2012asa - BAB III Deskripsi Kondisi
2012asa - BAB III Deskripsi Kondisi
Lokasi Penelitian
Tempat penelitian berada pada catchment area WMP 12 dengan luas area
142,16 Ha. Lokasi penelitian merupakan area pengelolaan air asam tambang
(AAT) yang dilengkapi dengan kolam penampungan (sediment pond) dan kolam
pengelolaan dan pengendapan (settling pond). Debit AAT yang masuk ke
sediment ponds saat curah hujan tinggi mencapai 12,43 m3/s. Air asam tambang
yang ditampung pada sediment pond dialirkan ke settling pond melalui daerah
pelembahan sempit yang memanjang (Gambar 10). Menurut ketentuan US-EPA
(1988) bentuk lahan memanjang seperti kanal sempit sesuai untuk pembangunan
rawa buatan.
Peta Situasi
Lokasi Penelitian
Rawa
Hutan
Settling WMP 12
Pond
Hutan
Area Rawa
Buatan
Keterangan :
Jalan
Batas Catchment
Area WMP 12
Arah aliran air
Sediment Gorong-gorong
Pond WMP Baru Kantor SMO
Lahan
kosong Catchment
Area WMP 12
Area Revegetasi
Area Genangan
Sungai Segah
Asam berupa H2SO4 dapat dihasilkan dari proses oksidasi pirit (FeS2) yang
merupakan mineral penyusun pada OB. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan
reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:
Pada reaksi di atas pirit (FeS2) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe2+),
sulfat (SO42-) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H+), sehingga
lingkungan menjadi lebih masam. Hal ini menjadi menjadi penyebab timbulnya
AAT. Selain itu, potensi kemasaman juga dapat berasal dari oksidasi dan hidolisis
besi terlarut (Watzlaf et al., 2004) melalui reaksi berikut:
Debit Fe Mn SO4
Kriteria data pH
(m3/det) ..........................(mg/l)........................
Minimum 0,0002 2,8 2,6 3,4 350,8
Maksimum 0,3806 3,4 13,1 5,6 654,2
Rata-rata 0,0235 3,2 7,3 4,1 450,9
Lumpur
Lumpur yang digunakan terdiri dari lumpur endapan AAT pada area
tergenang (lumpur AAT) dan lumpur endapan dari kolam settling pond (lumpur
settling pond). Lumpur AAT berwarna kuning kecoklatan pada permukaan dan
pada bagian bawah menjadi abu-abu kehitaman dan berbau busuk. Sedangkan
lumpur settling pond merupakan endapan dari kolam pengelolaan AAT yang
dilakukan secara active treatment (pengapuran). Permukaan lumpur ini berwarna
lebih terang dari lumpur AAT dan berwarna abu-abu kehitaman pada bagian
bawah (dasar kolam).
28
Lumpur AAT yang dipilih untuk digunakan sebagai bahan pengisi pada
organic wall adalah lumpur pada bagian bawah yang berwarna abu kehitaman dan
mengeluarkan bau busuk. Diharapkan pada lumpur AAT ini terdapat berbagai
jenis bakteri pereduksi termasuk bakteri pereduksi sulfat. Bakteri pereduksi sulfat
(BPS) merupakan bakteri anaerob obligat yang tumbuh pada lingkungan mikro
yang anaerob (Willow dan Cohen, 2003). Sedangkan lumpur dari settling pond
digunakan sebagai bahan pengisi pada kolam pertumbuhan. Mengingat nilai pH
lumpur settling pond yang tinggi (lebih dari 7), maka pada kolam pertumbuhan
tidak perlu ditambahkan batu gamping pada dasar kolam.
Batu Gamping
Batu gamping (kapur) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
pegunungan kapur di wilayah Suaran, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan
Timur. Batu kapur berwarna putih kekuningan dengan diameter 10-20 cm. Daya
netralisasi kapur 85 % (prosedur dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran
3 dan 4). Batu gamping dihamparkan pada dasar parit organic wall dengan tujuan
dapat meningkatkan nilai pH pada substrat, sehingga dapat mendukung
pertumbuhan BPS.
Bahan Organik
Bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan organik
segar dan bahan organik yang sudah dikeringkan. Bahan organik segar diperoleh
dari pemangkasan rumput liar yaitu rumput kawat (Brachiaria sp.) dan beberapa
jenis Legum Cover Crop (LCC) di antaranya Centrosema sp. dan Colopogonim
sp. yang terdapat di sekitar lokasi penelitian.
29