Anda di halaman 1dari 18

TAFLIS DAN AL-HAJR

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Melengkapi Tugas Kelompok

Disusun Oleh Kelompok II:

Erwin Syahputra Rambe (0501162113)


Siti Aminah Nasution (0501163215)
M. Chairul Abdi (0501163211)

Mata Kuliah :Fiqih Muamalah II


Dosen Pengampu :Marliyah, M.Ag, Dr

JURUSAN EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada kami, sehinga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang TAFLIS DAN AL-HAJR.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Untukyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima saran dan kritikan dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah
ilmiah tentang TAFLIS DAN AL-HAJR dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Medan, September 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................i

Daftar Isi ..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................

A. Pengertian Taflis ...........................................................................................3


B. Dasar Hukum Taflis ......................................................................................3
C. Penetapan Seseorang Yang Jatuh Pailit ........................................................5
D. Status Hukum Orang Pailit ............................................................................6
E. Penyitaan Harta Muflis .................................................................................8
F. Sanksi Bagi Orang Yang Tidak Mau Membayar Utang ...............................8
G. Pengertian Al-Hajr ........................................................................................9
H. Dasar Hukum Al-Hajr ...................................................................................10
I. Macam-Macam Al-Hajr ................................................................................11
J. Penyebab Al-Hajr ..........................................................................................11
K. Berakhirnya Status Al-Hajr ...........................................................................11
L. Hikmah Al-Hajr ............................................................................................12

BAB III PENUTUP .................................................................................................14

A. Simpulan .......................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rasulullah SAW, menetapkan Muaz bin Jabal sebagai orang yang terlilit
hutang dan tidak mampu melunasinya (pailit), lalu Rasulullah melunasi hutang Muaz
bin Jabal dengan sisa hartanya. Tetapi pihak yang berpiutang tidak menerima
seluruh pinjamannya, maka dia pun melakukan protes kepada Rasulullah. Protes
itu dijawab oleh Rasulullah dengan mengatakan: Tidak ada yang dapat diberikan
kepada kamu selain itu (HR. Daru-Quthni dan Al- Hakim)
Riwayat lain diunjukkan bahwa Umar bin Khatab pernah menahan harta
seseorang debitor untuk dibagi-bagikan kepada kreditor. Ringkasan dari riwayat itu
adalah: Usaifi dari warga Juhainah mempunyai hutang, tapi ia tidak mau
membayarnya. Maka Umar menahan hartanya dan memberitahukan kepada siapa
yang mempunyai piutang atasnya agar datang kepadanya untuk membagikan
hartanya (membayar hutang) (Disarikan dari riwayat Malik dan Daraquthni).
Dari sunnah Nabi dan Khalifah Umar bin Khatab tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa adanya wewenang penguasa atau hakim mengambil keputusan
taflis dan hajar terhadap debitor yang telah jatuh bangkrut dan dengan demikian
maka pernyataan taflis atau pailit harus ditetapkan melalui putusan hakim.
Al-Hajr berarti larangan dan penyempitan/pembatasan. Istilah hukum perdata
berarti pengampuan. Al-Hajr dalam fikih Islam ditemui dalam pembahasan tindakan
kecakapan melakukan tindakan hukum bagi seseorang. Al-Hajr maksudnya seseorang
dilarang melakukan tindakan hukum.

1
B. Rumusan Masalah :
1. Apa itu taflis?
2. Apa dasar hukum taflis?
3. Bagaimana penetapan seseorang yang jatuh pailit?
4. Bagaimana status hukum orang pailit?
5. Bagaimana penyitaan harta muflis?
6. Bagaimana sanksi bagi orang yang tidak mau membayar utang?
7. Apa itu al-hajr?
8. Bagaimana dasar hukum al-hajr?
9. Sebutkan macam-macam al-hajr?
10. Apa penyebab al-hajr?
11. Bagaimana berakhirnya status al-hajr?
12. Apa hikmah al-hajr?

C. Tujuan Penulisan :
1. Memahami taflis
2. Mengetahui dasar hukum taflis
3. Mengetahui penetapan seseorang yang jatuh pailit
4. Mengetahui status hukum orang pailit
5. Mengetahui penyitaan harta muflis
6. Mengetahui sanksi bagi orang yang tidak mau membayar utang
7. Memahami al-hajr
8. Mengetahui dasar hukum al-hajr
9. Mengetahui macam-macam al-hajr
10. Mengetahui penyebab al-hajr
11. Mengetahui berakhirnya status al-hajr
12. Mengetahui hikmah al-hajr

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. AT-TAFLIS (MUFLIS-PAILIT)
a. Pengertian
Secara etimologi, at-taflis berarti pailit (muflis) atau jatuh miskin. Dalam hukum
positif, kata pailit mengacu kepada keadaan orang yang terlilit oleh utang. Dalam
bahasa fiqh, kata yang digunakan untuk pailit adalah iflas (berarti: tidak memiliki
harta/fulus), sedangkan orang yang mengalami pailit disebut pailit dan putusan hakim
yang menetapkan bahwa seseorang jatuh pailit disebut taflis.1
Secara terminologi, at-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama fiqh
dengan :

Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak hukum atas hartanya.

Apabila seseorang dalam kehidupannya sebagai pedagang yang banyak


meminjam modal dari orang lain, ternyata perdagangan yang ia lakukan tidak lancar,
sehingga seluruh barang dagangannya habis, maka atas permintaan orang-orang yang
meminjami pedagang ini modal dagang, kepada hakim, pedagang ini boleh
dinyatakan sebagai orang yang jatuh pailit, sehingga segala bentuk tindakan
hukumannya terhadap sisa harta yang ia miliki boleh dicegah. Maksud pencegahan
tindakan hukum orang pailit ini adalah demi menjamin utangnya yang cukup banyak
kepada orang lain.
b. Dasar Hukum Penentuan Seseorang Jatuh Pailit
Atas penganduan orang-orang yang berpiutang, menurut para ulama fiqh,
seseorang yang terlilit utang pada mereka dapat diajukan sebagai tergugat kepada
hakim, sehingga ia dinyatakan jatuh pailit. Sebuah riwayat menyatakan bahwa

1
Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 191

3
Rasulullah SAW menetapkan Muaz ibn Jabal sebagai orang yang terlilit utang dan
tidak mampu melunasinya (pailit). Kemudian Rasulullah SAW melunasi utang Muaz
ibn Jabal dengan sisa hartanya. Akan tetapi, karena para piutang merasa piutangnya
tidak sepenuhnya dapat mereka terima, mereka melakukan protes kepada Rasulullah
SAW. Protes ini dijawab Rasulullah SAW dengan mengatakan :
} {

Tidak ada ang boleh diberikan kepada kamu selain itu. (HR ad-Daruqutni dan
al-Hakim)

Berdasarkan hadis ini, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa seorang
hakim berhak menyatakan seseorang jatuh pailit, dan tidak mampu membayar utang-
utangnya. Oleh sebab itu, hakim yang menyatakan seseorang jatuh pailit, berhak
melarang orang yang pailit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya, dan hakim
berhak melunasi utang orang yang pailit dari sisa hartanya, sesuai dengan prosentase
utangnya.2

Para ulama fiqh juga menyatakan bahwa dalam soal utang piutang, seorang
hakim tidak boleh melakukan intervensi terhadap harta orang lain, karena kaidah
umum dalam syariat Islam menyatakan bahwa:

Hak orang lain dipelihara secara syara.

Akan tetapi, dalam kasus seseorang yang tidak mampu lagi membayar utang-
utangnya, karena hartanya tidak ada lagi atau hartanya tidak cukup untuk membayar
seluruh utang itu, maka para ulama fiqh sepakat membolehkan hakim melakukan
intervensi untuk menyelesaikan utang itu. Pertimbangnnya, menurut pakar fiqh,
adalah bahwa pihak yang memberi piutang itu cukup banyak dan mengajukan

2
Ibid,.

4
tuntutan pada hakim. 3Dalam suatu penyelesaian perkara, hakim berkewajiban untuk
menetapkan mana yang paling baik. Dalam kasus seperti ini, terdapat dua
kemaslahatan yang bertentangan, yaitu kemaslahatan pribadi terutang dan
kemaslahatan para pemberi piutang. Menurut ulama fiqh, dalam memelihara
keseimbangan kemaslahatan inilah seorang hakim dinyatakan berhak ikut campur
dalam menyelesaikan persoalan orang pailit dengan orang-orang yang
mempiutanginya. Dengan demikian, menurut para ulama fiqh, intervensi hakim
adalah untuk menyelesaikan kasus orang pailit itu dengan sebaik-baiknya.4

c. Penetapan Seseorang Jatuh Pailit


Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh tentang penetapan seseorang jatuh
pailit dan statusnya berada di bawah pengampuan, apakah perlu ditetapkan melalui
keputusan hakim atau tidak. Ulama Malikiyah, dalam persoalan ini, memberikan
pendapat secara rinci.
Pertama, sebelum seseorang dinyatakan jatuh pailit, para pemberi piutang
berhak melarang orang yang jatuh pailit itu bertindak hukum terhadap sisa hartanya
dan membatalkan seluruh tindakan hukum yang membawa mudharat kepada hak-hak
mereka, seperti mewasiatkan hartanya, menghadiahkan, dan melakukan akad
mudharabah dengan orang lain. Adapun terhadap tindak hukumnya yang bersifat jual
beli dapat dibenarkan.
Kedua, persoalan utang piutang ini tidak diajukan kepada hakim, dan antara
yang berutang dengan orang-orang yang memberi utang dapat melakukan ash-shulh
(perdamaian). Dalam kaitan dengan ini, orang yang jatuh pailit itu tidak dibolehkan
bertindak hukum yang sifatnya pemindahan hak milik sisa hartanya, seperti wasiat,
hibah, dan kawin. Apabila tercapai perdamaian, maka pemberi utang berhak membagi
sisa harta orang yang jatuh pailit itu sesuai dengan prosentasi piutangnya.

3
Ibid,.

5
Ketiga, pihak yang memberi utang mengajukan gugatan (seluruhnya atau
sebagaiannya) kepada hakim agar orang yang berutang itu dinyatakan jatuh pailit,
serta mengambil sisa hartanya dan utang itu telah jatuh tempo pembayaran. Apabila
ketetapan hakim telah ada yang menyatakan bahwa orang berutang itu jatuh pailit,
maka orang-orang yang memberi utang berhak untuk mengambil sisa harta yang
berutang dan membaginya sesuai dengan persentase piutang masing-masing.
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa seseorang dinyatakan jatuh pailit
hanya berdasarkan ketetapan hakim, sehingga apabila belum ada putusan hakim
tentang statusnya sebagai orang pailit, maka segala bentuk tindakan hukumnya
dinyatakan tetap sah. Sebaliknya, apabila yang beruntung itu telah dinyatakan hakim
jatuh pailit, maka hakim berhak melarangnya untuk tidak bertindak hukum terhadap
sisa hartanya, apabila perbuatan itu akan membawa mudharat pada hak-hak orang
yang memberinya utang, dan hakim juga berhak menjadikannya di bawah
pengampuan, serta hakim berhak menahannya. Dalam masa tahanan itu hakim boleh
menjual sisa harta orang yang dinyatakan jatuh pailit dan membagi-bagikannya
kepada para pemberi utang, sesuai dengan persentase piutang masing-masing.5
d. Status hukum orang pailit (Muflis)
Para ulama fiqh juga mempersoalkan status hukum orang yang jatuh pailit.
Apakah seseorang yang telah dinyatakan jatuh pailit harus berada di bawah
pengampuan hakim atau harus ditahan/dipenjarakan? Dalam perosalan ini terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqh. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang
jatuh pailit tidak dinyatakan sebagai orang yang berada dibawah pengampuan,
sehinga ia tetap dipandang cakap untuk melakukan tindakan hukum. Menurutnya,
dalam perosalan harta, tindakan hukum seseorang tidak boleh dibatasi atau dicabut
sama sekali, karena harta itu adalah harta Allah, boleh datng dan boleh juga habis.
Oleh sebab itu, menurut Abu Hanifah, seseorang yang jatuh pailit karena terbelit
hutang tidak boleh ditahan atu dipenjarakan, karena memenjarakan seseorang berarti

5
Ibid,.

6
mengekang kebebasannya sebagai makhluk merdeka. Hal ini menurutnya lebih
berbahaya jika dibandingkan dengan mudharat yang diderita para pemberi utang.
Oleh sebab itu, hakim tidak boleh memaksa orang yang dililit utang itu untuk menjual
hartanya, tetapi hakim boleh memerintahkan untuk melunasi utang-utang itu. Apabila
perintah hakim itu tidak diikuti, maka hakim boleh menahannya sampai ia lunasi
utang, atau hakim menganjurkan agar orang pailit ini menjual sisa hartanya untuk
membayar utangnya itu.6
Menurut jumhur ulama, termasuk dua orang tokoh fiqh terkemuka mazhab
Hanafi, yaitu Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani,
seseorag yang telah dinyatakan pailit oleh hakim, boleh dianggap sebagai seorang
yang berada di bawah pengampuan, dan dia dianggap tidak cakap lagi bertindak
hukum terhadap hartanya yang ada. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memlihara
hak-hak orang yang memberi utang kepadanya. Menurut mereka, apabila tindakan
hukumnya terhadap harta yang masih ada tidak dibatasi, maka orang pailit ini akan
lalai membayar utangnya, yang pada akhirnya membuat perselisihan semakin kuat
antara para pemberi utang dengan orang yang pailit itu. Alasan jumur ulama dalam
membolehkan orang jatuh pailit dinyatakan di bawah pengampuan hakim adalah
sabda Rasulullah SAW. Tentang kasus Muaz ibn Jabal yang dikemukakan di atas.
Kemudian Jumhur ulama, selain Malikiyah menyatakan bahwa untuk menetapkan
orang yang jatuh pailit itu berada di bawah pengampuan, harus dipenuhi dua syarat
yaitu : utangnya meliputi atau melebihi sisa hartanya dan para pemberi utang
menetukan kepada hakim agar orang jatuh pailit itu ditetapkan berstatus di bawah
pengampuan.
Apabila seseorang telah dinyatakan jatuh pailit oleh hakim, maka para ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa segala tindak hukumnya dinyatakan tidak sah, harta
yang ada di tangnnya menjadi hak para pemberi piutang, dan sebaiknya kepailitannya
diumumkan, agar khalayak ramai mengetahui keadaanya, dan lebih berhati-hati

6
Ibid,.

7
dalam melakukan transaksi ekonomi dengan orang yang dinyatkan pailit itu. Namun,
apakah orang yang dinyatkan jatuh pailit itu boleh melakukan perjalanan ke luar
kota? Dalam persoalan ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama fiqh. Ulama
Hanafiyah dan Syafiiyah menyatakan bahwa para pemberi utang tidak boleh
melarang orang ang jatuh pailit itu melakukan perjalanan ke luar kota sebelum waktu
pembayaran jatuh tempo, karena mereka tidak berhak menuntut piutang mereka
sebelum jatuh tempo pembayaran, sekalipun orang itu telah dinyatakan jatuh pailit.
Akan tetapi, apabila masa pembayaran utang itu telah jatuh tempo, maka pemberi
utang berhak melarang orang pailit itu melakukan perjalanan ke luar bandar.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pemberi utang berhak
melarang orang jatuh pailit itu melakukan perjalanan apabila selama dalam
perjalanannya itu masa pembayaran jatuh tempo, karena diduga ia menghindari
tanggung jawab.
e. Penyitaan Harta Muflis
Seseorang yang telah jatuh bangkrut hartanya berhak disita atau dirampas untuk
membayar utang-utangnya. Adapun orang atau lembaga yang berhak menyitanya
adalah7 :
1. Orang yang mengutangkan, sebab dialah yang paling berhak atas
hartanya.
2. Juru sita bila perkara ini telah sampai pengadilan.
f. Sanksi Orang Yang Tidak Mau Membayar Utang
Bila orang yang telah jatuh bangkrut memiliki kesempatan untuk membayar
utang tetapi dilalikan, maka semua orang yang mengutangkan mengambil hartanya
dengan paksa dan diberi hukuman. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW : Orang
yang telah sanggup untuk membayar utang (kewajibannya), tetapi dilalikan, maka
boleh dirampas hartanya dan diberi ganjaran. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).

7
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012), h. 376

8
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda : Menunda-nunda (pembayaran) yang
dilakukan oleh orang yang mampu adalah suatu kedzaliman. (HR Jemaah).

B. AL-HAJR (MAHJUR-PENGAMPUAN)
a. Pengertian
Secara etimologi al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara
alaihi hajran artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam Al-
quran, kata al-hajr juga digunakan dalam arti akal, karena akal dapat menghambat
seseorang melakukan perbuatan yang berakibat buruk.8
Secara terminologi, di jumpai beberapa defenisi al-hajr yang dikemukakan oleh
ulama fiqh. Akan tetapi, pada dasarnya defenisi-defenisi itu secara substansial adalah
sama. Di kalangan ulama Hanafiyah sendiri terdapat dua defenisi yaitu :
Pertama:


Larangan bagi seseorang untuk melaksanakan akad dan bertindak hukum


terhadap hartanya.

Kedua:

Larangan khusus yang berkaitan dengan pribadi tertentu dalam tindakan


hukum tertentu pula.
Kemudian, ulama Syafiiyah dan Hanabilah, mendefinisikan al-hajr dengan:
Larangan melakukan tindakan hukum terhadap seseorang, baik larangan itu
datangnya dari syara seperti larangan tindakan hukum yang ditujukan kepada anak
kecil, orang gila, dan orang dungu, maupun muncul dari hakim, seperti larangan bagi
seorang pedagang untuk menjual barangnya.

8
Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 200

9
) adalah mencegah seseorang agar tidak bisa
Secara syariat, hajr (
leluasa mentasharufkan (menggunakan) hartanya sendiri.9
b. Dasar Hukum al-Hajr
Para ulama fiqh menyatakan bahwa yang menjadi landasan hukum untuk
menetapkan status seseorang di bawah pengampuan adalah firman Allah dalam surat
An-Nisa : 5 berikut :




Jangan kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalanya
harta mereka (yang dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta mereka itu), dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.10
Dalam ayat selanjutnya Allah berfirman :

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untk kawin. Kemudian
jika menurut pandanganmu mereka telah cerdas (untuk memelihara harta mereka)
serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.
Adapun landasan hukum al-hajr dalam sunnah Rasulullah dalam sebuah
riwayat yang berbunyi11 :

(



)


Dari Ibnu Kaab putera Malik, dari ayahnya ra, ia berkata : Bahwasanya
Rasulullah SAW pernah menyita barang kepunyaan Muadz dan melelangnya untuk

9
Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi. Ringkasan Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq. (Jakarta: Daarul Fath
Lil Ilamil Arabi, 2014), h. 948
10
Zainal Arifin Zakaria. Tafsir Inspirasi. (Medan: Duta Azhar, 2016), h. 101
11
Machfuddin Aladip. Terjemah Bulughul Maram. (Semarang: CV. Toha Putera), h. 430

10
membayar hutangnya. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Daru Quthni) Imam
Hakim menyatakan shahinya hadits ini, dan dikeluarkan pula oleh Imam Abu
Dawud sebagai hadits yang sanadnya kemursalannya.

Berdasarkan ayat dan hadits di atas para ulama menyatakan bahwa al-hajr itu
boleh karena seseorang kurang akal, seperti anak kecil dan orang gila, atau karena
tindakannya merugikan dirinya sendiri, seperti orang mubazir dan orang bodoh,
atau merugikan orang lain, seperti orang yang jatuh pailit dan mardh al-maut.

c. Macam-macam al-Hajr
Ada dua macam hajr, yaitu (1) hajr yang diterapkan untuk kemaslahatan hak
orang lain, seperti hajr terhadap muflis (pailit). Dan (2) hajr yang diterapkan untuk
kemaslahatan orang yang di-hajr, seperti hajr terhadap anak kecil, orang dungu,
dan orang gila.12
d. Penyebab al-Hajr
Para ulama fiqh mengemukakan terdepat beberapa penyebab seseorang
dihukumkan di bawah pengampuan. Penyebab itu ada yang mereka sepakati dan
ada pula yang mereka perselisihkan. Adapun al-Hajr yang disepakati adalah seperti
pengampuan terhadap anak kecil dan orang gila, karena mereka belum cakap
melakukan tindakan hukum atau karena kehilangan kecakapan melakukan tindakan
hukum. Pengampuan yang diperselisihkan, misalnya pengampuan terhadap orang
dungu dan orang yang terbelit utang. Pengampuan terhadap mereka bukan karena
tidak adanya kecakapan melakukan tindakan hukum, tetapi bertujuan untuk
menghindarkan orang lain mendapat mudharat dari tindakan mereka, atau
mencegah terjadinya mudharat pada diri mereka sendiri.13
e. Berakhirnya Status al-Hajr (Pengampuan)

12
Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi. Ringkasan Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq. (Jakarta: Daarul Fath
Lil Ilamil Arabi, 2014), h. 948
13
Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 204

11
Sesuai dengan kaidah ushul fiqh bahwa hukum itu berlaku sesuai dengan illat-
nya, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila illat (yang menyebabkan
seseorang ditetapkan di bawah pengampuan) telah hilang, oran itu bebas dari al-
hajr. Untuk anak kecil, status al-hajrnya berakhir jika telah mencapai usia baligh
dan cerdas. Untuk orang-orang bodoh dan dungu, status al-hajr berakhir dengan
cerdas dan sadarnya mereka atas tindakan yang mereka lakukan. Untuk orang gila
status al-hajrnya berakhir dengan sembuhnya dari gila, dan orang yang dalam
keadaan mardh al-maut berakhir pengampuannya dengan sembuhnya atau
wafatnya. Terakhir untuk orang yang pailit, status di bawah pengampuannya
berakhir apabila seluruh utang-utangnya dilunasi. Berakhirnya status dibawah
pengampuan berbeda pada setiap orang. Apabila status dibawaah pengampuan itu
ditetapkan melalui penetapan pengadilan, seperti orang pailit, maka pencabutan
status itu pun harus melalui putusan pengadilan. Akan tetapi, apabila status
pengampuannya itu tidak melalui pengadilan, seperti anak kecil, maka status
pengampuannya habis dengan hilangnya illat yang memyebabkan ia berada
dibawah pengampuan.
f. Hikmah al-Hajr
Para ulama fiqh menyatakan bahwa diberlakukannya seseorang berada
dibawah status pengampuan sehingga ia dinyatakan tidak cakap melakukan
tindakan hukum bukanlah merupakan pengekangan terhadap hak asasinya dan
pelecehan terhadap kehormatan dirinya sebagai manusia. Akan tetapi, pengampuan
ini diberlakukan syara demi untuk menunjukkan kepedulian syara terhadap orang-
orang seperti itu dalam soal muamalat, syara menginginkan agar tidak ada yang
dirugikan atau merugikan irang lain. Dengan demikian, apabila anak kecil, orang
gila, dan orang-orang yang bertindak mubazzir dijadikan status mereka berada di
bawah pengampuan, adalah untuk kemasalahatan diri merka sendiri, agar mereka
dalam seluruh muamalah yang mereka lakukaan tidak di tipu orang. 14 Orang yang

14
Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 203

12
jatuh pailit atau terkena mardh al-maut dibatasi tindakan hukumnya yang bersifat
pemindahan hak milik agar orang lain yang berhak atas hartanya itu tidak
dirugikan.

13
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN
Secara etimologi, at-taflis berarti pailit (muflis) atau jatuh miskin. Dalam hukum
positif, kata pailit mengacu kepada keadaan orang yang terlilit oleh utang. Dalam
bahasa fiqh, kata yang digunakan untuk pailit adalah iflas (berarti: tidak memiliki
harta/fulus), sedangkan orang yang mengalami pailit disebut pailit dan putusan hakim
yang menetapkan bahwa seseorang jatuh pailit disebut taflis.
Secara terminologi, at-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh para ulama fiqh
dengan :

Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak hukum atas hartanya.

Secara etimologi al-hajr berarti larangan, penyempitan dan pembatasan. Hajara


alaihi hajran artinya seseorang dilarang melakukan tindakan hukum. Dalam Al-
quran, kata al-hajr juga digunakan dalam arti akal, karena akal dapat menghambat
seseorang melakukan perbuatan yang berakibat buruk.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)

Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012)

Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi. Ringkasan Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq.


(Jakarta: Daarul Fath Lil Ilamil Arabi, 2014)

Zainal Arifin Zakaria. Tafsir Inspirasi. (Medan: Duta Azhar, 2016)

Machfuddin Aladip. Terjemah Bulughul Maram. (Semarang: CV. Toha


Putera)

15

Anda mungkin juga menyukai