Anda di halaman 1dari 1

Sahabatku Seorang Pemimpi(n)

Waktu itu, awal kali bertemu dengan salah seorang wanita di bangku kuliah, berniat untuk
memperkenalkan diriku dihadapannya dengan ku tanya dia berasal dari SMA mana, bertanya siapa
namanya, ku ulurkan tangan dan bersalaman dengannya sambil mengatakan Saya Rasti. Senyumannya
yang hangat menyapa wajahku dan ku balas dengan senyuman itu pula. Rasa bahagia menyambut diri
ini ketika menjadi seorang Maba. Title dewasa yang dilihat secara umur sudah memenuhi. Namun,
apakah sifat, pengendalian diri, dan emosional di dalam diri ini sudah memenuhi? Ku rasa belum. Sifat
kekanak-kanakan masih melekat di dalam diriku. Belum bisa mandiri, mengendalikan diri, dan mengatur
segala hal yang selalu mengiringi hari-hari seperti masih sulit mengatur waktu, jadwal keseharian,
lembaran uang jatah seminggu, dan lain-lain. Semua terasa kacau. Aku bingung, gimana nih.. Apa yang
harus kulakuin sekarang? Siapa yang bisa menjawab dan ngasih solusi semua permasalahanku? Orang
tua? Ayahku sibuk ke luar kota karena bisnisnya. Ibuku pun sibuk dengan pasiennya yang terus
berdatangan meminta resep. Itulah pernyataan sekaligus pertanyaan yang selalu mengintaiku.

Seiring berjalannya waktu dan tak terasa semester lima, hubungan dengan teman baruku
semakin dekat. Bicaranya halus, penampilannya yang syari membuatku sadar akan penampilanku
selama ini yang memang berkerudung tetapi belum berjilbab. Pikirannya yang sangat rasional dan
bijaksana membuatku banyak belajar darinya. Semua isi dan keluh kesah hati kusampaikan padanya
demi mencari solusi dari permasalahanku. Tak hanya sekedar curhatan dan pengalaman ku yang
kusampaikan kepadanya. Dia pun juga sharing tentang pengalaman kehidupannya yang penuh lika-liku
dan menyampaikan kata-kata mutiara penyemangat hidupnya ketika lapang maupun sempit.

Sosok wanita mungil yang menjadi keluarga baru di kehidupanku itu memiliki kehidupan yang
sangat sederhana. Dia mengatakan bahwa ayahnya seorang buruh tani, ibunya berjualan Mie Ayam di
emperan rumahnya, dan adiknya dua sedang duduk di bangku SD dan SMA. Alhamdulillah, aku sangat
bersyukur memiliki keluarga yang penuh keharmonisan dan aku bersyukur bisa kuliah walaupun
penghasilan orang tuaku tak seberapa. Inilah jalan Allah yang diberikan kepadaku bisa kuliah dengan
bebas biaya. Salah satu kalimat yang Ia katakan di hadapanku. Membayangkan kehidupannya yang jauh
berbeda dengan kehidupanku. Mimpi-mipinya yang Ia tuliskan dalam binder sempat ku baca diam-diam.
Aku terkejut! Di awal semester Ia bermimpi menjadi ketua BEM di kampus. Namun, waktu
menjawabnya Ia sebagai sekretaris BEM tetapi Ia juga menuliskan mimpinya menjadi ketua organisasi
keislaman untuk wanita di kampus dan waktu menjawabnya, Ya.

Ia bermimpi memenangkan lomba karya tulis ilmiah, memenangkan berbagai ajang lomba
dimasa Ia menjadi seorang mahasiswi. Jari-jemarinya yang mungil dan menggeliat di atas papan
keyboard laptop hasil jerih payah ayah dan ibunya bekerja membuahkan hasil. Ia menjadi pemenang
juara I ajang lomba karya tulis ilmiah tingkat provinsi. Ia bermimpi lagi memenangkan LKTI di tingkat
nasional. Walaupun anak buruh tani dan tukang mie ayam, Ia berani menuliskan mimpi setinggi langit
dan yakin bahwa mimpi-mimpinya akan terwujud. Baris demi baris ku baca apa saja yang menjadi
impiannya, ada salah satu impiannya yang membuatku terkejut kagum dengannya. Kuliah S2 di luar
negeri Salah satu mimpi yang Ia tuliskan di selembar kertas harian bindernya. Walaupun Ia dinyatakan
sudah terbebas dari biaya kuliah, Ia tetap saja berjualan di kampus. Aneka kue yang Ia buat sendiri di
rumah, Ia jual dengan menitipkan di kantin dekat kampus dan Ia jual dengan berkelilling di sekitar
kampus mencari kerumunan mashasiswa-mahasiswi yang tengah bersantai-santai dan bercanda.

Sungguh, aku merasakan bahwa Allah telah mengirimkan seorang sahabat yang bisa dijadikan
sebagai pemimpin dalam arti perjuangannya patut dijadikan contoh dalam menggapai mimpi-mimpinya.
Kini, perlahan-lahan aku bisa menghargai apa yang orang lain katakan dan lakukan, lebih menghargai
waktu karena uang bisa kembali di genggaman tangan namun waktu tak bisa kembali lagi dan waktu itu
mengalir begitu saja, lebih belajar mengendalikan diri, dan mulai menjadwal kegiatan keseharian serta
menuliskan impianku pada secarik kertas seperti sahabatku. Semoga mimpi-mimpi yang kau dan ku
tuliskan selama ini kelak menjadi sebuah coretan rangkaian sejarah yang kita buat. Seru dalam doaku.

Anda mungkin juga menyukai