Pembimbing :
dr. Musrifah Budi Utami, sp. PD
Diajukan Oleh :
Arinil Husna Kamila, S. Ked
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
1
SEORANG PEREMPUAN 51 TAHUN DENGAN GAGAL
JANTUNG KONGESTIF, PREMATURE VENTRICULAR
CONTRACTION, DAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
EKSASERBASI AKUT
Diajukan Oleh :
Arinil Husna Kamila
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Musrifah Budi Utami, Sp. PD. M. Kes (...................................)
2
LAPORAN KASUS
A. Identifikasi
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 51 tahun
Alamat : Karanganyar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
MRS : 15 maret 2017
No RM : 3859XX
B. Anamnesis
3
Pasien juga mengeluhkan batuk dengan dahak yang sulit
dikeluarkan, dan jika keluar dahak berwarna kuning, disertai demam
sumer-sumer, nggreges. Pasien mengaku keluhanya tersebut
sebelumnya belum pernah diobati.
Pasien mengaku bahwa dirinya memiliki tekanan darah tinggi
kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu. Selama 10 tahun, tekanan
darah paling tinggi 180 untuk atas, dan 110 untuk bawahnya. Pasien
mengaku jarang sekali periksa tekanan darah dan hanya minum obat di
apotek bila ada keluhan pusing atau nyeri kepala.
Keluhan lainya yaitu bengkak pada kedua kaki, mual namun
tidak sampai muntah. Nyeri ulu hati. (-). BAK biasa. BAB biasa.
C. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
4
b. Tanda vital
- Frekuensi nadi : 86 x/menit
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
- Suhu : 36,3
- RR : 32x/ menit
c. Data antopometri
BB : 40 kg
TB : 150
BMI : 17,7 (Gizi kurang)
d. Kepala
- Bentuk : normocepal
- Rambut : tidak rontok, tidak mudah dicabut, alopesia (-).
- Mata : Eksophtalmus (-), endophtalmus (-), edema
palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil
isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke segala arah baik,
mata cekung (-).
- Telinga : normotia, tidak keluar cairan/ sekret.
- Hidung : nafas cuping hidung (-), tidak ditemukan deviasi,
tidak mengeluarkan sekret
- Mulut : sianosis (-)
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar toroid tidak
membesar. JVP (tidak diukur)
f. Thoraks
Paru-paru :
- Inspeksi : normochest, retraksi intercosta (+),
pengembangan dada kanan = kiri, benjolan/massa (-), sikatriks (-).
- Palpasi : Benjolan/massa (-), sikatriks (-), fremitus :
fremitus pulmo sinistra = dekstra, dilakukan dari depan dan
belakang.
- Perkusi : sonor/sonor
- Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (+/+), RBK (+/+),
Ekspirasi memanjang.
Jantung :
5
- Perkusi : Batas kanan atas SIC II 1 cm Linea
sternalis dextra.
Batas kanan bawah SIC VI 2 cm Linea sternalis
dextra.
Batas kiri atas SIC II Linea parasternalis sinistra.
Batas kiri bawah SIC VI 1 cm media LMCS
- Auskultasi : HR 86 x/menit, ireguler, bising jantung sistolik,
Gallop (-)
g. Abdomen
- Inspeksi : dinding perut sama tinggi dengan dinding dada
- Auskultasi : bising usus (+), periltaltik 15x/ menit
- Palpasi : nyeri tekan daerah epigastrium (+), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba.
- Perkusi : thympani, shifting dullness (-)
h. Kulit : ikterik (-), petechie (-)
i. Ekstremitas : akral dingin (+), sianosis(-), edema (+)
D. Pemeriksaan penunjang
Tanggal 15 -03-2017
Hematologi
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 12.5 g/dl
Eritrosit 4.11
Hematokrit 38.4 vol%
Leukosit 5.6/mm3
Kimia Klinik
Pemeriksaan Hasil
Ureum 80 mg/dl
Kreatinin 1.20 mg/dl
GDS 125mg/100ml
Rontgen Thorax PA
6
1. Kondisi foto baik
2. Simetris kanan = kiri
3. Trakhea di tengah
4. Tulang-tulang baik
5. Sela iga tidak melebar
6. CTR > 50%
7. Sudut costophrenicus kanan tumpul, kiri sulit dinilai
Kesan : Kardiomegali
Elektrokardiografi
7
2. Diagnosis anatomi : kardiomegali, Premature ventricular contraction
Diagnosis etiologi : Hipertensi heart deases
3. PPOK eksaserbasi akut
F. Penatalaksanaan :
Non Farmakologis :
1. Istirahat (posisi setengah duduk)
2. Oksigen 3 liter
3. Diet jantung
4. Kateter urin
Farmakologis :
5. IVFD RL 40 tpm Mikro
6. Ceftriaxone 1 vial/12 jam
7. Furosemid 1 amp /12 jam
8. Omeprazole 1 vial/12 jam
9. Solvinex 1 amp/ 8 jam
10. Digoksin 1x1 (Digitalis)
11. Amlodipin 1x10 mg
12. Amiodaron 3x100 mg
13. Nitrocaf Retard 2x1
14. Sukralfat 3xCI
15. Nasetilsystein 3x1
G. Planning
16. Observasi vital sign
17. Ekokardiografi
18. Monitor cairan dan elektrolit
H. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
8
9
Follow Up:
Tanggal 17 Maret 2017
S Sesak napas (+), nyeri perut ulu hati, batuk berdahak, BAK/
(+), BAB (-) 3 hari
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 150/70 mmHg
Nadi 78 x/menit
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 35,8 0C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-)
Sklera ikterik(-)
Leher Pembesaran KGB (-)
I : retraksi (-)
Paru
P : fremitus menurun
P : sonor +/+
A : vesikuler normal, RBK (+), Whz(+/+), kedua paru
Abdomen
I : dinding perut > dinding dadamassa (-),
10
A : peristaltik 15x/mnt
P : nyri tekan (-)
P : thympani, shifting dullness (-)
A CHF NYHA IV
premature ventricular contraction
PPOK eksaserbasi akut
P 19. Istirahat (posisi setengah duduk)
20. O2 4 liter
21. Diet jantung II
22. IVFD RL 40 tpm Mikro
23. Ceftriaxone 1 vial/12 jam
24. Furosemid 1 amp /12 jam
25. Omeprazole 1 vial/12 jam
26. Solvinex 1 amp/ 8 jam
27. Amlodipin 1x10 mg
28. Digoksin 1x1
29. Amiodaron 3x100 mg
30. Nitrocaf Retard 2x1
31. Sukralfat 3xCI
32. Nasetilsystein 3x1
33. Laxadyn syr 3xCI
Rencana 34. Observasi vital sign
35. Ekokardiografi
36. Monitor cairan dan elektrolit
11
Tanggal 18 maret 2017
S Sesak napas (+), nyeri dada, dada berdebar-debar, nyeri ulu
hati (+) berkurang, batuk berdahak (+) berkurang, BAB (+)
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 150/90 mmHg
Nadi 112 x/menit
Pernapasan 28 x/ menit
Temperatur 38,3 0C
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-)
Sklera ikterik(-)
Leher Pembesaran KGB (-)
I : retraksi (-)
Paru
P : fremitus menurun
P : sonor +/+
A : vesikuler normal, RBK (+), Whz(+/+), kedua paru
12
Genitalia Tidak diperiksa
A CHF NYHA IV
premature ventricular contraction
PPOK eksaserbasi akut
P 37. Istirahat (posisi setengah duduk)
38. O2 4 liter
39. Diet jantung II
40. IVFD RL 40 tpm Mikro
41. Ceftriaxone 1 vial/12 jam
42. Furosemid 1 amp /12 jam
43. Omeprazole 1 vial/12 jam
44. Solvinex 1 amp/ 8 jam
45. Amlodipin 1x10 mg
46. Digoksin 1x1
47. Amiodaron 3x100 mg
48. Nitrocaf Retard 2x1
49. Sukralfat 3xCI
50. Nasetilsystein 3x1
- Laxadin syr 3CI
Rencana Observasi vital sign
Ekokardiografi
Monitor cairan dan elekrolit
BAB I
13
PEMBAHASAN
Dari kasus kali ini diagnosis fungsional yaitu CHF. Hal didasarkan
pada kriteria Framingham dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor
ditambah dua kriteria minor yaitu:
Kriteria mayor:
1. Paroksismal nocturnal dispneu
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop s3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital
7. Takikardi (> 120 x/menit)
Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya
paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil
pemeriksaan fisik ditemukan ronki basah sedang di basal kedua paru.
Ketiga, dari hasil pemeriksaan fisik dan di perkuat dengan foto rontgen,
didapatkan adanya pembesaran jantung.
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan edema ekstremitas.
Kedua terdapatnya dispnue deffort yang didapatkan dari hasil anamnesis
pasien mengeluh sesak saat aktifitas seperti menyapu. Oleh karena itu pada
pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF.
14
Diagnosis anatomi ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik di
mana pada auskultasi jantung terdengar bising sistolik. Hasil
ekokardiografi yang menyatakan bahwa pada pasien ini terjadi PVC
(premature ventricular contraction).
Diagnosis etiologi yaitu disebabkan oleh karena tekanan darah
tinggi yang sudah dialami pasien 10 tahun.
Terapi untuk gagal jantung yang diberikan adalah furosemid 1x 20
mg, pemberian diuretika ini bertujuan untuk mengurangi beban awal
jantung tanpa mengurangi curah jantung. Selain itu, juga diberikan
digoksin 1x 0,25 mg untuk memperbaiki kontraktilitas jantung. Sedangkan
amlodipin 1x 10 mg diberikan untuk menurunkan tekanan darahnya,
karena pasien ini juga menderita hipertensi.
Selain CHF NYHA IV pasien juga di diagnosis ppok eksaserbasi
akut. Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan
infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya
komplikasi. Faktor pemicu pada pasien ini diantaranya adalah riwayat
penggunaan obat nyamuk bakar, serta perokok pasif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi
15
kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume
darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi
yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau
mekanisme kompensasi melalui perubahan - perubahan neurohumoral,
dilatasi ventrikel. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal
adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau
preload. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan
edema paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal
jantung kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat
sekali seperti yang sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam
waktu singkat menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum
jantung sempat mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis maka
keadaan ini disebut gagal jantung kongestif akut (Dumitru, I., 2010).
B. Epidemiologi
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di
rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam
setahun diperkirakan 2,3 3,7 per 1000 penderita per tahun. Prevalensi
gagal jantung adalah tergantung umur. Menurut penelitian, gagal jantung
jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75 84
tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4%-2% dan meningkat
pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74 tahun. Prognosis dari
gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak dapat
diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia
dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung
berat lebih dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika
Serikat, diperkirakan 550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan
300.000 kematian disebabkan oleh gagal jantung setiap tahunnya
manakala di Indonesia belum ada data yang pasti (Maggioni, A., 2005).
C. Etiologi
16
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara
epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal
jantung. Di negara maju penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan
penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang menjadi
penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung
akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit untuk menentukan
penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi
bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan
27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga
merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal
jantung (Rodeheffer, R., 2005).
Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan
risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat
menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk
hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko
terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia
baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang
menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung (Jackson, G., 2000).
17
antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE,
sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa.
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan.
Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran
khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi
outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati
restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk,
tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik
(relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel (Rodeheffer, R.,
2005).
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan
kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita
hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan
(Rodeheffer, R., 2005).
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan
gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial
fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan
kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol
menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga
dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin
dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung
akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.
D. Klasifikasi
18
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah
dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi
tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada
Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu
klasifikasi Forrester, Stevenson dan New York Heart Association
(Santoso, A., 2007). Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada
penderita infark miokard akut, dengan pembagian:
Derajat I : Tanpa gagal jantung
Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3
galop
dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan
melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan
adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular,
edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square
wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan
berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi
simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang
mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry).
Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak
disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi
empat kelas, yaitu:
Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)
Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold)
19
Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet cold)
Pembahagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan
fungsional jantung yaitu:
Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 3: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan.
Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring.
E. Patogenesis
F. Manifestasi Klinis
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem
saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin
Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
20
natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui
tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi
renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan
saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai
respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin
Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan
natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi .sistem simpatis melalui
tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan
denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi perifer
(peningkatan katekolamin).
21
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard
fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada
miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat
tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di
jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type
natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf
pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume
dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat
kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga
didapatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan
hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai
dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
22
arteri pulmonal pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri
dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada
penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30
40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih
normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik
dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
(Harbanu H.M, 2007)
23
menyebabkan retensi
cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat
sepanjang waktu dan memompa cukup
kesulitan dengan darah untuk
kegiatan sehari-hari, memenuhi kebutuhan
seperti belanja, naik jaringan tubuh.
tangga, membawa
belanjaan atau berjalan.
Kurangnya nafsu makan dan Perasaan penuh atau Sistem pencernaan
mual sakit perut. menerima darah yang
kurang, menyebabkan
masalah dengan
pencernaan.
Kebingungan dan gangguan Kehilangan memori Perubahan pada
berpikir dan perasaan menjadi tingkat zat tertentu
disorientasi. dalam darah, seperti
sodium, dapat
menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar-debar, Untuk "menebus"
yang merasa seperti kerugian dalam
jantung Anda balap memompa kapasitas,
atau berdenyut. jantung berdetak lebih
cepat.
24
S3 ( Suara jantung ketiga )
Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
Hepatojugular refluks
Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan
Kriteria Minor:
Bilateral ankle edema
Batuk nokturnal
Dyspnea pada aktivitas biasa
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.)
Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor. Pertama terdapatnya
paroksismal nokturnal dispneu dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil
pemeriksaan fisik perkusi jantung, didapatkan adanya pembesaran jantung. Batas
jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada linea axillaris
anterior sinistra, dan batas atas pada ICS II. Namun pada pemeriksaan fotothorax
kardiomegali sulit dinilai. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu
(5+0) cmH2O. Keempat adanya efusi plura dextra dan sinistra yang menandakan
adanya edema paru akut.
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan bilateral angkle edema batuk
malam hari. Kedua terdapatnya dispnea deffort yang didapatkan dari hasil
anamnesis pasien mengeluh mudah lelah dengan aktifitas ringan. ketiga
berdasarkan pemeriksaan rontgen thorax didapatkan pleural effusion. Oleh karena
itu pada pasien ini kami simpulkan diagnosis fungsionalnya adalah CHF.
A. Definisi
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan kondisi pasien yang
menetap dari keadaan stabil dan di luar variasi normal. Bersifat akut dan
mengharuskan pasien merubah obat regular yang digunakan sebelumnya.
25
Deskripsi ini dapat membedakan eksaserbasi dari perburukan gejala dalam
beberapa jam dan dapat dengan mudah diatasi dengan rapid acting
bronkodilator.
B. Etiologi
Penyebab eksaserbasi akut :
1. Primer : infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus). Bukti terbaru
menunjukkan infeksi bakteri menyebabkan 40-50% eksaserbasi akut.
2. Sekunder :
a. Pneumonia
b. Gagal jantung, aritmia
c. Emboli paru
d. Pneumotoraks spontan
e. Penggunaan oksigen yang tidak tepat
f. Penggunaan obat-obatan yang tidak tepat (obat penenang, obat
diuretik).
g. Penyakit metabolic (DM, gangguan elektrolit)
h. Nutrisi buruk
i. Lingkungan memburuk (polusi udara)
j. Aspirasi berulang
C. Diagnosis
Gejala utama dari eksaserbasi, yaitu:
Sesak bertambah
Batuk dan produksi sputum meningkat
Perubahan warna dan atau tenacity sputum.
Dapat timbul juga gejala non spesifik pada PPOK eksaserbasi yaitu
malaise, insomnia, kelelahan, depresi dan kebingungan.
Tanda klinis yang mungkin ditemukan pada pasien PPOK eksaserbasi
yaitu :
menggunakan otot-otot bantu pernafasan tambahan;
gerakan dinding dada paradoksal;
memburuknya atau mulai muncul sianosis sentral;
edema perifer;
ketidakseimbangan hemodinamik dan
penurunan kesadaran.
Selain gejala klinis dan tanda klinis, perlu ditanyakan riwayat
penyakit sekarang dan terdahulu. Riwayat penyakit harus mencakup
berapa lama perburukan gejala atau gejala-gejala yang baru dijumpai;
frekuensi dan berat ringannya hambatan aliran udara (batuk dan sesak
26
nafas, warna dan volume dahak); limitasi aktivitas sehari-hari; episode
eksaserbasi sebelumnya; perlukah rawat inap dan regimen pengobatan
sekarang.
Penilaian berat ringan exacerbasi bisa berdasarkan gejala,
pemeriksaan fisik,tes faal paru, AGD, dan test laboratorium lain.
a. Tes faal paru
Tes faal paru yang sangat sederhana pun sulit untuk
dikerjakan dengan benar, namun secara umum PEF < 100 L/menit
atau FEV1 < 1 l menunjukkan eksaserbasi berat.
b. Pemeriksaan gas darah
Pemeriksaan darah sangat penting untuk dapat menilai
keparahan eksaserbasi. PaO2 <60 mmHg dan atau SaO2 < 90%
dengan atau tanpa PaCo2 >50 mmHg waktu bernafas dengan udara
kamar menunjukkan gagal nafas. Penderita dengan PaO2 <50
mmHg, PaCo2 >70 mmHg dengan pH < 7.30 mengarah kepada
episode eksaserbasi yang mengancam jiwa dan perlu monitoring
yang baik atau penatalaksanaan di ruang perawatan intensif.
c. Foto Thoraks
Foto toraks PA dan Lateral bermanfaat untuk identifikasi
diagnosis alternative yang menyerupai gejala eksaserbasi dari
PPOK.
d. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan darah rutin, EKG, CT scan spiral dan angiografi.
Pada pasien PPOK sangat berat, tanda yang sangat penting dari
eksaserbasi berat adalah penurunan kesadaran dan tanda ini perlu
dievaluasi segera ke rumah sakit.
G. Klasifikasi
Eksaserbasi akut dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Tipe I (eksaserbasi berat), yang memiliki ketiga gejala utama
2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala utama.
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala utama ditambah infeksi
saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernafasan >20%baseline dan frekuensi nadi >20% baseline.
H. Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut.
27
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya eksaserbasi
berulang dan mencegah terjadinya gagal nafas. Setelah gagal nafas terjadi
mencegah terjadinya kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Diagnosis derajat eksaserbasi
2. Terapi oksigen adekuat
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
4. Nutrisi adekuat
5. Ventilasi mekanik
6. Evaluasi ketat progresivitas penyakit
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah
(untuk eksaserbasi ringan) dan di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang
dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah dilakukan terhadap
penderita yang telah diberikan edukasi dengan cara :
a. Menambahkan dosis bronkodilator atau mengubah bentuk sediaan
bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan
bentuk nebulizer.
b. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
c. Menambahkan mukolitik
d. Menambahkan ekspektoran
e. Antibiotic, hanya efektif bila diberikan pada pasien dengan
peningkatan sesak dan batuk yang disertai dahak yang purulen.
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan, segera dibawa ke rumah sakit.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi di rumah sakit dapat dilakukan
dengan rawat jalan dan rawat inap, dapat dilakukan di:
Poliklinik rawat jalan
Ruang rawat inap
Ruang gawat darurat
Ruang ICU,
Resiko meninggal waktu eksaserbasi yaitu terkait erat dengan
timbulnya asidosis respiratorius, terdapatnya komorbid dan kebutuhan
penggunaan ventilator mekanik. Pasien-pasien yang tidak dijumpai
gambaran tersebut tidak beresiko tinggi untuk meninggal, tetapi pasien
dengan penyakit dasar PPOK yang sudah berat sering memerlukan rawat
inap.
Kriteria perawatan di rumah sakit untuk PPOK meliputi
a. bertambah beratnya dispnea yang mencolok
b. hipoksemia yang bertambah berat
28
c. hiperkapnea yang bertambah berat
d. diagnosis yang tidak pasti
e. perubahan status mental
f. tidak dapat makan dan tidur karena gejala klinis
g. seringnya terjadi eksaserbasi.
h. terdapat komorbid
i. usia tua
j. perawatan di rumah yang tidak optimal.
Tindakan pertama bila pasien datang ke UGD dengan PPOK
eksaserbasi adalah memberikan oksigen terkontrol dan menentukan
apakah eksaserbasi tersebut life threatening ?, jika iya, segera bawa pasien
ke ICU.
Indikasi rawat ICU, yaitu :
Sesak memberat setelah penanganan adekwat di UGD / di ruang
perawatan
Kesadaran menurun
Gagal napas ( perlu ventiltor )
Jika tidak, pasien dapat diterapi di IGD atau pun rawat inap. Hal
yang perlu diberikan saat pasien di rawat inap, yaitu :
1. Oksigen terkontrol
Terapi oksigen adalah bagian yang sangat penting dari
penatalaksanaan PPOK eksaserbasi yang dirawat di rumah sakit.
Oksigenasi adekuat (PaO2 >60 mmHg atau SaO2 >90%) mudah
dicapai pada eksaserbasi yang uncomplicated tetapi retensi CO2 dapat
terjadi samar dan dengan sedikit perubahan gejala. Setelah oksigen
diberikan, 30 menit kemudian pemeriksaan gas darah harus dikerjakan
untuk mengevaluasi oksigenasi tercapai dengan baik tanpa retensi CO2
atau asidosis. Pemberian oksigen dapat diberikan dengan cara : nasal
1-4 L/menit, dan Venturi Mask FIO2 24-48%. Sasarannya yaitu PaO2
60-65 mmHg atau SaO2 >90%.
2. Bronkodilator
Inhalasi SABA adalah bronkodilator yang lebih disenangi
untuk terapi PPOK eksaserbasi. Jika respon adekuat dari obat tidak
terjadi, tambahan antikolinergik dianjurkan. SABA dapat diberikan
dengan nebulizer atau MDI dengan spacer.
Tabel 1.
Bronkodilator pada PPOK eksaserbasi
29
Obat MDI (mcg) Nebulizer (mcg)
Agonis beta 2
Fenoterol 150-200 0,1-2,0
Terbutalin 250-500 5-10
Antikolinergik
Ipratorium Bromide 40-80 0,25-0,5
30
Gambar 1. Mikroorganisme penyebab eksaserbasi
4. Mukolitik
Saat eksaserbasi, mukolitik seperti N asetil sistein tidak
menunjukkan manfaat
5. Kortikosteroid
Steroid oral atau intravena direkomendasikan sebagai terapi
tambahan dan bronkodilator pada penatalaksanaan PPOK eksaserbasi
yang dirawat inap di rumah sakit. Prednisolon oral 30-40 mg/hari
31
selama 10-14 hari optimal bila ditinjau dari sudut efikasi dan
keamanan, karena dosis yang tinggi dikaitkan dengan resiko efek
samping.
6. Nutrisi
Tujuan : mempertahankan berat badan dan pemecahan protein.
Tatalaksana : tinggi protein rendah karbohidrat. Protein > 1,5
mg/kgBB/hari.
7. Ventilator mekanik
Tujuan utama bantuan ventilator mekanik untuk pasien
eksaserbasi sangat berat adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas
dan menghilangkan keluhan. Bantuan ventilasi mekanik dapat dengan
non invasive mechanical ventilation (NIPPV) dan invasive mechanical
ventilation (IPPV).
Indikasi diberikan bantuan ventilator mekanik invasive yaitu :
Intoleransi NIV atau kegalan penggunaan NIV
Henti nafas
Penurunan kesadaran
Aspirasi massif
Kegagalan mengeluarkan mucus dari saluran nafas
HR <50n kali/menit
Ketidaksatabilan hemodinamik yang berat dengan tidak
berespons terhadap terapi cairan dan obat vasoaktif
Aritmia ventrikularis
Sedangkan, indikasi dan kontraindikasi NIPPV:
a. Kriteria seleksi yaitu :
1. Sesak sedang sampai berat dengan menggunakan otot bantu
napas dan gerakan paradoksal.
2. asidosis sedang sampai berat dan hiperkapnea
3. frekuensi nafas >25 x/menit
b. Kriteria exlusi
respiratory arrest
32
ketidak stabilan kardiovaskular
Penurunan kesadaran
risiko aspirasi tinggi
sangat gemuk
operasi daerah muka
trauma kraniofasial
33
CAT dan mMRC
Ada tidaknya komorbid.
I. Komorbid
Komorbid biasanya ditemukan pada pasien dengan PPOK,
meningkatkan ketidakmampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari dan
potensial menimbulkan penatalaksanaan menjadi lebih kompleks. adanya
komorbid juga dapat berpengaruh terhadap prognosis pasien PPOK.
Komorbid yang sering muncul pada PPOK yaitu penyakit jantung,
osteoporosis, kanker paru, infeksi berat dan adanya sindrom metabolic
(DM).
Penyakit jantung (paling sering)
Kelainan jantung yang sering menyertai PPOK yaitu infark
myokard, gagal jantung, atrial fibrilasi dan hipertensi. Penatalaksanaan
komorbid sesuai dengan guideline masing-masing penyakit. Dapat
dipertimbangkan pemberian beta blocker.
Osteoporosis dan depressi.
Jarang terdiagnosis dalam PPOK, dan berhubungan dengan
kualitas kesehatan dan prognosis yang buruk. Pemberian kortikosteroid
sistemik sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan resiko
osteoporosis memburuk dan berulangnya eksaserbasi.
Kanker paru
Sering menimbulkan kematian pada pasien PPOK ringan.
Penurunan fungsi paru pada pasien PPOK sering menimbulkan
keterbatasan intervensi bedah.
Infeksi berat
Khususnya infeksi di saluran nafas. Pemberian antibiotic yang
tidak tepat pada pasien PPOK eksaserbasi sering menimbulkan
resistensi kuman terhadapa antibiotic tersebut.
Sindrom metabolic, paling sering diabetes.
J. Pencegahan
PPOK eksaserbasi dapat dicegah dengan berhenti merokok,
vaksinasi dan pemahaman terapi yang akan diberikan, baik teknik
penggunaan obat bronkodilator maupun jenis bronkodilator.
Rehabilitasi paru yang dilakukan lebih dini dapat memperbaiki
status kesehatan dan aktivitas fisik pada pasien PPOK eksaserbasi. Pasien
PPOK senantiasa selalu didorong untuk mempertahankan latihan fisik, dan
34
jika terdapat kecemasan, depresi atau pun masalah social harus
didiskusikan
Daftat Pustaka
35
7. Braunwald E. Heart failure and cor pulmonale. Harrisons Principle of Internal
Medicine. 16 ed. Chicago: McGraw-Hill; 2005. P. 1367.
8. Gobal initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD). Global strategy
for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease. Portland: MCR Vision Inc; 2008. p.2-5
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.3-19.
10. Sethi S and Veramamachaeneni SB,. Pathogenesis of bacterial exacerbation
of COPD. J COPD. 2006; 3:109-16.
11. Maranatha, Daniel. Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Buku Ajar Ilmu Paru
2010. Surabaya; Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair; 2010
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik.
Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: PDPI; 2003.
13. Saputra.Lyndon.Panduan Dokter di Rumah Sakit.Jakarta Bina Rupa
Aksara.Tahun 2011.
14. GOLD Report. Global Strategy for the diagnosis, management, and
prevention of COPD. Update 2013 Available from www.goldcopd.org (cited
09 Desember 2013)
15. Global initiative for COPD. Pocket Guide to COPD Diagnosis and
Management and Prevention. Update 2013 Available from www.goldcopd.org
(cited 09 Desember 2013)
16. Dahlan, zulkarnaen, dkk. Kompedium Tatalaksana Penyakit Respirologi dan
Kritis Paru Jilid I. Bandung; CV Sarana Ilmu Bandung. 2012
17. Barnes and Celli. Systemic manifestation and comorbidities of COPD. In :
Man WD, et all. Community pulmonary rehabilitation after hospitalization for
acute exacerbation of COPD. 2004 In : GOLD Report. Global Strategy for the
diagnosis, management, and prevention of COPD. Update 2013 Available
from www.goldcopd.org (cited 09 Desember 2013)
18. Soriano JB, et all. Patterm of Comorbidities in Newly diagnosed of COPD
and asthma in Primary care. 2005 In : GOLD Report. Global Strategy for the
36
diagnosis, management, and prevention of COPD. Update 2013 Available
from www.goldcopd.org (cited 09 Desember 2013)
19. Madsen H, et all. Screening, prevention and treathment of osteoporosis in
patients with COPD. 2010 In : GOLD Report. Global Strategy for the
diagnosis, management, and prevention of COPD. Update 2013 Available
from www.goldcopd.org (cited 09 Desember 2013)
20. Anthonisn, NR, et all. Hospitalization and mortality in the Lung health study.
2002 In : GOLD Report. Global Strategy for the diagnosis, management, and
prevention of COPD. Update 2013 Available from www.goldcopd.org (cited
09 Desember 2013)
21. Benfield T, et all. COPD stage and risk of hospitalization for infectious
disease. 2208 In : GOLD Report. Global Strategy for the diagnosis,
management, and prevention of COPD. Update 2013 Available from
www.goldcopd.org (cited 09 Desember 2013)
37