Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan
oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urine (air kemih) (Speakman,2008). Susunan sistem
perkemihan terdiri dari : dua ginjal (ren) yang menghasilkan urine, dua
ureter yang membawa urine dari ginjal ke vesika urinaria (kandung
kemih), satu vesika urinaria tempat urine dikumpulkan, dan satu uretra
urine dikeluarkan dari vesika urinaria (Panahi,2010)
Inkontinensia urine (IU) oleh International Continence Society (ICS)
didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak dapat dikendalikan atau
dikontrol; secara objektif dapat diperlihatkan dan merupakan salahsatu
masalah sosial,psikologi, aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga
menurunkan hubungan interaksi sosial dan interpersonal. Inkontinensia
bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya
diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis,
atrofik, rangsangan obat-obatan dan masalah psikologik.
Menurut data dari WHO ada 200 juta penduduk di dunia mengalami
inkontinensia urine pada tahun 2011. Prevalensi inkontinensia di Indonesia
pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3% pada tahun 2013 . Di
Kalimantan Barat berdasarkan data Dinkes Kota Pontianak sebesar 36.387
jiwa terdiri dari jumlah lansia laki-laki sebesar 17.509 orang dan lansia
perempuan sebesar 18.879 orang pada tahun 2014.

1
B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulis dalam menyusun makalah ini adalah untuk
mendukung kegiatan belajar-mengajar jurusan keperawatan khususnya
pada mata kuliah Keperawatan Sistem urinaria tentang asuhan
keperawatan pada inkontinensia urine
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulis dalam menyusun makalah ini agar
mahasiswa mempunyai pengetahuan dasar dalam system urinaria dan
asuhan keperawatan inkontinensia urine.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar medik


1. Definisi

Inkontinensia adalah berkemih di luar kesadaran, pada


waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah
kebersihan atau sosial (Watson, 1991). Aspek sosial yang akan
dialami klien lansia antara lain kehilangan harga diri, merasa
terisolasi, dan depresi.
Inkontinensia urine (IU) adalah pengeluaran urine
involunter (tidak disadari/mengompol) yang cukup menjadi
masalah (R.Siti Maryam;dkk,2008)
Inkontinensia urine (beser) adalah kondisi ketika dorongan
berkemih tidak mampu dikontrol oleh sfingter ekternal. (Mubarak
wahit iqbal & chayatin Nurul, 2007).
Inkontinensia urine adalah ketidak mampuan otot sfingter
ekternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekresi urine.
(Wartonah Tarwoto, 2003).

2. Klasifikasi
Menurut R. Siti Maryam, dkk (2008) inkontinensia diklasifikasikan
menjadi beberapa antara lain :
a. Inkontinensia stress
Adanya tekanan di dalam abdomen, seperti bersin, batuk,
tertawa dapat menyebabkan kebocoran urine dari kandung
kemih serta tidak terdapat aktivitas kandung kemih. Tipe
inkontinensia ini sering diderita wanita yang mempunyai banyak
anak.

3
Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan cara mengajarkan ibu
untuk melakukan latihan dasar pelviks. Latihan ini bertujuan
untuk menguatkan otot rangka pada dasar pelviks sehingga
membentuk fungsi sfingter eksternal pada kandung kemih.
b. Inkontinensia mendesak (Urge Incontinence)
Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya berkemih
sebelum sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda
untuk berkemih. Kondisi ini terjadi karena kandung kemih
seseorang berkontraksi tanpa didahului oleh keinginan untuk
berkemih.
Penatalaksanaanya adalah dengan melakukan bledder training
yang bertujuan melaih seseorang mengembalikan kontrol
berkemih. Latihan ini mencakup pengkajian yang baik terhadap
pola berkemih yang normal pada seseorang. Kemudian
dilakukan suatu upaya untuk mengikuti pola ini agar klien
mencapai kontinensia sebagai tahap pertama, kemudian secara
bertahap menunda waktu untuk pergi ke toilet. Hal ini
dimaksudkan agar klien dapat menahan kemih dalam waktu
yang lama.
c. Inkontinensia aliran berlebihan (Overflow)
Seseorang yang menderita inkontiensia overflow akan mengeluh
bahwa urinenya mengalir terus menerus. Hal ini disebabkan
karena obstruksi pada saluran kemih seperti pada pembesaran
prostat atau konstipasi. Untuk pembesaran prostat yang
menyebabkan inkontinensia dibutuhkan tindakan pembedahan
dan untuk konstipasinya relatif mudah diatasi.
d. Inkontinensia refleks
Pengosongan kandung kemih dipengaruhi refleks yang
dirangsang oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin berkemih dan
berhenti berkemih tidak ada.

4
Penatalaksanaannya dengan permintaan untuk miksi secara
teratur setiap jam atau dengan menggunakan kateter dan
sekarang banyak menggunakan diapers ukuran dewasa.
e. Inkontinensia fungsional
Kondisi ini muncul akibat beberapa ketidakmampuan lain yang
mengurangi kemampuannya untuk mempertahankan
kontinensia. Contohnya, seseorang yang mempunyai
keterbatasan gerak atau berada di kursi roda, mungkin tidak
mampu untuk pergi ke toilet atau berpindah ke dan dari toilet
duduk. Seseorang yang menderita ini masih mampu untuk
mempertahankan kontinensia dengan bantuan dan masih
mempunyai keinginan untuk kontinensia. Klien perlu diberi
kesempatan berkemih.

3. Anatomi Fisiologi

Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses


penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih
dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh
tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).

a. Ginjal

5
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum
abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebra
lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen.
Bentuk ginjal seperti biji kacangm jumlahnya ada dua buah kiri
dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada
umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari ginjal wanita.

1) Fungsi ginjal :
a) Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat
toksik atau racun.
b) Mempertahankan suasana keseimbangan cairan.
c) Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari
cairan tubuh
d) Mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat
lain dalam tubuh.
e) Mengeluarkan sisa-sisa metabolism hasil akhir dari
protein ureum, kreatinin, dan amoniak.
2) Struktur Ginjal

6
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut
kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna
ungu tua. Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia
kortekalis), dan lapisan sebelah dalam bagian medulla
(substansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal
pyramid. Puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri
dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Masing-
masing pyramid saling dilapisi oleh kolumna renalis, jumlah
renalis 15-16 buah.

Garis-garis yang terlihat pada pyramid di sebut tubulus


nefron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal yang
terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal (tubulus kontorti
satu), ansa Henie, tubulus distal (tubuli kontorti dua) dan
tubulus urinarius (papilla vateri).

Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama


24 jam dapat menyaring darah 170 liter. Arteri renalis
membawa darah murni dari aorta ke ginjal, lubang-lubang
yang terdapat pada pyramid renal masing-masing membentuk
simpul dan kapiler satu badan malfigi yang disebut
glomerolus. Pembutuh aferen yang bercabang mebentuk
kapiler menjadi vena renalis yang membawa darah drai
ginjal ke vena kava inferior.

3) Fisiologi Ginjal
Ginjal berfungsi :
a) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air
dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urine
(kemih) yang encer dalam jumlah besar, kekurangan air
(kelebihan keringat) menyebabkan urine yang
diekskresikan berkurang dan konsentrasinya lebih pekat
sehingga susunan dan volume cairan tubuuh dapat
dipertahankan relative normal.

7
b) Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan
keseimbangan ion yang optimal dalam plasma
(keseimbangan elektrolit). Bila terjadi
pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat
pemasukan garam yang berlebihan/penyakit perdarahan
(diare, muntah) ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-
ion yang penting (mis na, K, Cl, Ca dan fosfat).
c) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh
bergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan
menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH kurang
dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolism protein.
Apabila banyak makan sayur-sayuran, urine akan bersifat
basa. pH urine bervariasi antara 4,8-8,2. Ginjal
menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
d) Ekskresi sisa hasil metabolism (ureum, asam urat,
kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolism
hemoglobin dan bahan kimia asing (peptisida). Fungsi
hormonal dan metabolism. Ginjal menyekresi hormone
rennin yang mempunyai perananpenting mengatur
tekanan darah (system rennin angiotensin aldesteron)
membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting
untuk memproses pembentukan sel darah merah
(eritropoiesis).Di samping itu ginjal juga membentuk
hormone dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang
diperlukan untuk absorbsi ion kalsium di usus.

4. Etiologi
(menurut ilmu kedokteran)
a. Penyebab inkontinensia stress adalah adanya gangguan proses
persalinan, penyakit parkinson maupun multipel sklerosis,
obesitas ataupun kerusakan uretra.

8
b. Penyebab inkontinensia mendesak adalah kehilangan sensasi
untuk berkemih ini disebabkan oleh adanya penurunan fungsi
persarafan yang mengatur perkemihan.
c. Penyebab inkontinensia aliran berlebihan adalah tersumbatnya
kandung kemih karena pembesaran prostat, konstipasi, adanya
batu pada kandung kemih, serta terdapat kerusakan saraf.
d. Penyebab inkontinensia refleks adalah Ini terjadi karena sistem
saraf pusat yang terganggu seperti pada dimensia.
e. Penyebab inkontinensia fungsional adalah gangguan kognitif
berat yang membuat sulit untuk mengidentifikasi perlunya
urinasi (misalnya demensia alzheimer) atau gangguan fisik yang
menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet
untuk melakukan urinasi.
5. Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari
penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau
terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord
trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur
dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia
urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari
berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi
lanjut usia.

6. Tanda dan gejala


Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
a. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih
sering dari normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di
miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang umumnya
di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
b. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8
kali dalam waktu 24 jam.
c. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk
berkemih.

9
d. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk
berkemih walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan
kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal.
e. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk
berkemih dan tidak dapat ditahan sehingga kadangkadang
sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu.

Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak


teratur pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus
miksi. Urge inkontinensia merupakan gejala akhir pada
inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada inkontinensia
urine biasanya lebih banyak daripada kapasitas kandung kemih
yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada
mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan
untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka
menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha
membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat
kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya
urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir
ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom
nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis.
Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus
inkontinensia urine

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji fungsi ginjal terdiri dari :
1) Uji protein (albumin). Bila ada kerusakan pada glomerolus
atau tubulus, maka protein dapat bocor masuk ke dalam
urine.
2) Uji konsentrasi ureum darah. Bila ginjal tidak cukup
mengeluarkan ureum maka ureum darah naik di atas kadar
normal 20-40 mg%.

10
3) Uji konsentrasi. Pada uji ini dilarang makan atau minum
selama 12 jam untuk melihat sampai berapa tinggi berat
jenisnya naik.
b. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
1) Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia
perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang
potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi
kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan
cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang
keluar melalui kateter diukur atau menggunakan
pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc
berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih
untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap
terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri,
bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik
lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis
belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes
laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea
nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2) Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi
saluran kemih bagian bawah. Tes tekanan urethra
mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat
dianmis.Imaging tes terhadap saluran perkemihan bagian
atas dan bawah.
3) Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum
dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria.
Menurut National Womens Health Report, diagnosis dan
terapi inkontinensia urine dapat ditegakkan oleh sejumlah
pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter pada
pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis,

11
urologis, ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis,
perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan
primer dapat mendiagnosis inkontinensia urine dengan
pemeriksaan riwayat medis yang lengkap dan
menggunakan tabel penilaian gejala.
Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine
untuk menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh
inkontinensia urine, atau masalah lain, seperti infeksi
saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila urinealisa
normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat
menentukan untuk mengobati pasien atau merujuknya
untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut.
8. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller, 2011
adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis,
mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi,
latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun
terapi yang dapat dilakukan adalah :
c. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.
Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu,
mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan

12
berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan
petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini
dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif
(berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan
otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara :
1) Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan
terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri
10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar
searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali.
2) Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air
besar dilakukan 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat
dan urethra dapat tertutup dengan baik.

1. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah


antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine.

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu


pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau


alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.

2. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.

13
Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).
3. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya
adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan
bedpan.
a. Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana
pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah
seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi
lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal,
dan alergi.
b. Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin
karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter
sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk
mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien
yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini
juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
1. Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang
usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah
baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari
jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia
dalam menggunakan toilet.
9. Komplikasi
Penderita dengan penyakit inkontinensia urine biasanya dapat
menyebabkan antara lain :
a. Infeksi saluran kemih

14
Inkontenensia urine dapat menyebabkan ISK karena sering
buang air kecil yang berlebihan yang tidak dapat dikontrol
b. Ulkus pada kulit
Inkontenensia urine dapat menyebabkan ulkus pada kulit,
sering keluarnya urine akan mengakibatkan banyak ngompol,
kelembaban dapat mengakibatkan terjadinya maserasi pada
jaringan kulit.

c. Problem tidur
Inkontenensia urine dapat menyebabkan problem tidur, sering
buang BAK akan mengakibatkan terganggu nya tidur baik pada
malam hari dan siang hari, pasien sering gelisah jika sering
buang BAK.

15
B. Konsep dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas diri klien
1) Data Umum Pasien
2) Penanggung Jawab
3) Riwayat pekerjaan dan status ekonomi
4) Aktivitas Rekreasi
5) Riwayat keluarga
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
1) Penyakit yang pernah diderita
2) Riwayat imunisasi
3) Riwayat alergi (obat, makanan, lingkungan, dll)
4) Riwayat kecelakaan
5) Riwayat pemakaian obat
d. Riwayat psikososial spiritual
1) Orang terdekat klien
2) Masalah yang mempengaruhi klien
3) Mekanisme koping terhadap stress
4) Persepsi klien tentang penyakitnya
5) Sistem nilai kepercayaan
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
2) Sistem persepsi sensori : pendengaran, penglihatan,
pengecap/penghidu, peraba
3) Sistem pernafasan : frekuensi dan suara nafas
4) Sistem kardiovaskuler : tekanan darah, nadi, capillary refill
time
5) Sistem saraf pusat : kesadaran, orientasi waktu
6) Sistem gastrointestinal : nafsu makan, pola makan,
abdomen, BAB
7) Sistem muskuloskeletal : rentang gerak, kemampuan ADL
8) Sistem integumen
9) Sistem reproduksi
10) Sistem perkemihan
f. Terapi yang diberikan
1) Obat-obatan yang diminum :
2. Hasil Pengkajian Khusus
a. Status Fungsional
Modifikasi indeks kemandirian KATZ

No Aktivitas Mandir Tergantung


(nilai 0)
. i
(nilai 1)

16
1. Mandi di kamar mandi
( menggosok, membersihkan, dan
mengeringkan badan)

2. Menyiapkan pakaian, membuka


dan mengenakannya

3. Memakan makanan yang telah


disediakan

4. Memelihara kebersihan diri untuk


penampilan diri ( menyisir
rambut, mencuci rambut,
menggosok gigi, mencukur
kumis)

5. BAB di WC ( membersihkan dan


mengeringkan daerah bokong)

6. Dapat mengontrol pengeluaran


feses (tinja)

7. BAK di kamar mandi


( membersihkan dan
mengeringkan daerah kemaluan)

8. Dapat mengontrol pengeluaran


air kemih

9. Berjalan di lingkungan tempat


tinggal atau keluar ruangan tanpa
alat bantu seperti tongkat

10. Menjalankan ibadah sesuai


agama dan kepercayaan yang
dianut

11. Melakukan pekerjaan rumah


seperti merapikan tempat tidur,

17
mencuci pakaian, memasak, dan
membersihkan ruangan

12. Berbelanja untuk kebutuhan


sendiri atau kebutuhan keluarga

13. Mengelola keuangan


( menyimpan dan menggunakan
uang sendiri)

14. Menggunakan sarana transportasi


umum untuk bepergian

15. Menyiapkan obat dan minum


obat sesuai dengan aturan
( takaran obat dan waktu minum
obat tepat)

16. Merencanakan dan mengambil


keputusan untuk kepentingan
keluarga dalam hal penggunaan
uang, aktivitas sosial yang
dilakukan dan kebutuhan akan
pelayanan kesehatan

17. Melakukan aktivitas di waktu


luang ( kegiatan keagamaan,
sosial, rekreasi, olahraga dan
menyalurkan hobi)

JUMLAH POIN MANDIRI

Analisis hasil :
Point 13-17 : mandiri
Point 0-12 : ketergantungan

b. Pengkajian status sosial

APGAR Keluarga

18
Tidak
No Selalu Kadang2
Fungsi Uraian pernah
.
2 1 0

Adaptasi Saya puas bahwa saya


dapat kembali pada
keluarga (teman-
teman) saya untuk
membantu pada waktu
sesuatu menyusahkan
saya

Hubungan Saya puas dengan cara


keluarga/ teman-
teman saya
membicarakan sesuatu
dengan saya dan
mengungkapkan
masalah dengan saya

Pertumbuhan Saya puas bahwa


keluarga/teman-teman
saya menerima dan
mendukung keinginan
saya untuk melakukan
aktifitas atau arah
baru

Afeksi Saya puas dengan cara


keluarga (teman-
teman) saya
mengekspresikan efek
dan respons terhadap
emosi-emosi saya,
seperti marah, sedih

19
atau mencintai

Pemecahan Saya puas dengan cara


teman-teman saya
menyediakan waktu
bersama-sama

Skor

Penilaian :
Selalu :
Kadang-kadang :
Tidak pernah :
Jumlah :
Kesimpulan :
0-15 = fungsi sosial kurang
6-10 = fungsi sosial baik

3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan infeksi saluran
kemih
b. Deprivasi tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan lama
c. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia urine
(penggunaan kateter urinarius jangka panjang)
d. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan gangguan kesehatan

4. Rencana Keperawatan
a. Diagnosa 1 : Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan
infeksi saluran kemih
Tujuan : Pola eliminasi normal.
Kriteria Hasil : Klien dapat berkemih volunter.
Intervensi :

1) Jelaskan pada klien tentang peruhan pola eliminasi


Rasional : Meningkatkan pengetahuan klien sehingga
klien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
2) Hindari minum 2 jam sebelum tidur
Rasional : Meminimalkan rasa ingin berkemih
3) Anjurkan klien melakukan latihan kegel

20
Rasional : Untuk mengencangkan otot di sekitar vagina,
sehingga klien lebih mampu menahan keinginan buang air
kecil.
b. Diagnosa 2 : Deprivasi tidur berhubungan dengan
ketidaknyamanan lama
Tujuan : Kebutuhan istirahat dan tidur terpenuhi.
Kriteria hasil: klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu
yang cukup, klien mengungkapkan sudah bisa tidur, klien
mampu menjelaskan factor penghambat tidur.
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan
tidur/istirahat dan kemungkinan cara untuk
menghindarinya.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan klien sehingga
klien mau kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
2) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab
gangguan tidur.
Rasional : Menentukan rencana untuk mengatasi
gangguan.
3) Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih
sebelum tidur.
Rasional : Mengurangi frekuensi berkemih pada malam
hari
4) Batasi masukan minuman yang mengandung kafein
Rasional : Kafein dapat merangsang untuk sering
berkemih
c. Diagnosa 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia
urine (penggunaan kateter urinarius jangka panjang)
Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa
ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine
menunjukkan tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1) Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika
pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2) Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter
2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada
waktu akan tidur) dan setelah buang air besar. R: Kateter

21
memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3) Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak
dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan
perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine,
penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis
bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari
kateter indwelling.
Rasional : Untuk mencegah kontaminasi silang.
4) Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam
dan anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari.
Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
Rasional : Untuk mencegah stasis urine

Daftar Pustaka

www.aldodokter.com
https ://www.slideshare.net
B.Abrams, W., & Berkow, R. (1997). The Merck Manual of Geriatrics . Jakarta: Binarupa
Aksara.

jtptunimus-gdl-ragiltrima-8302-2-babI.pdf

ChapterII.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai