Abstrak
Latar belakang: Permetrin adalah obat pilihan untuk terapi skabies tetapi
memiliki efek samping eritema, nyeri, gatal dan rasa menusuk. Pengobatan
standar dengan mengoleskan permetrin ke seluruh tubuh menimbulkan
ketidaknyamanan sehingga timbul pemikiran memodifikasi metode pengobatan
skabies dengan cara mengoleskan permetrin di lesi saja diikuti mandi dua kali
sehari memakai sabun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas
permetrin metode standar dibandingkan dengan metode modifikasi dalam
pengobatan skabies.
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi dari Sarcoptes
scabiei, yang paling banyak ditransmisikan oleh kontak manusia-ke-manusia
seperti tidur bersama-sama di kamar tidur yang ramai. Di sekolah asrama, terdapat
prevalensi skabies yang tinggi. Pada 2010 prevalensi skabies di pesantren
(sekolah asrama Islami) di Malang1 adalah 89.9%, di Aceh2 40.78%, dan pada
pesantren di Jakarta Timur3 adalah 51.6%.
Murid yang terinfeksi oleh skabies merasa terganggu akibat gejalanya, seperti rasa
gatal dan manifestasi kulit yang mengalami erupsi seperti papul, vesikel, atau
pustul dengan sela-sela jari sebagai tempat predileksi utamanya. Gejala klinis
yang paling sering muncul adalah pruritus nokturnal atau rasa gatal ketika
berkeringat, yang menyebabkan pasien kemudian menggaruk-garuk yang
selanjutnya menimbulkan ekskoriasi yang rentan terhadap infeksi bakteri.
Keluhan tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari; pruritus nokturnal
mengganggu waktu istirahat, yang dapat mengakibatkan sulitnya murid untuk
berkonsentrasi selama siang hari dan menurunkan angka kehadiran murid di
sekolah maupun kemampuan akademisnya. Di Aceh, 15.5% murid yang terinfeksi
skabies mengalami penurunan nilai sekolahnya.2
METODE
Lesi dipantau secara mingguan dan distribusi lesi dihitung dan dicatat berdasarkan
lokasi dan jumlah lesinya. Hasil pengobatan dari evaluasi mingguan ditentukan
dengan adanya perbaikan lesi dibandingkan minggu sebelumnya ataupun jika ada
lesi baru yang ditemukan. Keparahan ditentukan berdasarkan jumlah daerah
dengan lesi skabies; 1-3 lesi dianggap sebagai, 4-6 sebagai sedang, dan lebih dari
6 sebagai berat.
Pada minggu kedua, dilakukan pengulangan terapi pada semua subyek dan pada
minggu ketiga subyek yang masih didiagnosa positif skabies diberikan
pengobatan standar untuk memastikan mereka sembuh. Satu bulan setelah
pengobatan terakhir, para subyek diperiksa untuk menilai rekurensi skabies. Jika
didapatkan subyek positif, mereka diterapi dengan pengobatan standar untuk
memastikan kesembuhan mereka. Data diproses dengan menggunakan SPSS versi
20 dan tes Kruskal-Wallis digunakan sebagai tes statistik.
Selama pengobatan, dipastikan penerapan perilaku gaya hidup yang sehat dan
higienis untuk mencegah rekurensi infestasi skabies. Semua kasur diganti dengan
yang baru sedangkan kamar dibersihkan dan diatur sehingga kamar menjadi lebih
lapang dan sinar matahari dapat masuk ke kamar tersebut. Handuk yang
digunakan setelah mandi dijemur langsung dibawah sinar matahari selama
beberapa jam tiap harinya. Pakaian dan sarung dicuci, dikeringkan dibawah sinar
matahari, dan disetrika setiap hari. Seprai dan handuk dicuci sekali seminggu.
Aktivitas tersebut dilakukan oleh semua subyek yang dibagi menjadi lima
kelompok, masing-masing dipimpin oleh kepala kelompok yang disebut kader dan
disupervisi oleh para guru.
HASIL
Dari 205 murid di pesantren, hanya 188 murid yang diikutsertakan dalam
penelitian ini karena 17 lainnya tidak datang pada hari pengumpulan data.
Sebanyak 94 murid mengalami skabies; oleh karena itu, prevalensi skabies di
pesantren adalah 50%. Namun, hanya 69 subyek yang diikutsertakan dalam
penelitian karena sisa subyek lainnya menunjukkan adanya infeksi bakteri
sekunder yang berat.
Tabel 1 menunjukkan prevalensi skabies pada anak laki-laki (55%) lebih tinggi
dibandingkan pada anak perempuan (42%). Namun, perbedaannya tidak
signifikan (tes chi-square, p=0.076) yang menunjukkan bahwa prevalensi skabies
tidak berhubungan dengan jenis kelamin.
Pada tabel 3, dapat terlihat bahwa angka kesembuhan dari tiga pengobatan yang
berbeda pada minggu I dan III tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan, secara statistik. Pada minggu II, sebaliknya, ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan bahwa pengobatan standar memiliki angka
kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Angka kesembuhan
dari kelompok metode standar pada minggu III adalah 95.7%, kelompok metode
modifikasi dikombinasikan dengan sabun biasa adalah 91.3%, dan kelompok
metode modifikasi dikombinasikan dengan sabun antiseptik adalah 78.3%
(p=0.163). Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang signifikan dari ketiga
pengobatan tersebut, sehingga angka kesembuhan tidak dipengaruhi dengan tipe
pengobatan.
Sebagai lingkungan yang secara umum dianggap ramai, sebagian besar pesantren
umumnya memiliki tingkat higienitas yang rendah, sehingga menimbulkan
beberapa faktor risiko untuk infestasi skabies. Pada pesantren dengan kepadatan
yang tinggi dengan higienitas yang rendah, prevalensi terjadinya skabies
ditemukan sekitar 60-90%.5
Skabies dapat bermanifestasi dalam bentuk lesi seperti papul, vesikel, pustul, dan
lesi sekunder seperti ekskoriasi, hiperpigmentasi dan juga hipopigmentasi. Dalam
penelitian ini, kami menemukan bahwa area dengan jumlah lesi terbanyak baik
pada subyek laki-laki dan perempuan adalah bokong, sela-sela jari tangan, dan
juga kaki. Hilmy3 menemukan hasil yang serupa pada sebuah pesantren di Jakarta
Timur. Sela-sela jari merupakan area yang paling sering diinfestasi pada laki-laki
dan perempuan; hal ini akibat stratum korneum yang tipis yang mudah dipenetrasi
oleh tungau. Terdapat area lain pada subyek laki-laki dengan lesi skabies yang
tidak ditemukan pada subyek perempuan, yaitu ketiak, dada, punggung, dan sela-
sela jari kaki.
Transmisi dari kontak erat tetap menjadi kontributor mayor dari re-infestasi
skabies, terutama pada populasi yang sangat ramai.12 Sungkar13 melaporkan
bahwa tungau dapat ditemukan di perabotan, sprei tempat tidur dan kursi dan
mampu bertahan 2-3 hari setelah keluar dari hostnya, menunjukkan bahwa
diperlukan lingkungan yang higienis untuk eradikasi komplit.14
Penelitian ini menunjukkan bahwa diantara 69 subyek yang diobati, 11 pasien
(15.9%) mengalami rekurensi skabies. Angka rekurensi keseluruhan untuk skabies
pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian lainnya.5,10,11
Aplikasi krim yang dilakukan oleh peneliti untuk memastikan bahwa telah
diaplikasikan dengan benar merupakan alasan angka rekurensi skabies yang
rendah. Pengobatan juga dilakukan secara bersamaan pada seluruh subyek untuk
memastikan eradikasi skabies. Disamping itu, subyek diberikan informasi
mengenai gaya hidup yang higienis dan sehat berhubungan dengan skabies.
Lingkungan hidup murid juga dimodifikasi dalam berbagai cara seperti mengganti
semua kasur dan mencuci alas tempat tidur mereka, pakaian dan handuk dan
menjemurnya dibawah sinar matahari. Selanjutnya, kamar mereka disusun
sedemikian rupa sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam kamar. Aktivitas
tersebut dilakukan oleh para murid dibawah supervisi ketua murid dan guru.
Murid-murid juga diinstruksikan untuk mandi dua kali sehari menggunakan sabun
yang telah disediakan di pesantren.