Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

MALARIA

Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam


di RSUD Tugurejo Semarang

Disusun oleh :
Alnia Rindang Khoirunisya
30101306863

Pembimbing :
dr. Prahastya M.Sc, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD TUGUREJO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang memberikan morbiditas
yang cukup tinggi di negara-negara seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun sub tropis.
Penyakit malaria merupakan infeksi yang ke- 3 teratas dalam jumlah kematian. Penyakit
malaria disebabkan oleh parasit protozoa dari Genus Plasmodium. Empat spesies yang
ditemukan pada manusia adalah plamodium vivax, plasmodium ovale, plasmodium malariae,
dan plasmodium falciparum. Penyakit malaria banyak terjadi di negara berkembang terutama
Indonesia. Walaupun di beberapa negara yang sudah maju tidak dijumpai lagi infeksi malaria,
tetapi lebih dari 106 negara di dunia masih menangani infeksi malaria, khususnya di daerah
tropik maupun negara negara yang sedang berkembang yaitu di Afrika, sebagian besar
Asia, sebagian besar benua Amerika (Amerika Latin).

WHO melaporkan dalam tahun 2009 masih terdapat 225 juta penderita malaria
dengan angka kematian 781.000. Di Indonesia sendiri malaria malaria masih merupakan
penyakit infeksi yang menjadi perhatian utama kementrian kesehatan untuk dilakukan
eliminasi disamping infeksi tuberkulosis dan infeksi HIV/AIDS. Dalam 10 tahun terakhir ini
sudah terjadi perubahan peta endemisitas infeksi malaria di Indonesia, sebagian daerah
dengan endemisitas tinngi di Papua dan Kalimantan sudah menurun, walaupun demikian
kehati-hatian terhadap infeksi malaria dapat ditemukan di semua daerah /kota di Indonesia
harus tetap dilakukan. Hal ini disebabkan mobilisasi penduduk yang cukup tinggi dan
transportasi yang semakin cepat memungkinkan terjadinyta kasus-kasus impor di semua
daerah yang sudah ter-eliminasi malaria.

Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin, tidak
terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Malaria pada kehamilan dapat
disebabkan oleh keempat spesies plasmodium, tetapi plasmodium Falciparum merupakan
parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat terhadap morbiditas dam
mortalitas ibu dan janinnya

Di daerah endemi malaria wanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit malaria
dibandingkan wanita tidak hamil. Kemudahan infeksi itu terjadi karena kekebalan yang
menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan Prevalensi densitas parasit
malaria berat. Selain itu, wanita hamil juga mudah terjadi infeksi malaria yang berulang dan
komplikasi berat yang mengakibatkan kematian.

Laporan dari El Salvador dijumpai kejadian insidensi malaria yang sangat tinggi pada
wanita hamil sebanyak 55,75% yaitu 63 kasus malaria dari 113 wanita hamil. Sedangkan
laporan dari berbagai tempat bervariasi antara 2-76%. Terjadinya anemia berat sekunder
akibat malaria meningkatkan risiko kematian maternal, mengakibatkan lebih kurang 10.000
kematian maternal pertahun di Sub-sahara Afrika. Diseluruh daerah malaria infeksi
plasmodium selama masa kehamilan berbahaya terhadap ibu dan janin. Oleh sebab itu
potensi infeksi berbahaya ini harus dicegah pada saat ibu hamil.
Data Steketee dkk (1985-2000) tentang pengaruh buruk malaria pada kehamilan di
daerah endemis malaria (sub-sahara Afrika) disebutkan risiko anemia 3-15%, berat badan
lahir rendah 13-70% dan kematian neonatal 3-8%. Terapi malaria pada wanita hamil lebih
sulit disebabkan kurangnya obat anti malaria dan sebagian besar tidak diizinkan pada wanita
hamil oleh karena sedikitnya uji klinis yang dilakukan, karena ketakutan akan pengaruhnya
terhadap janin.
Berdasarkan hal-hal diatas terlihat bahwa malaria selama kehamilan perlu mendapat
perhatian khusus. Selanjutnya pada tinjauan pustaka ini akan dibahas pengaruh malaria
terhadap ibu dan janinnya serta kontrol terhadap malaria selama kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI MALARIA

Infeksi malaria disebabkan oleh adanya parasit plasmodium di dalam darah atau
jaringan yang dibuktikan dengan pemeriksaan mikroskopik yang positif, adanya antigen
malaria dengan tes cepat, ditemukan DNA/RNA parasit pada pemeriksaan PCR. Infeksi
malaria dapat memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Pada
individu yang imun dapat berlangsung tanpa gejala (asimtomatis).
Penyakit malaria (malaria disease) : ialah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
parasit plasmodium di dalam eritrosit dan biasanya disertai dengan gejala demam. Dapat
berlangsung akut maupun kronis. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Sejenis infeksi
parasit yang menyerupai malaria adalah infeksi babesiosa yang menyebabkan babesiosis.

2.2 EPIDEMIOLOGI MALARIA

Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat


dipantau dengan menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API). Hal ini
sehubungan dengan kebijakan Kementrian Kesehatan mengenai penggunaan satu indikator
untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu dengan API. Pada tahun 2007 kebijakan ini
mensyaratkan bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil pemeriksaan sediaan
darah dan semua kasus positif harus diobati dengan pengobatan kombinasi berbasis
artemisinin atau ACT (Artemisin-based Combination Therapies).
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API,
dilakukan stratifikasi wilayah dimana Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi
malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi, dan
Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat
desa/fokus malaria tinggi.
Dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2010-2014 pengendalian
malaria merupakan salah satu penyakit yang ditargetkan untuk menurunkan angka
kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Dari gambar diatas angka kesakitan
malaria (API) tahun 2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga masih harus dilakukan
upaya efektif untuk menurunkan angka kesakitan 0,85 per 1000 penduduk dalam waktu 4
tahun, agar target Rencana Strategis Kesehatan Tahun 2014 tercapai.
Pada tahun 2009 penyebab malaria tertinggi adalah plasmodium vivax (55,8%),
kemudian plasmodium falsifarum, sedangkan plasmodium ovale tidak dilaporkan. Data ini
berbeda dengan data riskesdas 2010, yang mendapatkan 86,4 % penyebab malaria adalah
plasmodium falsifarum, dan plasmodium vivax sebanyak 6,9 %.

2.3 DAUR HIDUP PARASIT MALARIA


Infeksi parasit malaria pada manusia mulai saat nyamuk anopheles betina menggigit
manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian
besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di
darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan bentuk aseksual skizon
intrahepatik atau skizon pre eritrosit {intrahepatic schizogony atau pre-erythrocytes
schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk Plasmodium falciparum
dan 15 hari untuk Plasmodium malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk
skizone hati yang apabila pecah akan dapat mengeluarkan 10.000 30.000 merozoit ke
sirkulasi darah. Pada P. vivax dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk
hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun, dan bentuk ini yang akan
menyebabkan terjadinya relaps pada malaria.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. vivax reseptor ini berhubungan dengan faktor
antigen Duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah Duffy
negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor untuk P. Falciparum diduga suatu
glycophorins, sedangkan pada P malariae dan P. ovale belum diketahui. Dalam waktu
kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falciparum menjadi bentuk
stereo - headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit
tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigment yang
disebut hemozoit yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi
lebih elastik dan dinding berubah lonjong, pada P. falciparum dinding eritrosit membentuk
tonjolan yang disebut knob yang nantinya penting dalam proses cytoadherence dan rosetting.
Setelah 36 jam invasi kedalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila skizon pecah
akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap menginfeksi eritrosit yang lain. Siklus aseksual
ini pada P. falciparum, P. vivax dan P. ovale ialah 48 jam dan pada P. malariae adalah
72jam. (Gambar 1)
Gambar 1. Daur hidup plasmodiumdan mekanisme invasi eritrosit. (disalin dari: Miller LH .
The pathogenic basis of Malaria. Nature 2002, 415 : 673-679)
Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk garnet jantan dan betina, dan bila
nyamuk menghisap darah manusia yang sakit akan teijadi siklus seksual dalam tubuh
nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zigot dan menjadi lebih bergerak menjadi
ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhimya menjadi bentuk oocyst yang
akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah
nyamuk dan siap menginfeksi manusia.
Pada surveilans malaria di masyarakat, tingginya slide positive rate (SPR)
menentukan endemisitas suatu daerah dan pola klinis penyakit malaria akan berbeda. Secara
tradisi endemisitas daerah dibagi menjadi:
HIPOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 0-10%
MESOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 10-50%
HIPERENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate 50-75%
HOLOENDEMIK : bila parasit rate atau spleen rate > 75%
Parasit rate dan spleen rate di tentukan pada pemeriksaan anak-anak usia 2-9 tahun. Pada
daerah holoendemik banyak penderita anak-anak dengan anemia berat, pada daerah
hiperendemik dan mesoendemik mulai banyak malaria serebral pada usia kanak-kanak (2-10
tahun), sedangkan pada daerah hipoendemik/daerah tidak stabil banyak dijumpai malaria
serebral, malaria dengan gangguan fungsi hati atau gangguan fungsi ginjal pada usia dewasa.

2.4 PATOGENESIS
Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjumya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit.
Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa
terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa
malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu
{host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan
virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas
daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi dan status imunologi. Parasit dalam
eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam I dan
stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen
RESA {Ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium
matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk
knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila
EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu
glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-a dan interleukin-1 (IL-1) dari
makrofag.
Sitoadherensi. Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan
endotel vaskuler. Perlekatan teijadi dengan cara molekul adhesif yang terletak dipermukaan
knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak dipermukaan endotel
vaskular. Molekul adhesif di permukaan knob EP secara kolektif disebut PfEMP-1,
P.falciparum erythrocyte membrane protein-1. Molekul adhesif dipermukaan sel endotel
vaskular adalah CD36, trombospondin, intercellularadhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular
cell adhesion molecule - 1 (VCAM), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1) dan
glycosaminoglycan chondroitin sulfate A. PfEMP-l merupakan protein-protein hasil ekspresi
genetik oleh sekelompok gen yang berada dipermukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen
VAR. Gen VARmempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar.
Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.
Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalamjaringan mikrovaskular disebut EP matur
yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada
Plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi
pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat
di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga
memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang tidak
mengandung parasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga yang dapat
melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal/dalam jaringan
sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren.
Sitokin. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a {tumor necrosis factor-alpha),
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), LT(lymphotoxin) dan
interferongamma (INF-g). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria
serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai
kadar TNF-a yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-a, IL-I, IL-6
lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga
dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal/rendah atau pada malaria serebral
yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari
neurotransmitter yang lain sebagai free-radical dalam kaskade ini seperti nitrit-okside sebagai
faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat.
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini banyak diteliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam
menumbuhkan malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasit dan menurunkan
ekspresi molekuladesi. Diduga produksi NO lokal di organ terutama otak yang berlebihan
dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya pendapat lain menyatakan kadar NO
yang tepat, memberikan perlindungan terhadap malaria berat. Justru kadar NO yang rendah
mungkin menimbulkan malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrat dan nitrit total
pada cairan serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral diAfrika, mempunyai kadar
arginin pada pasien tersebut rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada
patogenesis malaria berat masih controversial, banyak hipotesis yang belum dapat dibuktikan
dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling bertentangan.

2.5 Gejala Klinis


Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmissi
infeksi malaria. Berat/ ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis plasmodium (P. Falciparum
sering memberikan komplikasi, daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan),
umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan
kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaktis dan pengobatan sebelumnya. (Gambar 2)

Manifestasi Malaria tanpa Komplikasi


Dikenal 4 jenis plasmodium {P) yaitu P. vivax, merupakan infeksi yang paling sering
dan menyebabkan malaria tertiana/ vivax, P. falciparum, memberikan banyak komplikasi dan
mempunyai perlangsungan yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan
menyebabkan malaria tropika/falsiparum, P. malariae, cukup jarang namun dapat
menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria quartana/ malariae dan/1 ovale
dijumpai pada daerah Afrika dan Pasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringan dan
sering sembuh spontan tanpa pengobatan, menyebabkan malaria ovale.
Manifestasi Umum Malaria
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan
splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. (Tabel 1) Keluhan
prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala,
sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia,
perut tak enak, diare ringan dan kadang kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi
pada P vivax dan ovale, sedang pada P. falciparum dan malariae keluhan prodromal tidak
jelas bahkan gejala dapat mendadak.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya " Trias Malaria " secara berurutan: periode dingin
(15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau
sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk,
diikuti dengan meningkatnya temperatur; diikuti denganperiode panas; penderita muka
merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan
berkeringat; kemudian periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan temperatur
turun, dan penderita merasa sehat.Trias malaria lebih sering teijadi pada infeksi P. vivax,
pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas
berlangsung 12 jam pada P. Falcifarum, 36 jam pada P. Vivax dan ovale, 60 jam pada
malariae.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa
mekanisme terjadinya anaemia ialah: pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan
eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex,
eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran
limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3-
hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa
merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian
pada binatang percobaan memperlihatkan limpa memfagosit eritrosit yang terinfeksi melalui
perubahan metabolisme, antigenik dan rheological dari eritrosit yang terinfeksi.
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah: (Gambar 3)
Serangan primer: yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan
paroksismal yang terdiri yang terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan
paroksismal ini dapat pendek atau panjang tergantung dari jumlah parasit dan keadaan
immunitas penderita.
Periode latent: yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria. Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
Rekrudesensi: berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu sesudah
berakhirnya serangan primer. Rekrudensi dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik
sesudah periode laten dari serangan primer, sering disebut relaps waktu panjang.
Rekurens: yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya
serangan primer.
Relaps atau Rechute: yaitu ialah berulangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama
dari waktu diantara serangan periodik dari infeksi prime yaitu setelah periode yang lama dari
masa latent (sampai 5 tahun), biasanya terjadi karena infeksi tidak sembuh atau oleh bentuk
diluar eritrosit (hati) pada malaria vivaks atau ovale.
Manifestasi Klinis Malaria Tertiana/ M.Vivax/ M.Benigna
Secara epidemiologi pada tahun 1999 diperkirakan terdapat 72-80 juta penderita
malaria vivaks di dunia dan 52% ada di Asia. Saat ini terjadi peningkatan 2.5 kali lipat
jumlah penderita dan secara global beban malaria vivaks adalah 132-391 juta orang per
tahun.
Inkubasi 12-17 hari, ladang-kadang lebih panjang 12-20 hari. Pada hari-hari pertama
panas iregular, kadang kadang remiten atau intermiten, pada saat tersebut perasaan dingin
atau menggigil jarang terjadi. Pada akhir minggu tipe panas menjadi intermiten dan periodik
setiap 48 jam dengan gejala klasik trias malaria. Serangan paroksismal biasanya terjadi waktu
sore hari. Kepadatan parasit mencapai maksimal dalam waktu 7-14 hari.
Pada minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14 hari,
limpa masih membesar dan panas masih berlangsung, pada akhir minggu kelima panas mulai
turun secara krisis. Pada malaria vivaks manifestasi klinik dapat ber langsung secara berat
tapi kurang membahayakan, limpa dapat membesar sampai derajat 4 atau 5 (ukuran Hackett).
Malaria serebral jarang terjadi. Edema tungkai disebabkan karena hipoalbuminemia.
Mortalitas malaria vivaks rendah tetapi morbiditas tinggi karena seringnya terjadi relapse.
Pada penderita yang semiimmune perlangsungan malaria vivax tidak spesifik dan ringan saja;
parasitemia hanya rendah; serangan demam hanya pendek dan penyembuhan lebih cepat.
Resistensi terhadap kloroquin pada malaria vivaks juga dilaporkan di Irian Jaya dan di daerah
lainnya. Relaps seringteqadi karena keluarnya bentuk hipnozoit yang tertinggal di hati pada
saat status imun tubuh menurun.
Manifestasi Klinis Malaria Malariae/M. Quartana
M. malariae banyak dijumpai didaerah Afrika, Amerika latin, sebagian Asia.
Penyebarannya tidak seluas P.vivax dan P.falciparum. Masa inkubasi 18 - 40 hari.
Manifestasi klinik seperti pada malaria vivax hanya berlangsung lebih ringan, anemia jarang
terjadi, splenomegali sering dijumpai walaupun pembesaran ringan. Serangan paroksismal
terjadi tiap 3-4 hari, biasanya pada waktu sore dan parasitemia sangat rendah <1%.
Komplikasi jarang terjadi, sindroma nefrotik dilaporkan pada infeksi plasmodium malariae
pada anak-anak Afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karena deposit kompleks
imun pada glomerulus ginjal. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan Ig M bersama
peningkatan titer antibodinya. Pada pemeriksaan dapat dijumpai edema, asites, proteinuria
yang banyak, hipoproteinaemia, tanpa uremia dan hipertensi. Keadaan ini prognosisnya jelek,
respons terhadap pengobatan anti malaria tidak menolong, diet dengan kurang garam dan
tinggi protein, dan diuretik boleh dicoba, steroid tidak berguna. Pengobatan dengan azatioprin
dengan dosis 2-2,5 mg/kg B.B selama 12 bulan tampaknya memberikan hasil yang baik;
siklofosfamid lebih sering memberikan effek toksik. Recrudescense sering terjadi pada
plasmodium malariae, parasit dapat bertahan lama dalam darah perifer, sedangkan bentuk
diluar eritrosit (di hati) tidak terjadi pada P. malariae.
Manifestasi Klinis Malaria Ovale
Merupakan bentuk yang paling ringan dari semua jenis malaria. Masa inkubasi 11-16 hari,
serangan paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10 kali walaupun
tanpa terapi. Apabila terjadi infeksi campuran dengan plasmodium lain, maka.P.ovale tidak
akan tampak didarah tepi, tetapi plasmodium yang lain yang akan ditemukan. Gejala klinis
hampir sama dengan malaria vivaks, lebih ringan, puncak panas lebih rendah dan
perlangsungan lebih pendek, dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Serangan
menggigil jarang terjadi dan splenomegali jarang sampai dapat diraba.
Manifestasi Klinis Malaria Tropika/M. falsiparum
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, di tandai dengan panas yang i reguler,
anaemia, splenomegali, parasitemia sering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi. Masa
inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika mempunyai perlangsungan yang cepat, dan parasitemia
yang tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang sering dijumpai
yaitu sakit kepala, nyeri belakang/ tungkai, lesu, perasaan dingin, mual, muntah, dan diare.
Parasit sulit ditemui pada penderita dengan pengobatan supresif Panas biasanya ireguler dan
tidak periodik, sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atas 40C. Gejala lain berupa
konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur normal. Apabila
infeksi memberat nadi cepat, nausea, muntah, diarea menjadi berat dan diikuti kelainan paru
(batuk). Splenomegal i dijumpai lebih sering dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan; hati
membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat berupa albuminuria, hialin
dan kristal yang granuler. Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan monositosis.

2.6 ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil, dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari famili plasmodidae, ordo Eucoccidiorida, klas Sporozoasida, dan phyllum
Apicomplexa.
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh
nyamuk anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang
menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata).
Sementara itu terdapat empat plasmodium yang dapat menginfeksi manusia, yang
sering dijumpai ialah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana dan plasmodium
falciparum yang menyebabkan malaria tropika. Plasmodium malariae pernah juga dijumpai
pada kasus di Indonesi tetapi sangat jarang. Plasmodium ovale pernah dilaporkan di jumpai di
Irian Jaya, pulau Timor, dan pulau Owi (utara Irian Jaya). Sejak tahun 2004 telah dilaporkan
muculnya malaria baru dikenal sebagai malaria ke-5 (the fifth malaria) yang disebabkan oleh
Plasmodium knowlesi yang sebelumnya hanya menginfeksi monyet berekor panjang, namun
sekarang dapat pula menginfeksi manusia.

2.7 DIAGNOSIS MALARIA


Diagnosa malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal
penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat berpergian ke daerah malaria, riwayat
pengobatan kuratif maupun preventif.
Pemeriksaan Tetes Darah Untuk Malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting
untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatip tidak
mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negatip maka
diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga
laboratoratorium yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada
saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit.
Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1:1000 tidak jelas manfaatnya dan sering
membahayakan terutama penderita dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui
aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak sebagai cara diagnosa yang
praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui;
Tetesan preparat darah tebal.
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak
dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan.
Ketebalan dalam membuat sediaan per lu untuk memudahkan identifikasi parasit.
Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan
pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan
dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat
dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit
10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakanjumlah parasit
per mikro-liter darah.
Tetesan darah Tipis.
Digunakan untuk identifikasi jenis Plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit
ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat
dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah.
Bilajumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting
untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul
dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Lei
shman's , atau Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada
beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup
baik.
Tes Antigen : P-F test
Yaitu niendeteksi antigen dari P.Falcipanim (Histidine Rich Protein II). Deteksi sangat cepat
hanya 3 - 5 menit. tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik. tidak memerlukan
alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT.
Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari Plasmodium (pLDH) dengan cara
immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat
mendeteksi dari 0 - 200 parasit/ul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P.
Falciparum atau P. vivax. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari
tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat {Rapid Test). Tes ini tersedia
dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya
Tes Serologi
Tes serologi mulai diperkenalkan sejaktahun 1962 dengan memakai tehnik indirect
fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai
alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes
serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer >
1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > 1: 20 dinyatakan positip. Metode-metode tes
serologi antara lain indirect haemagglut inat ion test, immuno-precipitation techniques,
ELISA test, radio-immunoassay.
Pemeriksaan PGR {Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai
cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun
jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai
sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

2.8 Diagnosis Banding Malaria


Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai pada
hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistim respiratorius, influenza,
bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia,
infeksis saluran kencing, tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita
dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak
menunjukkan gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnosa banding tergantung
manifestasi malaria beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam
tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul
ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria serebral hams dibedakan dengan
infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid ensefalopati, tipanososmiasis.
Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolik (diabetes, uremi),
gangguan serebrovaskular (strok), eklampsia, epilepsi, dan tumor otak.
MALARIA PADA KEHAMILAN
Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan II dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering pada wanita hamil dan masa
puerperium di daerah mesoendemik dan hipoendemik. Hal ini disebabkan karena penurunan
imunitas selama kehamilan. Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya respon imun pada
kehamilan seperti: peningkatan dari hormon steroid dan gonodotropin, a foetoprotein dan
penurunan dari Imfosit menyebabkan kemudahan terjadinya infeksi malaria. Ibu hamil
dengan infeksi HIVcenderung mendapat infeksi malaria dan sering mendapatkan malaria
congenital pada bayinya dan berat bayi lahir rendah.
Komplikasi pada kehamilan karena infeksi malaria ialah abortus, penyulit pada partus
(anemia, hepatosplenomegali), bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia, gangguan
fungsi ginjal, edema paru, hipoglikemia dan malaria kongenital. Oleh karenanya perlu
pemberian obat pencegahan terhadap malaria pada wanita hamil di daerah endemik.
Pencegahan terhadap malaria pada ibu hamil dengan pemberian klorokuin 250 mg tiap
minggu mulai dari kehamilan trimester III sampai satu bulan post partum.
2.8 Pengobatan Penderita Malaria
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan
memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART)
telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten
dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerjamembunuh Plasmodium dalam semua
stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies, P.falciparum, P.vivax
maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilaporkan saat ini.
Golongan Artemisinin
Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai Qinghaosu.
Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti:
artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini
bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai
obat sizontocidal darah. Karena beberapa penelitian bahwa pemakaian obat tunggal
menimbulkan terjadinya rekradensi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan
kombinasi obat lain,. Dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat. Obat ini
cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/injeksi dan
suppositoria.

Pengobatan ACT (Artemisinin base CombinationTherapy)


Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya
rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan
mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base
Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap (fixed
dose) atau kombinasi tidak tetap {non-fixed dose). Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan
pemberian pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu kombinasi artemeter (20mg)+
lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap
yang lain ialah dihidroartemisinin (40mg) + piperakuin (320mg) yaitu "Artekin". Dosis
artekin untuk dewasa : dosis awal 2tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam,
masing masing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya :
Artesunat + meflokuin
Artesunat + amodiakin
Artesunat + klorokuin
Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin
Artesunat + pironaridin
Artesunat + chlorproguanil-dapson (CDA/Lapdap plus)
Dihidroartemisinin+ Piperakuin + Trimethoprim (Artecom)
Artecom+primakuin (CV8)
Dihidroartemisinin + naptokuin
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate +
amodiakuin dengan nama dagang "ARTESDIAQUINE" atau Artesumoon. Dosis untuk orang
dewasa yaitu artesunate (50mg/tablet) 200mg pada hari I-III (4 tablet). Untuk Amodiakuin
(200mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 11/2 tablet hari III. Artesumoon ialah
kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister/ hari (artesunate +
amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah 25 -30 mg/kg BB selama 3
hari.
Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula
kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi
yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang
dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik.
Catatan: Untuk pemakaian obat golongan artemisinin
HARUS disertai/dibuktikan dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya
dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis/tidak ada hasil pemeriksaan
parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT.
Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT
Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari
seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin
maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Dibeberapa daerah
pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin masih
dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan.
Obat non - ACT ialah :
Klorokuin Difosfat/Sulfat, 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basa/kg BB untuk 3
hari, terbagi 10mg/kg BB hari I dan hari II, 5 mg /kg BB pada hari III. Pada orang dewasa
biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari III. Dipakai untuk P. Falciparum
maupun P. Vivax.
Sulfadoksin-Pirimetamin(SP), (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin), dosis orang
dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25
mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk
P.vivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP.
Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x1 0 mg/ kg BB selama 7
hari, dapat dipakai untuk P Falciparum maupun P. Vivax. Kina dipakai sebagai obat
cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk
waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai.
Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkap/pengobatan radical terhadap P.
Falciparum maupun P. Vivax. Pada P. Falciparum dosis nya 45mg (3 tablet) dosis tunggal
untuk membunuh garnet; sedangkan untuk P. Vivax dosisnya 15mg/ hari selama 14 hari yaitu
untuk membunuh garnet dan hipnozoit (anti-relaps).
Penggunaan Obat Kombinasi Non-act
Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum tersedianya
obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh
kombinasi ini adalah sebagai berikut : a). Kombinasi Klorokuin + Sulfadoksin-Pirimetamin;
b). Kombinasi SP + Kina; c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklin/ Tetrasiklin; d). Kombinasi
SP +Doksisiklin/Tetrasiklin; e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin; f). Kina + Klindamisin.
Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus dilakukan monitoring respon pengobatan
sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas.
PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA
Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun,
khususnya pada turis nasional maupun intemasional. Kemo-profilaktis yang dianjurkan
ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karenanya masih sangat
dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan
nyamuk yaitu dengan cara: 1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu
impregnated (dicelup peptisida ; pemethrin atau deltamethrin). 2). Menggunakan obat
pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents) ; gosok, spray, asap, elektrik; 3). Mencegah
berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau hams memakai proteksi (baju
lengan panjang, kaus/stocking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00 sampaijam
06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m; 4). Memproteksi tempat
tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti-nyamuk.
Bila akan di gunakan kemoprofilaktis perlu di ketahui sensitivitas Plasmodium di
tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaktis
dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum
berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaktis ini juga dipakai pada wanita hamil
di daerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi
malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100mg/hari
ataumefloquin 250 mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/ minggu ditambah proguanil 200 mg/
hari. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mg/kg BB/ hari;
Etaquin, Atovaquone/Proguanil (Malarone) dan Azitromycin.
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang menyulitkan
ialah banyaknya antigen yang terdapat pada Plasmodium selain pada masing-masing bentuk
stadium pada daur Plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P.falciparum sekarang
baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap P.falciparum. Pada dasamya
ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin
terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission block; untuk melawan bentuk gametosit.
Vaksin bentuk aseksual yang pemah dicoba ialah SPF-66 atau yang dikenal sebagai vaksin
Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin
sporozoit bertujauan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi
tidak terjadi. Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji
coba pada manusia tampahnya memberikan perlindxingan yang bermanfaat, walaupun
demikian uji lapangan sedang dalam persiapkan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin
yang ideal ialah vaksin yang multi-stage (sporozoit, aseksual), multivalen (terdiri beberapa
antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan
diharapkan memberikan respon terbaik dan harga yang kurang mahal.

Anda mungkin juga menyukai