Anda di halaman 1dari 5

25

DESKRIPSI KONDISI LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Tempat penelitian berada pada catchment area WMP 12 dengan luas area
142,16 Ha. Lokasi penelitian merupakan area pengelolaan air asam tambang
(AAT) yang dilengkapi dengan kolam penampungan (sediment pond) dan kolam
pengelolaan dan pengendapan (settling pond). Debit AAT yang masuk ke
sediment ponds saat curah hujan tinggi mencapai 12,43 m3/s. Air asam tambang
yang ditampung pada sediment pond dialirkan ke settling pond melalui daerah
pelembahan sempit yang memanjang (Gambar 10). Menurut ketentuan US-EPA
(1988) bentuk lahan memanjang seperti kanal sempit sesuai untuk pembangunan
rawa buatan.

Peta Situasi
Lokasi Penelitian
Rawa
Hutan

Settling WMP 12
Pond
Hutan
Area Rawa
Buatan
Keterangan :
Jalan
Batas Catchment
Area WMP 12
Arah aliran air
Sediment Gorong-gorong
Pond WMP Baru  Kantor SMO

Lahan
kosong Catchment
Area WMP 12

Area Revegetasi
Area Genangan

 Sungai Segah

Gambar 10 Peta situasi lokasi penelitian


26

Lokasi penelitian merupakan daerah aliran AAT yang tergenang sepanjang


tahun, sehingga sering disebut sebagai rawa. Namun, rawa ini belum bisa
mengelola AAT secara optimal. Hal ini terbukti dari nilai pH yang tidak berbeda
nyata antara sebelum memasuki rawa dan setelah keluar dari rawa. Oleh karena
itu, input teknologi diperlukan untuk meningkatkan kinerja rawa sebagai tempat
pengelolaan AAT. Konversi lahan tergenang tersebut menjadi rawa buatan
diharapkan dapat meningkatkan fungsi rawa sebagai tempat pengelolaan AAT.

Karakteristik Air Asam Tambang

Air asam tambang yang dikelola di lokasi penelitian sepenuhnya


merupakan limpasan hujan dari area revegetasi (disposal) dan jalan tambang dan
bukan hasil pemompaan dari pit tambang aktif. Air asam ini timbul akibat adanya
material overburden (OB) yang berpotensi masam ditimbun pada area revegetasi
(disposal) dengan lapisan tanah yang tipis (kurang dari 60 sentimeter). Erosi pada
permukaan tanah menyebabkan material ini tersingkap, sehingga material ini lebih
mudah teroksidasi dan bereaksi dengan air menghasilkan AAT.
Hasil analisis pada Tabel 2 menunjukkan bahwa contoh OB dapat
diklasifikasikan kepada golongan Tipe 2 yakni batuan dengan potensi pembentuk
asam kapasitas rendah (Badan Standardisasi Nasional, 2001).

Tabel 2 Karakteristik OB dari disposal berdasarkan uji NAG

Kode pH NAG pH 4,5 Tipe


%S Jenis Batuan
Sample NAG (Kg H2SO4/ton) Golongan

A-1 0,22 3,38 3,72 Potensi Pembentuk


Tipe 2 Asam Kapasitas Rendah
A-2 0,18 3,44 2,35 Potensi Pembentuk
Tipe 2 Asam Kapasitas Rendah
Keterangan:
A : Agathis = disposal paling dekat dengan lokasi penelitian
1, 2 : ulangan contoh

Asam berupa H2SO4 dapat dihasilkan dari proses oksidasi pirit (FeS2) yang
merupakan mineral penyusun pada OB. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan
reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:

FeS2(s)+ 3,5 O2 + H2O Fe+2 + 2SO4-2 + 2H+


27

Pada reaksi di atas pirit (FeS2) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe2+),
sulfat (SO42-) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H+), sehingga
lingkungan menjadi lebih masam. Hal ini menjadi menjadi penyebab timbulnya
AAT. Selain itu, potensi kemasaman juga dapat berasal dari oksidasi dan hidolisis
besi terlarut (Watzlaf et al., 2004) melalui reaksi berikut:

Fe2+ + 0,25 O2 + 1,5 H2O ---- FeOOH + 2 H+


Fe3+ + 2 H2O ---- FeOOH + 3 H+

Karakteristik AAT di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai pH


air yang rendah (<4,5) menunjukkan bahwa air asam tambang di lokasi penelitian
termasuk tipe net acid (Watzlaf et al., 2004).

Tabel 3 Karakteristik air asam tambang di lokasi penelitian

Debit Fe Mn SO4
Kriteria data pH
(m3/det) ..........................(mg/l)........................
Minimum 0,0002 2,8 2,6 3,4 350,8
Maksimum 0,3806 3,4 13,1 5,6 654,2
Rata-rata 0,0235 3,2 7,3 4,1 450,9

Karakteristik Bahan In Situ

Bahan-bahan in situ meliputi bahan yang tersedia di sekitar lokasi


penelitian yang dapat digunakan pada pembangunan rawa buatan. Bahan-bahan in
situ tersebut meliputi: lumpur, batu gamping dan bahan organik. Berikut
penjelasan karakteristik masing-masing bahan in situ tersebut:

Lumpur
Lumpur yang digunakan terdiri dari lumpur endapan AAT pada area
tergenang (lumpur AAT) dan lumpur endapan dari kolam settling pond (lumpur
settling pond). Lumpur AAT berwarna kuning kecoklatan pada permukaan dan
pada bagian bawah menjadi abu-abu kehitaman dan berbau busuk. Sedangkan
lumpur settling pond merupakan endapan dari kolam pengelolaan AAT yang
dilakukan secara active treatment (pengapuran). Permukaan lumpur ini berwarna
lebih terang dari lumpur AAT dan berwarna abu-abu kehitaman pada bagian
bawah (dasar kolam).
28

Tabel 4 Karakteristik kimia lumpur

Fe2+ Mn2+ SO42-


Jenis Contoh pH
mg/kg....
Lumpur AAT 3,2 121,2 10,5 307,4
Lumpur Settling Ponds 7,7 tr 30,5 222,2
Keterangan : tr = trace (tidak terukur)

Lumpur AAT yang dipilih untuk digunakan sebagai bahan pengisi pada
organic wall adalah lumpur pada bagian bawah yang berwarna abu kehitaman dan
mengeluarkan bau busuk. Diharapkan pada lumpur AAT ini terdapat berbagai
jenis bakteri pereduksi termasuk bakteri pereduksi sulfat. Bakteri pereduksi sulfat
(BPS) merupakan bakteri anaerob obligat yang tumbuh pada lingkungan mikro
yang anaerob (Willow dan Cohen, 2003). Sedangkan lumpur dari settling pond
digunakan sebagai bahan pengisi pada kolam pertumbuhan. Mengingat nilai pH
lumpur settling pond yang tinggi (lebih dari 7), maka pada kolam pertumbuhan
tidak perlu ditambahkan batu gamping pada dasar kolam.

Batu Gamping
Batu gamping (kapur) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
pegunungan kapur di wilayah Suaran, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan
Timur. Batu kapur berwarna putih kekuningan dengan diameter 10-20 cm. Daya
netralisasi kapur 85 % (prosedur dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran
3 dan 4). Batu gamping dihamparkan pada dasar parit organic wall dengan tujuan
dapat meningkatkan nilai pH pada substrat, sehingga dapat mendukung
pertumbuhan BPS.

Bahan Organik
Bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan organik
segar dan bahan organik yang sudah dikeringkan. Bahan organik segar diperoleh
dari pemangkasan rumput liar yaitu rumput kawat (Brachiaria sp.) dan beberapa
jenis Legum Cover Crop (LCC) di antaranya Centrosema sp. dan Colopogonim
sp. yang terdapat di sekitar lokasi penelitian.
29

Bahan organik kering merupakan bahan organik yang dikumpulkan dalam


kondisi kering atau dikeringkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan
pengisi pada komponen rawa buatan. Bahan organik kering meliputi: serasah daun
yang dikumpulkan dari hutan, daun-daun yang berasal dari pemangkasan dahan
pohon di pinggir jalan tambang dan hasil pemangkasan tanaman pakis liar
(Cyathea sp.) yang dikeringkan.

Anda mungkin juga menyukai