Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS TYPOLOGI MASYARAKAT DI WILAYAH SUBANG

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan


Komunikasi Dan Konseling Dalam Kebidanan

Dosen : prof. Atie rachmiati

Disusun Oleh :

ANITA FITRIATUROHMAH

NIM: 4007160055

PROGRAM MAGISTER TERAPAN KEBIDANAN

STIKes DHARMA HUSADA BANDUNG

T.A 2017-2018
Daftar isi

1. Geografis kota subang


2. Antropologi masyarakat subang
3. Sosiologi masyarakat subang
4. Psikologi masyarakat subang
1. GEOGRAFIS KOTA SUBANG

Kabupaten Subang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu
kotanya adalah Subang. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten
Indramayu di timur, Kabupaten Sumedang di tenggara, Kabupaten Bandung Barat di
selatan, serta Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang di barat.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 3 Tahun 2007, Wilayah
Kabupaten Subang terbagi menjadi 30 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi 245 desa dan
8 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Subang.
Kabupaten ini dilintasi jalur pantura, namun ibu kota Kabupaten Subang tidak terletak
di jalur ini. Jalur pantura di Kabupaten Subang merupakan salah satu yang paling sibuk di
Pulau Jawa. Kota kecamatan yang berada di jalur ini diantaranya Ciasem dan Pamanukan.
Selain dilintasi jalur Pantura, Kabupaten Subang dilintasi pula jalur jalan Alternatif Sadang
Cikamurang, yang mlintas di tengah wilayah Kabupaten Subang dan menghubungkan
Sadang, Kabupaten Purwakarta dengan Tomo, Kabupaten Sumedang, jalur ini sangat ramai
terutama pada musim libur seperti lebaran. Kabupaten Subang yang berbatasan langsung
dengan kabupaten Bandung disebelah selatan memiliki akses langsung yang sekaligus
menghubungkan jalur pantura dengan kota Bandung.
Penduduk Subang pada umumnya adalah Suku Sunda, yang menggunakan Bahasa
Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Namun demikian sebagian kawasan di pesisir
penduduknya menggunakan Bahasa Jawa Dialek Cirebon (Dermayon).

2. ANTROPOLOGI MASYARAKAT SUBANG ETNIS SUNDA

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat
pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku
Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya
15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda
beragama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang
mempercayai kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme
dan Hindu.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang
Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang, akan tetapi mereka dapat
bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional. Karakter orang Sunda seringkali
ditampilkan melalui tokoh populer dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka
bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal.
Secara Etimologi Sunda berasal dari kata Su yang berarti segala sesuatu yang
mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter
Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud
adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas).
Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak
zaman Kerajaan Salakanagara.
Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut
ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor
Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara
yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa
ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan
Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa
menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua
kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai
batasnya.

3. SOSIOLOGI MASYARAKAT SUBANG ETNIS SUNDA

Dalam Sosiologi-Antropologi, dikenal kebudayaan sebagai sistem norma, yaitu


seperangkat perilaku yang diharapkan, suatu citra kebudayaan tentang bagaimana seseorang
seharusnya bersikap. Mengingat kebudayaan itu menyangkut aturan yang harus diikuti,
sehingga dapat dikatakan bahwa kebudayaan bersifat normatif, yang merupakan cara lain
untuk mengatakan bahwa kebudayaan menentukan standar perilaku. Misalnya, untuk
bersalaman kita mengulurkan tangan kanan. Ini adalah pantas dalam kebudayaan kita.
Untuk menggaruk kepala kita boleh menggunakan kedua belah tangan. Kebudayaan kita
tidak memiliki norma untuk menggaruk kepala.
Pada dasarnya, kebudayaan itu dapat berwujud berupa: kebiasaan, tata
kelakuan, lembaga, dan nilai. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Berupa Kebiasaan
Dalam hal ini terdapat berbagai bentuk kebiasaan dalam masyarakat, diantaranya: (1)
Hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan santun dan perilaku sopan; (2) Hal-hal yang
harus diikuti karena yakin kebiasaan itu penting untuk kesejahteraan masyarakat.
Kehidupan sosial selalu dihadapkan kepada pelbagai persoalan. Bagaimana merebut
kehidupan dari alam, bagaimana membagi hasil usaha atau keberuntungan, bagaiamnna pula
kita berhubungan secara serasi dengan orang lain. Berbagai masyarakat telah menemukan
berbagai macam pola yang dapat dilaksanakan. Suatu kelompok masyarakat bisa saja makan
satu kali, dua kali atau beberapa kali dalam sehari. Mereka juga boleh saja makan sambil
berdiri, sambil duduk di atas kursi atau sambil jongkok di lantai. Mereka boleh makan
bersama atau masing-masing makan sendiri. Mereka boleh makan dengan tangan, atau
mempergunakan semacam alat makan. Mereka boleh memulainya dengan minum
anggur dan mengakhirinya dengan makan ikan. Memulainya dengan makan ikan dan
mengakhirinya dengan minum anggur. Atau kedua-duanya kita tolak.[5]
Kejadian-kejadian itu diturunkan kepada generasi berikutnya menjadi suatu kebiasaan.
Kebiasaan (folkways) hanyalah suatu cara yang lazim yang wajar dan diulang-ulang dalam
melakukan sesuatu oleh sekelompok orang. Berjabatan tangan, makan dengan
mempergunakan sendok dan garpu, memakai sarung dan kopiah dalam berbagai kesempatan
dan memakai kemeja batik pada kesempatan yang lain, mengemudi pada sisi bahu jalan
sebelah kiri, dan makan nasi adalah beberapa jenis kebiasaan orang Indonesia-Sunda.
Generasi muda berikutnya menyerap sebagian kebiasaan itu dengan pendidikan dan
turut serta menghayatinya. Anak-anak dikelilingi oleh banyak kebiasaan yang beragam dan
muncul di sana sini tanpa bisa dibendung, hatta sampai ke tempat-tempat yang sangat kuat
nilai privasinya. Misalnya ketika mereka menyaksikan kebiasaan para orang tua, para
inohong-nyadan siapa saja yang dipitua pada generasinya membaca mantera-mantera
(jampe-jampe) untuk melakukan ritual keagamaan atau kegiatan lain yang dianggapnya
memerlukan energy ekstra. Karena posisi mereka terus menerus melihat perilaku tertentu,
maka mereka meyakini hanya cara-cara itulah yang benar. Kebiasaan kelompok lain akan
dilihatnya sebagai sesuatu yang ganjil dan tidak sepantas kebiasaan mereka dalam
menyelesaikan sesuatu.
b. Berupa Tata Kelakuan
Tata kelakuan yang dimaksud di sini adalah berupa gagasan yang kuat mengenai salah
dan benar dalam perilaku/tindakan yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
Dalam bahasa lain tata kelakuan adalah gagasan yang menyetujui perilaku-perilaku tertentu
dan melarang perilaku-perilaku lain karena adanya keyakinan bahwa dengan demikian
kesejhateraan kelompok terlindungi. Kadang-kadang keyakinan itu tidak berdasar, tetapi
kadang-kadang mendapat pembenaran.
Dari berbagai ragam perilaku masyarakat itu terdapat sejumlah kesepakatan tentang
beberapa kebiasaan yang dipandang lebih penting daripada kebiasaan yang lainnya. Kalau
saja seseorang menggunakan garpu yang salah untukmengambil pisang kiju misalnya, ini
tidaklah terlalu penting. Tetapi jika terdapat seorang isteri memilih laki-laki lain selain
suaminya untuk menjadi ayah anaknya, maka tentunya akan terjadi gangguan dalam
beberapa hal mengenai managemen keluarga, yang mencakup keuangan, hubungan yang
sentimental, hubungan kekerabatan, masalah wali, dan persoalanwarisan.
Biasanya anggota masyarakat itu memiliki persamaan persepsi dan sama-sama
merasakan keyakinan bahwa pelanggaran atas tata kelakuan mereka itu akan mendatangkan
bencana. Karena itu, munculah tentang apa yang disebut dengan tabu. Kalau orang yakin
bahwa perilaku tertentu merugikan, maka akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata kelakuan itu
sendiri dibangun atas dasar keyakinan suatu kelompok tertentu. Beberapa bentuk tabu yang
menjadi kesepakatan masyarakat itu dapat diidentifikasi kepada:
1. Tabu bahasa, yang melarang penyalahgunaan kata-kata yang suci dan menggunakan kata-
kata cabul, jorok, dan sembrono.
2. Tabu kesopanan, yang melarang muka, dada, tumit, pergelangan tangan atau apa saja
yang terbuka dianggap tidak sopan;
3. Tabu perbuatan, yang melarang makan jenis makanan tertentu seperti babi, anjing, dan
kuda;
4. Tabu transaksi, yaitu larangan untuk jenis makanan pokok seperti meminjamkan beras;
5. Tabu waktu, yaitu larangan menjualbelikan padi/gabah, garam, jarum pentul, dan
menukarkan uang, bercukur dan memotong kuku pada malam hari;
6. Tabu bepergian/nyaba, yaitu larangan bepergian ke kota atau kemana saja pada hari
sabtu.

c. Berupa Lembaga
Lembaga dalam konteks budaya ini diartikan sebagai system hubungan sosial yang
terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat tertentu. Suatu lembaga itu mencakup: (1) seperangkat pola
perilaku yang telah distandardisasi dengan baik; (2) serangkaian tata kelakuan, sikap, dan
nilai-nilai yang mendukung; (3) sebentuk tradisi, ritual dan upacara, simbol dan pakaian,
serta perlengkapan lain.
Beberapa kebiasaan (folkways) dan tata cara kelakuan (mores) dipandang lebih
penting daripada yang lainnya: Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan pembentukan
keluarga dan cara membesarkan anak dalam keluarga dianggap lebih penting
dibandingkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan sepakbola.
d. Berupa Nilai
Nilai dalam konteks budaya ini diartikan dengan gagasan mengenai
suatu pengalaman, apakah dipandang berarti atautidak berarti. Nilai di sini menjadi suatu
bagian yang penting dari kebudayaan. Menurut Mitchell sebagaimana dikutip ChesterL
Hunt bahwa nilai itu berhubungan erat dengan harga. Harga itu dinyatakan dengan uang
untuk suatu barang atau jasa, dan harga itu akan merupakan ukuran seberapa tinggi
nilai suatu barang atau jasa dibandingkan dengan yang lain.
Berkenaan dengan terminology nilai di atas, maka suatu tindakan dianggap sah,
dalam pengertian secara moral dapat diterima, apabila sejalan, bahkan harmonis dengan
nilai-nilai yang dapat diterima oleh masyarakat. Ketika disepakati bahwayang disebut
wanita yang terpuji itu adalah wanita yang sibuk, mengetahui kewajiban, yang
menyenangi kegiatan rumah tangga dan tidak bisa berdiri sendiri adalah sah untuk
meremehkan pendidikan yang lebih tinggi bagi para wanita. Namun pada saat terjadi
pergeseran, karena kekaguman orang terhadap wanita-wanita yang percaya diri, berdiri
sendiri dan berhasil telah meningkat, maka mengenyam pendidikan yang lebih tinggi bagi
para wanita dianggap sah dan penting.
e. Etos Kerja Etnis Sunda
Masyarakat etnis Sunda dikenal sebagai masyarakat Pasundan yang memiliki budaya
Sunda yang sangat kuat seperti terungkap dalam falsafah Sunda Sabilulungan Dasar
Gotong Royong, Sabilulungan Sifat Silih Rojong Sabilulungan Genteng Ulah Potong,
Sabilulungan Persatuan Tembong. Sajiwa, Sajiwa, Sadia, Sadia, Segut Singkil Ngabasmi
Pasalingsingan.[7]Falsafah hidup orang Sunda itu melekat dalam praktik kehidupan
sehari-hari, yang tercermin pula dalam petatah: Hirup Sauyunan, Silih Pikanyaah, Silih
Bantu Silih Tulungan, Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Silih Jeujeuhkeun, jeung Silih
Titipkeun.
Di samping itu, masyarakat etnis Sunda yang kini mayoritas beragama Islam, dikenal
sangat kuat dalam beragama. Karena itu, masyarakat Pasundan disebut-sebut sangat
agamis, memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai ajaran agama, dan sebagai
masyarakat yang dalam menghadapi persoalan dunia memiliki semangat hidup yang
tinggi. Hal itu tercermin dari motivasi hidup mereka untuk berprestasi, Need for
Achievment, yang tergambar dalam petatah petitih kehidupan sehari-hari,
yakni: bekerja Keras, Dug Hulu Koleang Nyawa, Ti Suksruk Ti Dung-dung, Hulu dijieun
Suku, Suku Dijieun Hulu, Peuting Jadi Beurang, Beurang Jadi Peuting.
Karena itu, meskipun kehidupan mereka di pedesaan tergolong memiliki kemampuan
ekonomi yang cukup dengan mengandalkan dari sektor pertanian, tetapi etnis Sunda masih
memiliki nyali kuat untuk bekerja keras, saba kota, mengadu nasib nyaba ke kota-kota
besar sebagai Migran Sirkuler dalam rangka mencari tambahan penghasilan. Dengan
demikian tidak benar apabila terdapat tuduhan bahwa masyarakat Muslim Sunda fatalistis-
pemalas. Karena ternyata mereka tidak pasrah sumerah begitu saja pada nasib. Mereka
gencar ikhtiar mencari pakasaban dan menyebar ke perkotaan secara berantai. Dari
pedesaan Kabupaten dan Kota Tasik dikenal dengan Tukang Kredit, dari pedesaan
Kabupaten Ciamis dikenal dengan Tukang Besi dan Bangunan, dari Kabupaten Garut
dikenal dengan Tukang Sol dan Cuan Kie, dan dari Kabupaten Majalengka dikenal
dengan Tukang Sayur, Tukang Kios, dan Tukang Gali.
4. PSIKOLOGI MASYARAKAT SUBANG ETNIS SUNDA
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan
fisik. Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu
tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Jenis
emosi yang secara normal dialami antara lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, sedih
dan sebagainya.
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya, selalu melibatkan tiga
variable, yaitu : rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-
perubahan fisiologis yang terjadi bila mengalami emosi (the organismic variable), dan
pola sambutan ekspresi atas terjadinya pengalaman emosional itu (the response variable).
Yang mingkin dapat diubah dan dipengaruhi atau diperbaiki (oleh para pendidik atau
guru) adalah variabelpertama dan ketiga (the stimulus-response variable), sedangkan
variable kedua tidak mungkin di perbaiki karena merupakan proses fisiologis yang terjadi
pada organisme secara mekanis.
Setiap kebudayaan memiliki stereotip emosi yang berbeda-beda dan cara yang
berbeda-beda pula dalam menanggapi emosi yang ditunjukkan orang lain kepadanya.
Kebudayaan menentukan perilaku individu, selain berpotensi untuk menggerakkan dan
mendorong perilaku individu yang hidup di dalamnya, kebudayaan dapat mengekang
atau menahan individu untuk berperilaku tertentu. Pemantapan perilaku tersebut dapat
terlaksana dengan baik melalui proses enkulturasi bahasa, sistem kekerabatan,
kepercayaan, upacara ritual, dan nilai-nilai dalam keluarga maupun masyarakat).
Terdapat begitu banyak kebudayaan dan etnis di Indonesia, tentunya banyak pula
perbedaan stereotip emosinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang
berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain
dari perilaku individu.
Kekhasan suatu budaya dapat dilihat dari proses marah yang terjadi pada
masyarakatnya karena setiap budaya memiliki nilai-nilai budaya dan aturan yang khas
tentang cara individu dalam budaya tersebut menghayati suatu stimulus yang memicu
munculnya kemarahan, dan cara mengekspresikan kemarahannya
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat. Suku Sunda
merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia, setelah etnis Jawa. Sekurang-kurangnya
15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama
Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak masyarakat yang mempercayai
kekuatan-kekuatan supranatural, yang berasal dari kebudayaan animisme dan Hindu.
Kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan
suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak yang berkerabat
dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya.
Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang, akan tetapi
mereka dapat bersifat pemalu dan terlalu perasa secara emosional dan terkesan agak
sedikti manut kepada orang lain. Karakter orang Sunda seringkali ditampilkan melalui
tokoh populer dalam kebudayaan Sunda; Kabayan dan Cepot. Mereka bersifat riang, suka
bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal.
DAFTAR FUSTAKA

Atkinson, Rita. L,Atkinson, Richard. C dan Hilgard, Ernest. R. 1983.Pengantar Psikologi (terj).
Jakarta : Erlangga.

http://www.repository.usu.ac.id/ (online)

http://www.Silaban.net (online)

http://www.zeinhein.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai