan oksigenasi yang
adekuat dibuktikan dengan level gas darah dalam parameter normal
untuk klien tersebut.
2) Mempertahankan paru-paru bersih dan tetap bebas dari tanda-tanda
kesulitan bernapas.
b. Intervensi
1) Lakukan monitoring pada klien meliputi respiratory rate,
kedalaman, dan kemudahan bernapas. Perhatikan penggunaan otot

21
aksesori nasal flaring. Frekuensi pernapasan normal adalah 14-16
kali/menit untuk dewasa (Bickley & Szilagyi, 2009).
EBN : sebuah studi menunjukan bahwa saat frekuensi pernapasan
melebihi 30 kali/menit, bersama dengan ukuran fisiologi lainnya,
ada perubahan kardiovaskuler dan pernapasan yang signifikan
(Considine, 2005; Hagle, 2008)
2) Amati klien apakah ada sianosis pada kulit; terutama catat warna
lidah dan membrane mukosa mulut. Sianosis sentral dari lidah dan
mukosa mulut adalah indikasi serius dari hipoksia dan sebuah
keadaan darurat medis. Sianosis perifer di ekstremitas mungkin
karena aktivasi sistem saraf pusat atau paparan dingin dan mungkin
atau tidak mungkin menjadi serius (Bickley & Szilagyi, 2009)
3) Posisikan klien pada posisi semi-fowlers, dengan postur tegak 45
derajat jika mungkin.
EB : Penelitian yang dilakukan pada klien dengan ventilator
menunjukan bahwa berada dalam posisi tegak 45 derajat dapat
meningkatkan oksigenasi dan ventilasi (Speelberg & Van Beers,
2003). Penelitian pada subjek yang sehat menunjukan bahwa
duduk tegak menghasilkan volume tidal dan ventilasi permenit
yang lebih tinggi daripada saat duduk dengan posisi merosot
(Landers et al, 2003)
4) Jadwalkan pemberian asuhan keperawatan pada klien untuk
memberi waktu istirahat dan meminimalkan kelelahan. Klien
dengan hipoksia memiliki cadangan oksigen yang lebih terbatas;
aktivitas yang tidak tepat dapat meningkatkan hipoksia.
5) Monitor saturasi oksigen pada klien secara terus menerus
menggunakan pulse oxymetri. Catat hasil gas darah sesuai dengan
hasil pemeriksaan. Saturasi oksigen kurang dari 90% (normal:
95%-100%) atau tekanan parsial oksigen kurang dari 80 mmHg
(normal: 80-100 mmHg) mengindikasikan adanya masalah
oksigenasi (Clark, Giuliano, & Chen, 2006)

22
6. Gangguan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, dispnea,
kecemasan, kelelahan menurut Doenges (1999).
a. Tujuan dan kriteria Hasil :
1) Melaporkan kemampuan bernapas dengan lega.
2) Menunjukan pola napas normal didukung dengan hasil gas darah
klien normal sesuai dengan parameter.
b. Intervensi
1) Lakukan monitoring pada klien meliputi respiratory rate,
kedalaman, dan kemudahan bernapas. Normal frekuensi
pernapasan adalah 14-16 kali/menit untuk dewasa (Bickley &
Szilagyi, 2009).
EBN : saat frekuensi pernapasan melebihi 30 kali/menit, bersama
dengan ukuran fisiologi lainnya, sebuah studi menunjukan bahwa
ada perubahan fisiologis yang signifikan (Considine, 2005; Hagle,
2008)
2) Catat pola pernapasan klien. Jika klien dispnea, catat apa yang
tampaknya menyebabkan dispnea, cara klien menangani kondisi
tersebut, dan bagaimana dispnea sembuh atau bertambah buruk.
3) Mencoba menentukan apakah dispnea klien bersifat fisiologis atau
psikologis.
EB : Sebuah studi menemukan bahwa jika penyebabnya bersifat
psikologis (dispnea medis yang tidak bisa dijelaskan), seperti
dispnea afektif, kegelisahan, dan kesemutan di ekstremitas.
Sedangkan dispnea yang bersifat fisiologis, terkait dengan adanya
wheezing, batuk, sputum dan palpitasi (Han et al, 2008)
4) Menilai penyebab hiperventilasi dengan bertanya pada klien
tentang emosi dan status psikologi.
EB : sebuah studi menunjukan bahwa klien hiperventilasi idiopatik
lebih cemas dan mempunyai nilai depresi lebih tinggi daripada
control subjek (Jack et al, 2004)

23
5) Memastikan bahwa klien dengan status dispnea akut menerima
obat, oksigen, dan beberapa perawatan yang dibutuhkan.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Idrus Alwi (2009) myocarditis merupakan penyakit inflamasi
pada miokard, yang bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi.
Myoarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau respons autoimun
pasca infeksi viral. Myocarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang
disebabkan pathogen spesifik.
Penyebab myocarditis bisa dikarenakan infeksi ataupun non infeksi.
Manifestasi klinis miokarditis menurut Wajan Juni Udjianti (2010) yaitu dada
terasa berat dan sesak napas; demam, takikardia; anoreksia; gallops, bunyi
jantung lemah; tanda-tanda gagal jantung kanan.
Komplikasi dari myocarditis antara lain kardiomiopati dilated, payah
jantung kongestif, efusi pericardial, dan AV blok total. Sedangkan
pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk mengetahui myocarditis
yaitu laboratorium, elektrokardiografi, ekokardiografi, rontgen thorax, dan
biopsi endomiokardial.

B. Saran
1. Masyarakat untuk lebih baik lagi dalam mengkonsumsi makanan agar
memiliki cukup energi untuk beraktivitas, berperilaku, dan menjaga tubuh
dengan baik.
2. Makanlah makanan yang bergizi seimbang dan hindari gaya hidup tidak
sehat.
3. Hindari resiko yang berhubungan langsung dengan beban kerja jantung
meningkat.
4. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus, Lukman H. Makmun. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II
edisi V. Jakarta : InternaPublishing

American Heart Association: Heart attack symptoms and warning signs, 2009
www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4595.accessed April15, 2009

Bhavani-Shankar K, Oberol JS: Management of postoperative pain; Uptodate


version June 19, 2009; accessed July 2009. www.uptodate.com/patient/contenct
/topic.do?topicKey=-9TD93y22rpud9

Breivik H, Bordchgrevink PC, Allen SM et al: Assessment of pain, Br J Anaesth


101(1):17-24, 2008

Brennan F, Carr DB, Cousins M: Pain management a fundamental human right,


Anest Analg 105(1):205-211, 2007

Bridges EJ, Dukes MS: Cardiovascular aspects of septic shock: pathophysiology,


monitoring, and treatment, Crit Care Nurse 25(2):14-42, 2005

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan Ed. 31. Jakarta : EGC.

Brunner, Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed.


12. Jakarta : EGC

Caperggiani C, Emdin M, Bonaguidi F et al: Personality traits and heart rate


variability predict long-term cardiac mortality after myocardial infarction. Eur
Heart J 26(16):1612-1617, 2005

Deane G, Smith HS: Overview of pain management in older persons, Clin Geriatr
Med 24:185-201, 2008

Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3.EGC : Jakarta.

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC

Dunwoody CF, Krenzischek DA, Pasero C et al: Assessment physiological


monitoring, and consequences of inadequately treated pain, J Perianesth Nurs 23
(1A) : S15-S27, 2008

Evans C, Galustian C, Kumar D et al: Impact of surgery on immunologic


function : comparison between minimally invasive techniques and convetional
laparotomy for surgical resection of colorectal tumors, Am J Surg 197:238-245,
2009

26
fk.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2017/02/2017-03-04-lainnya-Kardiovaskuler-
Penyebab-Utama-Kematian-di-Indonesia.docx

Goodrich C: Endpoints of resuscitation: what should we be monitoring AACN


Adv Crit Care 17(3):308-316, 2006

Grimes K :Heart disease. In OSullivan SB & Schmitz JT, editor: Physical


rehabilitation, ed 5, Philadelpia, 2007, EA. Davis

Heo S, Doering LV, Widener J et al: Predictors and effect of physical symptom
status on health-related quality of life in patients with heart failure, Am J Crit Care
17:124-132, 2008

Hogan E, Hornick B, Bouchoux A: Communication the message : clarifying the


controversies about caffeine, Nurt Today 37(1):28, 2002

Jessup M, Abraham WT, Casey DE et al: 2009 focused update : ACCF/AHA


guidelines for the diagnosis and managementof heart failure in adults : a report of
the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines : developed in collaboration with the
International Society for Heart and Lung Transplantation, Circulation
119(14):1977-2016, 2009

Kalkman CJ, Visser K, Moen J et al: Preoperative predication of severe


postoperative pain, Pain 57:415-423, 2003

Lassetter JH: The effectiveness of complementary therapies on the pain


experience of hospitalized children, J Holist Nurs 24(3):196-211, 2006

Layman-Young J, Horton F, Davidhizar R: Nursing attitudes and beliefs in pain


assessment and management, J Adv Nurs 53(4):412-421, 2006

Moser DK, Dracup K: Is anxiety early after myocardial infarction associated with
subsequent ischemic and arrhythmic events? Psychosomat Med 58(5):395-401,
1996
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovasular dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika

Myers MG, Harris L: High dose caffeine and ventricular arrhythmias, Can J
Cardiol 6(3):95, 1990

Nasution, Sally Aman. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II edisi V.
Jakarta : InternaPublishing

Nelson A, Owen B, Lloyd JD et al: Safe Patient handling and movent, am J Nurse
103(3):32,2003

Overbaugh KJ: Acute coronary syndrome, Am J Nurs 109(5):42-52, 2009

27
Pasero C : Challenges in pain assessment, J Perianesth Nurs 24 (1):50-54, 2009
Perme C, Chandrashekar R: Early mobility and Walking Program for patients in
intensive care units: creating a standard of care, Am J Crit care, 18(3):212-221,
2009

Rutledge T, Reis VA, Linke SE et al: Depression in heart failure a meta-analytic


review of prevalence, intervention effects, and associations with clinical outcomes,
J Am Coll Cardiol 48(8):1527-37, 2006

Schneider JR: Effects of caffeine ingestion on heart rate, blood pressure,


myocardial oxygen consumption, and cardiac rhythm in acute myocardial
infarction patients, Heart Lung 16:167, 1987

Sharma S: Pulmonary embolism, from EMedicine, 2006.


www.emedicine.com/med/TOPIC1958.htm, accessed December 12, 2007

Smeltzer, Suzanne C. & Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah (Brunner & Suddarth : editor). Jakarta : EGC

The American Pain Society (APS) : Principles of analgesic use in acute and
chronic pain, ed 6. Glenview, IL, 2008, The Society.

Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika

Varughese S: Management of acute decompensated heart failure, Crit Care Nurse


30(2):94-103, 2007

Watkins L, Blumenthal JA, Carney R: Association of anxiety with reduced


baroreflex cardiac control in patients after acute myocardial infarction, Am Heart
J 143(3):460-466, 2002

Williams, Linda S. & Paula D. Hopper. 2007. Understanding Medical Surgical


third edition. Philadelphia. F.A. Davis

28

Anda mungkin juga menyukai