BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan milik yang sangat berharga bagi seseorang, tanpa kesehatan berarti
segala aktivitas seseorang terhambat, oleh karena kondisi tubuh terganggu. Menyadari hal ini
maka setiap orang dituntut untuk dapat memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga tidak
akan mudah diserang oleh berbagai macam penyakit menular, dalam hal ini dapat
mempengaruhi social seseorang dalam hidupnya
Permasalahan penyakit Morbus Hansen ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya.
Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya
masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan
mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-
masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita morbus hansen menjadi tuna sosial, tuna
wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau
gangguan di lingkungan masyarakat.
2. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran langsung tentang Asuhan Keperawatan pada klien dengna
Morbus Hannsen
b. Tujuan Khusus
Untuk mengethaui gambaran tentang ;
Pengkajian keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen
Diagnosa Keperawatan dengan Morbus Hansen
Mengetahui rencana keperawatan pada klien dengan Morbus Hannsen
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Pengertian
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium leprae
yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik
bagian Atas kemudian menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat.
penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang
menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
2. Etiologi
Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta/ morbus Hansen yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron.
Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
3. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada,
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan
nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila
kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.Pada kusta
tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian
dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selulartinggi, sehingga makrofag
sanggup menghancurkan kuman.. Sayangnya setelah sernua kuman di fagositosis, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi
berlebinan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu sel Schwann
berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila
terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
. Patofisiologi
Mycobakterium Leprae
Masa inkubasi 2 10 tahun
Lesi pada kulit dan mukosa
Syaraf dan perifer/mati rasa
Respon tulang dan pemendekan jari-jari
Kerusakan bentuk tubuh karena infiltrasi kulit
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL).Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit darem
dengan cepat menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Walau masih kecil papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
kerinngat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous
dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi dikulit.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling infiltratif. Secara
topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan menggunakan Vaccinosteil
dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat
sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan tampak batang-batang merah
yang utuh, terputus-putus atau granuler.
b. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat dibaca
setelah 3 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim
test positif
6. Pencegahan
a. Penerangan dengan memberikan sedikit penjelasan tentang seluk beluk penyakit lepra pada
pasien;
b. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutic.
c. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra
7. Pengobatan
obat-obatan umum yang biasa dipakai dalam pengobatan Morbus Hansen :
a. PB ( Tipe kering )
Pengobatan bulanan :hari pertama : 2 Kapsul Rifampisin I Tablet Dapsone (DDS)
Pengobatan harian : hari ke 2 28 : tablet Dapsone (DDS) Lama pengobatan : 6 Blister
diminum selama 6 9 bulan
b. MB ( Tipe basah )
Pengobatan bulanan : hari pertama :2 Kapsul Rifampisin 3 Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone
pengobatan harian : hari ke 2 28 :1 Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone (DDS) lama
pengobatan : 12 blister diminum selama 12 18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Mencakup Nama, umur Jenis Kelamin alamat, pekerjaan pendidikan agama dll.
2. Riwayat Kesehatan
o RKD
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit misalnya: penyakit
panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau dengan kata lain personal higine
klien yang kurang baik
o RKS
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat
tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya Komplikasi pada organ tubuh dan gangguan
perabaan ( mati rasa pada daerah yang lesi )
o RKK
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman
kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu
anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular
3. Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup
diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita
6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
a. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip
berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan
rontok
b. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada
tenggorokan.
c. Sistem Persyarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati
rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/ hilangnya reflek kedip.
d. Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan
dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
e. Sistem Integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan),
infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi
gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit
kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat
bercak.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa I : Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-
angsur sembuh.
Kriteria hasil :1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji / catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai
sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada
jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya
komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan
lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional: Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
Diagnosa 2 : Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-
angsur hilang
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan
nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri.
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri
Dianosa 4 : Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri
meningkat
Kriteria: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative
Intervensi :
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan
dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku
menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu
perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang
salah
Rasional: Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun
tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu
pasien
UHAN KEPERAWATAN
Luka bakar adalah luka yang dapat timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi, syok
Luka oleh karena kontak dengan agen bersuhu tinggi, seperti api, air panas, listrik,
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Yefta Moenadjat,
2003).
Cedera kulit oleh karena perpindahan energi dari sumber panas ke kulit (Effendi,
a. Air panas
b. Api
g. Sinar matahari
natrium, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel dan menyebabkan terjadinya
edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan hemokonsentrasi. Kehilangan
cairan tubuh pada klien luka bakar dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
permeabilitas pembuluh darah, perbedaan tekanan osmotik intra dan ekstra sel.
yang mengakibatkan kehilangan Na, air dan protein plasma serta edema jaringan diikuti
dengan; penurunan curah jantung, hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada
Dengan menurunnya volume intravaskuler, maka aliran plasma ke ginjal dan GFR
Sepertiga dari klien-klien luka bakar akan mengalami masalah pulmoner yang
berhubungan dengan luka bakar. Meskipun tidak terjadi cedera pulmoner, hipoksia (starvasi
oksigen) dapat dijumpai. Pada luka bakar yang berat, konsumsi oksigen oleh jaringan tubuh
klien akan meningkat dua kali lipat sebagai akibat dari keadaan hipermetabolisme dan repon
lokal.
Karbonmonoksida mungkin merupakan gas yang paling sering menyebabkan cedera inhalasi
karena gas ini merupakan produk sampingan pembakaran bahan-bahan organik. Efek
Respon umum yang biasa terjadi pada klien luka bakar >20% adalah penurunan
aktivitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek repson hipovolemik dan
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar. Semua tingkat respon
imun akan dipengaruhi nsecara merugikan. Kehilangan integritas kulit diperparah lagi dengan
pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, perubahan kadar imunoglobulin serta
(limfositopenia). Imunosupresi membuat klien luka bakar berisiko tinggi untuk mengalami
sepsis.
Karena itu klien-klien luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang rendah dalam
beberapa jam pertama pasca luka bakar, tetapi kemudian setelah keadaan hipermetabolisme
menyetel kembali suhu inti tubuh, klien luka bakar akan mengalami hipertermi selama
sebagian besar periode pasca luka bakar kendati tidak terdapat infeksi.
a) Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses
eksudasi.
b) Dijumpai bullae.
d) Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal.
2). Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh.
3). Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari, tanpa operasi penambalan kulit
(skin graft).
2). Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar
masih utuh.
3). Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang tersisa. Biasanya penyembuhan
terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan. Bahkan perlu dengan operasi penambalan kulit
(skin graft).
a) Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam.
b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami
kerusakan.
d) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, karena kering letaknya lebih rendah
e) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar.
f) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf sensorik
mengalami kerusakan/kematian.
g) Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka.
terkena (Total Body Surface Area atau TBSA) yang dihitung berdasarkan persentase,
misalnya dengan cara Rule of Nine dari Wallace dan derajat kedalaman luka bakar.
Disamping faktor tersebut ternyata masih terdapat faktor-faktor lain yang berperan
menentukan berat ringannya luka bakar seperti usia, ada/tidaknya cedera inhalasi, dan
sebagainya.
a) Derajat II-III > 20% pada klien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun.
b) Derajat II-III > 25% pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama.
d) Adanya trauma pada jalan napas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar.
a) Luka bakar dengan luas 15-25% pada dewasa, dengan luka bakar derajat III < 10%.
b) Luka bakar dengan luas 10-20% pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan
c) Luka bakar dengan derajat III < 10% pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka,
b) Luka bakar dengan luas < 10% pada anak dan usia lanjut.
c) Luka bakar dengan luas < 2% pada segala usia; tidak mengenai muka, tangan, kaki dan
perineum.
5. Pembagian Zona Kerusakan Jaringan
a. Zona koagulasi
panas.
b. Zona statis
Daerah yang berada lansgsung di luar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan
endotel pembuluh darah disertai kerusakan trobosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan
perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berakhir dengan
nekrosis jaringan.
c. Zona hiperemi
Daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak
a. Fase darurat/resusitasi
Fase ini berlangsung dari awitan cedera hingga selesainya resusitasi cairan. Pada fase
ini problema yang ada berkisar pada gangguan saluran nafas karena adanya cedera inhalasi
dan gangguan sirkulasi. Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
Fase akut atau intermediat berlangsung sesudah fase darurat/resusitasi dan dimulai 48
hingga 72 jam setelah terjadi luka bakar. Selama fase ini, perhatian ditujukan pada
pengkajian dan pemeliharaan yang berkesinambungan terhadap status respirasi dan sirkulasi,
keseimbangan cairan dan elektrolit, serta fungsi gastrointestinal. Perawatan luka bakar dan
pengendalian nyeri merupakan prioritas pada tahap ini. Pada tahap ini sudah dipertimbangkan
c. Fase rehabilitasi
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah
pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur
dan deformitas lain yang terjadi karapuhan jaringan atau organ-organ strukturil (misal,
bouttonierre deformity).
Kebutuhan klien untuk dirawat di rumah sakit ditentukan berdasarkan pada keparahan
cedera luka bakar yang dideritanya. Berikut ini adalah kondisi dimana klien harus dirawat di
a. Luka bakar derajat II > 15% pada dewasa dan > 10% pada anak.
b. Luka bakar derajat II pada muka, leher, tangan, kaki dan perineum.
c. Luka bakar derajat III > 2% pada dewasa dan setiap derajat III pada anak.
Penatalaksanaan klien luka bakar sesuai dengan kondisi dan tempat klien dirawat
melibatkan berbagai lingkungan perawatan dan disiplin ilmu antara lain mencakup
penanganan awal (di tempat kejadian), penanganan pertama di unit gawat darurat,
penanganan klien luka bakar di ruang perawatan intensif dan penanganan klien luka bakar di
bangsal perawatan atau unit luka bakar (Christantie Effendi, S.Kp., 1999).
anjurkan korban untuk berguling-guling atau bungkus tubuh korban dengan kain basah dan
pindahkan segera korban ke ruangan yang cukup berventilasi jika kejadian luka bakar berada
di ruangan tertutup.
3) Kaji kelancaran jalan napas korban, beri bantuan pernapasan (life support) dan oksigen jika
diperlukan.
4) Beri pendinginan dengan merendam korban dalam air bersih yang bersuhu 20 oC (suhu air
yang terlalu rendah akan menyebabkan hipotermia) selama 15-20 menit segera setelah
terjadinya luka bakar (jika tidak ada masalah pada jalan napas korban).
5) Jika penyebab luka bakar adalah zat kimia, siram korban dengan air sebanyak-banyaknya
6) Kaji kesadaran, keadaan umum, luas dan kedalaman luka bakar dan cedera lain yang
7) Segera bawa penderita ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut (tutup tubuh korban
3) Kaji adanya kesulitan menelan atau bicara (kemungkinan klien mengalami trauma inhalasi).
4) Kaji adanya edema saluran pernapasan (mungkin klien perlu dilakukan intubasi atau
trakheostomi).
5) Kaji adanya faktor-faktor lain yang memperberat luka bakar seperti adanya fraktur, riwayat
penyakit sebelumnya (seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dll) dan penyebab luka bakar
6) Pasang infus (IV line). Jika luka bakar > 20% derajat II/III biasanya dipasang CVP
9) Beri terapi cairan intra vena (kolaborasi dengan dokter). Biasanya diberikan sesuai formula
Parkland yaitu 4 ml/kg BB/ % luka bakar pada 24 jam pertama. Pada 8 jam I diberikan dari
kebutuhan cairan dan pada 16 jam II diberikan sisanya (disesuaikan dengan produksi urine
tiap jam)
10) Beri terapi oksigen sesuai kebutuhan . pada klien yang mengalami trauma inhalasi/gangguan
Pada kondisi klien yang makin memburuk, perlu adanya penanganan secara intensif di
unit perawatan intensif terutama klien yang membutuhkan alat bantu pernapasan (ventilator).
Hal yang harus diperhatikan selama klien dirawat di unit ini meliputi:
jam.
4) Amati GCS.
10) Pengisapan lendir (suction) minimal setiap 2 jam dan jika perlu.
12) Perawatan mata dengan memberi salep atau tetes setiap 2 jam.
15) Perawatan daerah invasif seperti daerah pemasangan CVP, kateter, tube setiap hari.
19) Periksa lab darah: elektrtolit, ureum/creatinin, AGD, protein (albumin), gula darah
Klien luka bakar memerlukan waktu perawatan yang lama karena proses
penyembuhan luka yang lama terlebih pada klien dengan luka bakar yang luas dan dalam.
Tindakan perawatan yang utama dalam merawat klien di unit luka bakar yaitu
perawatan luka, pengaturan posisi, pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat, pencegahan
Perawatan luka bakar ada dua yaitu perawatan terbuka dan perawatan tertutup.
Perawatan terbuka yaitu perawatan tanpa menggunakan balutan setelah diberi obat topikal.
Perawatan tertutup dengan menggunakan balutan gaas steril setelah diberikan obat topikal
atau tulle yang mengandung chlorhexidine 0,05%, gaas lembab (moist) dengan NaCl 0,9%
dan gaas kering. Penggunaan obat topikal disesuaikan dengan kedalaman luka bakar. Luka
bakar grade II superficial menggunakan chlorampenicol zalf mata, sedangkan luka bakar
penggunaan handschoen, masker, topi, baju steril; teknik bersih dan aseptik).
Selain hal-hal di atas, perlu juga diperhatikan teknik memandikan pasien luka bakar.
BAKAR (COMBUSTIO)
Asuhan keperawatan pada klien luka bakar disesuaikan dengan fase luka bakar.
a. Pengkajian
3) Asupan dan keluaran cairan, residu urine saat pertama kali dipasang cateter.
4) Berat jenis urine, warna urine, pH, kadar glukosa, aseton, protein serta nilai hemoglobbin.
5) Berat badan, riwayat berat pra-luka bakar, alergi, imunisasi tetanus, masalah medik serta
6) Tingkat kesadaran, status fisiologik, tingkat nyeri serta kecemasan dan perilaku klien.
Diagnosa keperawatan
1) Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan keracunan karbon monoksida, inhalasi
2) Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan edema dan efek dari inhalasi
asap.
3) Kurang volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan
4) Hipotermia yang berhubungan dengan gangguan mikrosirkulasi kulit dan luka yang terbuka.
5) Nyeri yang berhubungan dengan cedera jaringan serta saraf dan dampak emosional dari luka
bakar.
b. Perencanaan
a. Pengkajian
3) Rasa nyeri.
4) Respon psikososial.
b. Diagnosa keperawatan
1) Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan pemulihan kembali integritas kapiler
2) Risiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan hilangnya barier kulit dan terganggunya
respon imun.
3) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan hipermetabolisme
5) Nyeri yang berhubungan dengan saraf yang terbuka, kesembuhan luka dan penanganan luka
bakar.
6) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan edema luka bakar, rasa nyeri dan
kontraktur persendian.
7) Koping tidak efektif yang berhubungan dengan perasaan takut serta ansietas, berduka dan
11) PK : Perdarahan GI
13) PK : Sepsis
c. Perencanaan
a. Pengkajian
1) Tingkat pendidikan klien, pekerjaan, kegiatan rekreasi, latar belakang budaya, agama dan
interaksi keluarga.
3) Pemeriksaan jasmani: rentang gerak sendi, kemampuan fungsional dalam aktivitas sehari-
mandiri.
b. Diagnosa keperawatan
1) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan raasa nyeri ketika melakukan latihan,
mobilitas sendi yang terbatas, pelisutan otot dan ketahanan tubuh (endurance) yang terbatas.
2) Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan perubahan pada penampakan fisik dan
konsep diri.
3) Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah sesudah klien pulang dari rumah sakit dan
c. Perencanaan