Anda di halaman 1dari 7

BAB XII

CENGKEH DAN KAUM PEDAGANG

Produksi Pertanian dan Pedagang di Pulau Simeulue (Aceh Barat)

1. Pengantar

Perdagangan dan pasar merupakan sarana penting untuk mengintegrasikan produksi pertanian dalam
kaitan-kaitan ekonomi dan sosial lainnya. Strategi pembangunan pedesaan sejak lama bertujuan mengubah
petani subsisten tradisional menjadi petani komersial. Bank dunia pada tahun 1975 kurang lebih berpendapat
: Pembangunan pedesaan merupakan sebuah strategi yang bertujuan untuk memajukan kehidupan ekonomi
dan sosial kelompok penduduk tertentu -- kaum miskin di pedesaan ... Strategi tersebut mencakup modernisasi
dan monetisasi (memperkenalkan sistem uang) masyarakat pedesaan, serta peralihan dari ketersaingan
tradisionalnya menuju integrasi dalam ekonomi nasional (Bank Dunia 1975:3). Ternyata, memang
komersialisasi pertanian yang terus berlangsung, baik dengan atau tanpa bantuan Bank Dunia, merupakan
sebuah kecenderungan umum di negara sedang berkembang -- namun biasanya manfaatnya tersebar secara
tidak adil dan berbagai kelompok masyarakat pedesaan.

Mengenai pengorganisasian pasar dan jaringan perdagangan, penelitian-penelitian di negara-negara


sedang berkembang memperlihatkan serangkaian sifat-sifat yang berlaku universal. Namun peran para
pedagang dalam proses perkembangan ekonomi dan masyarakat dinilai berbeda-beda. Harriss (1981:1-18)
memberikan tiga penafsiran utama peran tersebut :

a. Pedagang sebagai agen pembangunan

Pedagang dianggap memiliki sifat-sifat pengusaha yang mendorong perkembangan ekonomi, yaitu :
perencanaan yang rasional, tetapi juga berani mengambil risiko dan melakukan percobaan, mampu dan bersedia
mengenali dan memanfaatkan kemungkinan memperoleh keuntungan.

b. Pedagang sebagai agen stagnasi tanpa daya

Karakter ini diberikan terutama kepada pedagang kecil dalam ekonomi bazar. Kekuatan modal yang
kecil, berorientasi pada keuntungan jangka pendek dan menghindari risiko, adalah ciri tipe pedagang ini.

c. Pedagang sebagai agen keterbelakangan yang berkuasa

Analisis neo-maxis membahas pedagang secara abstrak-teoretis terutama sebagai kelas penghisap yang
tidak produktif, yang mendorong perembesan ekonomi kapitalistik ke produksi petani.

Dalam penelitian Geertz mengenai pedagang di Mojokuto, sebuah kota kecil di Jawa, dijelaskan kedua
penafsiran yang disebutkan terdahulu untuk berbagai kelompok pedagang. Geertz membandingkan prinsip-
prinsip ekonomi bazar yang terutama dianggap tidak dinamis dengan tipe ekonomi perusahaan yang
dinamis (1963:30-81). Ia menganalisis pasar dalam 3 aspek yang disimpulkan secara ringkas berikut ini,
sebagai :

1. Arus barang dan jasa yang mempunyai struktur. Yang khas untuk arus ini adalah besarnya
fragmentasi dalam rangkaian perdagangan yang panjang. Penjualan barang berlangsung dalam
banyak transaksi dengan jumlah sangat kecil, di mana jumlah transaksi dari satu pedagang lainnya
jauh lebih besar dibandingkan dari pedagang konsumen;
2. Sederet mekanisme ekonomi untuk mempertahankan dan mengatur arus tersebut :
- Jaringan hubungan kredit yang rumit dan mempunyai hierarki, biasanya dalam bentuk barang,
berlangsung antar para pedagang dalam jaringan perdagangan. Hubungan kredit ini membentuk
faktor integrasi penting dalam ekonomi bazar, yang saling mengikat para pedagang dalam
rangkaian perdagangan tersebut untuk jangka panjang. Dalam hubungan ini pemberi kredit dan
pengambil kredit sama tergantungnya satu sama lain.
- Menawar merupakan dasar transaksi -- tidak ada harga yang tetap, begitu juga pembukuan serta
kalkulasi ongkos dan keuntungan. Hal ini mempunyai dua konsekuensi penting : hubungan
persaingan lebih terjadi antara pedagang dan langganan kedua pihak ingin mendapat harga
sebaik mungkin -- dibandingkan antarpedagang dalam tingkat yang sama. Akibatnya adalah
strategi di pihak pedagang yang lebih mengutamakan laba tinggi dalam setiap transaksi, daripada
menjamin keuntungan yang stabil dalam jangka panjang dengan membangun jaringan langganan
tetap.
- Pembagian risiko maupun keuntungan di dalam jaringan tersebut.
3. Sistem sosial dan kultural, di mana mekanisme ini ditempatkan. Khusus di Jawa sistem ini
merupakan sistem dengan pembedaan peran yang kuat dan dengan tingkat pembagian kerja yang
tinggi, dan sekaligus dilepaskan dari norma-norma masyarakat yang berlaku dalam bidang-bidang
lain : pada umumnya business is business.

Sebaiknya, ciri penting tipe ekonomi perusahaan adalah penyerderhanaan aparat distribusi
(pemendekan rangkaian perdagangan) dan pengaturan rasional arus batang dari produsen ke konsumen. Usaha
dagang dalam bentuk toko bercirikan antara lain jam buka yang relatif pasti, pegawai dengan tugas-tugas yang
terdefenisi relatif jelas, ada harga tetap untuk kelompok barang tertentu, pengarahan penawaran barang ke
kebutuhan-kebutuhan modern penduduk perkotaan kecil, sedikitnya memiliki pemikiran mengenai
perencanaan secara sistematis dan pembukuan, serta cenderung meluaskan langganan tetap. Sebuah perluasan
bentuk tipe ini terdapat dalam hubungan antara usaha produksi (penjahit misalnya) dan toko untuk menjual
barang yang diproduksi.

Kesimpulan Geertz : ekonomi bazar menghambat pembangunan ekonomi Indonesia hanya


pengusaha dinamis yang bisa mendorong perkembangan ini. Di sini hanya dijelaskan sedikit bahwa Geertz
dalam dikotomisasinya kurang memperhatikan aspek-aspek positif ekonomi bazar. Sementara ada sederet
penelitian mengenai pasar-pasar di pedesaan di Asia Tenggara menemukan fungsionalitas bentuk
pengorganisasian pasar ini dalam penyesuaiannya pada bentuk-bentuk produksi pertanian dan situasi
infrastruktur regional. Ada penelitian lain yang menekankan aspek kesejahteraan, di antaranya akses bebas
pada peluang kerja dan dengan demikian pada peluang pendapatan untuk lapisan penduduk pedesaan dan
perkotaan yang miskin.

Namun argumentasi Geertz menunjukkan pertanyaan penting mengenai rasionalitas tindakan ekonomi.
Terutama sekali Polanyi (1978,1979) dan pengikutnya memperhatikan berbagai bentuk integrasi ekonomi,
sitem norma dan sistem nilai yang menjadi landasannya. Pertukaran barang dan jasa berlangsung dalam semua
masyarakat yang mengenal pembagian kerja. Dalam masyarakat primitif dan masyarakat kuno berlangsung
pertukaran dalam hubungan sosial tertentu dengan dasar resiprositas (timbal-balik). Pertukaran yang bersifat
komersial hanya berlangsung dengan orang asing, yang berada di luar kewajiban-kewajiban yang berlaku dalam
masyarakat. Pelaksanaan prinsip pasar menunjukkan gejala great transformation -- pemisahan antara
masyarakat dan ekonomi, serta dominasi ekonomi atas bidang non-ekonomi. Di samping barang-barang
material, tanah dan tenaga kerja pun menjadi barang yang harganya ditetapkan terlepas dari hubungan pribadi
melalui penawaran dan permintaan.

Perdagangan dalam masyarakat pedesaan dihadapkan pada sebuah masalah pokok. Sebagai anggota
komunitas desa mereka tunduk kepada norma-norma yang membatasikeinginan menuruti kepentingan pribadi
dan keinginan akan laba. Di luar desa mereka berhadapan dengan sebuah pasar yang anonim, dimana
penawaran dan permintaan sering ditentukan oleh harga yang berubah-ubah dengan tajam dan yang
menentukan keuntungan atau kerugian. Dilema ini tidak hanya di Asia Tenggara sering menyebabkan
perbadaan kultural dan/atau etnis antara petani dan pedagang, dan menyebabkan terbentuknya minoritas
pedagang (orang Cina dan Arab, misalnya).
Dengan abstraksi prinsip pasar, maka rasionalitas tujuan berdagang tidak hanya berlaku di bidang
ekonomi, melainkan juga di bidang sosial, yang menentukan hubungan antara mitra-mitra yang berinteraksi.
Keinginan akan laba sacara individu tidak hanya diabsahkan, malah diangkat sebagai tujuan tindakan.

Burns (1977:1-43) membadakan berbagai bentuk transaksi dalam kaitan-kaitan pasar, di mana risiko dan
kepercayaan merupakan unsur-unsur kunci. Transaksi sering mempunyai risiko, yaitu salah satu partai yang
ikut ambil bagian tidak memegang kesepakatan bersama (yang mungkin dilakukan secara diam-diam). Karena
itu peserta berusaha mengatur transaksi sedemikian rupa, sehingga risiko pelanggaran kesepakatan tersebut bisa
seminimal mungkin. Hal ini bisa terjadi dengan berbagai cara : a) melalui transaksi cash and carry yang
berlangsung sekali dan memakai prinsip caveat emptor (risiko tanggung sendiri); b) melalui pemantapan
hubungan jangka panjang yang tidak berdasarkan kontrak; c) melalui kesepakatan kontrak yang eksplisit.
Dalam hubungan yang bukan kontrak, kepercayaan mempunyai peran sangat penting -- tidak dimengerti
sebagai emosi, melainkan sebagai keyakinan bahwa mitra akan bersikap seperti yang diharapkan. Keyakinan ini
bisa berdasarkan anggapan bahwa mitra akan terus bersikap sama, atau bahwa ada sanksi yang berfungsi. Di
sini informasi mengenai nama baik mitra transaksi penting artinya, begitu juga struktur-struktur sosial seperti
kerabat, organisasi, lembaga keagamaan dan politik.

Dengan latar belakang penjelasan ini, dalam pemaparan berikut mengenai produksi pertanian dan
perdagangan di Simeuleu kami akan membahas dua aspek pokok :

1. Pembentukan jaringan perdagangan dalam rangka perubahan struktur produksi pertanian secara
mendasar,
2. Organisasi sosial jaringan perdagangan tersebut, begitu juga persyaratan dan konsekuensinya.

2. Simeulue : Sketsa Perkemahan Historis

Penduduk Pulau Simeuleu mungkin berasal dari Nias. Hubungan perdagangan dengan Aceh telah ada
sejak dulu, begitu juga hubungan ke Sumatera barat. Kaum pendatang menyebabkan berbagai kelompok
bangsa. Penduduk terbagi dalam beberapa suku yang semua berasal dari nenek moyang yang sama. Di samping
kelompok kelompok ini ada kategori orang asing (suku dagang!).

Dalam paruh pertama abad ini kopra dan kerbau merupakan produk pertanian terpenting penduduk
pulau Simeulue. Padi hanya ditanam sedikit, sehingga kebutuhan pangan pulau ini harus dipenuhi oleh impor
beras, terutama dari Penang, ke mana kopra diekspor. Ekspor kayu yang dilakukan oleh perusahaan Belanda
selama beberapa tahun mempunyai arti ekonomi yang penting, dan dari ekspor ini penduduk juga mendapatkan
keuntungan secara tidak langsung. Pelabuhan Sinabag diperluas, dan kapal-kapal singgah ke sana secara teratur.

Perdagangan kopradan beras dipegang oleh pedagang-pedagang Cina, Melayu dan Aceh di Sinabang
dan Kampung Air yang terletak di sebelah barat pulau itu. Pedagang-pedagang ini memiliki toko, di mana
mereka menjual barang konsumsi sebagian secara kredit dan membeli kopra. Berlangsungnya krisis ekonomi
dunia menyebabkan harga kopra jatuh secara drastis, sehingga akibatnya banyak petani terlibat hutang pada
pedagang. Karena itu pemerintah kolonial berusaha mengintensifikasikan penanaman padi. Produksi beras pada
tahun-tahun berikutnya bisa dinaikkan dengan pesat. Sekaligus dilakukan percobaan untuk menanam cengkeh
[lihat Lekkerkerker (1916), Kreemer (1922, 1923), Kaehler (1952)].

Dirangsang oleh kenaikan harga cengkeh, sejak awal tahun 1950-an banyak penduduk pulau itu mulai
menanam cengkeh. Diawal tahun 1970-an sebagian besar penduduk memusatkan perhatiannya ke penanaman
cengkeh. Harga yang menguntungkan untuk cengkeh tersebut mula-mula mendorong perkembangan ekonomi
sebagian besar petani secara pesat, yang banyak di antaranya lalu cepat berhutang, sehingga sering terpaksa
menjual tanahnya. Panen cengkeh bervariasi dari tahun ke tahun. Dalam jarak empat sampai lima tahun terjadi
panen besar, sementara dalam tahun-tahun diantaranya hanya tercapai 10 sampai 50% panen utama. Petani
sering terlibat hutang dalam tahun-tahun yang panennya rendah (lihat Prasad, 1983). Selain cengkeh, juga sapi,
kopra dan mengumpulkan rotan meskipun tidak banyak mempunyai peran dalam produksi pertanian.
Penanaman padi menurun sampai batas minimum selama berlangsungnya boom cengkeh, sehingga sejak itu
sebagian besar kebutuhan akan beras seperti juga sayur dan buah-buahan harus didatangkan dari Sumatera.

3. Jaringan Perdagangan Produk Pertanian dan Barang Konsumsi

Struktur ekonomi intern pulau itu tergantung dari perdagangan yang meluas terutama dengan Sumatera
dan kadang-kadang Jawa (cengkeh untuk produksi rokok kretek). Karena sarana lalu lintas di pantai barat Aceh
kurang, maka Simeulue sebagian besar termasuk bagian jaringan perdagangan propinsi Sumatera Utara dan
Sumatera Barat.

Produk pulau itu seperti kopra dan rotan diangkut ke Medan melalui Sibolga, kerbau diangkut terutama
ke Padang.Sebaliknya barang kebutuhan dasar, peralatan rumah tangga, bahan bangunan dan sebagian tekstil
didatangkan dengan kapal dari Sibolga, tekstil dan semen dari Padang. Dari Aceh didatangkan beras, sedangkan
sayuran dan buah-buahan didatangkan ke Simeulue dari Meulaboh atau Tapaktuan.

Pelabuhan Sinabang merupakan satu-satunya tempat bongkar-muat, baik untuk pengiriman produk
pertanian maupun untuk mendatangkan barang konsumsi. Rata-rata sebulan Sinabang disinggahi lalu lintas
sekitar 50 kapal dengan ukuran 30 ton. Sejak 1980 dua kali seminggu berlayar sebuah ferry antara Sinabang
dan Meulaboh.Sarana transportasi utama antara Sinabang dan desa-desa di pulau itu adalah perahu dan sepeda
motor. Perdagangan di Sinabang berlangsung di tiga pusat terpisah: di Sukadamai terdapat sebagian besar dari
keseluruhan toko yang berjumlah sekitar 160, selain itu sebagian barang kebutuhan dasar diperdagangkan di
dua pasar, yaitu Pasar Baru dan Pasar INPRES yang lebih kecil dan baru dibangun.

Pembeli kopra di Sinabang adalah seorang pemilik toko dan sebuah pabrik yang mengolah kopra
menjadi minyak. Sebagian besar pedagang ternak bargabung dalam sebuah koperasi, yang mengorganisasi
pengangkuatan ternak ke Sumatera. Kopra, kerbau dan rotan biasanya dibeli langsung oleh agen-agen pedagang
di Sinabang yang hidup di desa-desa dengan sistem komisi atau melalui pedagang perantara.

Meskipun ada beberapa usaha perbaikan dari berbagai pihak, tetapi jaringan pemasaran cengkeh seperti
sebelumnya tetap merugikan para produsen. Sampai pertengahan 1970-an pembeli utama adalah sejumlah
pedagang besar (kebanyakan orang Cina) yang saling bersaing. Tahun 1975 seorang pedagang besar bermodal
kuat berhasil mendesak para pesaing. Mula-mula ia berhasil monopoli persagangan dan menekan harga. Tetapi
sebuah koperasi penjualan yang didirikan tak lama kemudian bisa menghancurkan monopoli ini. Tahun 1978
instruksi pemerintah mengakhiri kekuasaan pedagang besar dan kembali membuka pasar untuk persaingan.

Sejak tahun 1980 pemasaran cengkeh di seluruh Indonesia secara formal diatur oleh Instruksi Presiden
seperti berikut ini:

Koperasi Unit Desa (KUD) mempunyai hak satu-satunya untuk membeli dari produsen. Pemerintah
menetukan harga minimal. Panen yang dibeli kemudian dilelang oleh kantor pusat koperasi di tingkat wilayah
(PUSKUD, Pusat Koperasi Unit Desa) kepada sebuah konsorsium pedagang (PAP, Pedagang Antar Pulau)
yang berhubungan dengan industri rokok kretek. Jika harga lelang jatuh dibawah harga minimal yang
ditetapkan, maka sebuah lembaga pemerintah (penyangga) membeli cengkeh yang harganya jatuh tersebut
dengan harga yang ditetapkan.

Aturan ini dalam prakteknya sampai sekarang gagal, sering karena pihak koperasi dan organisasi
pembelian pemerintah kekurangan modal. Dengan demikian seperti sebelumnya, petani terpaksa menjual
kepada pedagang perantar dengan harga rendah. Yang berlaku sebagai pedagang perantara adalah pemilik toko
di Sinabang begitu juga pegawai pemerintah dan pejabat koperasi di desa-desa besar. Pemilik toko sering
mengikat petani melalui penjualan barang secara kredit sebelum panen. Meskipun ada larangan resmi, sampai
sekarang praktek ini belum berhasil dilenyapkan.
Sebagian besar pedagang profesional, terutama pemilik toko di Sinabang dan di beberapa desa besar,
adalah kaum pendatang, terutama yang berasal dari daerah-daerah Aceh dan propinsi Sumatera Barat. Jumlah
orang Cina di antara para pedagang sangat sedikit. Banyak pedagang datang ke pulau itu ketika terjadi boom
cengkeh pada tahun 1970-an.

Pemilik toko di Sinabang yang bekerja sebagai pedagang perantara atau pedagang biasa, mempunyai
posisi kunci dalam perdagangan besar di konsumsi. Mereka mengambil barang terutama dari pedagang barang
konsumsi. Mereka mengambil barang terutama dari pedagang besar di Medan, Sibolga atau Padang dengan
bantuan perantara/kurir. Biasanya pedagang tekstil mengambil barangnya sendiri supaya bisa memilihmodel.
Di masa panen raya cengkeh datang pedagang besar dan pedagang eceran membawa barang dari Sumatera.

Sebagian besar barang disediakan pedagang besar dengan dasar sistem kredit. Sebuah cabang bank
(Bank Pembangunan Daerah, BPD) yang dibuka tahun 1976 juga pernah menawarkan kredit kepada pedagang,
tetapi tawaran ini hampirtidak terpakai. Menurut pendapat pedagang, tetapi tawaran ini hampir tidak terpakai.
Menurut pendapat pedagang yang ditanyai, prosedur permintaan kredit berbelit-belit, lama dan ongkosnya
mahal. Karena itu sebagian besar pedagang seperti sebelumnya tetap lebih menyukai hubungan kredit dengan
pedagang besar. Karena sebagian besar pedagang besar mengkhususkan diri pada beberapa jenis barang saja,
maka pemilik toko kebanyakan mempunyai hubungan kredit ke sejjumlah pedagang besar, sering dikota yang
berbeda-beda. Hubungan kredit ini sering dibangun melalui sejumlah langkah dalam jangka panjang dan
biasanya, jika sekali sudah mapan, berlangsung lama.

Sebagian besar berang dari toko biasanya langsung dijual ke konsumen. Selain itu pemilik toko
memberikan barang kebutuhan dasar, peralatan dapur dan tekstil ke pedagang eceran di desa-desa. Sejauh mana
hal ini berlangsung dengan dasar kredit, tergantng dari hubungan kepercayaan antra pemilik toko dan pedagang
eceran. Salah satu variasi cara ini : pemilik toko memberikan dan menetapkan harga barang-barang peralatan
rumah tangga dan tekstil kepada pedagang eceran dengan dasar komisi. Pedagang keliling maupun pedagang
eceran bisa mendapat keuntungan dari desa-desa yang letaknya terpencil dari lalu lintas.

Sebuah strategi penting pemilik toko untuk menjamin penjualannya adalah diversifikasi berang yang
ditawarkan sebanyak mungkin, dan bukan menyimpan beberapa jenis barang saja dalam jumlah besar. Hanya
beberapa pedagang saja yang mengkhususkan diri dalam penjualan pakaian. Sebagian besar pedagang yang
ditanyai menggambarkan situasi perdagangan di Sinabang sebagai serba tanggung kalau banyak barang tidak
habis, kalau sedikit tidak cukup. Yang ideal untuk Sinabang adalah pengusaha ukuran menengah.

Jika usahanya menurut perkiraan mereka mencapai ukuran optimal, kebanyakan pedagang selanjutnya
menginvestasikan keuntungannya dengan mendirikan toko di kota yang lebih besar di Sumatera yang diurus
oleh kerabatnya (diutamakan di daerah asal), atau investasi dalam bentuk tanah atau rumah-rumah yang juga
terletak di luar Simeulue.

4. Organisasi Sosial Jaringan Perdagangan

Toko biasanya dijalankan sendiri oleh pemiliknya dengan bantuan anggota keluarga, kerabat atau orang
lain (diutamakan anggota kelompok etnis yang sama). Semasa tahap ekspansi dalam rangka boom cengkeh,
hubungan pembantu ke pemilik sering merupakan hubungan antara pegawai dan pemilik: ongkos hidup
ditanggung oleh pemilik toko, dan kebanyakan pekerja hidup dalam rumah tangga si pemilik. Sebagai
pengganti gaji tetap, pekerja menerima bagian keuntungan sebesar persentase tertentu, yang beragam
jumlahnya. Bagian keuntungan ini dihitung setiap tahun, tetapi biasanya tidak dibayarkan melainkan tetap
tinggal di perusahaan sebagai bagian dari modal usaha. Dengan demikian pekerja, meskipun diawal hubungan
tersebut tidak membawa modal, dari tahun ke tahun mendapatkan bagian keuntungan yang berakumulasi,
sering dalam bentuk barang sebagai landasan untuk usahanya sendiri nanti.
Pengurusan keuangan perusahaan jelas berciri ekonomi bazar. Kebanyakan tidak ada pemisahan
antara kas rumah tangga dan kas usaha, pembukuan paling-paling hanya ada dalam bentuk yang sangat
sederhana. Uang untuk rumah tangga seringg diambil dari kas usaha sesuai dengan kebutuhan; ada pedagang
yang menetapkan jumlah tertentu untuk kebutuhan rumah tangga. Pedagang bahan makanan pokok mengambil
barang sesuai dengan kebutuhan atau secara bulanan dalam jumlah yang telah diperhitungkannya. Pembukuan
hanya terbatas pada pencatatan rekening dari pedagang besar dan pembayaran kepadanya; dengan demikian
sedikitnya setiap saat bisa terlihat tingginya kredit yang berputar.

Awak kapal yang berlabuh di Sinabang (sering para kaptennya) mempunyai peran penting sebagai
perantara atau kurir dalam hubungan antara pemilik toko dan pedagang besar. Sebagai langkah pertama untuk
memantapkan hubungan jangka panjang dengan seorang pedagang besar, biasanya seorang pemilik toko
menyuruh si perantara membeli sejumlah barang tertentu dengan uang tunai kepada pedagang besar yang
namanya dikenal pemilik toko atau yang diusulkan oleh si perantara. Jika barangnya habis, tambahnnya dibeli
dengan tunai lagi. Hal ini biasanya berlangsung beberapa kali, sampai si pedagang bessar dan si pemilik toko
mempunyai kesan bahwa si mitra dagang bisa dipercaya.

Jika pedagang besar bisa mempercayai dan yakin akan kerainan si pemilik toko, maka ia mulai
memberikan sebagian barang secara kredit. Maksudnya agar pemilik toko bisa mempunyai kesempatan
memperbesar jumlah barangnya meskipun modalnya kecil, dan dengan demikian bisa meningkatkan
penjualannya. Selama penjualan berlangsung menyenangkan hari pedagang besar dan waktu pembayaran tepat
dilakukan, maka secara bertahap ia akan meningkatkan jumlah kredit. Terutama sekali di masa panen besar
cengkeh, jumlah kredit ini bisa mencapai jutaan rupiah.

Hubungan kredit demikian bisa berlangsung beberapa tahun tanpa si pedagang besar dan pemilik toko
pernah bertemu muka. Pesanan dan juga pembayaran (dalam tunai) berlangsung melalui perantara yang
mendapat komisi dari kedua pihak. Pada jumlah besar untuk amannya pemilik toko memberitahukan mengenai
pembayaran yang dilakukannya melalui telegram. Harga berang yang dipasok ditetapkan oleh pedagang besar
ongkos transpor ditanggung pemilik toko.

Karena tidak pernah dilakukan kontrak formal antara pedagang besar dan pemilik toko, melainkan
hanya dibuat surat pesanan dan kuintasi pembayaran, serta tidak ada sama sekali sanksi secara hukum, maka
saling percaya praktis merupakan satu-satunya dasar hubungan usaha ini. Ketiga pihak yang ambil bagian
dalam usaha ini tergantung satu sama lain. Pedagang besar tergantung pada penjualan barang yang bisa
dikalkulasi; begi pemiliktokko barang yang biasa diambilnya secara kredit merupakan bagian penting dalam
modal usahanya; dan siperantara juga berusaha membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya sehingga dapat
menjamin memperoleh komisi. Dalam hubungan antara pedagang besar dan pemilik toko tidak terlihat adanya
pengutamaan anggota kelompok etnis yang sama.

Pedagang besar dan pemilik toko meskipun pada tingkat tertentu beraing, tetap melakukan saling tukar
informasi (misalnya pedagang pedagang bear di Sibolga membuat daftar hitam mengenai mitra usaha yang
tidak bisa dipercaya). Nama yang rusak bagi pedagang besar sedikitnya akan memberikan konsekuensi besar
dalam kelancaran penjualan, edangkan bagi pemilik toko berarti akhir daripada karirnya sebagai pedagang di
daerah tersebut.

Sekuat apa hubungan kepercayaan antara pedagang besar dan pemilik toko, jelas terlihat ketika tahun
1982 kebakaran menghancurkan hampir semua toko dengan barang-barangnya. Sementara beberapa pemilik
toko diantaranya dengan meninggalkan hutang pergi dari Sinabang, yang lainnya ditangguhkan hutangnya oleh
pedagang besar dan untuk memulai usaha baru disediakan kembali barang secara kredit.

Hubungan antar pedagang dan petani dalam perjalanan waktu mengalami perubahan. Di awal boom
cengkeh tehun 70-an relatif mudah bagi pedagang untuk mendapat keuntungan besar dengan menekan harga
pembelian dan meningkatkan harga penjualan, terutama di masa panen besar cengkeh. Karena letak pulau yang
relatif terpencil, petani tidak mempunyai patokan harga, dan yang juga berperan disini adalah bahwa petani
tidak biasa memegang uang dalam jumlah besar. Jika pedagang berhasil mengikat petani dengan memberikan
barang secara kredit sebelum panen, maka posisi penawaran petani menjadi terus melemah.

Namun dalam perjalanan waktu petani menjadi tahu harga begitu juga ketidakpercayaan kepada
pedagang karena ada pengalaman negatif sebelumnya. Selain harga beras yang diawasi pemerintah, tabel harga
yang terbit secara teratur dan paling tidak berlaku untuk Medan mengenai barang kebutuhan dasar dalam koran-
koran supra-regional, memberikan kemungkinan untuk memperkirakan harga yang adil atau pantas.

Pemilik toko membuat perbedaan kebijaksanaan berdasarkan jenis barang dalam politik penjualannya.
Hampir tidak ada harga tetap, namun jangkauan tawar-menawar berbeda-beda. Yang paling kecil adalah pada
barang kebutuhan pokok, lebih besar pada peralatan rumah tangga dan paling luas pada barang konfeksi, di
mana karena trend mode harga sulit ditetapkan, begitu juga selera pembeli memainkan peran.

Sementara di pihak pedagang barang konfeksi dalam setiap transaksi muncul strategi yang menurut
Geertz didasarkan pada upaya pencarian terus-menerus peluang mendapat keuntungan sebesar mungkin, pada
barang lain dengan harga tetap lebih diinginkan mengikat langganan untuk jangka panjang. Hal ini bisa terus
tejadi karena petani dari desa-desa terpencil memberikan pesanan dan uang tunai yang cukup banyak kepada
kenalan yang pergi ke Sinabang untuk membeli barang dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang.

Sekaligus sebagian besar pedagang berusaha tidak menjual barang secara kredit, karena banyak petani
terjerat hutang. Prasad (1983: 28 dan seterusnya) memberitakan kasus di mana petani dengan bantuan polisi
menghapus surat hutang. Selain pedagang yang hidup di desa-desa, beberapa pemilik toko seperti sebelumnya
memberikan kredit kepadapetani dengan pohon cengkeh sebagai jaminannya.

5. Penutup

Perkembangan yang dipaparkan di Simeulue hampir merupakan prototipe, baik dalam hal pengarahan
produksi pertanian maupun pembentukan dan pelaksanaan jaringan perdagangan.

Pengarahan produksi pertanian (kopra) untuk tujuan komersial telah berlangsung sejak awal abad ini.
Bahaya ketergantungan terus-menerus petani pada pasar dunia jelas terlihat selama terjadinya krisis ekonomi
dunia. Muncul sebuah periode peralihan orientasi yang makin kuat ke produksi bahan makanan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri (beras). Namun pada tahun 1960-an berlangsung perubahan berkali-kali yang
akhirnya menimbulkan konsentrasi hampir semuanya ke produksi tanaman tunai (cengkeh) dan yang sama
sekali hampir tidak memperhatikan lagi produksi bahan makanan. Petani sering dianggap lebih mengutamakan
kepastian ekonomi dan digambarkan sebagai kurang suka melakukan inovasi. Di Simeulue terlihat hal yang
berbeda: pengalaman yang negatif di masa lalu, tidak menghalangi petani untuk memanfaatkan peluang inivatif
dan dengan demikian kembali lagi menyerahkan diri untuk tergantung pada pasar.

Yang menarik diperhatikan selanjutnya adalah keradikalan pelaksanaan prinsip pasar dalam hubungan
petani dan pedagang dalam rangka perubahan dalam produksi pertanian. Strategi keuntungan di pihak pedagang
lebih mudah dicapai terutama dalam masa boom, dibandingkan dengan petani, karena pedagang bebas dari
kewajiban sebuah moral economy: pedagang di Simeulue secara tradisional adalah orang asing (suku
dagang).

Pengorganisasian jaringan perdagangan mempunyai fleksibilitas besar dalam menyesuaikan diri kepada
situasi lokal. Dikotomisasi Geertz mengenai ekonomi bazar dan ekonomi perusahaan tidak tampak berlaku
di daerah ini.

Anda mungkin juga menyukai