Akad Salam
Pengertian Salam
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan
cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah
disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang
demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan
keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror dan untung-untungan
(spekulasi).
Secara bahasa, salam () adalah al-i'tha' () dan at-taslif ().
Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama atstsauba lil al-khayyath
bermakna: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit. Sedangkan secara
istilah syariah, akad salam didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya: Jual-
beli barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan dengan imbalan
pembayaran) yang dilakukan saat itu juga. Penduduk Hijaz mengungkapkan akad
pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya
Salaf.
Bai salam adalah akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum
ada dan akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan
secara tunai di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah
disepakati di awal akad.
Akad salam adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syariah dalam
bentuk pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan
kepada sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya.
Biasanya pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan
bertindak sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam hal ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan
akad salam. Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan
spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank akan memesan
kan barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita
kenal istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan produsen.
Akad salam menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan
sangat jauh dari praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1. Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan
pada waktu yang ia inginkan.
2. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah
bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada
barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding
pembeli, diantaranya:
1. Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-
cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan
usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum
jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya
tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena
biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan
berjarak cukup lama.
Landasan Syariah
Akad bai salam diperbolehkan dalam akad jual beli. Berikut penulis paparkan dalil-
dalil (landasan syariah)yang terdapat dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat
ulama.
a. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara
muamalah dalam hutang piutang.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
c. Sahabat Ibnu Abbas r.a berkata: Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf
yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan
Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At
Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan
dishohihkan oleh Al Albany)
d. Kesepakatan ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari
pernyataan Ibnu Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah
sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan (Zuhaili, 1989, hal. 568).
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar
dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui,
banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak,
mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya. Namun Imam Syafii
menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat iniqad, syarat
sah, dan syarat muslam fiih.
1. Syarat-syarat Iniqad
a. Menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah
disebutkan.
b. Pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta.
Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam merupakan
transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang
cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad jual beli.
Banyak orang yang menyamakan bai as salam dengan ijon Padahal, terdapat
perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon, barang yang dibeli tidak diukur
atau ditimbang secara jelas dan spesifik.Demikian juga penetapan harga beli, sangat
tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan
dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as
salam mengharuskan adanya 2 hal :
Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan
transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang
jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama
dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang fair ini pemerintah diwajibkan melakukan
pengawasan dan pembinaan.
Contoh Ijon: Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum dipanen sebanyak
satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai as Salam: Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi dari petani
yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak. Jika
pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar seharga itu,
sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa
menikmati duaton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton
maka pembeli yang merugi karena telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai' as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau
terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat
dipenuhinya.
Bai as salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka
waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah
barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk menjadikan
barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan
akadbaias salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar
induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya
produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum.
Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank
mereferensikan penggunaan produk tersebut.Hal itu berarti bahwa bank memesan
dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan
kontrak.Bank kemudian mencari pembeli kedua.Pembeli tersebut bisa saja rekanan
yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah
selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut.Rekanan
kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
Akad Istishna
Pengertian
Berasal dari kata ( shanaa) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif,
sin dan ta menjadi ( istashnaa) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta dibuatkan. Menurut
terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam
kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan
secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Selain itu Istishna juga
diartikan jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan akan
diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara angsuran.
Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah disepakati di awal akad.
Landasan Syariah
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat
lagi shahih alias valid.
Dalil kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan
cincin dari perak.
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu
dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima
surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin
stempel dari bahan perak. Anas mengisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat
menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim).
Dalil ketiga: Sebagian ulama' menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara
de facto telah bersepakat alias merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna'
adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada
seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk melarangnya.
Dalil keempat: Para ulama' di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada
di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan
akan keharamannya."