dan Liberalisme (Islam Liberalisme)( Islam Liberal pada tataran Intelektual, memisahkan
Ijtihad dari taklid, akal dari otoritas. Tradisi liberal berpendapat bahwa Islam, jika dipahami
secara benar, sejalan dengan- atau bahkan perintis jalan bagi- liberalisme Barat. (Lihat: Carles
Kurzman, Wacana Islam Liberal,Jakarta: Pramadina,2001, hal. xvii-xix. Liberalisme dalam
Islam adalah keinginan menjembatani antara masa lalu dengan masa sekarang. Jembatannya
adalah melakukan penafsiran-penafsiran ulang sehingga Islam menjadi agama yang hidup. Di
samping itu, Islam Liberal mengagendakan empat fokus utama dalam liberalisme:
1. Agenda politik. Terkait dengan sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem politik yang
berlaku, terutama yang terkait dengan bentuk dan sistem pemerintahan. Bentuk negara
merupakan pilihan manusiawi.
2. Menyangkut kehidupan antar-agama kaum Muslim. Dengan semakin majemuknya kehidupan
masyarakat di negara-negara Muslim, maka pencarian teologi pluralisme menjadi sebuah
keniscayaan.
3. Mengajak kembali beberapa doktrin yang cenderung merugikan dan mendeskreditkan kaum
perempuan. Hal ini karena doktrin-doktrin tersebut bertentangan dengan semangat dasar Islam
yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak jenis kelamin.
Dan hal ini yang menjadi prioritas utama Budhy dalam bukunya secara ringkas adalah:
Pertama, HAM dan Kebebasan Beragama. Di sini Budhy dalam bukunya menyatakan
bahwa Liberalisme intinya memberikan kebebasan kepada masyarakat. Prinsipnya adalah
menjunjung tinggi kebebasan individu, kebebasan politik dalam partisipasi demokratis,
kesamaan antar manusia dan pluralisme. Dalam liberalisme, hukum harus memperlakukan
semua orang sama tanpa perbedaan yang di dasari atas ras (keturunan), agama, kedudukan
sosial dan kekayaan. Liberalisme mendorong suatu keadaan masyarakat di mana orang merasa
aman dan tidak takut atau enggan untuk mengakui dan mengekspresikan keyakinan
beragamanya.
Kedua, Demokrasi dan Agama. Budhy dalam bukunya menjelaskan bahwa demokrasi
sebagai sistem, Islam sebagai visi moralnya, dan demokrasi adalah cara terbaik mengatasi
keberbedaan, intinya adalah demokrasi liberal, negara dan agama harus dipisahkan.
Menurut saya (pereview), dalam masyarakat di mana agama adalah penanda identitas,
jalan menuju demokrasi liberal, bagaimanapun lika-likunya, tidak bisa terhindar dari gerbang
politik keagamaan. Walaupun teori ilmu sosial arus-utama sejak lama meyakini bahwa politik
keagamaan dan demokrasi/liberalisasi bersifat saling meniadakan, pembacaan kritis terhadap
catatan sejarah menunjukkan sebaliknya. Dalam banyak masyarakat demokratis yang telah
memiliki tradisi yang panjang, berbagai perdebatan mengenai tempat agama dalam politik
adalah isu yang paling hangat diperdebatkan. Negosiasi dan tawar menawar secara demokratis
tentang peran normatif agama dalam pemerintahan merupakan bagian tak terpisahkan dari
proses perkembangan ini. Kehadiran politik keagamaan - khususnya di ruang publik adalah
bagian penting politik keagamaan - merupakan bagian penting dari sejarah dan perjuangan
menuju demokrasi liberal yang sering tidak diperhatikan oleh para teoretikus demokrasi,
termasuk Indonesia. Implikasi teoritis yang utama dan relevan dengan kajian demokrasi liberal
dalam masyarakat Muslim dari pandangan ini adalah bahwa demokratisasi dan liberalisasi
tidak dapat dipisahkan dari perdebatan mengenai peran normatif agama dalam pemerintahan.
Jadi menurut saya (pereview) pendapat Budhy dalam bukunya- yang menyatakan agama dan
negara harus dipisah- terbantahkan.
Kemudian terdapat hubungan yang dekat dan sering diabaikan antara reformasi
keagamaan dengan perkembangan politik. Hal ini sering ditemui dalam masyarakat yang
berada dalam pengaruh doktrin religiopolitis yang tidak liberal dan demokratis. Demokratisasi
dan liberalisasi tidak selalu mensyaratkan penolakan atau privatisasi agama, namun yang jelas
mereka syaratkan adalah sebuah penafsiran ulang terhadap gagasan-gagasan keagamaan
dengan memperhatikan basis moral dari otoritas politik dan hak-hak individu yang sah. Dengan
melakoni penafsiran ulang ini, kelompok-kelompok agama dapat memainkan peran penting
dalam perkembangan dan konsolidasi dari demokrasi liberal. Budhy dalam bukunya
menegaskan, secara sekilas hubungan antara agama dan demokrasi terlihat bertentangan dan
konfliktual. Kedua aspek tersebut berbicara mengenai dua aspek yang berbeda tentang
manusia. Agama adalah sebuah sistem kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan
Ilahi. Agama lebih metafisik serta memiliki orientasi dan tujuan akhir pada akhirat, meskipun
agama-agama memiliki perbedaan dalam manifestasinya yang beragam. Sedangkan demokrasi
bersifat duniawi, sekuler, dan egaliter. Tanpa memperhatikan latar belakang agama, ras, atau
kepercayaan politik, demokrasi menawarkan persamaan hak dan perlakuan di depan hukum
bagi seluruh warga Negara tanpa diskriminasi. Tujuan akhirnya diarahkan menuju pengelolaan
urusan-urusan manusia tanpa kekerasan dalam rangka menciptakan kehidupan yang baik di
dunia ini, bukan di akhirat nanti. Perbedaan besarnya adalah bahwa tidak seperti perintah
agama, aturan-aturan demokrasi bisa diubah, disesuaikan, dan diperbaiki, sedangkan agama
tidak bisa di ubah. Sifat inklusif dari demokrasi inilah yang memisahkannya dari agama dan
sistem politik yang memiliki basis teologis.
Secara keseluruhan, buku ini menyerukan upaya memikir ulang demokrasi dengan
memasukkan variabel agama dalam perkembangan dan pembangunan sosial demokrasi liberal.
Dengan melihatnya melalui pendekatan historis dan komparatif, upaya yang lebih terarah dan
seimbang dapat dilakukan.
Ketiga yang menjadi prioritas utama Budhy dalam bukunya adalah prinsip-prinsip etis
dan metodis Islam liberal. Prinsip atau nilai etis yang dikembangkan oleh Islam progresif
(liberalisme) dalam bukunya Budhy antara lain adalah etika keadilan, etika kemaslahatan, etika
pembebasan, etika kebebasan, etika persaudaraan, etika perdamaian, etika kasih sayang.
Sedangkan metode pemikiran liberal, Budhy menjelaskan dalam bukunya adalah tentang
penafsiran Al-Qur`an dan dampak penafsiran tekstual. Adapun beberapa metode yang telah
dikembangkan secara liberal oleh kalangan Islam liberal atau Islam progresif adalah tentang
asbab an-nuzul, Nasakh-Mansukh, Makiyah dan Madaniyah, teori ta`wil. Muhkam-
Mutasyabihat, dan Hermeneutika.
G. Penilaian
Buku Budhy Munawar-Rachman ini adalah sebuah penjelasan ilmiah mengenai
paradigma yang dilihat dari perspektif Islam yang berkembang di Indonesia, buku ini sangat
ilmiah dan sangat menarik serta sangat inspiratif, sekalipun terjadi banyak pertentangan
terhadap pendapat yang ditawarkan Budhy dalam bukunya ini bagi orang-orang yang
menentang dan menolak, namun tidak sedikit juga pemikiran-pemikiran yang ditawarkan
Budhy dalam bukunya ini yang bisa di ambil untuk kemajuan Islam ke depan. Wallahu a`lam.
H. Kritik
Di sini saya tidak mengkritik bukunya Budhy Munawar-Rachman, akan tetapi di sini
saya coba untuk mengkritik tentang analogi dan pemikiran Nurchalish Madjid yang di tulis
Budhy dalam bukunya tersebut.
Pertama, Budhy dalam bukunya membenarkan apa yang dikatakan oleh Nurchalish
Madjid bahwa Tauhid yang sebenarnya adalah Tauhidnya Iblis, karena Iblis tidak mau sujud
kepada Adam, dan Iblis hanya mau sujud kepada Allah SWT. Di sini menurut saya Nurchalish
Madjid melupakan satu hal bahwa, yang memerintahkan Iblis sujud kepada Adam adalah
Allah, dan sujud yang diperintahkan oleh Allah kepada Adam adalah karena ilmunya Adam,
bukan mempertuhankan Adam, di sini Iblis tidak patuh kepada apa yang diperintahkan oleh
Allah (dalam hal ini Iblis sombong). Jadi kalau Nurchalish dalam Bukunya Budhy mengatakan
bahwa tauhid yang sebenarnya adalah tauhidnya Iblis, di sini bagi saya adalah kebenaran yang
tidak bisa diterima.
Kemudian yang Kedua, Budhy dalam bukunya menjelaskan bahwa agama semuanya
adalah sama, dan menolak asumsi dari MUI bahwa agama bagi Allah itu adalah Islam. Di sini
Budhy dalam bukunya mengambil pendapat Nurchalish Madjid bahwa Islam di situ adalah
kata generik, yang artinya adalah berserah diri kepada Tuhan. Karena itu agama yang diridai
oleh Allah adalah agama yang berserah diri kepada Allah. Buktinya agama-agama yang
diajarkan oleh para Nabi, termasuk Nabi-Nabi Yahudi, Nasrani adalah juga Islam, karena inti
ajarannya adalah berserah diri kepada Allah.
Di sini saya (pereview) membantah dan mengkritik apa yang dikatakan Budhy dalam
bukunya dan pendapat Nurchalis Madjid bahwa semua agama itu sama dan ajaran yang di bawa
oleh para Nabi terdahulu juga Islam. Saya tidak membantah bahwa agama yang dibawa mulai
dari Nabi Adam sampai Nabi Isa adalah agama Islam dan semua itu adalah dari Allah SWT.
Namun di sini Budhy dalam bukunya (dalam hal ini pendapat Nurchalis Madjid) melupakan
satu hal bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khatamul ambiya dan penyempurna ajaran dan
risalah (agama) para Nabi dan Rasul terdahulu. Dengan di utusnya Nabi Muhammad SAW,
maka risalah para Nabi dan Rasul terdahulu tergantikan dengan ajaran dan risalah yang dibawa
oleh Nabi SAW. Dan Nabi SAW adalah Nabi dan Rasul bagi seluruh alam, bukan bagi sebuah
kaum, berbeda dengan para Rasul terdahulu yang di utus hanya kepada kaum-kaum
tertentu. Wallahu a`lam.
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, pereview menyadari,
sepenuhnya bahwa book review ini masih jauh dari kesempurnaan. Hanya kepada Allah jualah
kita berserah diri semoga book review ini berguna bagi kita semua. Amin ya rabbal `alamin.
Nader Hashemi, Islam, Sekularisme dan Demokrasi Liberal, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,
2011