Anda di halaman 1dari 5

BAB XI

ORGANISASI KREDIT PERTANIAN

Dalam penelitian kepustakaan sekunder terlihat adanya penilaian yang sangat ekstrem terhadap dampak-
dampak program Bimas. Dalam laporan-laporan yang sangat melancarkan kritik yang tajam dan malah
berbicara tentang kegagalan. Sebaliknya juga terdapat banyak berita yang menceritakan keberhasilan yang luar
biasa. Sebuah analisis komparatif mengenai laporan-laporan yang saling bertentangan tersebut memberikan
gambaran sebagai berikut :

Pertanian bersawah memang secara prinsip berdasarkan pada kekhususan iklim basah musiman, tetapi
sama sekali bukan merupakan sistem usaha yang kaku dan ditentukan oleh kekuatan alami setempat, seperti
anggapan yang sering ada. Justru sebaliknya, bahkan juga di daerah monokultur padi yang dianggap monoton
seperti misalnya di dataran Jawa Utara bekerja banyak kekuatan-kekuatan dinamis yang menyebabkan
perbedaan besar dalam sistem usaha pertanian. Program sarana produksi Bimas yang dirakit secara global
dalam prakteknya menyentuh berbagai sistem usaha pertanian yang mempunyai hubungan sosial ekonomi yang
berbeda meskipun tidak kentara, dan karena itu, juga mempunyai kebutuhan pembangunan yang sangat
berbeda-beda. Karena itu tidaklah mengherankan, jika program tersebut dalam prakteknya berhasil di beberapa
daerah, sedangkan di daerah lain tidak bisa memenuhi harapan petani. Untuk mengatasi kekurangan ini, harus
dilakukan sesuatu yang lain lagi. Karenanya, berikut ini kami berusaha menggambarkan kekuatan-kekuatan
yang terpenting bagi struktur usaha yang berbeda-beda dan dampaknya pada keberhasilan program Bimas.

Pertama-tama adalah pertumbuhan penduduk. Dalam pertanian dataran tinggi dan pertanian musiman
tradisional bisa dibedakan empat respon usaha pertanian terhadap tekanan penduduk yang makin meningkat :

- Tahap pertama : selama tersedia cukup banyak potensi sawah alami (lowland) yang dapat dibuka,
maka pertumbuhan penduduk yang meningkat dijawab dengan ekspansi perluasan lahan.
- Tahap kedua : pada saat potensi sawah alami semakin sempit, maka untuk menampung penduduk
yang makin bertambah diperlukan perekayasaan lahan dalam bertuk sawah buatan. Persawahan
teras di Jawa terbentuk dalam tahap perkembangan ini. Yang menarik adalah bahwa di sini terjadi
pengurangan usaha tani berukuran menengah, tetapi ada peningkatan relatif dan mutlak dari luas
sawah di dalam sistem usaha tani tersebut.
- Tahap ketiga : jika pertambahan penduduk terus melaju, maka pengairan terus dikembangkan.
Dalam masyarakat pertanian tradisional terbentuk kelompok koperatif yang bersama-sama
membangun dan merawat sarana pengairan. Cara ini memungkinkan penanaman padi sebanyak dua
kali di sawah yang ada. Dalam tahap perkembangan ini kami melihat penurunan lebih lanjut
usahatani ukuran menengah, luas sawah per setiap usahatani berkurang, sedangkan luas sawah
secara keseluruhan meningkat. Selanjutnya menarik untuk dilihat bahwa meskipun ukuran usahatani
berkurang, pendapatan keluarga tetap, malah kadang-kadang bisa naik. Usaha intensifikasi dapat
mengimbangi seluruh pengurangan luas sawah.
- Tahap keempat : lahan produksi bahan makanan untuk penduduk yang terus meningkat jumlah tidak
bisa dijamin lagi melalui usaha intensifikasi tambahan. Akibatnya adalah pengangguran terselubung.
Ukuran usaha makin kecil, begitu juga luas sawah dan pendapatan keluarga menurun terus.

Keempat tahap ini sekarang bisa ditemukan pada daerah persawahan di Indonesia. Apa konsekuensinya
bagi program Bimas ?

Situasi tahap pertama banyak terdapat di daerah Sumatera Tengah dan Selatan, misalnya di provinsi
Bengkulu dan di daerah-daerah perbatasan Sumatera Barat. Program Bimas di daerah ini tidak mempunyai arti
dan petani menolak kredit. Masih ada cukup banyak ladang yang bisa dibuka, mengapa kita harus berhutang,
merupakan sikap petani yang umum dijumpai. Selain itu daerah demikian hampir terisolasi dari dunia luar. Jadi,
pemasukan sarana produksi begitu juga pemasaran beras akan berhadapan dengan kesulitan transportasi.
Produksi dipakai untuk menutupi kebutuhan sendiri dan hal ini dengan mudah bisa dilakukan dengan lahan
yang relatif luas tanpa penggunaan sarana modal.

Baru jika diciptakan infrastruktur bagi produksi berorientasi pasar, maka penggunaan sarana produksi
yang meningkatkan hasil akan menjadi menarik. Sekarang ini sekitar 1 ha sawah ditanami untuk satu keluarga.
Hasil panen cukup untuk menutupi kebutuhan sendiri. Lahan yang luas tidak bisa diolah, di satu pihak karena
tingginya ongkos kerja manual dan di lain pihak karena keterbatasan tenaga kerja keluarga petani. Peningkatan
produksi untuk pasar hanya bisa dicapai bukan dengan meluaskan lahan lebih lanjut, melainkan dengan
menaikkan hasil produksi per hektar. Melalui penggunaan modal yang meningkatkan hasil, produksi padi
dengan penggunaan tenaga yang sama bisa diperbaiki. Tetapi untuk politik pembangunan hal ini berarti :
sebelum menawarkan kredit untuk sarana produksi kepada petani, mula-mula harus diciptakan kerangka
infrastruktur yang memungkinkan petani untuk menjual kenaikkan hasil produksi tersebut ke pasar. Karena itu
tidak salah jika petani menolak program Bimas, karena untuk program Bimas pembangunan infrastruktur bukan
merupakan prioritas pertama dalam politik pembangunan.

Situasi seperti pada tahap 2 bisa ditemukan di banyak daerah permukiman baru di Sumatera, Kalimantan
dan sebagian di Jawa Timur. Masalah utama di semua daerah ini adalah dibutuhkan banyak tenaga kerja
pengolahan tanah untuk merubah sawah potensial menjadi sawah yang mampu berproduksi tinggi. Kerja
manual berlangsung lama. Penggunaan sarana-sarana teknik seperti buldoser dan sebagainya perlu dilakukan.
Tetapi untuk program Bimas ini berarti : pada situasi pengembangan usaha pertanian seperti itu, kredit sarana
produksi tidak menempati prioritas utama. Mula-mula harus diciptakan sawah, yang kemudian bisa dipakai
sarana produksi. Hal ini juga menjelaskan penolakan petani di daerah pemukiman baru di Sumatera terhadap
program Bimas, seperti yang banyak disebutkan dalam literatur. Apa kegunaan jenis padi yang baru untuk
petani, jika mereka masih membutuhkan waktu tahunan untuk menciptakan sawah.

Daerah yang berada dalam tahap pengembangan pertanian, seperti pada tahap ketiga, terdapat di Jawa
Barat, Bali, Sulawesi Selatan dan Sumatera. Di Sumatera terutama terdapat di daerah lembah dan kaki Bukit
Barisan. Menurut perkiraan, daerah mencakup sekitar 30-35% seluruh sawah di Indonesia. Di daerah inilah
program Bimas berhasil dijalankan. Ada beberapa faktor yang menguntungkan :

- Daerah ini merupakan daerah yang padat penduduknya, dikelilingi oleh jaringan lalu lintas yang
cukup baik. Jadi, ada infrastruktur yang baik untuk memasukan sarana produksi dan memasarkan
panen.
- Tingkat intensitas sawah yang tinggi meyebabkan petani bersedia untuk meningkatkan produktivitas
lebih lanjut. Jadi, ada ketersediaan untuk berinovasi.
- Ukuran usaha dan luas sawah memang menjadi kecil dengan pertumbuhan penduduk, dan
kebanyakan petani menggunakan suatu bagian utama produksi beras dan kebutuhannya sendiri,
tetapi bagaimanapun juga ada sisa tertentu yang bisa dijual. Artinya, di satu pihak mempunyai
orientasi pasar tertentu, di lain pihak mereka memiliki pendapatan tunai yang bisa digunakan untuk
membayar kembali utangnya. Jadi, mereka bisa dipercaya untuk menjadi nasabah dalam sistem
perkreditan.

Semua faktor ini menciptakan kondisi ideal untuk program Bimas. Ruang terbuka, ketersediaan
melakukan inovasi yang tinggi dari si penerima dan struktur pertanian yang sehat -- dengan kondisi ini program
kredit untuk sarana produksi merupakan usaha yang ideal bagi pembangunan sosial-ekonomi. Kami telah
melakukan sebuah evaluasi di sebuah daerah -- Tanah Datar di Sumatera Barat -- yang khas untuk evaluasi ini.
Evaluasi tersebut memperlihatkan keberhasilan program Bimas yang dijalankan. Di sini dikemukakan data-data
yang terpenting :

- 95% petani ikut program Bimas,


- Tingkat pengembalian kredit lebih dari 90%,
- Tingkat pertumbuhan menengah pendapatan per kepala naik 6% per tahun.
- Perbedaan pendapatan relatif kecil di dalam desa.

Sekarang kita melihat daerah yang pertaniannya berada pada tahap perkembangan keempat, yang
terutama terdapat di daerah pusat pertanian di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga di daerah Lampung Selatan
dan beberapa daerah di Sumatera Barat. Meskipun di semua daerah ini kelebihan penduduk mendekati jumlah
yang sama (lebih dari 600 penduduk / kilometer persegi), jadi ada homogenitas tertentu dalam tingkat
perkembangan usaha pertanian, petani memberikan respon yang berbeda-beda terhadap program Bimas. Bisa
dilihat dua perilaku dasar yang kembali lagi memperlihatkan sebuah regionalisasi yang jelas :

Petani ikut sabagian dalam proyek

Hanya sebagian petani yang ikut ambil bagian dalam aksi Bimas sejak awal proyek. Mereka ini adalah
yang produksinya untuk pasar telah mengalami perbaikan melalui penggunaan sarana produksi dan bisa keluar
dari ekonomi subsisten ke produksi untuk pasar. Mereka ini kebanyakan adalah petani dengan usaha menengah
dan besar. Petani kecil tidak tertarik pada program Bimas, sebab mereka bertani hanya sebagai usaha
sampingan. Situasi ini sering ditemukan di Indonesia terutama di daerah pinggiran kota industri yang cepat
berkembang di Jawa. Misalnya antara Bogor dan Jakarta tumbuh jalur industri sepanjang 60 km yang meyerap
ratusan ribu pekerja dari daerah pedesaan sekitarnya. Mereka memperoleh pendapatan utama dari kegiatan non-
pertanian. Kegiatan pertanian tidak lagi mempunyai arti besar bagi mereka. Kami juga bisa melihat bahwa
sistem penggrapan menyebabkan kemacetan usaha pertanian para petani yang masih hidup di desa.

Dengan kondisi demikian program Bimas bisa dianggap sebagai bantuan pertanian yang sesuai. Ia
membantu menciptakan eksistensi pertanian yang mandiri begitu juga memperbaiki pendapatan mereka, tanpa
menempatkan petani yang tak punya tanah ke sebuah proses pemiskinan yang berkelanjutan.

Mula-mula petani ikut ambil bagian dalam proyek lalu bersikap menolak proyek

Sikap petani seperti itu terhadap program Bimas meluas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka ini
berada di daerah pertanian murni yang karena kerapatan permukimannya relatif terbuka secara baik untuk
transportasi. Namun di sekitar desa tidak terdapat peluang kegiatan non-pertanian. Petani pada mulanya
terkesan oleh kemungkinan peningkatan hasil, sehingga relatif cepat bersedia ikut. Masalahnya muncul tak
lama kemudian, yaitu pada saat harus mengembalikan kredit. Di daerah pertanian yang kelebihan penduduk ini
secara umum ukuran usaha pertanian, terutama sawah, telah menjadi sedemikian sempitnya, sehingga walaupun
sudah mengunakan sarana produksi yang maksimal pun, tetap saja produksi beras tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Menurut penelitian kami misalnya, 40% usahatani demikian di awal proyek mempunyai
cadangan beras untuk kebutuhan sendiri selama 6 bulan. Setelah proyek berjalan, cadangan beras mereka cukup
untuk lebih dari 10 bulan. Jelas ini merupakan keberhasilan proyek di mata petani, tetapi merupakan bencana
bagi si pemberi kredit. 40% pengambil kredit ini tidak mampu membayar kembali kreditnya. Meskipun terjadi
peningkatan produksi beras, mereka tidak mampu menjual bagian terkecil pun dari hasil panennya dan tidak
mampu melakukan kewajibannya membayar pinjaman. Situasi ini semakin buruk dengan adanya proyek-
proyek bantuan teknik asing, di mana sebagai bantuan awal dihadiahkan sarana produksi atau dijual sengat
murah sebagai harga perkenalan. Jika dinas setempat mengambil alih proyek dan tidak bisa mempertahankan
harga sarana produksi yang dimurahkan ini, maka pada si petani muncul anggapan bahwa orang-orang mereka
di pemerintahanlah yang bersalah dengan memburuknya situasi program.

Konsekuensinya adalah, setelah mula-mula antusias terhadap proyek, lalu timbul kekecewaan : untuk
dua sampai tiga tahun petani merasakan kemajuan ekonomi tertentu, tetapi mereka masih terjerat hutang dan
karena itu diklasifikasikan oleh dinas pelaksana program sebagai tidak layak mendapat kredit. Di masa depan
petani-petani yang boleh ikut dalam Bimas hanyalah yang telah membayar kembali kreditnya -- mereka ini
adalah pemilik usahatani besar dan menengah yang jumlahnya tidak banyak. Dalam situasi ini jelas bahwa
melalui kredit pertanian ketegangan di desa meningkat dan memperkuat ketergantungan antara kaya dan
miskin. Dengan demikian kita membentuk batas peluang perkembangan pertanian. Jika sempitnya tanah telah
melampaui nilai tertentu, maka peningkatan pendapatan penduduk desa tidaklah mungkin hanya melalui usaha
pembangunan pertanian. Harus diciptakan peluang pekerjaan alternatif non-pertanian. Indonesia dalam hal ini
memberikan contoh yang menarik, bagaimana di daerah seperti itu bisa diberikan program kredit tani yang
berguna dalam pembangunan keseluruhan. Jelas bahwa peluang pekerjaan alternatif non-pertanian tidak bisa
diciptakan dalam satu malam, kerena ini merupakan sebuah proses jangka panjang. Program demikian mulai
diperkenalkan dengan menitikberatkan desentralisasi industri dan perpindahan pertanian ke daerah luar Jawa
yang penduduknya jarang. Kerena proses ini berlangsung sepuluh sampai dua puluh tahun dalam waktu ini
beberapa juta manusia terdampar ke tepian eksistensi mempunyai tanah, sehingga paling tidak mereka bisa
memperbaiki kebutuhannya sendiri. Hutang mereka dihapus dalam moratorium (pemutihan) yang dilakukan
secara teratur. Bisa saja cara seperti itu ditentang dengan alasan bahwa dengan demikian moral kredit para
petani di Indonesia secara umum akan turun. Karena mereka tahu, suatu waktu hutang akan dihapuskan. Ini
memang benar selama moratorium berlaku untuk seluruh Indonesia, untuk seluruh daerah program Bimas. Jika
orang bersikap selektif dalam hal ini dan hanya membebasakan hutang petani-petani yang karena lahan
pertaniannya kecil tidak mampu berproduksi untuk pasar, maka pemberian sarana produksi dengan demikian
merupakan usaha sosial-politis yang tepat. Lebih baik jika menghadiahkan pupuk kepada petani tanpa tanah,
sehingga mereka bisa memperbaiki kebutuhan keluarga dengan kerjanya sendiri, daripada menjamin
makanannya melalui pemberian bahan makanan.

Pengalaman-pengalaman kami dengan program kredit petani di Malaysia dapat disimpulkan sebagai
berikut :

1. Sistem pertanian dari usaha tani tradisional sangat berbeda bahkan jugadi daerah dengan keadaan
alam yang homogen. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan kepadatan penduduk yang
tercermin dalam perbedaan penggunaan faktor kerja. Ongkos kerja yang meningkat memberikan
keuntungan terutama dalam bersawah, dengan kata lain : batas produktivitas kerja dalam bersawah
tercapai pada tingkat produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan untuk tanaman ekonomi tropik
lainnya. Tetapi bersawah dengan ongkos kerja yang meningkat juga menimbulkan parubahan
organisasi sosial keseluruhan penduduk pedesaan. Hal ini menimbulkan kondisi sosial-ekonomi
yang sangat berbeda, yang kembali lagi mengakibatkan diferensiasi sistem produksi pertanian.
Sistem produksi yang berbeda dalam ruang alami yang homogen ini, juga menimbulkan tuntutan
yang sangat berbeda akan program pembangunan. Hal ini berlaku terutama untuk jumlah dan tujuan
penggunaan modal. Usaha yang direncanakan secara sepihak, misalnya kredit sarana produksi untuk
tanaman tertentu, dengan demikian hanya bisa memenuhi kebutuhan modal usaha pertanian tertentu,
sementara itu yang lain terabaikan dan malah bisa membahayakan eksistensi sebagian usaha
pertanian. Akibatnya, tidak ada sistem kredit yang optimal untuk pertanian di Malaysia. Jika
dimasukkan modal dalam bentuk kredit untuk proses produksi pertanian, maka programnya harus
direncanakan dari berbagai seni, seperti proses produksi pertanian sendiri yang diorganisir dengan
berbagai cara. Perlu juga disadari bahwa kredit pertanian hanya merupakan salah satu instrumen
politik pembangunan. Di Malaysia ada daerah pertanian saja tidak menghasilkan perbaikan jangka
panjang situasi sosial-ekonomi penduduk pedesaan. Usaha pembangunan lainnya seperti misalnya
indutrialisasi regional, lebih cocok untuk Malaysia.
2. Produksi pertanian di Malaysia mempunyai sifat sistemis yang kuat. Hal ini tidak hanya dalam
gabungan sistematis tanaman ekonomi dalam struktur penanaman dengan tujuan mempertahankan
kesuburan tanah, melainkan terutama juga berkaitan erat dengan ketergantungan antara produksi
subsisten dan produksi untuk pasar. Yang kami maksudkan terutama adalah usaha yang memasok
pasar dunia. Pengalaman mengajarkan bahwa negara hanya mempunyai sedikit kemungkinan
melindungi patani dari dampak gerak naik-turun harga yang besar. Pengamanan tingkat subsisten
petani karena itu merupakan tujuan pembangunan yang adil di samping bantuan untuk produksi
pasar. Program kredit pertanian yang tidak memperhatikan tujuan ganda usaha pertanian ini, dalam
jangka panjang bisa lebih membahayakan keluarga petani daripada membantunya.
3. Tuntutan umum akan program kredit yang berbeda-beda macam dan pengikutsertaan modal dalam
program pembangunan desa yang luas, jelas menghendaki pengetahuan sistem sosial-ekonomi usaha
pertanian yang lebih baik. Bagi saya kelihatannya di sinilah letak penyebab kegagalan. Sampai
sekarang sebagian besar pengetahuan mengenai sistem pertanian di Malaysia hanya diketahui dari
para ahli geografi. Di seluruh Indonesia tidak terdapat fakultas ekonomi pertanian. Sudah waktunya
ilmu pertanian bersedia menyelidiki usaha pertanian dan keluarga tani. Hal ini jelas sangat sulit,
tetapi pasti berguna untuk perkembangan usaha pertanian.

Anda mungkin juga menyukai