Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sistem


muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau saraf
pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada bagian yang
terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai kondisi berat,
kronis dan lemah (HSE, 2014).

Gangguan muskuloskeletal merupakan salah satu masalah utama kesehatan diseluruh


dunia dengan prevalensi 35 50% (Lindgren dkk, 2010). Pada Nord Trndelag County di
Norwegia terdapat 45% dari populasi orang dewasa melaporkan nyeri musculoskeletal kronis
selama setahun terakhir (Hoff dkk, 2008). Gangguan muskuluskeletal diantaranya fraktur,
dislokasi, resusitasi.

Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing manusia
dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal
musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang
membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-
otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang
dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008).

Dislokasi adalah keadaan di mana tulang tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan dengan anatomis, atau keluarnya(bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya.
Disloasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini ddapat
hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruuh komponen tulang
dari tempat yang seharusnya(dari mangkuk sendi).

Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan
curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya. (pelayanan kesehatan maternal dan neonatal,2002)
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mencoba untuk mengemukakan


penjelasan tentang kegawatdaruratan gangguan muskuluskeletal: fraktur, dislokasi, dan
resusitasi

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas, mahasiswa dapat mengetahui tentang


kegawatdaruratan gangguan muskuluskeletal: fraktur, dislokasi, dan resusitasi
BAB 11

PEMBAHASAN

A. Fraktur

Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang yang biasa di sebabkan adanya
kekerasan yang timbul secara mendadak. Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung
maupun trauma tidak langsung. Gambaran klinis fraktur meliputi nyeri di atas atau di dekat
tulang yang fraktur, pembengkakan (dari daerah, linfe dan eksudat yang menginfitrasi
jaringan dan gangguan sirkulasi. Klien di kaji pula adanya ekimosis nyeri tekan, dan krepiasi.

Fraktur dapat terjadi dengan patahan tulang dimana tulang tetap berada di dalam (fraktur
tertutup) atau di luar dari kulit (fraktur terbuka). Fraktur ujung tulang yang sangat tajam dapat
menyebabkan kerusakan jaringan lunak di sekitar patahan tulang, misalnya: otot saraf,
pembuluh darah dan kulit. Fraktur tertutup sama bahayanya dengan fraktur terbuka karena
luka dari jaringan lunak di sekitar patahan tulang menyebabkan perdarahan yang banyak.
Sangat penting untuk mengetahui adanya luka di dekat patahan tulang, karena dapat terjadi
pintu masuk dari kontaminasi dengan kuman.

Fraktur tertutup pada femur dapat menyababkan perdarahan yang banyak, dan dapat
mengancam jiwa. Pada fraktur pelfis dapat terjadi beberapa fragmen fraktur pada beberapa
tempat dan setiap fraktur dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Fraktur pelvis
dapat pula menyebabkan robekan pada kandung kencing atau pembuluh darah pelvis yang
besar. Keduanya dapat menyebabkan perdarahan yang fatal ke dalam abdomen. Pada fraktur
yang multipel dapat mengancam jiwa walaupun tidak terlihat darah yang keluar.

B. Dislokasi

Dislokasi adalah keadaan di mana tulang tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan dengan anatomis, atau keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat
hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang
dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).

Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi sangat mudah di kenali
karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi sendi umumnya tidak
mengancam jiwa, tetapi memerlukan tindakan darurat karena apabila tidak di lakukan
tindakan secepatnya, akan menyebabkan gangguan pada daerah distal yang mengalami
dislokasi. Sangat sulit di ketahui apakah fraktur di sertai denga dislokasi/tidak, maka sangat
penting untuk mengetahu denyut nadi, gerakan dan adanya gangguan persyarafan distal dari
disloaksi. Kebanyakan tindakan yang baik untuk klien adalah menyangga dan meluruskan
ekstremitas ke posisi yang lebih menyenangkan untuk klien dan membawanya ke pelayanan
kesehatan yang terdapat fasiltas oktopedi yang baik.

C. Pengelolaan Pada Fraktur

Persiapan klien meliputi 2 keadaan yang berbeda; yang pertama tahap pra RS(pra hospital)
di mana seluruh kejadian idealnya langsung dengan koordinasi dengan dokter di RS, fase ke
dua adalah fase RS (in hospital) di mana di lakukan persiapan untuk menerima klien sehingga
dapat di lakaukan resusitasi dalam waktu tepat.

1. Tahap pra RS

Koordinasi yang baik antara dokter di RS dengan petugas lapangan akan menguntungkan
klien. Sebaiknya RS sudah di beritahukan sebelum klien di angkat dari tempat kejadian. Yang
harus di perhatikan adalah menjaga airway, breting kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi
klien dan pengiriman ke RS terdekat yang cocok, sebaiknya ke pusat trauma. Harus di
usahakan untuk mengurangi waktu tanggang (respon time). Jangan sampai terjadi bahwa
semakin tinggi tingkatan paramedik semakin lama klien barada di TKP. Saat klien di bawah
ke RS harus ada data tentang waktu kejadian, sebab kejadian, riwayat klien dari mekanisme
kejadian dapat menerangkan jenis perlukaan dan beratnya perlukaan

2. Fase RS

Saat klien berada di RS segera di lakukan survey primer dan selanjutnya lakukan resusitasi
dengan cepat dan tepat

D. Survey Primer Pada Daerah Fraktur

Airway (A)

Penilai kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur, meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat di sebabkan benda asing, fraktur wajah, fraktur
mandibula dan maksila, fraktur laring atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas
harus melindungi vertebra servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus selalu
di perhitungkan. Dalam hal ini dapat di lakukan chin lift, tetapi tidak boleh mengakibatkan
hiperekterasi leher. Cara melakukan chin lift dengan menggunakan jari-jari satu tangan yang
di letakan di bawah mandibula, kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang
sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika di perlukan ibu jari dapat
di letakkan di dalam mulut di belakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Jari trust juga
merupakan teknik untuk membebaskan jalan nafas. Tindakan ini di lakukan menggunakan
dua tangan masing-masing satu tangan di belakang angulus mandibula dan menari rahang ke
depan. Bila tindakan ini di lakukan memakai face-mask akan di capai penutupan sempurna
dari mulut sehingga dapat di lakukan ventilasi yang baik. Jika kesadaran klien menurun
pembebasan jalan nafas dapat di pasang guedel (oro-pharyngeal airway) di masukan ke dalam
mulut dan di letakkan di belakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lida memakai
tong spatel dan memasukan alat ke arah posterior. Arah ini tidak boleh mendorong lidah ke
belakang, karena dapat menyumbat fariks. Pada klien sadar tidak boleh di pakai alat ini,
karena dapat menyebabkan muntah dan terjadi aspirasi. Cara lain dapat di lakukan dengan
memasukan guedel secara terbalik sampai menyentuh palatum molle, lalu alat di putar 180
dan di letakan di atas lidah. Neso-pharyngael airway juga merupakan sala satu alat untuk
membebaskan jalan nafas. Alat ini di masukan ke dalam sala satu lubang hidung yang tidak
tersumbat secara perlahan di masukan sehingga ujungnya terletak di farinks. Jika pada saat
pemasangan mengalami hambatan berhenti dan pindah ke lubang hidung yang satunya.
Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus di perhatikan bahwa tidak boleh di
lakukan ekstensi, freksi atau totasi leher.

Breathing (B)

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik perukaran gas yang terjadi pada
saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada
klien harus di buka untuk melihat pernafasan yang baik. Auskultasi di lakukan untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru.

Perkusi di lakukan untuk menilai adanya udarah atau darah dalam rongga pleura. Inpeksi
dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang mungkin meengganggu ventilasi.
Evaluasi kesulitan pernafasan karena edema pada klien cedera wajah dan leher. Perlukaan
yang menyebabkan gangguan ventilasi yang berat adalah tensiom pneumothorax dan
hematothorax masif. Jika terjadi hal yang demikian siapkan klien untuk inkubasi trakea atau
trakeostomi sesuai indikasi.

Circulation(C)

Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi area perdarahan bersamaan
dengan tekanan jari pada arteri paling dekat dengan area perdarahan. Curigai hemoragi
internal (pleural, pericardial, atau abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya cedera
pada dada dan abdomen. Atasi syok, dimana klien dengan fraktur biasanya mengalami
kehilangan darah. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan tekanan darah, kulit dingin, lembap,
dan nadi halus. Harus tetap di ingat bahwa banyak darah yang hilang berkaitan dengan
fraktur femur dan pelvis. Pertahankan terkanan darah denggan infus IV, plasma atau plasma
ekspander sesuai indikasi. Berikan transfusi darah untuk terapi komponem darah sesuai
ketentuan setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena obstuksi jantung paru menyebabkan
penurunan suplay oksigen pada jaringan dan menyebabkan kolaps sirkulasi. Berikan
analgesik sesuai ketentuan untuk mengontrol nyeri. Pembebatan eksremitas dan pengendalian
nyeri penting dalam mengatasi syok yang menyertai fraktur.

Disability/Evauasi Neurologis (D)

Menjelang akhir suplay primer di evaluasi keadaan neurologis secara cepat, yang di nilai
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. GCS (glasgow coma scale) adalah sistem
skoring yang sederhana dan dapat meramal tingkat kesadaran klien. Penurunan kesadaran
dapat di sebabkan penurunan oksigen atau dan penurunan perfusi ke otak, atau di sebabkan
perlukaan pada otak. Perubahan kesadaran menuntut di lakukannya pemeriksaan terhadap
keadaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi. Alkohol dan obat obatan dapat mengganggu tingkat
kesadaran klien, jika hal tersebut dapat di singkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia
sebagai sebab penurunan kesadaran maka trauma kapitis di anggap sebagai penyebabnya,
sampai terbukti sebaliknya.

Exposur/Kontrol lingkungan (E)

Exposur di lakukan di RS, terapi jika perlu dapat membuka pakaian, misalnya membuka
pakaian untuk pemeriksaan fisik toraks. Di RS klien harus di buka keseluruhan pakaiannya ,
untuk evaluasi klien. Setelah pakaian di buka, penting agar klien tidak kedinginan. Harus di
berikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan di berikan cairan intravena yang sudah di
hangatkan.
E. Resusitasi

Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen
dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat
vital lainnya. (pelayanan kesehatan maternal dan neonatal,2002)

1. airway

Airway harus di jaga dengan baik pada klien jaw thrust atau chin lift dapat di lakukan atau
dapat juga di pakai naso-pharingeal airway pada klien yang masih sadar. Bila klien tidak
sadar dan tidak ada reflex dapat di pakai guader. Kontrol jalan nafas pada klien dengan
airway terganggu karena fektor mekanik, atau ada gangguan ventilasi akibat gangguan
kesadaran, di capai dengan intubasi endotracheal, baik oral maupun nasal. Prosedur ini harus
di lakukan dengan kontrol servical. Surgical airway (Crico-thyroidotomy) dapat di lakukan
bila intubasi endocthoracheal tidak mungkin karena kontra indikasi atau karena masalah
teknis.

2. Breathing

Adanya tensiom pneumothoraks menggangu ventilasi bila di curigai, harus segera di


lakukan dekompresi (tusuk gengan jarum besar, di susul WSD), setiap klien trauma di
berikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya oksigen di berikan dengan face-mask.

3. Circlation

Jika ada gangguan sirkulasi harus di pasang sebaliknya 2 jalur IV line. Pada awalnya
sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Syok pada klien trauma umumnya di sebabkan
hipovolemia. Pada saat klien datang, di infuse cepat dengan 1,5-2 liter cairan kristaloid
sebaiknya RL. Bila tidak ada respon dengan pemberian bolus koloid, di berikan transfusi
darah segolongan ( type spesific), jika tidak ada di berikan darah tipe O Rhesus negatif atau
tepe O Rh positif titer rendah. Pemberian vasopresor, steroid/ Bic.Nat tidak di perkenankan
hipotermia dapat terjadi pada klien yang di berikan RL, yang tidak di hangatkan atau darah
yang masih dingin terutama bila klien dalam keadaan kedinginan karena tidak di selimuti.
Untuk menghangatkan cairan dapat di pakai alat pemanas cairan.
F. Penatalaksanaan Kedaruratan

1. Inspeksi bagian tubuh yang fraktur

a. inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas.


b. observasi angulasi, pemendekan dan rotasi.
c. palpasi nadi distal untuk frakture dan pulsasi semua perifer.
d. kaji suhu dingin, pemucatan, penurunan seresasi atau tidak adanya pulsasi, hal
tersebut menandakan cedera pada saraf atau suplay darah terganggu.
e. tangani bagian tubuh dengan lembut dan sedikit mungkin gerakan yang kemungkinan
dapat menyebabkan gerakan pada tulang yang fraktur.

2. Berikan bebat sebelum klien di pindahkan; bebat dapat mengurangi nyeri, memperbaiki
sirkulasi, dan mencegah cedera lebih lanjut dan mencegah fraktur tertutup menjadi fraktur
terbuka.

a. Imobilisasi sendi di atas dan di bawah daerah fraktur. Tempatkan satu tangan distal
terhadap fraktur dan berikan statu penarikan ketika menempatkan tangan lain di atas
fraktur untuk menyokong.
b. Pembebatan di berikan meluas sampai sendi dekat fraktur.
c. Periksa status vaskuler ekstremitas setelah pembebatan; periksa warna, suhu, nadi,
dan pemucatan kuku.
d. Kaji untuk adanya defisit neurologi yang di sebabkan oleh fraktur.
e. Berikan balutan steril pada fraktur terbuka

3. Kaji adanya keluhan nyeri atau tekanan pada area yang mengalami cedera.

4. Pindahkan klien secara hati-hati dan lembut, untuk meminilisasi gerakan yang dapat
menyebabkan garakan pada patahan tulang.

5. lakukan penanganan pada trauma yang spesifik.

a. Trauma tulang belakang

Jika terjadi trauma pada tulang belakang, imobilisasi harus selalu di lakukan untuk
mencegah paralisis seumur hidup bahkan kematian. Mempersiapkan klien dalam papan spinal
harus adekuat. Harus di ingat mekanisme dari luka seperti; jatuh dari ketinggian dan
mendarat dengan kedua kaki dapat menyebabkan fraktur lumbal karena semua beban
terlokalisis di daerah tulang belakang.

b. Trauama Pelvis

Trauma pelvis di masukan dalam trauma ekstremitas; karena keduanya sangat


berhubungan. Trauma pelvis terjadi biasanya karena kecelakaan lalu lintas atau trauma
seperti jatuh dari ketinggian. Pada pemeriksaan klien di dapatkan tekanan keras pada tulang
iliaka, tulang panggul dan pubis. Selalu ada potensi perdarahan serius pada fraktur pelvis,
maka syok harus selalu di pikirkan dan pasien harus segera di kirim dengan papan spinnal.

c. Trauma femur

Femur biasanya patah pada sepertiga tengah, walaupunn pada orang tua selalu di
pikirkan patah pangkal tulang paha (collum femoris). Fraktur ini dapat menjadi fraktur
terbuka dan kalau hal ini terjadi dapat di tangani sebagai fraktur terbuka. Banyak otot di
sekeliling femur dan perdarahan masih dapat terjadi pada paha. Fraktur femur bilateral dapat
menyebabkan kehilangan sampai dari 50% volume sirkulasi darah.

d. Trauma pangkal paha dan sendi panggul

Harus di pertimbangkan faktur pangkal paha pada orang tua yang telah jatuh dan sakit
pada lutut, panggul atau daerah pelvis. Bila ada nyeri harus di anggap sebagai fraktur sampai
hasil rontgen membuktikan sebaliknya. Pada fraktur jenis ini, rasa sakit dapat di tolelir dan
kadang-kadang di abaikan/ di sangkal. Secara umum jaringan pada klien yang lebih tua lebih
rentang dan kurang tenaga. Selalu di ingat bahwa rasa nyeri pada lutut dapat timbul dari
rusaknya pangggul pada masa kanak-kanak dan usia tua.

e. Dislokasi panggul

Dislokasi panggul adalah hal yang berbeda, banyak dislokasi panggul sebagai akibat
terbentuknya lutut pada dashboar desakan kuat pada lutut dan dislokasi pada kaput di pelvia.
Dislokasi panggul adalah kasus emergency ortopedia dan harus di lakukan reduksi
secepatnya untuk mencegah trauma nervus ischiadikus atau nekrosis pada kaput femur akibat
terganggunya peredaran darah. Dislokasi ini memerlukan reposisi yang kadang-kadang sulit
di lakukan karena membutuhkan kekuatan yang cukup besar dan teknik yang tepat.

f. Trauma lutut
Fraktur dan dislokasi di daerah ini sangat serius, karena arteri berada di bawah dan di atas
dari persendian lutut dan bisa terjadi laserasi apabila persendian tersebut tidak dalam
keadaan normal. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah ada fraktur atau tidak dalam
keadaan posisi yang abnormal tersebut. Pada keadaan ini diagnosis harus berdasarkan
pemeriksaan NVD ( neuro vaskuler distal).

g. Trauma Tibia dan Fibula

Fraktur tungkai bawah sering membuat luka dan sering mengakibatkan perdarahan baik
ekstremitas dan internal. Perdarahan internal daerah ini akan dapat menyebabkan terjadinya
compartement sindrome. Fraktur tibia dan fibula bagian bawah dapat di lakukan fiksasi
dengan mempergunakan: rigit splint, air splint atau bantal

h. Trauma Klavikula

Trauma klafikula sering terjadi fraktur tulang tetapi tidak banyak menyebabkan problem,
imobilisasi terbaik dapat di lakukan dengan mempergunakan sling, juga jarang terjadi
kerusakan pada vena subklavia atau atreri dan saraf pada tangan.

i. Trauma Bahu

Trauma bahu kebanyakan dari kerusakan bahu tidak mengancam jiwa tetapi dapat di
sertai kerusakan yang parah dari dada dan leher, juga dapat di sertai deengan disloakasi dari
persendian bahu. Dislokasi bahu menyebabkan rasa yang sangat nyeri karena itu sering di
gunakan bantal antara lengan dan badan untuk mempertahankan tangan atas dalam posisi
yang menyenangkan klien. Selain itu dapat pula terjadi patah tulang humerus bagian atas
yang dapat menyebabkan kerusakan N.Radialis, gejalah yang timbul yaitu ketidakmampuan
klien untuk mengangkat tangan.

j. Trauma Siku

Kadang-kadang sulit mengenal adanya fraktur atau dislokasi pada siku padahal keduanya
sangat berbahanya karena dapat menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan saraf (yang
bejalan sepanjang permukaan fleksor dari siku). Kerusakan pada siku harus difiksasi dalam
posisi yang menyenangkan bagi klien dan bagian distal harus di evaluasi secara benar. Jangan
mencoba untuk meluruskan atau melakukan traksi pada kerusakan siku.

k. Trauma Tangan dan Pergelangan Pangan


Fraktur yang terjadi biasanya akibat jatuh/ penarikan yang terlalu kuat. Biasanya untuk
imobilisasi di lakukan dengan mempergunakan rigid splint/ splint udarah

l. Trauma Kaki dan Tangan

Kecelakaan kerja dapat mengakibatkan fraktur multiple yang terbuka dan avulasi.
Trauma ini sering tampak berat dan jarang mengakibatkan perdarahan yang mengancam
jiwa. Untuk mempertahankan kaki dan tangan dalam posisi normal sering di gunakan bantal.
Metode alternatif untuk membalut tangan yaitu dengan membalut tangan dengan bola yang
di genggam pasien dengan balutan yang tebal.

G. Survai Skunder

1. Kaji riwayat trauma


2. Sangat penting untuk mengetahui riwayat trauma karena penampilan luka terkadang
tidak sesuai dengan parahnya cidera. Jika ada saksi seseorang dapat menceritakan
kejadiannya sementara petugas melakukan penelitian seluruh badan klien. Pada klien
yang gelisah usahakan mendapatkan data riwayat trauma, karena riwayat trauma ini
menjadi sangat penting pada trauma ekstremitas, pada beberapa mekanisme yang
menyebabkan penting pada trauma ekstremitas tidak terlihat pada saat pemeriksaan
awal
3. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki secara
sistematis, inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
4. Kaji kemungkinan adanya fraktur multipel.
a. Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian sering di sertai dengan trauma
pada lumbal.
b. Trauma pada lutut pada saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat di sertai
dengan trauma panggul.
c. Trauma pada lengan sering menyebabkan trauma pada siku, sehingga lengan dan
siku harus di evaluasi bersamaan.
d. Trauma pada lutut dan proksimal fibula sering menyebabkan trauma pada tungkai
bawah, maka lutut dan tungkai bawah harus di lakukan evaluasi bersamaan.
e. Trauma apapun yang mengenai bahu harus di perhatikan secara seksama karena
dapat melibatkan leher, dada atau bahu.
5. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi.
6. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur.
7. Kaji adanya perdarahan dan syok, terutama pada fraktur femur dan pelvis
8. Kaji adanya sindrom komparteman. Fraktur terbuka atau tertutup, atau kompresi,
dapat menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang tertutup, sehingga
menyebabkan penekanan pada saraf pembuluh darah dan kegagalan sirkulasi. Gejala
yang dapat di lihat; nyeri, edema, denyut nadi hilang, perestesi, dan kelumpuhan
9. Kaji tanda-tanda vital secara kontinu

H. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan b/d diskontinuitas tulang


2. Risiko tinggi terjadinya syok hipovolemik b/d fraktur
3. Gangguan rasa nyaman; nyeri b/d adanya robekan jaringan pada area fraktur.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d fraktur dan nyeri.

I. Rencana/ intervensi keperawatan

1. Ganggun perfusi jaringan b/d diskontinuitas tulang


a. Kaji tanda-tanda vital tiap 2 jam
b. Observasi dan periksa bagian yang luka atau cedera
c. Kaji kapilari refil tiap 2 jam.
d. Kaji adanya tanta-tanda gangguan perfusi jaringan; keringat dingin pada
eksremitas bawah, kulit sianosis,ball.
e. Amati dan catat pulsasi pembuluh darah dan sensasi (NVD) sebelum dan sesudah
manipulasi dan pemasangan splinting.
f. Luruskan persendian dengan hati-hati dan seluruh splint harus terpasang dengan
baik.
2. Risiko tinggi terjadinya syok hipovolemik b/d fraktur
a. Monitor tanda awal syok
b. Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peninggkatan preload
dengan tepat
c. Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas
d. Berikan cairann iv dan atau oral yang baik
e. Berikan vasodilator yang tepat
f. Ajarkan keluarga dan passien tentang tanda ddan gejalah datangnya syok
g. Ajarkan keluarga ddan pasien tantang langkah untuk mengatasi gejala syok
3. nyeri b/d adanya robekan jaringan pada area fraktur
a. Kaji rasa nyeri pada area di sekitar fraktur
b. Atur posisi klien sesuai kondisi, untuk fraktur ekstremitas bawah sebaiknya posisi
kaki lebih tinggi dari badan.
c. Ajarkan telaksasi untuk mengurangi nyeri.
d. Kaji tanda-tanda vital tiap 2 jam
e. Berikan terapi analgesik untuk mengurangi nyeri.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d fraktur dan nyeri
a. Kaji tingkat kemampuan mobilisasi fisik.
b. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari hari
c. Ajarkan ecara bertahap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
d. Lakukan imobilisasi sendi di bawah atau di atas pada area fraktur.
e. Apabila ada kemungkinan terjadi fraktur tulang belakang selalu lakukan splinting
pada long spineboard.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Fraktur adalah diskontinuitas dari jaringan tulang yang biasa di sebabkan adanya
kekerasan yang timbul secara mendadak. Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung
maupun trauma tidak langsung. Gambaran klinis fraktur meliputi nyeri di atas atau di dekat
tulang yang fraktur, pembengkakan (dari daerah, linfe dan eksudat yang menginfitrasi
jaringan dan gangguan sirkulasi.

Dislokasi adalah keadaan di mana tulang tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan dengan anatomis, atau keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.

Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi sangat mudah di kenali
karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi sendi umumnya tidak
mengancam jiwa, tetapi memerlukan tindakan darurat karena apabila tidak di lakukan
tindakan secepatnya, akan menyebabkan gangguan pada daerah distal yang mengalami
dislokasi.

Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen dan
curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya (pelayanan kesehatan maternal dan neonatal,2002).

2. Saran

Menyadari bahwa penullis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan detaisl dalam menjelaskan tenang askep di atas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Tugas Kelompok

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

GANGGUAN SISTIM MUSKOLOSKELETAL

( Fraktur, Dislokasi, Resusitasi)

Oleh

Kelompok 8

Nama Nim
LD. HASMUN P201401064
ROSNIAWATI P201401067
P2014010

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

MANDALA WALUYA

KENDARI

2017

Anda mungkin juga menyukai