Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
(A) Potongan sagital dari kepala dan leher. (B) Potongan koronal dari regio suprahyoid. (C)
Potongan cross-section leher setinggi level isthmus thyroid; 1. fasia superfisialis, 2. ruang pretrakeal,
3. ruang retrofaring, 4. ruang bahaya, 5. ruang prevertebral.
b. Ruang bahaya: ruang bahaya diapit oleh ruang prevertebral dan retropharyngeal, memanjang dari
dasar tengkorak sampai tingkat diafragma dengan sedikit hambatan. Hal ini berbatasan secara lateral
oleh prosessus transversus dari vertebra. Struktur yang paling penting dalam ruang ini adalah batang
simpatik servikal (cervical sympathetic trunk).
Ruang bahaya
c.Ruang prevertebral: Ruang ini berjalan dari dasar tengkorak sampai ke tulang ekor. Dibatasi oleh
badan vertebral pada posterior, ruang bahaya pada anterior, dan prosessus transversus pada lateral
pembuluh darah, saraf frenik. dan pleksus brakialis. Otot paraspinous, prevertebral dan skalene
terletak di dalam ruang ini dan juga ekstensi langsung infeksi berasal dari tulang belakang atau luka
tembus
d. Ruang Karotid: Juga disebut sebagai ruang vaskular viseral. Ini adalah ruang potensial yang
tertutup oleh selubung karotid yang membentang dari dasar tengkorak sampai toraks. Isinya meliputi
arteri karotid, saraf vagus (saraf kranial X), dan pleksus simpatis.
e.Ruang submandibular & sublingual: Kedua ruang berkomunikasi dengan bebas, dan karenanya
disajikan bersama. Perlu dicatat meski persyaratannya ruang submandibular atau submaxillary
biasanya digunakan dalam menggambarkan ruang submandibular dan sublingual gabungan. Batas
superior dari ruang ini adalah mukosa lantai mulut. Mereka dibatasi oleh tulang hyoid pada
posteroinferior, mandibula pada anterior dan lateral, dan pangkal lidah pada posterior. Ruang
submandibular dan sublingual sendiri dipisahkan oleh otot mylohyoid. Ruang sublingual menyimpan
saraf hipoglossal. kelenjar liur sublingual, dan saluran Wharton.. Garis mylohyoid adalah garis oblik
sepanjang mandibula yang membantu dalam evaluasi infeksi ruang submandibular atau sublingual
dari sumber odontogenik.
Pembagian ruang mandibula menjadi supramylohyoid dan inframylohyoid oleh m.mylohyoid
g. Ruang parotis: Ruang ini juga dikenal sebagai ruang parotidomassa, dibuat sebagai lapisan
superfisial fascia servikal dalam yang menutupi kelenjar parotid, kelenjar getah bening periparotid,
saraf wajah. vena vena posterior, dan arteri karotis eksternal. Fasia melekat erat ke kelenjar secara
lateral.
Ruang parotis
h. Ruang masticator: Ruang ini juga dibentuk oleh investasi lapisan superfisial fasia servikal dalam.
Isinya meliputi masseter, otot pteiygoid medial dan lateral, tubuh dan ramus mandibula, pembuluh
alveolar inferior dan saraf, pad lemak bukal, dan tendon temporalis. Ruang masticator mungkin
terbagi dalam ruang masseter, antara ramus mandibula dan otot masseter; dan ruang pterygoid. antara
ramus mandibular dan otot pterygoid. Ruang masticator terletak anterolateral ke ruang parapharyngeal
dan jauh ke ruang temporal. Infeksi pada ruang ini terutama berasal dari molar mandibular ketiga.
Ruang mastikator
i.Ruang peritonsilar: Ruang peritonsillar terjepit di antara kapsul tonsillar palatine secara medial, dan
pembatas faring superior bersifat musclelateral. Batas anterior dan posterior terbentuk oleh otot
palatoglossus dan palatopharyngeus atau pilar anterior dan posterior. Bagian ketiga posterior lidah
berfungsi sebagai batas inferior. Pengambilan drainase yang tertunda dari ruang ini dapat
menyebabkan perluasan ruang parapharyngeal
j. Ruang temporal: Ruang temporal tertutup oleh tulang temporal skuamosa secara medial dan fasia
temporalis superfisial lateral. Ruang ini selanjutnya dibagi menjadi komponen dangkal dan dalam
oleh otot temporalis. Berisi arteri maksilaris internal dan divisi ketiga saraf trigeminal.
k. Ruang viseral anterior: Ruang ini berjalan dari tulang rawan tiroid sampai ke tingkat vertebra toraks
keempat. Faring, kerongkongan, trakea, tiroid dan kelenjar paratiroid adalah komponen yang paling
menonjol, semuanya tertutup oleh divisi viseral dari lapisan tengah fascia servikal yang dalam dan
bersarang di balik otot pengikat.
l. Ruang Suprasternal: Ini adalah ruang potensial yang berada tepat di atas ambang sternal, diselimuti
oleh lapisan superfisial fasia servikal dalam. Ruang suprasternal dari Burns feature memiliki kelenjar
getah bening dan pembuluh penghubung kecil antara vena jugular anterior.
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot:
a. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia,
sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian
bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran
cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
c. Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke
laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus. Oleh karena
itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot
konstriktor faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya
juga terjadi aspirasi air liur dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.
Gambar 6. Ukuran perbandingan posisi dan hubungan ketiga otot konstriktor faringis
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor
faring superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak disebelah luar.
Disebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama lain dan dibelakang bertemu
pada jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot
konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafi oleh
n.vagus (n.X)
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus,
cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus
berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-
cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung
oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
1. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang
disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi
struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen
jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus
asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus
os.tempolaris dan foramen laserum dan muara tuba eustachius
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut
sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat
dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan
fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan
disebu kapsul yang sebenar-benarnya bukan merupakan kapsul yang
sebena-benarnya
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil
yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang
ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil mendapat
darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang tonsil a.maksila
eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada
massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan
dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses
peritonsilar.
a. Penelanan
b. Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole ke
atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini
diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini
menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan
tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan
palatum.
III. Tonsilitis
b. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: adenoid, tonsil palatina, tonsil
lingual, tonsil tuba eustachius.
c. Klasifikasi
I. Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan
streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan oleh virus. Tonsilitis akut
merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsilla palatina, yang
terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi maupun
virus.
II. Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh
serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang
permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara
waktu ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala
akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan.
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.
d. Etiologi
Penyebab tonsillitis bermacam-macam, diantaranya adalah:
1. Streptococcus beta haemolyticus
2. Streptococcus viridans
3. Streptococcus piogenes
4. Virus Influenza
Infeksi ini menular melalui kontak dari secret hidung dan ludah (Droplet
Infections)
e. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.
Tonsil berperan sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang
masuk dan membentuk antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial
mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang
berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus
disebut tonsillitis falikularis. Pada tonsilitis akut dimulai dengan gejala sakit
tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga sakit menelan dan demam tinggi (39oC-40oC).
Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh sakit menelan,
tenggorokan akan terasa mengental.
Tetapi bila penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri
yang tinggi terhadap infeksi virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan
terjadi kerusakan tubuh ataupun penyakit. Sebaliknya jika belum ada imunitas
maka akan terjadi penyakit. Sistem imun selain melawan mikroba dan sel
mutan, sel imun juga membersihkan debris sel dan mempersiapkan
perbaikan jaringan.
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang
menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada
proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan
ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang
akan diisi oleh detritus.
Infiltrasi bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang
berupa keluarnya leukosit polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang
terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang lepas.
Tonsil hiperemis + + -
Kriptus melebar - + +
Destruitus +/- + +
Perlengketan - + +
iii. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan
ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial
peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut,
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil
terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi
ke paru.
iv. Diagnosis
Anamnesis (Gejala dan tanda tonsillitis akut, nyeri menelan
(odinofagia) yang hebat, nyeri telinga (otalgia) di sisi yang sama,
muntah (regurgitasi), mulut bau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara bergumam (hot potato voice) dan sulit
membuka mulut (trismus), nyeri tekan pada pembengkakan kelenjar
submandibular.
Pemeriksaan Fisik Palatum mole tampak bengkak dan menonjol ke
depan, teraba fluktuasi, uvula bengkak dan terdorong sisi kontra
lateral, tonsil bengkak disertai hiperemis serta mungkin banyak
detritus dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah.
v. Penatalaksaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin
atau klindamisin, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur
dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Kemudian pasien dianjurkan tonsilektomi. Bila dilakukan
bersama-sama drainase abses disebut tonsilektomi a chaud. Bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi
a froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
vi. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi
paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga
terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke
mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat
mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses
otak.
vii. Prognosis
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti
dengan tonsilektomi. Tonsilektomi sebaiknya ditunda sampai 6
minggu setelah episode infeksi. Pada saat tersebut peradangan telah
mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi.
Abses Peritonsil
b. Abses Retrofaring
i. Definisi
Abses Retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah retrofaring. Penyakit ini biasanya
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini terjadi
karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe
(nodes of Rouviere), masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri.
Kelenjar ini menampung aliran limfe dari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia diatas 6
tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.
ii. Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring ialah :
(1) Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring.
(2) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang
ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi
endotrakea dan endoskopi.
(3) Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah
1. Kuman aerob : Streptococcus beta hemolyticus group A (paling
sering), Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non
hemolyticus, Staphylococcus aureu , Haemophilus sp
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus,
Fusobacteria
Pada banyak kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob
secara bersamaan.
iii. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa adanya riwayat
infeksi saluran napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinis
berupa: anak rewel, nyeri menelan, sulit makan dan atau minum,
demam, leher kaku, kadang sesak napas dan mengorok, terjadi
perubahan suara. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada dinding
belakang faring tampak benjolan biasanya unilateral, mukosa edema
dan hiperemis. Pemeriksaan penunjang dilakukan foto rontgen jaringan
lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofiring > 7 mm (anak-anak & dewasa) dan pelebaran retrotrakeal >
14 mm (anak-anak) dan > 22 mm (dewasa). Juga terlihat berkurangnya
lordosis vertebral servikal.
c.
Foto rontgen leher lateral; A. jaringan lunak normal, B. Abses
retrofaring, tampak bayangan jaringan lunak yang membesar, C. Air-
fluid level dan bayangan gas.
iv. Penatalaksanaan
Medikamentosa berupa antibiotik dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan
tindakan bedah berupa pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar
segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan
dalam analgesia local atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap
sampai gejala dan tanda infeksi reda.
v. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang
parafaring, ruang vaskuler visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan
napas sampai asfiksia, (4) bila pecah spontan, dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi dan abses paru.
c. Abses Parafaring
i. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :
1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung
jarum suntik yamg telah terkomtaminasi kuman menembus lapisa
otot tipis (m. Konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang
parafaring dari fossa tonsilaris.
2) Proses supurasi kelenjar limfe leher bagian dalam, gigi, tonsil,
faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau
submandibula.
ii. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding
lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. Bila meragukan
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan
lunak AP atau CT scan.
iv. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen
atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke
atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur,
sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.
d. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang
submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot
milohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental
dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Abses dapat
terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
i. Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelanjar
limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher
dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan
anaerob.
ii. Gejala dan Tanda
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di
bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi.
Trismus sering ditemukan.
iii. Penatalaksaan
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob
harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan
dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.Insisi dibuat
pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung
letak dan luas abses. Pasien dirawat inap 1-2 hari gejala dan tanda
infeksi reda.
Abses Submandibula
e. Angina Ludovici
i. Definisi
Infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas
berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk
abses, sehingga keras pada perabaan submandibula.
ii. Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut,
oleh kuman aerob dan anaerob.
iii. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek
atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik berupa nyeri tenggorok dan
leher, disertai pembengkakan di daerah submandibula yang btampak
hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar mulut membengkak, dapat
mendorong lidah ke atas belakang, sehingga menimbulkan sesak
napas, karena sumbatan jalan napas. Pada Pseudo Angina Ludovici
dapat terjadi fluktuasi.
iv. Penatalaksanaan
Dapat diberikan antibiotik dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan
eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina Ludovici jarang terdapat
pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara
horizontal setinggi os hioid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu
dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi) untuk mencegah
kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
v. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah :
(1) sumbatan jalan napas,
(2) penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan
(3) sepsis.
vi. Prognosis
Tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta
pengurangan radang. Sekitar 45 - 65% penderita memerlukan insisi
dan drainase pada area yang terinfeksi, disertai dengan pemberian
antibiotik untuk memperoleh hasil pengobatan yang lengkap. Selain
itu, 35% dari individu yang terinfeksi memerlukan intubasi dan
trakeostomi.
Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%. Namun dengan
diagnosis dini, perlindungan jalan nafas yang segera ditangani,
pemberian antibiotik intravena yang adekuat serta penanganan dalam
ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi.
Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.
Angina Ludwig
Sumber: