Anda di halaman 1dari 10

Efektivitas Permetrin Standar dan Metode Pengobatan

Skabies yang Dimodifikasi


Saleha Sungkar,1 Triana Agustin,2 Sri L. Menaldi,2 Ahmad Fuady,3 Herqutanto,3 Hansen
Angkasa,4 Victor Santawi,4 Hirzi Zulkarnain4

Abstrak

Latar belakang: Permetrin adalah obat pilihan untuk terapi skabies tetapi
memiliki efek samping eritema, nyeri, gatal dan rasa menusuk. Pengobatan
standar dengan mengoleskan permetrin ke seluruh tubuh menimbulkan
ketidaknyamanan sehingga timbul pemikiran memodifikasi metode pengobatan
skabies dengan cara mengoleskan permetrin di lesi saja diikuti mandi dua kali
sehari memakai sabun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas
permetrin metode standar dibandingkan dengan metode modifikasi dalam
pengobatan skabies.

Metode: Penelitian eksperimental ini dilakukan di sebuah pesantren, Jakarta


Timur dan pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Diagnosis
skabies ditetapkan dengan anamnesis dan pemeriksaan kulit. Subyek positif
skabies dibagi menjadi tiga kelompok: satu kelompok metode standar (permetrin
dioleskan ke seluruh tubuh) dan dua kelompok modifikasi (permetrin hanya
dioleskan di lesi diikuti mandi memakai sabun biasa dan sabun antiseptik). Ketiga
kelompok dievaluasi setiap minggu selama tiga minggu berturut-turut. Data
diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis.

Hasil: Sebanyak 94 subyek positif skabies (prevalensi 50%) tetapi hanya 69


subyek yang dipilih secara random untuk dianalisis. Angka kesembuhan pada
minggu III kelompok metode standar adalah 95,7%, kelompok modifikasi+sabun
biasa 91,3%, dan kelompok modifikasi+sabun antiseptik adalah 78,3% (p =
0,163). Rekurensi skabies pada kelompok metode standar adalah 8,7%,
modifikasi+sabun adalah 13,0% dan modifikasi+sabun antiseptik adalah 26,1%
(p = 0,250).
Kesimpulan: Pengobatan skabies menggunakan permetrin metode standar sama
efektifnya dengan metode modifikasi.

Kata kunci: mandi, permetrin, skabies, sabun

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi dari Sarcoptes
scabiei, yang paling banyak ditransmisikan oleh kontak manusia-ke-manusia
seperti tidur bersama-sama di kamar tidur yang ramai. Di sekolah asrama, terdapat
prevalensi skabies yang tinggi. Pada 2010 prevalensi skabies di pesantren
(sekolah asrama Islami) di Malang1 adalah 89.9%, di Aceh2 40.78%, dan pada
pesantren di Jakarta Timur3 adalah 51.6%.

Murid yang terinfeksi oleh skabies merasa terganggu akibat gejalanya, seperti rasa
gatal dan manifestasi kulit yang mengalami erupsi seperti papul, vesikel, atau
pustul dengan sela-sela jari sebagai tempat predileksi utamanya. Gejala klinis
yang paling sering muncul adalah pruritus nokturnal atau rasa gatal ketika
berkeringat, yang menyebabkan pasien kemudian menggaruk-garuk yang
selanjutnya menimbulkan ekskoriasi yang rentan terhadap infeksi bakteri.
Keluhan tersebut mengganggu kehidupan sehari-hari; pruritus nokturnal
mengganggu waktu istirahat, yang dapat mengakibatkan sulitnya murid untuk
berkonsentrasi selama siang hari dan menurunkan angka kehadiran murid di
sekolah maupun kemampuan akademisnya. Di Aceh, 15.5% murid yang terinfeksi
skabies mengalami penurunan nilai sekolahnya.2

Untuk pengobatan skabies, obat pilihannya adalah permetrin 5% yang


diaplikasikan di sekujur tubuh mulai dari belakang telinga dan leher turun hingga
jempol kaki, kemudian dibilas 10-12 jam kemudian dengan sabun dan air.
Pengobatan standar ini dinilai efektif, namun, masih ada masalah yang muncul
seperti rasa tidak nyaman yang timbul sebagai efek sampingnya, yaitu sensasi rasa
terbakar, iritasi, sensasi rasa geli, reaksi alergi dan dermatitis kontak.4 Angka
kesembuhan dari pengobatan permetrin pada lesi saja yang kemudian diikuti
dengan penggunaan sabun dan sabun antiseptik masih tidak diketahui. Sabun
antiseptik diharapkan dapat memberi angka kesembuhan yang lebih baik karena
infestasi yang muncul sering disertai dengan adanya infeksi bakterial sekunder.

Diperlukan penelitian untuk menyelidiki angka kesembuhan dan rekurensi dari


skabies setelah pengobatan yang hanya dilakukan pada lesi saja dibandingkan
dengan pengobatan standar. Oleh karena itu, kami mengusulkan pengobatan yang
dimodifikasi untuk skabies dengan memberikan permetrin terbatas hanya pada
lesi saja diikuti dengan menggunakan sabun biasa atau sabun antiseptik ketika
mandi sebanyak dua kali sehari untuk eradikasi S. scabiei yang ada pada
permukaan kulit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
aplikasi permetrin standar dibandingkan dengan aplikasi permetrin hanya pada
lesi saja (pengobatan modifikasi) untuk pengobatan skabies.

METODE

Penelitian eksperimental ini dilakukan di pesantren di Jakarta Timur yang


memiliki prevalensi skabies yang tinggi. Data diambil dari Mei hingga Juli 2012.
Kriteria inklusi meliputi semua pasien skabies yang mau ikut serta dalam
penelitian dan kriteria eksklusi adalah pasien skabies dengan infeksi bakterial
sekunder yang berat.

Subyek diklasifikasikan menjadi positif skabies jika memiliki sedikitnya 2 dari 4


tanda kardinal yaitu pruritus nokturnal, ditemukan adanya terowongan, papul atau
pustul, dan adanya sebagian besar anggota kelompok memiliki keluhan yang
sama. Subyek dikatakan negatif jika tidak ditemukan adanya lesi skabies. Ukuran
sampel minimum dihitung dengan menggunakan formula berikut untuk ketiga
kelompok independen:
Subyek dibagi menjadi tiga kelompok: satu kelompok pengobatan standar dan dua
kelompok modifikasi. Kelompok pengobatan standar diberikan aplikasi krim
permetrin 5% di sekujur tubuh (dari leher hingga jempol kaki) dan diinstruksikan
untuk dibiarkan kering setidaknya hingga 10 jam. Setelah itu, mereka
diinstruksikan untuk mandi dua kali sehari dengan menggunakan sabun biasa.
Kelompok modifikasi diberikan krim permetrin 5% untuk menutupi lesi ditambah
2 cm disekitarnya dan diinstruksikan untuk tidak membilas krim tersebut selama
10 jam. Kelompok modifikasi dibagi menjadi dua, dimana satu kelompok
diberikan sabun biasa, sedangkan kelompok lainnya diberikan sabun antiseptik
untuk mandi dua kali sehari. Sabun antiseptik mengandung komposisi yaitu C12-
18 alkyl sufat, triclocarban, pentasodium penetrate, ethane hidroxyl diphosphoric
acid, methylchloro-isothiazolinone dan methylisothiazolinone. Subyek skabies
negatif diberikan pengobatan standar pada minggu 0 untuk memastikan bahwa
mereka tidak mengalami infestasi subklinis. Krim permetrin dioleskan oleh
peneliti untuk memastikan bahwa pengobatan dilakukan dengan benar. Namun,
karena aplikasi dilakukan pada pagi hari, krim pada beberapa bagian tubuh hilang
karena wudhu sebanyak empat kali. Jadi, subyek diminta untuk mengoleskan krim
ulang pada bagian yang luntur oleh mereka sendiri setelah wudhu karena
keterbatasan pekerja peneliti.

Lesi dipantau secara mingguan dan distribusi lesi dihitung dan dicatat berdasarkan
lokasi dan jumlah lesinya. Hasil pengobatan dari evaluasi mingguan ditentukan
dengan adanya perbaikan lesi dibandingkan minggu sebelumnya ataupun jika ada
lesi baru yang ditemukan. Keparahan ditentukan berdasarkan jumlah daerah
dengan lesi skabies; 1-3 lesi dianggap sebagai, 4-6 sebagai sedang, dan lebih dari
6 sebagai berat.

Pada minggu kedua, dilakukan pengulangan terapi pada semua subyek dan pada
minggu ketiga subyek yang masih didiagnosa positif skabies diberikan
pengobatan standar untuk memastikan mereka sembuh. Satu bulan setelah
pengobatan terakhir, para subyek diperiksa untuk menilai rekurensi skabies. Jika
didapatkan subyek positif, mereka diterapi dengan pengobatan standar untuk
memastikan kesembuhan mereka. Data diproses dengan menggunakan SPSS versi
20 dan tes Kruskal-Wallis digunakan sebagai tes statistik.

Selama pengobatan, dipastikan penerapan perilaku gaya hidup yang sehat dan
higienis untuk mencegah rekurensi infestasi skabies. Semua kasur diganti dengan
yang baru sedangkan kamar dibersihkan dan diatur sehingga kamar menjadi lebih
lapang dan sinar matahari dapat masuk ke kamar tersebut. Handuk yang
digunakan setelah mandi dijemur langsung dibawah sinar matahari selama
beberapa jam tiap harinya. Pakaian dan sarung dicuci, dikeringkan dibawah sinar
matahari, dan disetrika setiap hari. Seprai dan handuk dicuci sekali seminggu.
Aktivitas tersebut dilakukan oleh semua subyek yang dibagi menjadi lima
kelompok, masing-masing dipimpin oleh kepala kelompok yang disebut kader dan
disupervisi oleh para guru.

HASIL

Dari 205 murid di pesantren, hanya 188 murid yang diikutsertakan dalam
penelitian ini karena 17 lainnya tidak datang pada hari pengumpulan data.
Sebanyak 94 murid mengalami skabies; oleh karena itu, prevalensi skabies di
pesantren adalah 50%. Namun, hanya 69 subyek yang diikutsertakan dalam
penelitian karena sisa subyek lainnya menunjukkan adanya infeksi bakteri
sekunder yang berat.

Tabel 1 menunjukkan prevalensi skabies pada anak laki-laki (55%) lebih tinggi
dibandingkan pada anak perempuan (42%). Namun, perbedaannya tidak
signifikan (tes chi-square, p=0.076) yang menunjukkan bahwa prevalensi skabies
tidak berhubungan dengan jenis kelamin.

Tabel 2 menunjukkan distribusi lesi berdasarkan jenis kelamin. Area dengan


jumlah lesi tertinggi pada laki-laki maupun perempuan adalah bokong, sela-sela
jari tangan, dan kaki. Terdapat area spesifik lainnya pada laki-laki yang tidak
ditemukan pada subyek perempuan, yaitu ketiak, dada, punggung, dan sela-sela
jari kaki.

Pada tabel 3, dapat terlihat bahwa angka kesembuhan dari tiga pengobatan yang
berbeda pada minggu I dan III tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan, secara statistik. Pada minggu II, sebaliknya, ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan bahwa pengobatan standar memiliki angka
kesembuhan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Angka kesembuhan
dari kelompok metode standar pada minggu III adalah 95.7%, kelompok metode
modifikasi dikombinasikan dengan sabun biasa adalah 91.3%, dan kelompok
metode modifikasi dikombinasikan dengan sabun antiseptik adalah 78.3%
(p=0.163). Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang signifikan dari ketiga
pengobatan tersebut, sehingga angka kesembuhan tidak dipengaruhi dengan tipe
pengobatan.

Tabel 4 menunjukkan bahwa angka rekurensi pada pengobatan yang hanya


diberikan pada lesi saja dikombinasikan dengan sabun antiseptik lebih tinggi
(26.1%) dibandingkan pengobatan yang terbatas pada lesi dan dikombinasikan
dengan sabun biasa (13%) dan pengobatan standar (8.7%). Namun, dengan
menggunakan tes Kruskal-Wallis, tidak didapatkan adanya perbedaan yang
signifikan antara angka rekurensi pengobatan-pengobatan tersebut (p=0.250),
menunjukkan bahwa kejadian rekurensi tidak dipengaruhi oleh tipe pengobatan.
Secara umum, rekurensi skabies tanpa memandang jenis terapi adalah sebanyak
11 pasien (15.9%).
DISKUSI

Sebagai lingkungan yang secara umum dianggap ramai, sebagian besar pesantren
umumnya memiliki tingkat higienitas yang rendah, sehingga menimbulkan
beberapa faktor risiko untuk infestasi skabies. Pada pesantren dengan kepadatan
yang tinggi dengan higienitas yang rendah, prevalensi terjadinya skabies
ditemukan sekitar 60-90%.5

Skabies dapat bermanifestasi dalam bentuk lesi seperti papul, vesikel, pustul, dan
lesi sekunder seperti ekskoriasi, hiperpigmentasi dan juga hipopigmentasi. Dalam
penelitian ini, kami menemukan bahwa area dengan jumlah lesi terbanyak baik
pada subyek laki-laki dan perempuan adalah bokong, sela-sela jari tangan, dan
juga kaki. Hilmy3 menemukan hasil yang serupa pada sebuah pesantren di Jakarta
Timur. Sela-sela jari merupakan area yang paling sering diinfestasi pada laki-laki
dan perempuan; hal ini akibat stratum korneum yang tipis yang mudah dipenetrasi
oleh tungau. Terdapat area lain pada subyek laki-laki dengan lesi skabies yang
tidak ditemukan pada subyek perempuan, yaitu ketiak, dada, punggung, dan sela-
sela jari kaki.

Permetrin 5% digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk skabies karena


angka kesembuhannya yang tinggi dan toksisitas yang rendah. Usha, et al 6
melaporkan bahwa angka kesembuhan pengobatan skabies dengan menggunakan
permetrin topikal dosis tunggal adalah 97.8% dan dianggap lebih baik daripada
aplikasi pengobatan dosis tunggal alternatif lainnya (ivermectin). Follow up
dengan dosis ivermectin kedua dalam interval 2 minggu menunjukkan angka
kesembuhan yang setara dosis tunggal permetrin topikal. Chhaiya, et al7
menemukan bahwa aplikasi tunggal permetrin menunjukkan angka kesembuhan
74.8% sedangkan aplikasi kedua dengan interval satu minggu meningkatkan
angka kesembuhan menjadi 99%. Aplikasi ketiga meningkatkan angka
kesembuhan hingga 100%. Angka kesembuhan yang tinggi (98%) juga terlihat
pada penelitian oleh Yonkosky.8 Namun, permetrin menunjukkan efek samping
meliputi sensasi rasa terbakar, iritasi, kesemutan dan rasa gatal. Efek samping
lainnya adalah reaksi alergi dan dermatitis kontak. Pada daerah tropis dengan
kelembapan yang tinggi, aplikasi di seluruh tubuh sering menimbulkan rasa tidak
nyaman dan lengket.

Untuk mengurangi efek samping, kami melakukan penelitian yang


membandingkan terapi standar dan aplikasi permetrin yang hanya terbatas pada
lesi saja. Sabun antiseptik diharapkan dapat menurunkan kejadian infeksi
sekunder yang dapat mengganggu rangkaian pengobatan dengan menurunkan
penetrasi obat permetrin. Mandi dan sabun membantu menghilangkan S. scabiei
yang merayap di permukaan kulit. Mandi juga membantu menghilangkan
telurnya.9 Penelitian kami menunjukkan angka kesembuhan skabies yang tinggi
dan tidak dipengaruhi oleh tipe pengobatan. Dengan demikian, untuk pengobatan
skabies, dapat dianjurkan aplikasi permetrin yang terbatas hanya pada lesi saja.
Namun, karena penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, maka diperlukan
penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar untuk menggeneralisasikan
hasilnya.

Meskipun angka kesembuhan skabies dengan menggunakan permetrin tinggi,


angka rekurensinya juga tinggi. Satu penelitian yang melibatkan perawatan di
rumah sakit jangka panjang pada usia lanjut menunjukkan bahwa 148 pasien
menderita skabies.10 Mereka diterapi dengan permetrin dan angka kesembuhannya
adalah 100%. Sayangnya, setelah sembuh, 50% pasien (34%) mengalami
rekurensi skabies. Penelitian pada 20 pasien skabies berkrusta menunjukkan
bahwa rekurensi dari infestasi skabies adalah sebanyak 50%.11 Tingginya
rekurensi skabies diantara pasien tersebut menunjukkan bahwa infestasi yang
lebih berat akan mengakibatkan angka rekurensi skabies yang lebih tinggi.
Penelitian lainnya di sekolah asrama di Jakarta menunjukkan bahwa 10 minggu
setelah pengobatan, rekurensinya adalah 2.4%.5

Transmisi dari kontak erat tetap menjadi kontributor mayor dari re-infestasi
skabies, terutama pada populasi yang sangat ramai.12 Sungkar13 melaporkan
bahwa tungau dapat ditemukan di perabotan, sprei tempat tidur dan kursi dan
mampu bertahan 2-3 hari setelah keluar dari hostnya, menunjukkan bahwa
diperlukan lingkungan yang higienis untuk eradikasi komplit.14
Penelitian ini menunjukkan bahwa diantara 69 subyek yang diobati, 11 pasien
(15.9%) mengalami rekurensi skabies. Angka rekurensi keseluruhan untuk skabies
pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian lainnya.5,10,11

Aplikasi krim yang dilakukan oleh peneliti untuk memastikan bahwa telah
diaplikasikan dengan benar merupakan alasan angka rekurensi skabies yang
rendah. Pengobatan juga dilakukan secara bersamaan pada seluruh subyek untuk
memastikan eradikasi skabies. Disamping itu, subyek diberikan informasi
mengenai gaya hidup yang higienis dan sehat berhubungan dengan skabies.
Lingkungan hidup murid juga dimodifikasi dalam berbagai cara seperti mengganti
semua kasur dan mencuci alas tempat tidur mereka, pakaian dan handuk dan
menjemurnya dibawah sinar matahari. Selanjutnya, kamar mereka disusun
sedemikian rupa sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam kamar. Aktivitas
tersebut dilakukan oleh para murid dibawah supervisi ketua murid dan guru.
Murid-murid juga diinstruksikan untuk mandi dua kali sehari menggunakan sabun
yang telah disediakan di pesantren.

Kesimpulannya, prevalensi skabies di Pesantren X adalah 50%; prevalensi subyek


laki-laki adalah 55% dan subyek perempuan adalah 42%. Angka kesembuhan dari
kelompok metode standar pada minggu III adalah 95.7%, angka kesembuhan pada
kelompok metode modifikasi yang dikombinasikan dengan sabun reguler adalah
91.3%, dan pada kelompok metode modifikasi yang dikombinasikan dengan
sabun antiseptik adalah 78.3%. Angka rekurensi dari pengobatan standar adalah
8.7%, pengobatan modifikasi dengan penggunaan sabun biasa adalah 13% dan
pengobatan modifikasi dengan penggunaan sabun antiseptik adalah 26.1%
(p=0.250). Dengan demikian, angka kesembuhan pengobatan skabies
menggunakan permetrin tidak dipengaruhi oleh metode pengobatan. Untuk
menggeneralisasikan hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan ini,
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai