Anda di halaman 1dari 12

BUKTI KLINIS INFLAMASI YANG MENYEBABKAN CEDERA OTAK SEKUNDER

Systematic review

ABSTRAK

Latar belakang walaupun pencegahan dan terapi telah berkembang sedemikan pesatnya, traumatic
brain injury (TBI) masih merupakan penyakit yang menyisakan pekerjaan berat. 2% dari populasi di
amerika hidup dengan kecacatan yang ditimbulkan oleh cedera otak traumatik. Pengetahuan yang
terkini tentang inflamasi dan dampaknya pada patofisiologi trauma meningkatkan perhatian pada
inflamasi sebagai faktor yang mempengaruhi hasil dari cedera otak traumatik.

Tujuan tujuan dari systematic review ini adalah menjawab pertanyaan apa bukti inflamasi pada
manusia yang berhubungan dengan cedera otak sekunder? bukti eksperimental telah dipaparkan
diberbagai penelitian, review ini akan fokus pada bukti klinis inflamasi yang menyebabkan cedera otak
sekunder.

Sumber data data base Medline (minggu pertama 1996- 1 juni 2014), Pubmed dan data base google
cendekia yang relevan terhadap review.

Kriteria eligibilitas data- penelitian dianggap memenuhi syarat jika melibatkan partisipan
dewasa/anak dengan cedera otak traumatik sedang sampai berat pada fase akut, yang dipublikasikan
di Inggris. Penelitian dipublikasikan dalam satu dekade terhitung sejak (2004). Penelitian dalam
bentuk observasional maupun intervensional.

Penilaian dan metode sintesis- untuk menilai sebuah penilitian / studi kami menggunakan
rekomendasi sesuai GRADE (Grades of recommendation, Assessment, Development dan Evaluation)
untuk menilai keterbatasan dari studi.

Hasil- Trauma memicu inflamasi pada sistem saraf pusat seperti halnya aktivasi sistem imun sistemik.
Telah banyak studi observasional mendiskripsikan peningkatan dari sitokin pro-inflamasi yang
berhubungan dengan variabel klinis meliputi outcome fungsi neurologis dan mortalitas. Sebagian kecil
dari studi memasukkan strategi imunomodulasi, tetapi tidak ada intervensi yang terbukti efektif untuk
meningkatkan outcome dari cedera otak traumatik.

Keterbatasan- inklusi dari studi yang tidak diawali dengan istilah pencarian menjadi salah satu faktor
bias. Terlebih lagi beberapa laporan tereksklusi karena memakai terminologi yang tidak sesuai dengan
pencarian. Kesimpulan dan implikasi dari kunci pencarian Clinical evidence of inflamation causing
secondary brain injury in human sedang dalam perhatian lebih. pada saat inflamasi muncul, dari
literatur masih tidak disebutkan dari titik mana inflamasi mengalami maladaptasi yang memicu cedera
otak sekunder daripada memfasilitasi perbaikan dan mengidentifikasi pasien dengan inflamasi yang
maladaptif (neuroinflamasi, sistemik maupun keduanya) setelah cedera otak sekunder masih
merupakan hal yang sulit dilakukan. Agonis dan antagonis direk merupakan hal yang perlu dianalisa
pada studi selanjutnya.

Level evidence Systemic review level III

Latar Belakang: Cedera otak sekunder peran dari inflamasi?

Walaupun pencegahan dan terapi telah berkembang sedemikan pesatnya, traumatic brain injury (TBI)
masih merupakan penyakit yang menyisakan pekerjaan berat. 2% dari populasi di amerika hidup
dengan kecacatan yang ditimbulkan oleh cedera otak traumatik. Perhatian publik pada cedera otak
traumatis terpusat pada prevalensi cedera otak pada bidang militer dan olahraga profesional. Hingga
kini cedera otak masih merupakan topik kesehatan masyarakat yang masih memerlukan inovasi terapi
dan bertujuan untuk meningkatkan outcome fungsional. Pengetahuan yang terkini tentang inflamasi
dan dampaknya pada patofisiologi trauma meningkatkan perhatian pada inflamasi sebagai faktor yang
mempengaruhi hasil dari cedera otak traumatik.

Setelah terjadinya trauma, fase kedua dari cedera otak akan dimulai. Cedera otak sekunder dihasilkan
dari rangkaian kompleks yang dimulai setelah sesaat terjadinya trauma dan berlanjut sampai periode
hospitalisasi. Investigasi dari cedera otak sekunder merupakan faktor kunci untuk mencegah kecacatan
setelah mendapat cedera otak traumatik. Cedera otak sekunder dihasilkan dari berbagai macam faktor
host meliputi edema, iskhemia, eksitotoksisitas dan inflamasi. Eksitotoksisitas terjadi ketika neuron
yang rusak mengeluarkan neurotransmiter dalam jumlah yang besar, khususnya glutamat. Pada kondisi
eksperimental meningkatnya inflamasi dikenal sebagai faktor penting pada cedera otak sekunder.
Tetapi Secara klinis kontribusi dari inflamasi pada cedera otak sekunder belum dikenal secara baik.
Trauma dengan atau tanpa cedera otak traumatik, menghasilkan disregulasi dari sistem imun, memicu
kerentanan pasien terhadap infeksi nosokomial yang menyebabkan hasil yang buruk. Para peneliti
mulai mengalihkan perhatiannya pada disfungsi sistem imun sebagai faktor penyebab perburukan
fungsi neurologis. Bukti klinis pada manusia masih sedikit jika dibandikan pada hewan percobaan.
Teknologi yang terkini memungkinkan untuk mengevaluasi penanda inflamasi seperti sitokin dan
kemokin pada tatanan klinis yang sangat penting untuk penelitian klinis.

Tujuan- tujuan dari systematic review ini adalah menjawab pertanyaan apa bukti inflamasi pada
manusia yang berhubungan dengan cedera otak sekunder? bukti eksperimental telah dipaparkan di
berbagai penelitian, review ini akan fokus pada bukti klinis inflamasi yang menyebabkan cedera otak
sekunder. Review ini terbagi menjadi 3 bahasan 1. Patofisiologi dari cedera otak 2. Observasi terhadap
hubungan inflamasi dengan cedera otak sekunder dan 3. Percobaan klinis yang menampilkan minimal
mekanisme inflamasi pada cedera sekunder. Kami menggunakan kriteria PRISMA sebagai struktur
dan sistematik review ini.

Sumber Data dan Kriteria Eligibilitas Studi

Basis data Medline (minggu pertama 1996-1 juni 2014), Pubmed dan basis data google cendekia yang
relevan terhadap review. Penelitian dianggap memenuhi syarat jika melibatkan partisipan dewasa/
anak dengan cedera otak traumatik sedang sampai berat pada fase akut, yang dipublikasikan di inggris,
dengan memprioritaskan pada studi yang dilakukan satu dekade terakhir. Semua cedera otak traumatik
baik sedang sampai berat (diffuse axonal injury, hemoragic contusio) masuk dalam kriteria. Cedera
otak sekunder didefinisikan sebagai proses terganggunya metabolisme neuron sehingga menyebabkan
cedera lebih lanjut atau menginisiasi kematian sel. Pada OVID terminologi pencarian meliputi
(traumatic brain injury atau brain injuries) dan (inflamation mediators/or inflamation atau neurogenic
inflamation) AND (human). Pubmed dan basis data google cendekia juga dimasukkan dengan kata
kunci Secondary injury dan Cytokine. Sebagai tambahan kami juga memeriksa daftar pustaka dan
memasukkan artikel sebagai pelengkap. Hasil pencarian terangkum dalam gambar di bawah ini:

Penilaian dan Metode Sintesis- untuk menilai sebuah penilitian/studi kami menggunakan
rekomendasi sesuai GRADE (Grades of Recommendation, Assessment, Development dan evaluation)
untuk menilai keterbatasan dari studi. Kami melakukan deskripsi untuk menilai hasil. Studi masuk
bagian dari hubungan asosiasi antara disregulasi sistem imun dan cedera otak sekunder dan otak yang
telah mengalami cedera antara taget imunologi dengan organ efektor di observasi secara alamiah dan
tidak terintervensi. Bagian tujuan dimasa depan : terapi dan uji klinis berisi data controled clinical trial
yang berisi bukti klinis yang kuat tetapi hanya sedikit rekomendasi yang kuat.

Cedera Otak : Antara Target Imunologik dan Organ Efektor

Pada otak, inflamasi lokal maupun sistemik berdampak pada cedera otak sekunder, masih sedikit yang
menjelaskan terkait kesamaan serebral pada respon inflamasi sistemik/kompensasi antiinflamasi.
Perlindungan atau keistemawaan fungsi imunologi yaitu pada saat otak pada kondisi cedera otak
sedang sampai berat. Hilangnya fungsi perlindungan blood brain barrier (BBB),terjadinya aliran dua
arah dari mediator inflamasi dari sirkulasi sistemik ke dalam otak. Otak disebut sebagai target organ
dan organ efektor, sel glial dan neuron keduanya memproduksi mediator imunologis (komplemen,
protein fase akut dan sitokin) dan menunjukan reseptor untuk substansi tersebut. Perubahan lokal ini
memicu kerusakan jaringan dan respon sistemik.

Kerusakan Blood Brain Barrier

Pasca cedera traumatis maka dapat dikategorikan menjadi 2 fase yaitu 1. Krisis metabolik dan 2.
Eksositotoksisitas. Sebagai respon dari cedera jaringan secara langsung maka terjadi pengaturan dari
metabolisme serebral, memicu akumulasi dari asam laktat yang disebabkan karena glikolisis anaerob,
peningkatan permeabilitas membran, dan pembentukan edema. Kegagalan fungsi autoregulasi,
menyebabkan kegagalan suplai energi. Di saat bersamaan terjadi pengeluaran secara masif
neurotransmiter eksitatori, menyebabkan kerusakan oksidatif. Konsekuensi dari proses tersebut adalah
degradasi dari membran dan kerusakan barrier dari otak. Kerusakan dari membran akan menfasilitasi
molekul sistem imun untuk melintasi keluar dan masuk pada area otak yang cedera secara tidak
terkontrol. Kerusakan barier otak juga terjadi pada kasus cedera otak difus.

Inflamasi Lokal

Sebagai respon dari cedera primer, sel penyokong dari otak, mikroglia menjadi teraktivasi, melepaskan
protein sinyal meliputi sitokin dan danger assosiated mollecular pattern (DAMP). Mayoritas dari
molekul tersebut diproduksi sistem saraf pusat yaitu mikroglia yang memiliki peran pada mekanisme
inflamasi dan pemulihan setelah trauma. Terlebih lagi, neuron sendiri akan mensintesis kemokin.
Sinyal sitokin dari sistem imun perifer masuk ke otak melalui blood brain barier yang mengalami
kerusakan. Sel yang rusak maupun mati akan mengeluarkan DAMPs yang akan mengaktivasi innate
imun sistem, memicu produksi sitokin. DAMPs terdiri dari berbagai jenis molekul sebagai contoh
S100B16 dan mitokondrial DNA. Semua sinyal protein berfungsi sebagai biomarker yang memberikan
pertanda adanya aktivasi dari sistem imun.

Observasi Hubungan Antara Disregulasi Dari Sistem Imun dan Cedera Otak Sekunder

Para peneliti dan klinisi tengah mencari biomarker yang tepat yang mencerminkan status imunologik
pasca cedera otak traumatik akut. Pemilihan biomarker yang tepat akan sangat membantu para klinisi
untuk memberikan terapi yang selektif yang bersifat personal. Kondisi heterogenisitas setelah cedera
otak traumatik merupakan salah satu alasan kegagalan berbagai klinikal trial dalam merumuskan terapi
yang efektif. Sementara keingin tahuan semakin bertambah, data yang mempertimbangkan penanda
inflamasi menyisakan teka-teki untuk dipecahkan. Tabel 1 menampilkan ringkasan studi yang paling
sering terkait modulasi sistem imun dan hubungan klinis yang relevan. Tingginya level marker pro
inflamasi berhubungan dengan outcome yang buruk, walaupun tidak dievaluasi di setiap studi. Sitokin
proinflamasi inteleukin 1 (IL-1), IL-6, dan IL-8 begitu juga IL-10 (antiinflamasi) menunjukan
hubungan parameter yang penting setelah TBI, yang menunjukkan hasil yang buruk. Peningkatan
marker tersebut menunjukkan peningkatan dari prognosis daripada perburukan hasil. Contohnya.
Ekspresi dari kemokin fractalkine berhungan dengan rendahnya tekanan intrakranial. Hanya sedikit
nonsitokin marker protein yang memberikan informasi inflamasi setelah cedera otak : glial fibrilari
acidic protein (GFAP), SBDP145 dikenal dengan inflammasome, merupakan protein komplek yang
memicu aktivasi penurunan produksi dari 1 (IL-1), dan IL-8 matur.

Tantangan tambahan adalah menentukan dimana tempat yang tepat untuk mengevaluasi marker
tersebut (darah, cairan serebrospinal atau cairan ekstraselular). Kebanyakan studi menilai level dalam
27 jam pertama atau mengambil nilai terbesar dalam periode akut. Metode yang berbeda akan
membuat perbandingan yang berbeda. Pada akhirnya kompleksitas dari resultan data tidak dapat
diabaikan begitu saja. Interaksi protein dengan yang lainnya pada dimensi waktu merupakan interaksi
yang kompleks dan dinamis. Salah satu jalan untuk menilai kompleksitas ini melalui metode statistik
seperti analisa komponen utama untuk menghitung kovarian dari marker.
Darah Perifer

Sebagai dampak dari kegagalan fungsi BBB, peneliti meneliti penanda inflamasi yang berasal dari
sistem saraf pusat pada pembuluh darah perifer. Selama dekade terakhir, beberapa studi yang
mengaitkan hubungan antara peningkatan sitokin proinflamasi dan penanda penurunan fungsi
neurologis telah dipublikasikan contohnya peningkatan TIK menurunkan CPP (cerebral perfusion
pressure), memiliki outcome yang buruk tergambar dari skor GCS yang rendah dan angka kematian
yang tinggi. Pada waktu yang bersamaan sitokin imunosupresif akan ditingkatkan ekspresinya oleh T
limfosit yang teraktivasi. Pada umumnya marker pro inflamasi berhubungan dengan tingkat cedera
dan dapat memprediksikan perburukan di fase berikutnya. Level sitokin proinflamasi IL- dalam
waktu 6 jam berkebalikan dengan level GCS pada admisi (masuk rumah sakit). -kemokin RANTES
sejalan dengan gambaran radiologis derajat keparahan pada CT scan. Serum IL-8 dan TNF
berhubungan dengan peningkatan TIK. Secara spesifik level yang tinggi berhubungan dengan dosis
(tekanan x waktu) dari TIK lebih dari 20mmhg. Investigator yang sama juga mengidentifikasi
bahwasannya peningkatan TIK dan kondisi hipoperfusi serebral dapat disimpulkan bahwa marker
inflamasi dapat digunakan untuk memprediksi perburukan fungsi neurologis. Walaupun demikian
tidak terdapat hubungan yang langsung antara serum TNF dengan hasil. Serum IL-8 pada hari
pertama setelah cedera dapat digunakan sebagai prediktor yang bagus ketika digabungkan dengan
GCS setelah resusitasi. Demikian juga, IL-8 akan memiliki hubungan berkebalikan dengan GCS jika
diukur 7 hari pasca cedera. Data bercampur dengan melihat IL-6, beberapa studi memperlihatkan
bahwa peningkatan level berhubungan dengan peningkatan TIK dan prognosis yang buruk, walaupun
pada studi lain tidak menemukan hubungan dengan outcome. Pada cedera otak traumatik ringan dan
sedang GFAP-BDPs berhungan denga tingkat keparahan cedera seperti yang ditampilkan oleh GCS
dan CT scan. Salah satu alasan yang melandasi adalah sitokin proinflamasi dan prognosis buruk
berhubungan kegagalan multi organ. Banyak study observasional prospektif dari post trauma dengan
atau tanpa cedera otak traumatis menunjukkan puncak multifasik dari IL-6 dan IL-8 dengan kegagalan
multiorgan dan mortalitas. Kemungkinan yang lain adalah bahwa inflamasi menyebabkan gangguan
koagulopati. Peningkatan IL-6 bersamaan dengan abnormalitas koagulopati pasca cedera otak
traumatis, waulupun bukti klinis masih harus dicari.

Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal didapatkan dari drainase ventrikular, walaupun beberapa studi telah meneliti dari
hasil pungsi lumbal. Pola marker dari inflamasi diamati pada darah perifer cenderung juga dapat dilihat
pada cairan serebrospinal, meskipun ekspresinya lebih rendah jika dibandingkan pada plasma. Sebagai
contoh pada salah satu studi, peneliti membandingkan level IL-6 dan IL-1 pada serum dan CSF, hasil
yang didapat adalah level dari masing-masing susbstan adalah dua kali lebih tinggi pada CSF jika
dibandingkan pada darah perifer. IL- 10 dalam hal ini juga memiliki pola yang sama pada pasca cedera
otak traumatis. Hasil observasi seperti diatas telah mendorong para peneliti untuk meyakini bahwa
level yang tinggi pada CSF menunjukkan produksi terjadi pada intratekal. Tentu saja, pada sampel
postmortem, jaringan otak pasca akut, cedera otak traumatis berat IL-6, IL-8, TNF dan IL-1 dan
level mRNA semuanya meningkat, menguatkan dugaan sintesis pada sistem saraf pusat. IL-8 pada
cairan serebrospinal juga berhungan dengan mortalitas pada pasien anak dan dewasa. Rasio antara CSF
dengan pembuluh darah perifer kemungkinan menggambarkan tingkat kerusakan BBB, meskipun
produksi sistemik dari sitokin tidak dapat diabaikan. Mayoritas kelompok menunjukan tingginya
marker proinflamasi berhubungan dengan prognosis yang buruk, tetapi salah satu studi menunjukan
tingginya IL-6 pada CSF berhubungan dengan prognosis yang baik. Untuk merekonsiliasi temuan yang
kontradiktif, ditarik hipotesis bahwasannya produksi lokal pada serebral memiliki efek proteksi,
sedangkan produksi masif pada sistemik akan memicu respon inflamasi yang memiliki efek destruktif.
Pada kelompok lain didapatkan tingginya level marker anti-inflamasi (IL-1ra, sTNFr-I, IL-10)
berhubungan dengan tingginya tekanan intrakranial dan prognosis yang buruk, dari hal tersebut
peneliti menimpulkan tingginya sitokin anti-inflamasi mungkin terkait dengan tingkat keparahan
cedera otak, daripada sebab dari cedera yang sedang berlangsung. Peningkatan dari IL-10 berhubungan
dengan mortalitas pada beberapa studi, meskipun tidak pada studi yang lain.
Sebagai tambahan, terdapat hubungan antara sitokin proinflamasi dan biomarker yang mencerminkan
prognosis. Satu kelompok didapatkan hubungan yang kuat antara peningkatan IL-1 pada CSF dan
S100B CSF, yang merupakan biomarker yang telah disepakati pada cedera neural. Keduanya secara
signifikan meningkat pada pasien dengan prognosis yang buruk. Sebagai tambahan, ekspresi dari II-
spectrin produk pemecahan 145 (SBDP145) yang terukur di CSF berhubungan secara signifikan
dengan mortalitas selama 6 bulan. Kombinasi dari marker tersebut telah terbukti secara meyakinkan
pada CSF pasca TBI. Sebagai contoh S100B, mielin berbasis protein, neuron spesifik enolase, TNF
secara signifikan tinggi pada pasien dengan kondisi hipoksia dengan prognosis yang buruk pada studi
kohort. Peningkatan dari sitokin proinflamasi dapat digunakan sebagai faktor prediksi kondisi yang
buruk. Kompleksitas dalam mengevaluasi berbagai marker mendorong para peneliti umtuk membuat
skor, mengkonversikan marker ke poin nilai dan mengevaluasi semua penjumlahan dengan tanda klinis
yang berarti untuk hasil sebagai jalan untuk memecah kerumitan. Protein komplek yang disebut
sebagai inflamasome ternyata juga bertindak sebagai biomarker pada cedera otak. Pada studi yang
terbaru, cairan serebrospinal dikumpulkan dari 23 pasien yang menderita cedera otak sedang sampai
berat dan level protein inflammasome diukur. Level inflamasome berhubungan dengan hasil yang
dinilai dari GOS pada bulan ke 5. Pada akhirnya telah ditunjukkan bahwa pada anak- anak dengan
cedera otak traumatis terjadi peningkatan mitocondrial DNA (muncul DAMP pada neurotrauma) pada
hasil cairan serebrospinal mereka dibandingkan dengan kontrol dan level mitocondrial DNA
berhubungan dengan hasil yang buruk pada grup TBI.

Mikrodialisis

Mikrodialisis adalah pemeriksaan serebral yang paling spesifik, mengeluarkan cairan ekstraselular dari
target area yang kecil disekitar probe di otak. Pada otak yang tidak cedera, sitokin tidak ada pada ruang
ekstraselular. Setelah cedera, respon inflamasi terlihat pada ruang ekstraselular yang mirip pada serum
dan CSF, dan didominasi oleh IL-6 dan IL-8. Secara observasional IL-6 berhubungan dengan cedera
makroskopis, salah satu grup dengan peningkatan IL-6 yang telah di mikrodialisis menunjukkan
perbaikan hasil, hasil yang sama ditunjukkan pada CSF. Jika sitokin proinflamasi (IL-1) seimbang
dengan sitokin antiinflamasi yang akan mendorong perbaikan (IL-1ra), hasil subyek akan meningkat.
Contohnya, ketika IL-1 dan IL-1ra yang diukur melalui brain mikrodialisis dari 15 pasien dengan
cedera otak traumatis, hasil yang lebih baik dilaporkan pada pasien dengan ratio tinggi IL-1ra/IL-1.
Studi lain menunjukan hubungan antara IL-1, IL-6, IL-8 dan IL-10 dan variable klinis yang penting
seperti ICP dan oksigenasi jaringan otak. Walaupun, kebanyakan pasien pada studi kasus spesifik ini
menerima baik Steroidal maupun non steroidal anti inflamasi yang berpotensi untuk menekan respon
neuroinflamasi. Tantangan lain pada mikrodialisis adalah penempatan probe.
Arah Di Masa Yang Akan Datang : Terapi dan Penelitian

Para peneliti menaruh perhatian yang lebih pada strategi neuroprotektan. Beberapa neuroprotektan
yang menjanjikan telah didorong imunomodulasi sebagai strategi untuk menyelamatkan sistem saraf
pasca cedera. Yang paling penting, hasil secara klinis berdampak restorasi keseimbangan imunologis-
tidak cukup dengan hanya menurunkan sitokin proinflamasi. Intervensi harus mengubah parameter
klinis yang penting (ICP, GOS). Beberapa studi yang lampau dan yang akan datang berusaha keras
untuk mewujudkan tersebut.

Steroid

Walaupun dengan antusias di awal, kortikosteroid tidak menunjukkan keuntungan pada terapi cedera
otak traumatis. Penelitian CRASH, multisenter, internasional, randomized control trial yang
melibatkan lebih dari 10.000 pasien dengan cedera otak traumatis akut, yang berakhir pada tahun 2004,
menunjukkan bukti bahwa kortikosteroid kontaindikasi pada cedera otak menunjukkan angka
mortalitas yang tinggi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo (GRADE 1A). Peneliti tidak dapat
memberikan jawaban yang pasti mengapa angka mortalitas tinggi, tetapi bukan karena infeksi maupun
perdarahan saluran cerna. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kortikosteroid menekan semua respon
sistem imun, menekan potensi yang menguntungkan dari aktivasi sistem imun. Pandangan yang jelas
terkait mekanisme cedera yang spesifik akan menggambarkan peran yang selektif dari kortikosteroid
di masa depan.

Hipertonik Salin

Hipertonik salin menunjukkan keuntungan pada cedera otak traumatis melalui peningkatan perfusi
serebral dan penurunan tekanan intrakranial. Pada hewan coba, HS meningkatkan fungsi T-sel dan
menagkal imunosupresi pada trauma. Ketika dibandingkan pasien cedera yang menerima normal salin,
pasien cedera otak traumatis yang menerima HS menunjukan penurunan TNF- dan IL-10 pada
peredaran darah perifer, dan bukti klinis immunomodulasi. Walaupun temuan tersebut memberikan
harapan, skala luas uji klinis belum mampu menunjukkan perubahan hasil. Pada tahun 2010, hasil dari
double-blind, 3 grup, randomized control trial, membandingkan 250 ml bolus 7,5% salin (HS) dengan
7,5 % salin/ 6% dextran 70 (HS/ dextran) dengan 0,9% salin (normal salin) sebagai langkah awal dari
resusitasi pada pasien cedera otak traumatis dengan GCS 8 telah dipublikasikan. Pasien dengan syok
hipovolemik di ekslusi. Hipotesis para peneliti bahwa mengontrol tekanan intrakranial secara dini
dikombinasikan dengan meningkatkan fungsi imun mungkin akan meningkatkan hasil. Walaupun para
peneliti mengobservasi hasil yang paling utama, 6 bulan GOS hampir sama pada masing-masing
kelompok. HS masih sangat bermanfaat pada perawatan edema serebral akut, tetapi tidak boleh
diberikan secara sembarangan pada pasien dengan kecurigaan cedera otak traumatis. (GRADE 1A)

Hipotermia

Meskipun bukti eksperimental yang memberikan harapan bahwa temperatur mengurangi tingkat
inflamasi, hipotermia pada pasien cedera otak traumatis tidak memberikan hasil sesuai harapan klinis.
Contohnya, pemberian terapi hipotermia sedang (32-33oC) pada anak pasca cedera otak traumatis tidak
mengurangi peningkatan sitokin proinflamasi pada CSF jika dibandingkan dengan kontrol
normothermik. Hal ini mungkin terjadi bahwa induksi hipotermia tidak memiliki efek sesuai yang
diharapkan pada sistem imun ketika dibandingkan dengan teliti kondisi eksperimental atau efek ini
tertutupi oleh komplikasi seperti gangguan metabolik (atau infeksi). Meskipun diaplikasikan secara
dini hipotermia tidak mengubah angka mortalitas pada pasien dengan cedera otak traumatis berat.
Hasil yang sama juga didapatkan pada anak-anak dengan cedera otak traumatis. Untuk saat ini
hipotermia diplikasikan pada kondisi khusus seperti peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter
(Grade 1B).

Hormon Steroid

Terdapat banyak data yang menunjukkan bahwa binatang (betina) lebih baik daripada binatang
(jantan) dalam bertahan ketika terpapar cedera otak pada tingkat yang sama. Pada manusia terdapat 3
perbedaan pola inflamasi setetah mengalami cedera otak traumatis, khususnya pada wanita terlihat
menunjukkan respon inflamasi yang kuat dan sustain (lebih lama). Hasil pengamatan tersebut
dihubungkan dengan perbedaan hormonal, terutama estrogen dan progesteron. Disamping memiliki
efek neuroprotektif, progesteron akan menurunkan sintesis dari sitokin proinflamasi dengan cara
menurunkan migrasi sel imun dan proliferasi sel pasca cedera otak traumatis. Fase II uji klinis
menunjukan bahwasannya pemberian progesteron pada manusia meningkatkan survival, walaupun
fase III efikasi dari uji klinis dihentikan dengan sia-sia (ProTECT III). Satu kritik yang terpenting pada
trial HS dan ProTECT III adalah menggunakan GOS sebagai hasil utama. Hal ini mungkin bahwa
penilaian hasil neurologis tidak berlanjut pada perbedaan hasil. Kemungkinan lain adalah pemilihan
pasien, pemelihan cedera yang heterogenus dengan memilih berdasarkan GCS dan tidak
mempertimbangkan subtipe dari cedera (DAI, Vs focal hemoragic contusion). Uji klinis kedepannya
akan dilakukan lebih baik dengan memperhatikan poin-poin tersebut (Grade 1B).
Mesenkimal Stem Sel

Ditambahkan dengan tujuan untuk memicu pertumbuhan neuronal pasca cedera otak traumatis,
mesenkimal stem sel juga memiliki peran dalam memodulasi respon inflamasi. Pada binatang,
pemberian intravena MSCs berhubungan dengan penurunan infiltrasi dari leukosit perifer dan
mengurangi sitokin proinflamasi. MSC bekerja pada beberapa jalur, salah satu diantaranya dengan
mengekspresikan IL-1 antagonis reseptor, memberikan sinyal ke makrofag untuk menurunkan TNF
(via TSG-6) dan menyekresikan prostaglandin (PGE-2) yang mengirimkan sinyal ke makrofag untuk
memproduksi IL-10. MSCs juga membantu dalam memperbaiki BBB.

Eikosanoid

Strategi yang lain dalam memodulasi inflamasi dengan memanfaatkan substansi intrinsik di dalam
tubuh. Namanya prostasiklin. Prostasiklin menghambat aktivasi dari platelet dan bertindak sebagai
vasodilator. Secara eksperimantal, prostasiklin memodulasi perilaku leukosit, membatasi agregasi dan
adhesi. Pasien dengan cedera otak traumatis berat menunjukkan peningkatan parameter mikrodialisis
dari iskemia setelah pemberian infus prostasiklin. Saat ini kelompok di swedia melakukan randomized,
placebo-controlled trial dari epoprostenol yang merupakan merk dagang prostasiklin pada pasien
cedera otak traumatis. Pada substudi, mediator inflamasi IL-6, IL-8 dan C-reaktif protein diukur pada
kelompok. Grup dengan pemberian epoprostenol memiliki penurunan IL-6 dan C- reaktif protein
secara signifikan 73-96 jam pasca trauma, tetapi tidak ada perbedaan hasil yang signifikan pada
masing-masing grup (Grade 2A).

Antagonis Direk dari Sitokin

Terapi yang terbaru pada cedera otak traumatis adalah peningkatan kemampuan untuk menggali
kemungkinan agonis dan antagonis molekul yang terkait. Kelompok dari cambrigde baru baru ini
menjalankan open label, randomized control trial dari rekombinan antagonis IL-1 reseptor selama 5
hari pada studi kohort pada pasien cedera otak traumatis berat. Hasilnya metode ini aman, penetrasi ke
otak dan berdampak pada sitokin pada sekitar mikrodialisat dibandingkan kelompok kontrol. Apakah
efek pada agen tunggal akan memperbaiki hasil masih belum jelas. Tetapi investigasi ini telah
menunjukkan bukti konsep bahwa pemberian sistemik agen imunomudulasi akan memberikan efek
langsung pada intraserebral. Hasil tersebut harus direplikasi pada populasi yang lebih besar dengan
menampilkan data hasil.

Keterbatasan
Inklusi dari studi tidak diawali dengan istilah pencarian yang dimaksud berpotensi bias pada hasil,
meskipun kita memilih untuk memasukkan studi tambahan untuk menambah konteks untuk
melengkapi bagian hasil. Beberapa laporan tidak sengaja tereksklusi karena menggunakan bukan
istilah pencarian.

Kesimpulan

Para peneliti telah memulai langkah yang menjanjikan terkait pemahaman mekanisme molekular yang
mendasari cedera otak sekunder pasca trauma. Bukti klinis inflamasi menyebabkan cedera otak
sekunder membutuhkan waktu. Marker dari inflamasi berubah pada bagian yang dievaluasi meliputi
serum, CSF dan ruang ekstraselular. Saat inflamasi telah jelas terlihat, tidak disebutkan secara jelas
pada literatur dititik mana inflamasi menjadi maladaptif, memicu cedera otak sekunder dan
indentifikasi pasien dengan inflamasi maladaptif pasca cedera otak traumatis masih menjadi hal yang
sukar dipahami. Molekul direk agonis dan antagonis menarik sebagai tujuan untuk penelitian di masa
yang akan datang. Pergeseran keseimbangan neuroinflamasi kearah perbaikan selular pasca cedera
otak adalah tujuan terapi di masa depan. Tidak hanya mortalitas, pencegahan disabilitas pasca cedera
otak traumatis menjadi tantangan dimasa depan .

Anda mungkin juga menyukai