Anda di halaman 1dari 19

REFLEKSI KASUS Juli, 2017

Kista Bartholini

Disusun Oleh:

NAMA : Muhammad Akbar Anas


NIM : N 111 16 072

PEMBIMBING KLINIK
dr. Nur Hidayat, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
2

STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD UNDATA PALU

I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama pasien : Ny. A
2. Umur : 46 tahun
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Alamat : Dolo Tulo
6. Pekerjaan : URT
7. Tanggal pemeriksaan : 3 Juli 2017

II. ANAMNESIS
1. Keluhan utama:
Benjolan dikemaluan

2. Riwayat penyakit sekarang:


Pasien wanta usia 46 tahun datang dengan keluhan benjolan dikemaluan
yang dialami sejak 20 tahun lalu. Awalnya benjolan ini muncul setelah
melahirkan anaknya yang terakhir lalu kemudian menghilang namun lima
tahun terakhir benjolan tersebut muncul lagi dan ukurannya semakin
membesar serta mulai nyeri ketika ukurannya sudah besar seperti saat ini.
Pasien mengungkapkan Tidak ada perdarahan, belum pernah ada keluar
cairan. Tidak ada keputihan serta tidak ada gangguan berkemih maupun
buang air besar namun merasa kurang nyaman ketika membersihkan
kemaluanya setelah buang air
3. Riwayat penyakit terdahulu:

Riwayat HT (+), alergi obat (-), makanan (-),


3

4. Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ada keluarga yang menderita seperti ini.

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status generalis:
Kondisi umum : Sakit sedang
Status gizi : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
2. Tanda vital:
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Suhu : tidak dilakukan pengukuran suhu
Respirasi : 18 x/menit
Nadi : 72 x/menit
3. Status dermatologis:
Kepala : Tidak terdapat UKK
Wajah : Tidak terdapat UKK.
Leher : Tidak terdapat UKK
Ketiak : Tidak terdapat UKK
Perut : : Tidak terdapat UKK
punggung : Tidak terdapat UKK
Bokong : Tidak terdapat UKK
Genitalia : Tampak benjolan di labia minora sinistra dengan
ukuran 3 x 2 x 2 cm, kenyal, batas tegas, tidak
hiperemis, tidak nyeri, tidak ada discharge.
Ekstremitas atas : Tidak terdapat UKK
Ekstremitas bawah : Tidak terdapat UKK.
4

IV. GAMBAR

Gambar 1. Tampak benjolan di labia minora sinistra dengan ukuran 3


x 2 x 2 cm, kenyal, batas tegas, tidak hiperemis,
tidak nyeri, tidak ada discharge.

V. RESUME
Pasien wanita usia 46 tahun datang dengan keluhan benjolan dikemaluan
yang dialami sejak 20 tahun lalu. Awalnya benjolan ini muncul setelah
melahirkan anaknya yang terakhir lalu kemudian menghilang namun lima
tahun terakhir benjolan tersebut muncul lagi dan ukurannya semakin
membesar serta mulai nyeri tidak gatal ketika ukurannya sudah besar seperti
saat ini. Pasien mengungkapkanmerasa kurang nyaman ketika
membersihkan kemaluanya setelah buang air. Hipertensi ada, dengan status
dermatologis berupa benjolan di labia minora sinistra dengan ukuran 3 x 2 x
2 cm, kenyal, batas tegas, tidak hiperemis, tidak nyeri, tidak ada discharge.
VI. DIAGNOSA KERJA
Kista Bartholini
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Fibroma
2. Kista Sebaceous
5

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN


Kultur bakteri

IX. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa:
- Menjaga higinitas diri
- Mencegah gosokan atau garukan
Medikamentosa:
- cefixim 1 x 400 mg

RencanaTindakan :
Tindakan operatif

X. PROGNOSIS
1. Qua ed vitam : ad bonam
2. Qua ed funsionam : ad bonam
3. Qua ed cosmetican : dubia
4. Qua ed sanationam : dubia
6

PEMBAHASAN

Kelenjar Bartholin terletak bilateral di posterior introitus dan bermuara


dalam vestibulum pada posisi arah jam 4 dan 8. Kelenjar ini biasanya berukuran
sebesar kacang dan tidak teraba kecuali pada keadaan penyakit atau infeksi. Pada
masa pubertas, kelenjar ini mulai berfungsi, memberikan kelembaban bagi
vestibulum.
Kista Bartholin merupakan masalah umum pada wanita usia reproduksi. Di
Amerika Serikat, insidensnya adalah sekitar 2% dari wanita usia reproduksi akan
mengalami pembengkakan pada salah satu atau kedua kelenjar Bartholin.
Penyakit yang menyerang kelenjar Bartholin biasanya terjadi pada wanita antara
usia 20 dan 30 tahun. Pembesaran kelenjar Bartholin pada pasien yang berusia
lebih dari 40 tahun jarang ditemukan, dan perlu dikonsultasikan pada gynecologist
untuk dilakukan biopsi.
Penyebab dari kelainan kelenjar Bartholin adalah tersumbatnya bagian distal
dari duktus kelenjar yang menyebabkan retensi dari sekresi, sehingga terjadi
pelebaran duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi,
dan selanjutnya berkembang menjadi abses. Abses Bartholin selain merupakan
akibat dari kista terinfeksi, dapat pula disebabkan karena infeksi langsung pada
kelenjar Bartholin.

Gambar 1. Anatomi kelenjar Bartholin.


7

Gambar 2. Pembesaran unilateral pada Abses Bartholin


Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartholin dapat menyebabkan
retensi dari sekresi, dengan akibat berupa pelebaran duktus dan
pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan abses bisa
berkembang dalam kelenjar. Kelenjar Bartholin sangat sering terinfeksi dan
dapat membentuk kista atau abses pada wanita usia reproduksi. Kista dan
abses bartholin seringkali dibedakan secara klinis. Kista Bartholin terbentuk
ketika ostium dari duktus tersumbat, sehingga menyebabkan distensi dari
kelenjar dan tuba yang berisi cairan. Sumbatan ini biasanya merupakan
akibat sekunder dari peradangan nonspesifik atau trauma. Kista bartholin
dengan diameter 1-3 cm seringkali asimptomatik. Sedangkan kista yang
berukuran lebih besar, kadang menyebabkan nyeri dan dispareunia.
8

Pasien dengan kista dapat memberi gejala berupa pembengkakan


labial tanpa disertai nyeri. Pasien dengan abses dapat memberikan gejala
sebagai berikut:
Nyeri yang akut disertai pembengkakan labial unilateral.
Dispareunia
Nyeri pada waktu berjalan dan duduk
Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge (
sangat mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses)
Hasil pemeriksaan fisik yang dapat diperoleh dari pemeriksaan
terhadap Kista Bartholin adalah sebagai berikut:
Pasien mengeluhkan adanya massa yang tidak disertai rasa sakit,
unilateral, dan tidak disertai dengan tanda tanda selulitis di
sekitarnya.
Jika berukuran besar, kista dapat tender.
Discharge dari kista yang pecah bersifat nonpurulent
Sedangkan hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pemeriksaan
terhadap abses Bartholin sebagai berikut:
Pada perabaan teraba massa yang tender, fluktuasi dengan daerah
sekitar yang eritema dan edema.
Dalam beberapa kasus, didapatkan daerah selulitis di sekitar abses.
Demam, meskipun tidak khas pada pasien sehat, dapat terjadi.
Jika abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat discharge yang
purulen.

Gambar 3. Abses Bartholin


9

Kista Bartholin harus dibedakan dari abses dan dari massa vulva
lainnya. Karakteristik dari lesi kistik dan solid dari vulva dapat dilihat pada
Tabel 2. Karena kelenjar Bartholin mengecil saat usia menopause, suatu
pertumbuhan massa pada wanita postmenopause perlu dievaluasi terhadap
tanda tanda keganasan, terutama bila massanya bersifat irreguler, nodular,
dan keras.10

Karsinoma kelenjar Bartholin memiliki persentase sekitar 1% dari


kanker vulva, dan walaupun kasusnya jarang, merupakan tempat tersering
timbulnya adenocarcinoma. Sekitar 50% dari tumor kelenjar Bartholin
adalah karsinoma sel skuamosa. Jenis lain dari tumor yang timbul di
10

kelenjar Bartholin adalah adenokarsinoma, kistik adenoid (suatu


adenokarsinoma dengan histologis spesifik dan karakteristik klinis),
adenosquamousa, dan transitional cell carcinoma.
Karena mungkin sulit untuk membedakan tumor Bartholin dari kista
Bartholin yang jinak hanya dengan pemeriksaan fisik, setiap wanita berusia
lebih dari 40 tahun perlu menjalani tindakan biopsi untuk menyingkirkan
kecurigaan neoplasma, dimana penyakit inflamasi jarang ditemui pada usia
tersebut. Karena lokasinya yang jauh di dalam, tumor dapat mempengaruhi
rektum dan langsung menyebar melalui fossa ischiorectalis. Akibatnya,
tumor ini dapat masuk ke dalam saluran limfatik yang langsung menuju ke
kelenjar getah bening inguinal profunda serta superficialis. Kesalahan dalam
mendiagosis keganasan Bartholin akan memberikan prognosa yang buruk,
sehingga ketepatan dan kecepatan dalam mendiagnosa sangat diperlukan.
Beberapa kondisi berikut ini dapat merupakan sugestif keganasan
kelenjar Bartholin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut
hingga biopsi:
Usia yang lebih tua dari 40 tahun
Massa yang tidak nyeri, kronis, dan bertambah besar secara progresif
Massa yang solid, tidak fluktuasi, dan tidak nyeri
Terdapat riwayat keganasan labial sebelumnya.

Apabila pasien dalam kondisi sehat, afebris; tes laboratorium darah


tidak diperlukan untuk mengevaluasi abses tanpa komplikasi atau kista.
Kultur bakteri dapat bermanfaat dalam menentukan kuman dan pengobatan
yang tepat bagi abses Bartholin.
Beberapa jenis lesi vulva dan vagina dapat menyerupai kista Bartholin.
Beberapa diantaranya adalah:
1. Kista sebaceous pada vulva sangat sering ditemukan. Kista sebaseous
ini merupakan suatu kista epidermal inklusi dan seringkali
asimptomatik. Pada keadaan terinfeksi, diperlukan incisi dan drainase
sederhana.
11

2. Dysontogenetic cysts merupakan kista jinak yang berisi mukus dan


berlokasi pada introitus atau labia minora. Terdiri dari jaringan yang
menyerupai mukosa rektum, dan seringkali asimptomatik.
3. Hematoma pada vulva. Dapat dibedakan dengan adanya trauma akibat
berolahraga, kekerasan.
4. Fibroma merupakan tumor solid jinak vulva yang sering ditemukan.
Indikasi untuk eksisi berupa timbulnya rasa nyeri, pertumbuhan yang
progresif, dan kosmetik.
5. Hidradenoma merupakan tumor jinak yang dapat muncul pada labia
majora dan labia minora. Perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
biopsi apabila timbul perdarahan dan diangkat bila timbul gejala.
Pengobatan kista Bartholin bergantung pada gejala pasien. Suatu kista
tanpa gejala mungkin tidak memerlukan pengobatan, kista yang
menimbulkan gejala dan abses kelenjar memerlukan drainase.2

Tindakan Operatif
Beberapa prosedur yang dapat digunakan:
1. Incisi dan Drainase
Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat
dan mudah dilakukan serta memberikan pengobatan langsung pada
pasien, namun prosedur ini harus diperhatikan karena ada
kecenderungan kekambuhan kista atau abses.1,5,16 Ada studi yang
melaporkan, bahwa terdapat 13% kegagalan pada prosedur ini.17

2. Word Catheter
Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960-
an. Merupakan sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat
digembungkan dengan saline pada ujung distalnya, biasanya
digunakan untuk mengobati kista dan abses Bartholin.12 Panjang dari
kateter karet ini adalah sekitar 1 inch dengan diameter No.10 French
12

Foley kateter. Balon kecil di ujung Word catheter dapat menampung


sekitar 3-4 mL larutan saline (Gambar 4).

Gambar 4. Word Catheter

Adapun alat alat yang diperlukan dalam pemasangan Word


catheter tercantum pada tabel 3. Setelah persiapan steril dan
pemberian anestesi lokal, dinding kista atau abses dijepit dengan
forceps kecil dan blade no.11 digunakan untuk membuat incisi
sepanjang 5mm pada permukaan kista atau abses.2,16 Penting untuk
menjepit dinding kista sebelum dilakukan incisi, atau bila tidak kista
dapat collapse dan dapat terjadi incisi pada tempat yang salah.16 Incisi
harus dibuat dalam introitus external hingga ke cincin hymenal pada
area sekitar orifice dari duktus.10,16 Apabila incisi dibuat terlalu besar,
Word catheter dapat lepas.
13

Setelah insisi dibuat, Word catheter dimasukkan, dan ujung


balon dikembangkan dengan 2ml hingga 3 ml larutan saline. Balon
yang mengembang ini membuat kateter tetap berada di dalam rongga
kista atau abses (Gambar 5). Ujung bebas dari kateter dapat
dimasukkan ke dalam vagina.16 Agar terjadi epitelisasi pada daerah
bekas pembedahan, Word catheter dibiarkan di tempat selama empat
sampai enam minggu,1,10,16 meskipun epithelialisasi mungkin terjadi
lebih cepat, sekitar tiga sampai empat minggu.18 Jika Kista Bartholin
atau abses terlalu dalam, pemasangan Word catheter tidak praktis, dan
pilihan lain harus dipertimbangkan.10
Abses biasanya dikelilingi oleh selulitis yang signifikan, dan
pada kasus-kasus tersebut, antibiotik diperlukan. Antibiotik yang
digunakan harus merupakan antibiotik spektrum luas untuk mengobati
infeksi polymicrobial dengan aerob dan anaerob. Dapat dilakukan
kultur untuk mencari kuman penyebab. Selama menunggu hasil
kultur, diberikan terapi antibiotik empiris. Pasien dianjurkan untuk
merendam di bak mandi hangat dua kali sehari (Sitz bath). Koitus
harus dihindari untuk kenyamanan pasien dan untuk mencegah
lepasnya Word catheter.

Gambar 5. Pemasangan Word Catheter

Sitz bath (disebut juga hip bath, merupakan suatu jenis mandi,
dimana hanya bagian pinggul dan bokong yang direndam di dalam air
14

atau saline; berasal dari Bahasa Jerman yaitu sitzen yang berarti
duduk.) dianjurkan dua sampai tiga kali sehari dapat membantu
kenyamanan dan penyembuhan pasien selama periode pasca operasi.

Gambar 6. Alat yang digunakan untuk Sitz Bath

3. Marsupialisasi
Alternatif pengobatan selain penempatan Word catheter adalah
marsupialisasi dari kista Bartholin (Gambar 7). Prosedur ini tidak
boleh dilakukan ketika terdapat tanda tanda abses akut.10

Gambar 7. Marsupialisasi Kista Bartholin;


(Kiri) Suatu incisi vertikal dibuat pada bagian tengah kista, lalu
pisahkan mukosa sekitar; (Kanan) Dinding kista dieversi dan
ditempelkan pada tepi mukosa vestibular dengan jahitan interrupted.
15

Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi


lokal, dinding kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat
incisi vertikal pada vestibular melewati bagian tengah kista dan bagian
luar dari hymenal ring. Incisi dapat dibuat sepanjang 1.5 hingga 3 cm,
bergantung pada besarnya kista. Berikut adalah peralatan yang
diperlukan dalam melakukan tindakan marsupialisasi.

Setelah kista diincisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat
diirigasi dengan larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan
hemostat. Dinding kista ini lalu dieversikan dan ditempelkan pada
dindung vestibular mukosa dengan jahitan interrupted menggunakan
benang absorbable 2-0.18 Sitz bath dianjurkan pada hari pertama
setelah prosedur dilakukan. Kekambuhan kista Bartholin setelah
prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10%. Komplikasi yang
timbul berkaitan dengan dyspareunia, hematoma, dan infeksi.1
16

4. Eksisi (Bartholinectomy)
Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada
pasien yang tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini
harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.
Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka
sebaiknya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi
umum. Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat
insisi kulit berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada
vestibulum dekat ujung medial labia minora dan sekitar 1 cm lateral
dan parallel dari hymenal ring. Hati hati saat melakukan incisi kulit
agar tidak mengenai dinding kista.
Struktur vaskuler terbesar yang memberi supply pada kista
terletak pada bagian posterosuperior kista. Karena alasan ini, diseksi
harus dimulai dari bagian bawah kista dan mengarah ke superior.
Bagian inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari
jaringan sekitar (Gambar 8). Alur diseksi harus dibuat dekat dengan
dinding kista untuk menghindari perdarahan plexus vena dan
vestibular bulb dan untuk menghindari trauma pada rectum.

Gambar 8. Diseksi Kista


17

Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan,


vaskulariasi utama dari kista dicari dan diklem dengan menggunakan
hemostat. Lalu dipotong dan diligasi dengan benang chromic atau
benang delayed absorbable 3-0.

Gambar 9. Ligasi Pembuluh Darah

Cool packs pada saat 24 jam setelah prosedur dapat mengurangi


nyeri, pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, dapat
dianjurkan sitz bath hangat 1-2 kali sehari untuk mengurangi nyeri
post operasi dan kebersihan luka.

Pengobatan Medikamentosa
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular
seksual biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan
chlamydia. Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan
insisi dan drainase.

Beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan abses bartholin:


1. Ceftriaxone
Sebuah monoterapi efektif untuk N gonorrhoeae. Ceftriaxone
adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum
terhadap bakteri gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap
18

bakteri gram-positif, dan efficacy yang lebih tinggi terhadap bakteri


resisten. Dengan mengikat pada satu atau lebih penicillin-binding
protein, akan menghambat sintesis dari dinding sel bakteri dan
menghambat pertumbuhan bakteri.
Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose
2. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan
antibiotik tipe bakterisida yang menghambat sintesis DNA bakteri
dan, oleh sebab itu akan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menginhibisi DNA-gyrase pada bakteri.
Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari
3. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara
berikatan dengan 30S dan 50S subunit ribosom dari
bakteri. Diindikasikan untuk C trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari.
4. Azitromisin
Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedang yang
disebabkan oleh beberapa strain organisme. Alternatif monoterapi
untuk C trachomatis.
Dosis yang dianjurkan: 1 g PO 1x
Jika abses dengan didrainase dengan baik dan kekambuhan dicegah,
prognosisnya baik. Tingkat kekambuhan umumnya dilaporkan kurang dari
20%.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Stenchever MA. Comprehensive gynecology. 4th ed. St. Louis: Mosby,


2001:4826,6456.
2. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,
Cunningham FG, "Chapter 4. Benign Disorders of the Lower Reproductive
Tract" (Chapter). Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL,
Bradshaw KD, Cunningham FG: Williams Gynecology. USA: McGraw-
Hill
3. Hill DA, Lense JJ. Office management of Bartholin gland cysts and
abscesses. J Am Fam Physician. 1998;57:16116.161920.
4. Govan AD, Hodge C, Callander R. Gynaecology illustrated. 3d ed New
York: Churchill Livingstone, 1985:19,1956
5. Kaufman RH. Benign diseases of the vulva and vagina. 4th ed. St Louis:
Mosby, 1994:168248.
6. Stillman FH, Muto MG. The vulva. In: Ryan KJ, Berkowitz RS, Barbieri
RL, eds. Kistner's Gynecology: principles and practice. 6th ed. St. Louis:
Mosby, 1995:668.
7. Visco AG, Del Priore G. Postmenopausal Bartholin gland enlargement: a
hospital-based cancer risk assessment. Obstet Gynecol. 1996;87:28690.
8. Wilkinson EJ, Stone IK. Atlas of vulvar disease. 5th ed. Baltimore:
Williams & Wilkins, 1995:115.
9. Cheetham DR. Bartholin's cyst: marsupialization or aspiration?. Am J Obstet
Gynecol. 1985;152:56970.
10. Word B. Office treatment of cyst and abscess of Bartholin's gland duct.
South Med J. 1968;61:5148.

Anda mungkin juga menyukai