KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:.............................
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT: RSUD CENGKARENG
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat /tanggal lahir : Jakarta, 18-04-1982 Suku Bangsa : Jawa
(33 tahun)
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : SD
Alamat : Kapuk RT 003/RW 010
A. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 05-10-17 Jam : 08.30 WIB
Keluhan utama :
Demam yang naik turun sejak 3 hari SMRS
Riwayat Keluarga
Umur Keadaan Penyebab
Hubungan Jenis Kelamin
(Tahun) Kesehatan Meninggal
Kakek (ayah) Tidak tau Laki-Laki Meninggal Tidak tau
Nenek (ayah) Tidak tau Perempuan Meninggal Tidak tau
Kakek (ibu) Tidak tau Laki-Laki Meninggal Tidak tau
Nenek (ibu) Tidak tau Perempuan Meninggal Tidak tau
Ayah Tidak tau Laki-Laki Meninggal Tidak tau
Ibu Tidak tau Perempuan Meninggal Tidak tau
Saudara Tidak tau - - -
Perempuan
Anak anak - Laki-Laki, Sehat -
Perempuan
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Lain-lain
(-) Kuku (-) Kuning/Ikterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (+) Sakit Kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(-) Kuning/Ikterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung / Paru paru )
(-) Nyeri dada (-) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(-) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(-) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan
Saluran Kemih / Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol (-) Penyakit Prostat
Katamenia
(-) Leukore (-) Pendarahan
(-) lain lain
Haid
(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche
(-) Teratur/tidak (-) Nyeri (-) Gangguan haid
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo / Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan (tick)
(-) Amnesia (-) Pusing (Vertigo)
(-) Gangguan bicara (Disartri)
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan :
Berat badan rata rata (kg) : 40 kg
Berat tertinggi kapan (kg) : 40 kg
Berat badan sekarang : 40 kg
(bila pasien tidak tahu dengan pasti)
( ) Tetap (-) Turun (-) Naik
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir : ( ) di rumah ( ) Rumah Bersalin ( ) R.S Bersalin
Ditolong oleh : ( ) Dokter ( ) Bidan ( ) Dukun ( ) lain - lain
Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis (-) BCG (-) Campak (-) DPT (-) Polio (-) Tetanus
Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari : 2-3 kali/hari
Jumlah / kali : 1 piring/kali
Variasi / hari :-
Nafsu makan : buruk
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP ( ) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus () Tidak sekolah
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Wajar
Alam Perasaan : Biasa
Proses Pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo Matang
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan Parut : Tidak ada
Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata
Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Hangat
Pembuluh darah : Tidak tampak pelebaran
Keringat : Umum
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
Lapisan Lemak : Merata
Udema : Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula : Tidak teraba perbesaran
Leher : Tidak teraba perbesaran
Supraklavikula : Tidak teraba perbesaran
Ketiak : Tidak teraba perbesaran
Lipat paha : Tidak teraba perbesaran
Kepala
Ekspresi wajah : Tenang
Simetri muka : Simetri
Rambut : Hitam, lebat, dan panjang
Pembuluh darah temporal : Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus : Tidak ada
Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Normal
Lensa : Jernih
Konjungtiva : Tidak anemis
Visus : Tidak diperiksa
Sklera : Tidak ikterik
Gerakan Mata : Aktif
Lapangan penglihatan : Normal
Tekanan bola mata : Normal
Deviatio Konjugate : Tidak ada
Nistagmus : Tidak ada
Telinga
Tuli : Tidak ada
Selaput pendengaran : Utuh, intak
Lubang : Lapang
Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Ada
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada
Mulut
Bibir : Lembab
Tonsil : T1-T1 tenang
Langit-langit : Tidak ada kelainan
Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Tidak ada caries
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Normal
Lidah : Tidak kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba perbesaran
Kelenjar Limfe : Tidak teraba perbesaran
Dada
Bentuk : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal, sela iga normal
Pembuluh darah : Tidak terlihat spider navi
Buah dada : Simetris, tidak tampak benjolan
Paru Paru
Depan Belakang
Inspeksi Kanan Bentuk normal, simetris saat statis dan Bentuk normal, simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Kiri Bentuk normal, simetris saat statis dan Bentuk normal, simetris saat statis dan
dinamis dinamis
Palapasi Kanan Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-), Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-),
fremitus taktil simetris fremitus taktil simetris
Kiri Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-), Tidak teraba benjolan, nyeri tekan (-),
fremitus taktil simetris fremitus taktil simetris
Perkusi Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kiri Sonor diseluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kanan Suara napas, wheezing (-), ronki (+) Suara napas, wheezing (-), ronki (+)
Kiri Suara napas ,wheezing (-), ronki (+) Suara napas, wheezing (-), ronki (+)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba kuat angkat dan regular pada ICS VI linea axillaris anterior
Perkusi : Batas atas : ICS III linea sternalis kiri
Batas pinggang jantung : ICS IV linea parasternalis kiri
Batas kanan : ICS IV linea sternal kanan
Batas kiri : ICS VI 2 jari lateral linea midclavicularis kiri
Auskultasi : BJ 1 2 murni reguler. Murmur (-), gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : Datar, pembuluh darah (-), dilatasi vena (-), tidak ada bekas operasi
Palpasi
Dinding perut : Tidak ada distensi, tidak ada massa, nyeri tekan (-)
Hati : Tidak membesar
Limpa : Tidak membesar
Ginjal : Ballotement (-), nyeri ketuk CVA (-)
Lain-lain : Tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+)
Refleks dinding perut : Baik
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : Normotonus Normotonus
Sendi : Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5
Lain-lain : Palmar eritem (-) Palmar eritem (-)
Flapping tremor (-) Flapping tremor (-)
Reflex
Kanan Kiri
Refleks Tendon Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Bisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Trisep Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Patela Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Achiles Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks patologis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Colok Dubur (atas indikasi)
Tidak dilakukan
Hematologi
Hemoglobin : 15,9 g/dl
Hematokrit : 47%
Leukosit : 5,7 ribu/l
Trombosit : 55 ribu/l
Kimia Darah
Glukosa Sure Step : 103 mg/dl
Fungsi Ginjal
Ureum : 14 mg/dl
Kreatinin : 0,4 mg/dl
Kimia Darah
AST/SGOT : 30 U/L
ALT/SGPT : 16 U/L
Imunologi/ Serologi
Dengue IgG : negatif
Dengue IgM : negatif
Hematologi
Hemoglobin : 11,8 g/dl
Hematokrit : 34%
Leukosit : 3,0 ribu/l
Trombosit : 73 ribu/l
Radiology
Foto Thorax :
Sinus dan diafragma normal
Jantung dan aorta: konfigurasi normal
Paru-paru : tampak infiltrat d mediobasal paru kiri
Corakan bronkovaskular prominen
Hilus dan pleura normal. Tulang-tulang dan jaringan lunak normal
Kesimpulan: Leukopeni dengan limfosit plasma biru dan trombositopeni (infeksi viral)
D. RINGKASAN (RESUME)
Ny. S 33 tahun datang ke IGD RSUD Cengkareng dengan keluhan demam yang naik
turun sejak 3 hari SMRS. Pasien juga mengeluh adanya lemas, sakit kepala, mual, muntah, dan
BAB cair berdarah. Pasien juga mengeluh adanya batuk yang ia tidak ketahui sejak kapan.
Pasien tidak dapat berjalan sejak 3 tahun yang lalu sejak ia jatuh di kamar mandi. Pada riwayat
tempat tinggal dikatakan kebersihannya kurang terjaga.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tekanan darah : 110/70
mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 36,80C, pernafasaan 18 kali/menit.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya hiponatremi, hipokalemi, hematokrit
meninggi, dan trombositopenia pada tanggal 2 Oktober. Kemudian diperiksakan gambaran darah
tepi pada tanggal 4 Oktober dan didapatkan kesan leukopeni dengan limfosit plasma biru dan
trombositopeni.
Pemeriksaan radiologi didapatkan kesan pada foto thorax yaitu infiltrat di mediobasal
paru kiri (pneumonia). Pada foto vertebra lumbosacral didapatkan kesan spondyloarthrosis
vert.lumbosacral dengan lordotik vertebra lumbosacral melurus.
H. RENCANA PENGELOLAAN
Penatalaksanaan di IGD :
- Infus RL 2500cc (loading)
- Foto Thorax, EKG
- Ranitidin I
- Ondansentron I
- O2 4L
- Lab Hema 1, GDS, Fungsi Ginjal (Ureum dan Kreatinin), Elektrolit
- Jika tekanan darah turun, langsung loading cairan
- Jika tekanan darah turun, beri dobutamin 5mg
Penatalaksanaan di ruang perawatan :
Terapi medikamentosa
1. Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
2. Ondancentron 3 x 80mg
3. Ceftriaxon 2x1 g
Pemeriksaan:
1. Foto rontgen lumbosacral
2. Hema I / hari
3. Cek internis lengkap dan gambaran darah tepi
IVFD : Ringer Laktat : Gelofusin = 2:2 + KCl 25 mEq untuk 4x
Diet biasa
I. PENCEGAHAN
Tersier : Mencegah supaya tidak terjadi kerusakan organ yang lebih parah.
- Pasien diobservasi tanda-tanda vital untuk melihat kualitas terapi cairan yang diberikan
supaya tidak syok kembali.
- Istirahat yang cukup
J. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tinjauan Pustaka
Pendahuluan
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue. Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan
sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009,
World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia
Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak
58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK):41,3 %).
Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak
tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang
endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada
tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD.
Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi
158.912 kasus pada tahun 2009.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal
di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia,
pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit
menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe
DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat.,
Patofisiologi
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara
DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume
plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume
plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine Labelled human albumin sebagai
indicator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari
permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok
terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra
vascular (ruang interstitial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang
mendukung dugaan ini adalah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infuse, dan terdapatnya edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan
memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan cairan yang
mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan
drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat
destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional
dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara
cepat. Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan
kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran
itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan
trombositopenia.
Trombositopenia
Kelainan system koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang.
Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada
kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih
lanjut membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan
bahwa menurunnya aktifitas factor VII, factor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen dan factor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi system koagulasi, tetapi juga
oleh konsumsi system fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan
aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi
proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara
potesial dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga
terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan emncolok.
Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC
akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai
perdarahan hebat, terlihatanya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3)
perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh fakator kapiler, gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih
kompleks seperti trombositopenia, gangguan factor pemberkuan, dan kemungkinan besar oleh
factor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi
asidosis metabolic. (4) antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang.
Sistem Komplemen
Penelitian system komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadara C3, C3
proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok amupun tidak. Terdapat hubungan
positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimnulkan
perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur
alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat dan bukan oleh karena produksi
yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan
C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan
merupakan mediator kuat untuk menimnulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan
volume plasma, dan syok hipovolemiik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel
endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit
memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Di samping itu komplemen juga
merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon
gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1).
Bukti-bukti yang mendukung peran system komplemen pada penderita DBD ialah (1)
ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun
yang bersirkulasi, baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar
kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.
Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic
yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan LOngsaman menyebutnya sebaga
transformed lymphocytes. Dialporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD
dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk
DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang
lebih mendalam dilakukan oelh Sutaryo yang menyebutnya sebagaai limfosit plasma bitu (LPB).
pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada
infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa
di antar hari keempat sapai kedepalan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada
DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai dengan hari kesembilan demam,
tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Definisi LPB
adalah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau
sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata,
dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval
atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan akdang-kadang di dalam inti terdapat nucleoli.
Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak
melekuk dan tidak bertambah biru.
Sumber : World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and
dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO, 2011
Sumber : Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World Health
Organization, 2009
Gambaran klinis
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab
virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala
dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai. ,-
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang, nyeri
retroorbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak mau makan,
konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik :
Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan), leher, dan
dada
Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian dorsal,
lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada kulit yg
normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan
o
Uji bendung positif dan/atau petekie
o
Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna
(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia) . ,-
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan masa
penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase demam
Anamnesis Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai
facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang
paling banyak pada fase demam awal.
o Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
o Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
o Epistaksis, perdarahan gusi
o Perdarahan saluran cerna
o Hematuria (jarang)
o Menorrhagia
Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan plasma
(khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan
ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,
o Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
o Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding
kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan
ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
o Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar /
o Tanda-tanda syok: gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat,
nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi 20 mmHg, dengan
peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3
detik). Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
o Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan elektrolit,
kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera
diatasi.
Kriteria laboratorium
o Trombositopenia (100.000/mikroliter)
o Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar /
menurut standar umur dan jenis kelamin
Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi: (1) Status mental, (2) Status hidrasi, (3) Status
hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura, (5) Nyeri abdomen/
hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan, (7) Uji torniquet.6
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar hematokrit (Ht), jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel neutrofil. Pada akhir
demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama menurun sehingga jumlah sel limfosit
secara relatif meningkat.,6,7
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/l. Pada umumnya trombosit terjadi sebelum
ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Jumlah trombosit <100.000/l
biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti
bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.,
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi,
dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.6,7
Diagnosis
Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris. Berdasarkan kriteria WHO 1997,
diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan bila semua hal di bawah ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif; petekie,
ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, dan
hiponatremia.,6
Dengue probable :
o Mual, muntah
o Ruam
o Lekopenia
o Nyeri perut
o Muntah berkepanjangan
o Perdarahan mukosa
o Letargi, lemah
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak jelas).
o Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan
distress pernafasan.
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun
banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini
sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah terapi suportif.
Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan, terutama melalui oral, harus dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen
cairan melalui jalur intravena.,
Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi lainnya, pasien dapat dibagi tiga
kategori: rawat jalan (kelompok A), membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap
(kelompok B), dan membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).
Kelompok-A
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi untuk minum
secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam jam, dan tidak mempunyai
warning signs, khususnya saat demam mereda.
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi hingga
melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah dirawat dan diberikan
edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila warning signs muncul. Apabila warning
signs muncul maka tindakan selanjutnya adalah:
Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan lain yang
mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang hilang akibat demam.
Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam. Interval
pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan keluaran cairan,
urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda perembesan plasma atau
perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan trombosit (kelompok-B).
Kelompok-B
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase kritis. Kriteria
rawat pasien DBD adalah:
1. Adanya warning signs
2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum, hipotensi postural,
berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak syok),
neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia hemolitik, overweight/
obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa transpor memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:
Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti normosalin 0,9%,
RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam
selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit, lanjutkan
dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda vital memburuk dan Ht
meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 510 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai
kembali status klinis, ulang Ht, dan periksa kecepatan cairan infus berkala.
Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin output 0,5 ml/kg/jam
selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus berkala saat kebocoran plasma berkurang,
yakni saat akhir fase kritis. Hal ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum
cukup dan Ht menurun.
Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat. Parameter yang
harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap 1-4 jam hingga lewat fase
kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum dan setelah pemberian cairan, selanjutnya
tiap 6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:
Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9% atau RL dengan
atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk pasien obese atau overweight
digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan volume minimum untuk memelihara perfusi
dan urine output selama 24-48 jam.
Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin output (volume dan
frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan trombosit. Pemeriksaan laboratorium
lain dapat dilakukan sesuai indikasi.
Kelompok-C
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila mengalami DBD berat
untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah. Resusitasi cairan dengan kristaloid
isotonik secepatnya sangat penting untuk menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran
plasma atau larutan koloid pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah
resusitasi. Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer
(takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat dan hangat,
dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran membaik, urin output >0,5
ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).
Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan
hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular
oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% De kstran 70 dipertahankan
selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3,54,5 jam.
Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu
fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan
lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.
Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik dan
isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu
mekanism pembekuan darah.
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
Diuresis baik
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.
Kesimpulan
Pada Ny.S dengan gejala yang terdapat pada dirinya, bisa disimpulkan bahwa Ny.S menderita
Dengue Haemorrhagic Fever grade IV. Hal ini dilihat pada hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan gambaran-gambaran pada teori. Pada terapi
juga diberikan hal yang sesuai dengan teori dalam penatalaksanaan DHF grade IV.
Daftar Pustaka
1. Sudjana P. Buletin jendela epidemiologi demam berdarah dengue. Vol 2. Jakarta : Pusat
Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010.h.21-8.
2. Soedarmo SSS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012.h.155-81.
3. World Health Organization. Dengue : guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. France : WHO, 2009.p. 25-106.
4. World Health Organization. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. India : WHO,
2011.h. 17-56.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2014.