Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perubahan paradigma dalam dunia pendidikan sekarang ini menuntut kerja
keras dan tanggung jawab guru untuk lebih professional. Guru harus dapat
mengubah paradigma mengajar dari teaching ke learning. Guru harus mengubah
perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner,
tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan
pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Siswa harus aktif dalam pencarian dan
pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang
disampaikan oleh guru. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas
siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan
menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Menjadikan siswa aktif, kreatif dan menjadi seorang problem solver yang
baik tentunya bukan hal yang mudah, anak harus mempunyai kemampuan
berpikir yang baik. Guru harus bekerja keras mengubah gaya mengajarnya dengan
memberi peluang dan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi
pengetahuannya secara lebih mandiri. Salah satu trend atau arah pembelajaran
sekolah saat ini untuk menciptakan pembelajaran menjadi lebih bermakna adalah
penggunaan konteks dalam pembelajaran. Inovasi tersebut seperti pembelajaran
kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL).
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning adalah
pembelajaran bermakna dimana siswa dituntut untuk dapat menghubungkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan konteks kehidupan nyata siswa. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pendekatan pembelajaran
kontekstual.

1
1.2. Rumusan Masalah
Adapun topik-topik masalah yang akan dibahas dalam makalah pendekatan
pembelajaran kontekstual ini adalah:
1. Pengertian pendekatan pembelajaran kontekstual.
2. Teori yang melandasi pendekatan pembelajaran kontekstual.
3. Komponen-komponen pendekatan pembelajaran kontekstual.
4. Sintaks pendekatan pembelajaran kontekstual.
5. Sistem sosial pendekatan pembelajaran kontekstual.
6. Kelebihan dan kelemahan pendekatan pembelajaran kontekstual.
7. Metode Resitasi (penugasan)

1.3. Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Memahami pengertian pendekatan pembelajaran kontekstual.
2. Memahami teori yang melandasi pendekatan pembelajaran kontekstual.
3. Memahami komponen-komponen pendekatan pembelajaran kontekstual.
4. Memahami sintaks pendekatan pembelajaran kontekstual.
5. Memahami sistem sosial pendekatan pembelajaran kontekstual.
6. Memahami kelebihan dan kekurangan pendekatan pembelajaran
kontekstual.
7. Memahami pengertian dan penerapan metode resitasi (penugasan)

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


Elaine B. Johnson (2007 : 35) mengatakan pembelajaran dan pengajaran
kontekstual, sebagai sebuah sistem mengajar, didasarkan pada pikiran bahwa
makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberikan
makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu
konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Jadi, sebagian besar
tugas seorang guru adalah menyediakan konteks. Semakin mampu para siswa
mengaitkan pelajaran-pelajaran akademis mereka dengan konteks ini, semakin
banyak makna yang akan mereka dapatkan dari pelajaran tersebut. Mampu
mengerti makna dari pengetahuan dan keterampilan akan menuntun pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam
aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan
konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para
siswa melihat makna dalam tugas sekolah. Ketika para siswa menyusun proyek
atau menemukan permalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihan dan
menerima tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan, ketika
mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan,
menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka mengaitkan isi
akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan, dan dengan cara ini mereka
menemukan makna.
Kesimpulan menurut Johnson, pendekatan pembelajaran kontekstual adalah
sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna. Pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pengajaran
yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan
muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari.
Menurut U.S. Department of Education and the National School-to-Work
Office, Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsepsi
membantu guru mengaitkan konten materi ajar dengan situasi dunia nyata dan

3
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya ke
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga
kerja ( Trianto, 2009 : 104).
Menurut Trianto (2009 : 107), pembelajaran kontekstual dapat dikatakan
sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui dan menunjukkan
kondisi alamiah dari pengetahuan.
Sedangkan Sanjaya (2011 : 255) mendefinisikan bahwa pendekatan
pembelajaran kontekstual adalah suatu model pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi
yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah pendekatan pembelajaran yang menghubungkan materi yang sedang
dipelajari dengan kehidupan nyata siswa guna untuk mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan masalah kehidupan nyata
siswa.

2.2. Teori yang Melandasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


Landasan pendekatan pembelajaran kontekstual berakar dari paham
progresivisme John Dewey. Dimana dalam penerapannya, siswa akan belajar
dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah
mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam
proses belajar di sekolah. Pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain: (1)
siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi
sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru; (2) siswa harus
bebas agar dapat berkembang dengan wajar; (3) penumbuhan minat melalui
pengalaman langsung untuk merangsang belajar; (4) guru sebagai pembimbing
dan peneliti; (5) harus ada kerja sama antara sekolah dengan masyarakat; (6)
sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.
Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif melatarbelakangi pula
pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat

4
secara aktif dengan segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan
sendiri. Siswa menunjukkan belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan
apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan
intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan
introspeksi.
Berpijak pada dua pandangan itu filosofi konstruktivisme berkembang.
Dasar pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas
dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksikan sendiri
pengetahuannya melalui landasan filosofi konstruktivisme, pendekatan
kontekstual dipromosikan menjadi alternatif pendekatan belajar yang baru.
Melalui cara ini, siswa diharapkan melalui mengalami bukan menghapal.
Dengan paham konstruktivisme, siswa diharapkan dapat membangun
pemahaman sendiri dengan pengalaman/pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang
mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman bermakna. Siswa
diharapkan mampu mempraktekkan pengetahuan/pengalaman yang telah
diperoleh dalam konteks kehidupan. Hakikat teori konstruktivisme adalah bahwa
siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori
konstruktivisme memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-
informasi yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-
aturan yang tidak sesuai lagi. Teori konstruktivisme menuntut siswa berperan
aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa aktif,
maka pembelajaran pendekatan konstekstual sering disebut pengajaran yang
berpusat pada siswa atau (student centered instruction). (Andayani, 2015 : 217)

2.3. Komponen-komponen Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama yang harus
dikembangkan oleh guru, yaitu:
1. Konstruktivisme (Construktivism)
Konstruktivisme (construktivism) merupakan landasan berpikir (filosofi)
pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk

5
diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi
makna melalui pengalaman yang nyata. Batasan di atas memberikan
penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian integral dari
pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari
setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan
pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata.
Oleh karena itu, dalam CTL, strategi untuk membelajarkan siswa
menghubungkan antara setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur
yang diutamakan dibandingkan dengan penekanan terhadap seberapa banyak
pengetahuan yang harus diingat oleh siswa.

2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan, merupakan kegitan inti dari CTL, melalui upaya menemukan
akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta
kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan
sendiri.

3. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Bertanya
merupakan merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya
dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau
kemampuan guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong
pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. Oleh karena itu,
bertanya harus diterapkan dalam pembelajaran dan guru harus memfasilitasi,
karena cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya produktivitas
pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya: 1) dapat menggali
informasi, baik administrasi maupun akademik; 2) mengecek pemahaman
siswa; 3) membangkitkan respon siswa; 4) mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa; 5) mengetahui hal-hal yang diketahui siswa; 6)
memfokuskan perhatian siswa; 7) membangkitkan lebih banyak lagi

6
pertanyaan dari siswa; dan 8) menyegarkan kembali pengetahuan yang
dimiliki siswa.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)


Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan
kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya.
Seperti yang disarankan dalam learning community, bahwa hasil pembelajaran
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman
(sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan
menerima, sifat ketergantungan yang positif dalam learning community
dikembangkan. Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar
dalam CTL sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas memanfaatkan
masyaraat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa semestinya dibimbing dan
diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan
sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di
dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan
masyarakat).

5. Pemodelan (Modeling)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rumitnya permasalahan hidup
yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin berkembang dan
beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki
kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini
guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, karena dengan segala
kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan
untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa
yang cukup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat
dijadikan alternatif untuk mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa
memenuhi harpan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi
keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.

7
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja
dipelajari. Dengan kata lain refeksi adalah berpikir ke belakang tentang apa-
apa yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan yang
bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui
penerimaan, pengolahan dan pengendapan yang dijadikan sandaran dalam
menanggapi gejala yang muncul kemudian. Melalui model CTL, pengalaman
belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seseorang siswa berada di
dalam kelas, akan tetapi bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut ke
luar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan
permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari.

7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)


Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi untuk
mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui
penerapan CTL. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan
informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap
pengalaman belajar siswa. Guru akan mengetahui kemajuan, kemunduran dan
kesulitan siswa dalam belajar, dan guru akan memiliki kemudahan untuk
melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan
belajar dalam langkah selanjutnya. Dengan cara tersebut, guru secara nyata
akan mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya (Rusman, 2014 :
193-197).

8
Definisi Penilaian Autentik menurut Kurikulum 2013
1. Penilaian autentik (Authentic Assessment) adalah pengukuran yang bermakna
secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan.
2. Istilah Assessment merupakan sinonim dari penilaian, pengukuran, pengujian,
atau evaluasi.
3. Istilah autentik merupakan sinonim dari asli, nyata, valid, atau reliabel.
4. Secara konseptual penilaian autentik lebih bermakna secara signifikan
dibandingkan dengan tes pilihan ganda terstandar sekali pun.
5. Ketika menerapkan penilaian autentik untuk mengetahui hasil dan prestasi
belajar peserta didik, guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan
konstruksi pengetahuan, aktivitas mengamati dan mencoba, dan nilai prestasi
luar sekolah.

Penilaian Autentik dan Tuntutan Kurikulum 2013


1. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam
pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013.
2. Penilaian tersebut mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta
didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun
jejaring, dan lain-lain.
3. Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau
kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi
mereka dalam pengaturan yang lebih autentik.
4. Penilaian autentik sangat relevan dengan pendekatan tematik terpadu dalam
pembejajaran, khususnya jenjang sekolah dasar atau untuk mata pelajaran
yang sesuai.
5. Penilaian autentik sering dikontradiksikan dengan penilaian yang
menggunakan standar tes berbasis norma, pilihan ganda, benar-salah,
menjodohkan, atau membuat jawaban singkat.
6. Tentu saja, pola penilaian seperti ini tidak diantikan dalam proses
pembelajaran, karena memang lazim digunakan dan memperoleh legitimasi
secara akademik.

9
7. Penilaian autentik dapat dibuat oleh guru sendiri, guru secara tim, atau guru
bekerja sama dengan peserta didik.
8. Dalam penilaian autentik, seringkali pelibatan siswa sangat penting.
Asumsinya, peserta didik dapat melakukan aktivitas belajar lebih baik ketika
mereka tahu bagaimana akan dinilai.
9. Peserta didik diminta untuk merefleksikan dan mengevaluasi kinerja mereka
sendiri dalam rangka meningkatkan pemahaman yang lebih dalam tentang
tujuan pembelajaran serta mendorong kemampuan belajar yang lebih tinggi.
10. Pada penilaian autentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan
konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan, dan pengalaman yang diperoleh dari
luar sekolah.
11. Penilaian autentik mencoba menggabungkan kegiatan guru mengajar, kegiatan
siswa belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik, serta keterampilan
belajar.
12. Karena penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru dan
peserta didik berbagi pemahaman tentang kriteria kinerja.
13. Dalam beberapa kasus, peserta didik bahkan berkontribusi untuk
mendefinisikan harapan atas tugas-tugas yang harus mereka lakukan.
14. Penilaian autentik sering digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan
peserta didik, karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk
belajar bagaimana belajar tentang subjek.
15. Penilaian autentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik,
bagaimana mereka menerapkan pengetahuannya, dalam hal apa mereka sudah
atau belum mampu menerapkan perolehan belajar, dan sebagainya.
16. Atas dasar itu, guru dapat mengidentifikasi materi apa yang sudah layak
dilanjutkan dan untuk materi apa pula kegiatan remedial harus dilakukan.

10
Jenis-jenis Penilaian Autentik
1. Penilaian Kinerja
2. Penilaian Proyek
3. Penilaian Portofolio
4. Penilaian Tertulis

1. Penilaian Kinerja
Penilaian autentik sebisa mungkin melibatkan parsisipasi peserta didik,
khususnya dalam proses dan aspek-aspek yang akan dinilai. Guru dapat
melakukannya dengan meminta para peserta didik menyebutkan unsur-unsur
proyek/tugas yang akan mereka gunakan untuk menentukan kriteria
penyelesaiannya.
Berikut ini cara merekam hasil penilaian berbasis kinerja.
1. Daftar cek (checklist).
2. Catatan anekdot/narasi (anecdotal/narative records).
3. Skala penilaian (rating scale).
4. Memori atau ingatan (memory approach).
5. Penilaian Proyek.
6. Penilaian Portofolio.
7. Penilaian Tertulis

2. Penilaian Proyek (project assessment)


Penilaian proyek (project assessment) merupakan kegiatan penilaian
terhadap tugas yang harus diselesaikan oleh peserta didik menurut periode/waktu
tertentu. Penyelesaian tugas dimaksud berupa investigasi yang dilakukan oleh
peserta didik, mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian,
pengolahan, analisis, dan penyajian data.

Berikut ini tiga hal yang perlu diperhatian guru dalam penilaian proyek.
1. Keterampilan peserta didik dalam memilih topik, mencari dan
mengumpulkan data, mengolah dan menganalisis, memberi makna atas
informasi yang diperoleh, dan menulis laporan.

11
2. Kesesuaian atau relevansi materi pembelajaran dengan pengembangan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh peserta didik.
3. Keaslian sebuah proyek pembelajaran yang dikerjakan atau dihasilkan oleh
peserta didik.

3. Penilaian Portofolio
Penilaian Portofolio merupakan penilaian atas kumpulan artefak yang
menunjukkan kemajuan dan dihargai sebagai hasil kerja dari dunia nyata.
Penilaian portofolio bisa berangkat dari hasil kerja peserta didik secara
perorangan atau diproduksi secara berkelompok, memerlukan refleksi peserta
didik, dan dievaluasi berdasarkan beberapa dimensi.
Penilaian portofolio dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah
seperti berikut ini.
1. Guru menjelaskan secara ringkas esensi penilaian portofolio.
2. Guru atau guru bersama peserta didik menentukan jenis portofolio yang
akan dibuat.
3. Peserta didik, baik sendiri maupun kelompok, mandiri atau di bawah
bimbingan guru menyusun portofolio pembelajaran.
4. Guru menghimpun dan menyimpan portofolio peserta didik pada tempat
yang sesuai, disertai catatan tanggal pengumpulannya.
5. Guru menilai portofolio peserta didik dengan kriteria tertentu.
6. Jika memungkinkan, guru bersama peserta didik membahas bersama
dokumen portofolio yang dihasilkan.
7. Guru memberi umpan balik kepada peserta didik atas hasil penilaian
portofolio.

4. Penilaian Tertulis
Tes tertulis berbentuk uraian atau esai menuntut peserta didik mampu
mengingat, memahami, mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis,
mensintesis, mengevaluasi, dan sebagainya atas materi yang sudah dipelajari. Tes
tertulis berbentuk uraian sebisa mungkin bersifat komprehensif, sehingga mampu
menggambarkan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik.

12
2.4. Sintaks Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Adapun sintaks atau langkah-langkah yang harus diterapkan guru dalam
pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut:
No Fase Peran
Pada fase ini siswa didorong agar mengemukakan
pengetahuan awalnya tentang konsep yang dibahas. Siswa
1 Invitasi
diberi kesempatan untuk mengikutsertakan
pemahamannya tentang konsep tersebut.
Siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan,
pengorganisasian, penginterpretasian data dalam sebuah
2 Eksplorasi
kegiatan yang telah dirancang guru. Dalam tahapan ini
siswa secara berkelompok melakukan kegiatan dan
berdiskusi tentang masalah yang mereka bahas.
Pada tahapan ini siswa diharuskan memberikan
penjelasan-penjelasan solusi yang didasarkan pada hasil
Penjelasan dan
3 observasinya ditambah dengan penguatan guru. Siswa
Solusi
dapat menyampaikan gagasan, membuat model, membuat
rangkuman dan ringkasan.
Siswa dapat membuat keputusan, menggunakan
pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan
Pengambilan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan
4
Tindakan saran baik secara individu maupun kelompok yang
berhubungan dengan pemecahan masalah dari masalah
yang dihadirkan oleh guru.
Sumber: http://repository.upi.edu/operator/upload/d_mat_039770_chapter2.pdf

2.5. Sistem Sosial Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


Sistem sosial adalah pola kegiatan yang dirancang sehingga memunculkan
interaksi antara guru dengan siswa, antarsiswa, melalui proses komunikasi dan
kerja sama. Sistem sosial menguraikan peranan guru dan siswa, serta aturan-
aturan yang diperlukan dalam interaksi sosial.
Berikut merupakan sistem sosial yang ditimbulkan dari pendekatan
pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL):
a. Kooperatif
Peserta didik dapat saling menumbuhkembangkan rasa kerjasama
(kooperatif) dalam proses pembelajaran kontekstual. Hal ini dapat dirangsang
dengan adanya berbagai tantangan-tantangan yang diselesaikan dalam kelompok
belajar.

13
b. Peka terhadap lingkungan
Dalam pendekatan pembelajaran kontekstual, seluruh civitas akan berperan
aktif mengaitkan materi pembelajaran terhadap kondisi lingkungan sekitar dengan
pembahasan yang bersifat integratif. Selain itu, proses pembelajaran dilakukan di
tempat yang kondusif, baik di dalam ruangan kelas, maupun di luar ruang kelas,
misalnya: laboratorium dan perpustakaan sehingga proses pembelajaran tidak
terkesan membosankan.

c. Responsibilitas
Setiap pengajar dan peserta didik akan saling bertanggungjawab sebagai
softskill yang diasah terhadap proses dan hasil pembelajaran.

2.6. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


2.6.1.Kelebihan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Adapun kelebihan dari pendekatan pembelajaran kontekstual adalah:
Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya, siswa dituntut untuk
dapat mengkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan
materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi
itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya
akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah
dilupakan.
Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme,
dimana seorang siswa dituntun untuk menemuka pengetahuannya sendiri.
Melalui landasan filosofis konstruktivisme, siswa diharapkan belajar melalui
megalami bukan menghafal. (Hosnan, 2014 : 279-280)

2.6.2.Kelemahan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual


Adapun kelemahan dari pendekatan pembelajaran kontekstual adalah:
Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan

14
pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Guru lebih intensif
dalam membimbing siswa dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian,
peran guru bukanlah sebagai instruktur atau penguasa yang memaksa
kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat
belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
Guru hanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar menyadari dengan sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini
tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap
siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula
(Hosnan, 2014: 279-280).

2.7. Metode Resitasi (Penugasan)


Dalam menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual ada beberapa
metode yang dapat mendukung jalannya proses pembelajaran tersebut. Salah satu
metodenya adalah metode resitasi.

2.7.1.Pengertian Metode Resitasi


Djamarah, dkk., (2010 : 85) mengemukakan metode resitasi (penugasan)
adalah metode panyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar
siswa melakukan kegiatan belajar. Metode ini diberikan karena dirasakan bahan
pelajaran terlalu banyak, sementara waktu sedikit. Artinya, banyaknya bahan yang
tersedia dengan waktu kurang seimbang. Agar bahan pelajaran selesai sesuai batas
waktu yang ditentukan, maka metode inilah yang biasanya guru gunakan untuk
mengatasinya.
Sagala (dalam Hamdayama, 2014 : 183) mengemukakan bahwa metode
resitasi (pemberian tugas) adalah cara penyajian bahan pelajaran dimana guru
memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar, kemudian
harus dipertanggungjawabkannya.

15
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode
resitasi adalah suatu metode pembelajaran yang penyajian bahan pelajaran
dilakukan oleh guru dengan memberikan tugas tertentu yang berhubungan dengan
materi pelajaran dengan tujuan agar siswa dapat lebih memahami materi pelajaran
dan tugas tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh siswa dalam bentuk yang
diminta oleh guru.
Metode resitasi tidak sama dengan pekerjaan rumah. Metode resitasi
memiliki pengertian yang lebih luas lagi dibanding pekerjaan rumah. Metode
resitasi intinya adalah pemberian tugas kepada siswa yang telah ditetapkan tujuan
dari pemberian tugas tersebut. Tugas tersebut bisa dikerjakan di rumah, di
sekolah, di perpustakaan, dan tempat lainnya. Tugas merangsang anak untuk aktif
belajar, baik secara individual maupun secara kelompok. Oleh karena itu, tugas
dapat diberikan secara individual ataupun berkelompok. Pemberian tugas
disesuaikan dengan tujuan dari pemberian tugas itu sendiri.
Metode resitasi biasanya bertujuan untuk memantapkan pengetahuan siswa
yang telah didapatkan selama proses pembelajaran di kelas, karena dalam
mengerjakan tugas yang diberikan siswa melakukan latihan-latihan sehingga
pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu dapat lebih meningkat.
.
2.7.2.Penerapan Metode Resitasi
Menurut Hamdayama (2014 : 186) penggunaan metode tugas dan resitasi
menempuh langkah-langkah sebagai berikut.
Guru memberikan tugas kepada peserta didik. Tugas yang diberikan itu
hendaknya mempertimbangkan tujuan yang akan dicapai, jenis tugas jelas dan
tepat sehingga siswa mengerti apa yang ditugaskan kepadanya, kesesuaian
tugas dengan kemampuan siswa, ada atau tidaknya petunjuk/ sumber yang
dapat membantu pekerjaan siswa, dan tersedianya waktu yang cukup untuk
mengerjakan tugas tersebut.
Pada waktu siswa mengerjakan tugasnya, guru hendaknya memberi
bimbingan dan pengawasan, mendorong agar siswa mau mengerjakan
tugasnya, mendorong agar tugas itu dikerjakan sendiri oleh siswa, serta
meminta peserta didik untuk mencatat hasil-hasil tugasnya secara sistematis.

16
Guru meminta laporan tugas dari siswa, baik secara lisan maupun dalam
bentuk tulisan, mengadakan tanya jawab atau menyelenggarakan diskusi
kelas, menilai hasil pekerjaan siswa, baik dengan tes maupun nontes atau
melalui cara yang lain.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Pendekatan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah pendekatan pembelajaran yang menghubungkan
materi yang sedang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa guna untuk
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan masalah kehidupan nyata siswa.
2. Teori yang melandasi pendekatan pembelajaran kontekstual berakar dari
paham progresivisme John Dewey dan Teori Kognitif. Berpijak pada
dua pandangan itu filosofi konstruktivisme berkembang, dimana
dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks
yang terbatas dan sedikit demi sedikit.
3. Pendekatan pembelajaran kontekstual dirinci kedalam tujuh komponen,
yaitu: 1) konstruktivisme (constructivism); 2) menemukan (inquiry); 3)
bertanya (questioning); 4) masyarakat belajar (learning community); 5)
pemodelan (modelling); 6) refleksi (reflection); dan 7) penilaian
sebenarnya (authentic assessment).
4. Sintaks atau langkah-langkah yang harus diterapkan guru dalam
pendekatan pembelajaran kontekstual adalah: 1) Invitasi; 2) Eksplorasi;
3) Penjelasan dan Solusi; 4) Pengambilan Tindakan.
5. Sistem sosial yang ditimbulkan dari pendekatan pembelajaran
kontekstual: 1) kooperatif; 2) peka terhadap lingkungan; dan
4) responsibilitas.
6. Metode resitasi adalah suatu metode pembelajaran yang penyajian bahan
pelajaran dilakukan oleh guru dengan memberikan tugas tertentu yang
berhubungan dengan materi pelajaran dengan tujuan agar siswa dapat
lebih memahami materi pelajaran dan tugas tersebut harus
dipertanggungjawabkan oleh siswa dalam bentuk yang diminta oleh
guru.

18
3.2. Saran
Pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dijadikan alternatif
pembelajaran untuk diterapkan oleh guru di kelas karena dapat memotivasi siswa
membuat hubungan antar pengetahuan dan penerapannya ke dalam kehidupan
siswa sehingga dapat membuat siswa lebih tertarik untuk mengikuti pelajaran di
kelas.

19
DAFTAR PUSTAKA

Andayani. (2015). Problema dan Aksioma dalam Metodologi Pembelajaran


Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Deepublish

Djamarah, dkk. (2010). Stategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Hamdayama, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan


Berkarakter. Bogor: Ghalia Indonesia

Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad


21. Bogor: Ghalia Indonesia

Jhonson, E. B. (2007). Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan


Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung: MLC
[Terjemahan dari: Contextual Teaching and Learning:what it is and why its
here to stay]

Rusman. (2014). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme


Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Sanjaya, Wina. (2011). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses


Pendidikan. Jakarta: Kencana

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:


Kencana.

http://repository.upi.edu/operator/upload/d_mat_039770_chapter2.pdf
[Diakses tanggal: 12 Oktober 2016]

20

Anda mungkin juga menyukai