Anda di halaman 1dari 3

1.

Kepercayaan awal dan elementer (usia kanak-kanak, 0 2 atau 3 tahun)


Rasa percaya elementer dan dasariah ini timbul sebagai kecondongan spontan
yang bersifat pralinguistis sebelum munculnya kemampuan berbahasa - untuk
mengandalkan seluruh hubungan timbal balik antara bayi dan lingkungan
sekitar, terutama orang-orang yang secara tetap, teratur dan setia mengasuh dan
memeliharanya (orangtua terutama ibu)...seluruh interaksi timbal balik tersebut
menimbulkan dalam diri anak sejenis pengharapan dan rasa percaya yang
organismik dan penting, bahwa lingkungan fisik dan sosial yang menerima bayi
dengan baik sehingga menjadi rumah kediaman yang aman boleh
dipercayai dan diandalkan. Pengalaman bahwa si pengasuh memeliharanya
sebagai pribadi yang dicintai dan sangat bernilai membuat si bayi percaya diri.
Berkat kepercayaan dasar, anak akan sanggup mengatasi segala ketakutan dan
kecemasan sepanjang perkembangan, yang disebabkan oleh hilangnya ibu dan
rasa terpisah darinya.
2. Kepercayaan intuitive-projektive (masa kanak-kanak, 3 7 tahun).
Tahap ini membuat kepekaan anak terhadap dunia misteri dan Yang Ilahi serta
tanda-tanda nyata kekuasaan. Gambaran-gambaran intuitif-konkret dan
imajinatif ini menyingkapkan keinsyafan akan misteri hidup dan Yang Suci.
Dan karena anak sungguh-sungguh memperhatikan segala gerak isyarat,
upacara dan kata-kata yang digunakan oleh orang-orang dewasa untuk
mengungkapkan kepercayaan mereka, maka kemampuan dan minat anak
terhadap misteri dan Yang Suci diarahkan dan dibina oleh persepsinya
mengenai pandangan dan keyakinan religius orang dewasa. Pada tahap ini
terbentuklah sejumlah gambaran yang mewakili segala daya, baik yang bersifat
melindungi maupun mengancam anak. Dunia gambaran dan imajinasi ini
menguasai seluruh hidup afektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan
si anak. Gambaran-gambaran tersebut menjadi kuat, bertahan lama dan tetap
mempengaruhi secara positif atau negatif seluruh khazanah emosional dan
kognitif kepercayaan anak di kemudian hari.
3. Kepercayaan mitis-harafiah (masa kanak-kanak, usia 7 12 tahun).
Pada tahap ini anak mulai belajar melepaskan diri dari sikap egosentrismenya,
mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain, serta
memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan orang lain.
Berkat daya logika baru dan pengambilan perpektif orang lain tersebut, maka
anak sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya
dengan tolok ukur logikanya sendiri, pengecekan atau pengamatannya, dan
pandangan religius orang dewasa yang diandalkannya sebagai sumber autoritas.
Pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun dunia batin yaitu seluruh
perasaan, sikap dan proses penuntun batiniah, yang dimilikinya sendiri. Apabila
ia mau mengerti tatanan moral, kenyataan dan hidup, maka ia bersandar pada
struktur-struktur ekstern sikap kejujuran dan mengandalkan orang dewasa yang
masih dipandang sebagai intansi wibawa moral. Pandangan moralnya menuntut
bahwa yang baik harus dihadiahi dan yang jahat harus dihukum. Pada tahap ini
ceritalah yang menjadi sarana utama anak untuk mengumpulkan berbagai arti
menurut sifat keterkaitannya dan untuk membentuk pendapatnya.
4. Kepercayaan sintetis-konvensional masa adolesen dan seterusnya, usia 12
tahun sampai sekitar 20 tahun).
Disekitar umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal
dalam caranya memberi arti. Karena munculnya kemampuan kognitif baru,
yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan
pribadi orang lain menurut pola pengambilan perspektif antarpribadi secara
timbal balik. Yang perlu ialah mengintegrasikan segala gambaran diri yang
begitu berbeda supaya menjadi satu identitas diri yang koheren. Maka tugas
paling pokok tahap ini adalah upaya menciptakan sintesis identitas. Oleh sebab
itu tahap ini disebut sintetis. Soal identitas dan diri batiniah, baik pada diri
sendiri maupun pada orang lain, menjadi topik paling mengasyikan bagi remaja.
Seluk beluk kepribadian, gaya dan sisinya menjadi titik perhatian mereka.
5. Kepercayaan individual-reflektif (usia 20 tahun ke atas awal masa dewasa).
Pola dasar kepercayaan ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atas seluruh
pendapat, keyakinan, dan nilai (religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat
diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan,
tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggung jawab atas
penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk
meningkatkan diri dengan cara menunjukan kesetiaan pada seluruh hubungan
dan panggilan tugas.
6. Kepercayaan konjungtif (usia 35 tahun ke atas).
Pada tahap ini semua yang diupayakan di bawah kuasa kesadaran dan
pengontrolan rasio pada tahap sebelumnya, kini ditinjau kembali. Batas-batas
sistem pandangan hidup dan identitas diri yang jelas, kaku, dan tertutup, kini
menjadi lentur. Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru
terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat
kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran hanya akan terwujud apabila paradoks
dan sebagainya itu diakui dan diungkap dalam bentuk pemikiran dialektis.
Orang mencari berbagai cara dan daya untuk mempersatukan pertentangan-
pertentangan yang terdapat di dalam pikiran dan pengalamannya, karena sadar
bahwa manusia membuka sebuah tafsiran majemuk terhadap kenyataan
multidimensional.
7. Kepercayaan universalitas (usia 45 tahun ke atas).
Pada tahap ini pribadi melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya
hidupnya langsung berakar pada kesatuan yang ultim, yaitu pusat nilai,
kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Identifikasi dan partisipasi dengan
yang ultim (Yang Satu dan Tunggal) sebagai dasar dan sumber segala yang
hidup menjadi mungkin, karena pribadi berhasil melepaskan diri dari egonya
dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolak ukur
kehidupan yang mutlak. Dia melampaui keterikatan pada pusat-pusat nilai dan
kekuasaan yang terbatas dan relatif, serta memperoleh semangat hidup dan
penyerahan diri total dan rasa bersatu dengan realitas Transenden yang Satu dan
Tunggal... Visi tanggung jawab universal mendorongnya untuk membaktikan
seluruh diri penuh cinta kasih dalam berbagai macam keterlibatan etis dan
kreatif, misalnya tekad untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan,
mengatasi segala macam penindasan dan situasi yang kurang
berperikemanusiaan, membongkar pandangan picik dan akuistik, serta ide dan
idola palsu yang biasanya dianut oleh masyarakat luas.

Anda mungkin juga menyukai