Kel Anafilaksis
Kel Anafilaksis
REAKSI HIPERSENSITIVITAS
(ANAFILAKSIS)
Oleh Kelompok 1
1. Arya Jaya
2. Firdaus
3. I Gede Media Pratama
4. Intang Sulistiani Zen
5. Ria Tri Oktaviani
6. Titis Anisa Rahmadani
7. Risa Pramudita
8. Linda Yuliana
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan makalah dengan judul ANAFILAKSIS dapat kami
selesaikan sengan jadwal yang telah direncanakan. Terdorong oleh rasa ingin tahu, kemauan,
kerjasama dan kerjakeras, kami serahkan seluruh upaya demi mewujudkan keinginan ini.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan untuk
melengkapi dan menyempurnakan suatu mata kuliah.
Penulis menyadari dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan
baik cara penulisan ataupun penyusunanya. Oleh karena itu kami, mohon maaf dan sangat
mengharapkan masukan yang sifatnya membangun demi untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis menyadari pula, bahwa selesainya makalah ini tidak lepas dari sukungan serta
bantuan baik berupa moral maupun material dari semua pihak terkait. Oleh kerena itu, dengan
segala kerendahan hati kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Dosen pembimbing dan
rekan mahasiswa yang memberikan masukan dan petunjuk serta saran-saran yang baik.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan
oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan
antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana
alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi
ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak
terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja
maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada
alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan
bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang
aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena
disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri
menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam
mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang
berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan mengerti tentang asuhan keperawatan dengan
gangguan hipersensitivitas.
2. Tujuan Khusus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anafilaksis adalah suatu reaksi yang bersifat akut,menyeluruh dan bisa menjadi berat.
Anafilaksis terjadi pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitifitas akibat
pemaparan terhadap suatu alergen.Anafilaksis tidak terjadi pada kontak pertama dengan
alergen.Pada pemaparan kedua atau pada pemaparan kedua atau pada pemaparan
berikutnya,terjadi suatu reaksi alergi.Reaksi ini terjadi secara tiba-tiba,berat dan melibatkan
seluruh tubuh.
Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang
didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Syok
anafilaktik adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau tanpa penurunan
kesadaran. (Cicilia Bangeud, 2012)
2. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun melalui
non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan,
kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada
kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
4) Aktivasi komplemen
6) Bahan dialisis
7) Modulasi metabolisme
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid
3. Klasifikasi
1. Onset mendadak
2. Gejala = ringan
1. Rasa kesemutan dan
hanya kejadian lebih
hangat di perifer
cepat hingga terjadi
2. Rasa penuh di mulut dan bronkospasme, edema
1. Kemerahan pada muka
tenggorokan laring, dispnea berat
dan leher (sementara), rasa
serta sianosis
3. Kongesti nasal hangat, gatal-gatal
pembengkakan periorbital 3. Disfagia,kram
2. Reaksi serius disertai
abdomen,vomitus,
4. Pruritus, bersin-bersin dan bronkospasme dan edema
diare dan serangan
mata berair saluran nafas atau laring
kejang-kejang
dengan dipsnea, mengi dan
batuk Kemerahan pada muka 4. Kadang timbul
5. Awitan gejala terjadi 2 jam dan leher (sementara),rasa henti jantung dan
setelah kontak hangat, gatal-gatal koma
4. Manifestasi Klinis
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
b. Pernapasan :
3) Lidah : edema
5. Pathway
PATHWAY ANAFILAKSIS
Bronkokonstriksi/ Vasodilatasi
bronkospasme pembuluh darah
sesak Hipotensi,hipoksiai
6. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan beberapa
tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi sensitivitas alerginya.
Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang
akan mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya
diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi anafilaktik, keadaan
ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai
secara intra vena, kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam
kehidupan.
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen imunospesifik.
Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E.
akan tetapi ada beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik )
pada pelepasan histamin.
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada RAST, suatu
kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut diinkubasi dengan
serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks
dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan
antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .
7. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian
epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala
anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila
epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml
subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala
penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat
diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan
sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan
serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 0,3 ml di bekas tempat
suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari
tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan
sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di perhatikan dalam
memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.
a. Sistem pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada anafilaksis
adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau spasme bronkus. Pada
kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi
pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea
pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya
obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama
sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh
dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera
adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera
dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan maupun pada
kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah seperti pada
gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis
beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau
aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin menandakan
bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena
secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran).
Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid.
Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh
darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan
ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini selain untuk
memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai
untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat
untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml
epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 4
mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat
dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis
10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal
(dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan
hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
a) Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta (beta
blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena
stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-
2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan
kortikosteroid secara intravena.
c) Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas
maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi
anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan
berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai
memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid
ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)
8. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
b. Bronkospasme persisten
BAB III
I. Pengkajian
a. Anamnesa
Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan gejala awal dengan rasa gatal dan
panas.biasanya selalu disertai dengan gejala sistemik misal dispnea,mual,kulit
sianosis,kejang.anamnesa yang tepat dapat memperkecil gejala sistemik sebelum berlanjut pada
fase yang lebih parah/gejala sistemik berat.
c. Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu.pernahkah klien mengalami hal
yang sama saat setelah kontak dengan alergen misal,debu,obat-abatan,makanan,atau kontak
dengan hewan tertentu.
Apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami alergi.punyakah keluarga
riwayat penyakit alergi lain misal, asma.
1. Pemeriksaan Fisik
a. Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat
(pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
b. Fungsi metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan
pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
d. Kulit
1) suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok
berlanjut terjadi hipovolemia)
2) Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok
hemoragi terminal)
3) Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
e. Status jantung
Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
f. Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang
sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)
g. Status mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, spoor
sampai koma
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hematologi : darah (Hb, hematokrit, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar
ureum, kreatinin, glukosa darah. Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun
b. Radiologi
3. Pengelompokan data
a. Data subjektif :
b. Data objektif :
1) Klien tampak sesak, tampak bernafas dengan mulut, tampak pembengkakan pada mukosa
hidung,tampak penggunaan otot bantu nafas, pernafasan cuping hidung, terpasang oksigen
3) Klien tampak pucat, akral dingin, gambaran EKG gelombang T mendatar dan terbalik
7) Klien tampak menggaruk garuk badannya, tampak adanya pruritus (ada hives) urtikaria
II. Diagnosa
a. Analisa data
1 DS : klien mengatakan sesak Reaksi imunologi traktus Pola nafas tidak efektif
nafas atau sulit dalam bernafas respiratorus (allergen terikat
oleh Ig E terjadi degranulasi
DO :
sel mast)
- klien tampak bernafas
dengan mulut
- Tampak pembengekakan
pada mukosa hidung Mengeluarkan performed
mediator seperti histamine,
- Terpasang O2 protease dan newly generated
mediator seperti leukotrein,
- Tampak penggunaan otot
prostaglandin
bantu nafas dan pernafasan
cuping hidung
- Gambaran EKG
gelombang T mendatar dan
terbalik
DO :
- Tampak bengkak
disekitar tubuh dan hidungnya
b. Rumusan diagnosa
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme otot bronkeolus yang ditandai
dengan klien mengatakan sesak nafas atau sulit dalam bernafas, klien tampak bernafas dengan
mulut, tampak pembengekakan pada mukosa hidung, terpasang O2 , tampak penggunaan otot
bantu nafas dan pernafasan cuping hidung, tanda tanda vital khususnya RR menurun
(dsypnea).
II. Intervensi
N Intervensi Keperawatan
Hari /
o
tangga Tujuan dan Kriteria
D Intervensi Rasional
l Hasil
x
- Tidak ada
penggunaan otot
4. Kolaborasi :
bantu nafas dan
cuping hidung Berikan tambahan
O2 atau ventilasi
- RR normal 16-
manual sesuai
20 x/menit
kebutuhan
- Pasien sadar
atau berorientasi
4. Pantau
pemasukan oral dan
memasukan cairan
sedikitnya 2500
ml/hari
5. Kolaborasi
dengan tim medis
lainnya dalam
pemberian obat-
obatan sesuai
indikasi, missal:
antipiretik (aceta
minofen)
4. Sarankan pasien
untuk melakukan
ambulasi beberapa
jam sekali jika
memungkinkan
5. Gunting kuku
secara teratur
6. Kolaborasi :
Gunakn atauberika
n obat-obatan atau
sistemik sesuai
indikasi.
III. Implementasi
No
Hari/Tgl/Jam Implementasi Respon Hasil Paraf
Dx
IV. Evaluasi
Hari / Tgl No
Catatan Perkembangan Paraf
Jam Dx
O : Tampak tenang
P : Intervensi dihentikan
P : Intervensi dihentikan
P : Intervensi dihentikan
BAB IV
ILUSTRASI KASUS
Tn. W 65 tahun, di antar ke IGD RSI SITI HAJAR MATARAM pada hari jumat 17
Oktober 2014 pukul 20.00 Wita dengan kondisi klien tidak sadarkan diri 20 menit yang lalu
setelah mengkonsumsi obat sakit gigi. Obat yg di minum, berupa Amoksisilin 500mg, Asam
Mefenamat 500 mg dan Dexametason 0,5 mg, satu atau dua menit setelah minum obat pasien
merasa gatal seluruh tubuh, diikuti mual, muntah, keringatan dan pasien tidak sadarkan diri lalu
keluarga membawa pasien ke RS terdekat. Kelurga klien mengatakan bahwa klien tidak memiliki
riwayat alergi obat atau asma. Pada pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran : sopor, nadi
lemah 60x/mnt, TD : 90/70 mmHg, RR : 28 x/ menit,S : 37C auskultasi paru wheezing (+),
mengi (-) dan ekstremitas hangat.
I. PENGKAJIAN
1. Data Demografi
a. Identitas pasien
Nama : Tn. W
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 65 tahun
Alamat : pagesangan
Pekerjaan : -
Agama : islam
Status perkawinan : kawin
Diagnosa medis : anafilaksis
Saat sakit : ibu klien mengatakan bahwa anaknya sedikit rewel dan agak susah untuk
berkomunikasi karena penyakit yang diderita.
4.
Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Sopor
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Nadi : tidak teraba
Suhu : 37 C
Frekuensi Nafas : 28 x/menit
b. head to toes
1. Kepala
inspeksi : distribusi rambut merata, tidak ada ketombe lesi maupun bekas luka dan warna
rambut hitam.
Palpasi : tidak ada benjolan dan masa dan tidak ada nyeri tekan
1. Mata
Inspeksi : adanya benjolan pada mata kanan akibat retinoblastoma, konjungtiva mata
kiri tampak anemis, kornea bersih, mata kiri bisa melihat sedangkan mata kanan tidak
bisa melihat akibat tumor.
Palpasi : adanya benjolan pada mata kanan dan tidak ada benjolan maupun nyeri tekan
Hidung
Inspeksi: tanpa anemisa dan tidak ada kelainan, tidak ada pernapasan cuping hidung dan
distribusi bulu hidung merata.
Palpasi tidak ada masa atau benjolan, tidak ada nyeri tekan
Mulut
Inspeksi : mukosa mulut lembab, lidah bersih, dan tidak ada lesi
Telinga
Inspeksi : telinga berbentuk simestris, tidak ada gangguan pendengaran dan tidak ada lesi
Leher
Palpasi : tidak ada masa atau benjolan, tidak ada nyeri tekan
Inspeksi : dada tampak simestris, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada memar atau luka dan
pergerakan dinding thoraks sama
Auskultasi : tidak ada suara nafas tambahan seperti wheezing, crackles dan lain-lain , suara paru
normal yaitu vesikuler
Abdomen
Inspeksi : tidak ada kelainan pada umbilicus , tidak ada lesi atau memar ataupun asites
Palpasi : tidak ada masa atau benjolan, tidak ada pembesaran hepar
Genetalia
Ekstremitas
5. Terapi
a. Oksigen 6 liter/menit
b. NaCl 0,9 % : guyur (1 liter)
c. Epinephrine 0,3 ml i.m
d. Diphenhydramine 1 cc i.v
e. Ranitidine 1 amp i.v
f. Dopamine drip di berikan 5-10 mg/kg BB/mnt
A. Analisa Data
Sesak nafas
Mual dan
muntah
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan perangsangan mual dan muntah sendiri.
5. Evaluasi
gerakan dada 5. Obstruksi jalan nafas
dan menghasilkan perubahan
auskultasi pada bunyi nafas seperti
bunyi wheezing, mengi, dll.
pernafasan.
6. Untuk mecukupi
6. Berikan kebutuhan oksigen
tambahan dan menurunkan
oksigen hipoksia serebral.
sesuai
kebutuhan
7. Kolaborasi 7. Meningkatkan
dalam ventilasi dan
pemberian membuang secret
obat-obatan dengan relaksasi otot
seperti halus/spasme bronkus
bronkodilator
.
2 Juma Setelah dilakukan 1. Kaji tanda 1. Menilai status dehidrasi,
t, 17- tindakan vital, elektrolit dan
10- keperawatan selama
tanda/gejala keseimbangan asam basa.
2014 1x24jam diharapkan
kebutuhan tubuh dehidrasi
pasien terhadap 2. Berikan
2. Sebagai upaya dehidrasi
cairan terpenuhi cairan oral
dengan kriteria hasil untuk mengganti cairan
: dan yang keluar.
parenteral
1. TTV dalam batas sesuai dengan
normal program
2. Membrane
rehidrasi
mukosa lembab
3. Turgor kulit baik 3. Pantau intake
4. Klien tidak lagi dan output.
mual dan muntah
3. Memberikan informasi
status keseimbangan
cairan untuk menetapkan
kebutuhan cairan
4. Kolaborasi pengganti.
dalam
pemberian
obat-obatan.
4. Pemberian obat-obatan
secara tepat dapat
mengatasi dehidrasi akibat
mual dan muntah.
IV. Implementasi
N Hari/Tg No.
Tindakan Keperawatan Respon Hasil Paraf
o l DX
1 Jumat, 1 20.30
17-10-
1. Mengkaji TTV klien 1. keadaan umum :
2014
Pukul lemah, kesadaran :
20.00 somnolen
TD : 100/70 mmHg,
S : 36,5 C
N : 76x/mnt, RR :
26x/mnt.
2. klien masih
tampak sesak dan
menggunakan selang
2. Mengkaji kepatenan
jalan nafas. O2 sebanyak 6 liter
4.adanya retraksi
dinding dada dan
4. Mengevaluasi
terdengar bunyi
gerakan dada dan
wheezing
auskultasi bunyi
pernafasan.
5.klien tampak
5. Memberikan
terbatu dengan
tambahan oksigen
sesuai kebutuhan adanya selang
oksigen yang
membantu klien
dalam bernafas.
6.keadaan umum
6. Berkolaborasi dalam klien lebih sedikit
pemberian obat- membaik dengan
obatan seperti adanya obat-obatan
bronkodilator yang diberikan.
a. Evaluasi
N Hari/Tgl/ No.
Evaluasi Paraf
o Pukul DX
Masalah teratasi
Masalah teratasi
P :
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
Bagi para tenaga kesehatan khususnya perawat atau dokter diharapkan agar tetap berhati-
hati dalam memberikan tindakan, terutama tindakan invasif. Sangat perlu diperhatikan obat-
obatan yang akan diberikan kepada pasien, sebelum melakukan pemberian obat-obatan dengan
cara injeksi harus melakukan skin test terlebih dahulu agar mengetahui apakah obat itu dapat
diterima oleh tubuh pasien atau tidak, agar tidak terjadi syok anafilaktik
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (Critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T.
Alumni : Bandung.
Sudoyo. W Aru, Dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Iv. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Swearingen .PL. 1995. Manual Of Critical Care Nursing. Mosby Year Book, Inc: St.Louis
Missouri.
Greenberg. Micahael I Dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I.Penerbit Erlangga :
Jakarta.