Anda di halaman 1dari 4

TAMAN BUNGKUL, MAKAM MBAH SUNAN BUNGKUL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Jurnalistik

Dosen Pengampu:
M. Anas Fakhruddin, S.Th.I, M.Si

Penyusun:
Akhmad Misbah
(E91215044)

PRODI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2017
Taman Bungkul, makam mbah Bungkul

Begitu riuh hampir tak pernah sepi di sini,


Taman Bungkul, taman yang terletak di tengah
kota Surabaya ini siapa yang tak mengetahuinya,
khususnya warga Kota Surabaya. Hari biasa
memang tak terlalu banyak pengunjung, namun
juga tidak bisa dikatakan sepi. Apalagi, setiap
hari Minggunya diadakan car free day yang membuatnya lebih ramai lagi,
pengunjung bisa lebih dari 5 kali lipatnya hari biasa, bahkan jika ada event tertentu
pengunjung bisa lebih dari 10 kali lipat hari biasanya. Banyak sekali aneka
dagangan di sini, pengunjung pun pastinya akan dibuat pusing untuk memilih
jajanan maupun makanan yang ada di sini. Mulai dari pedagang tetap yang menjual
aneka nasi dan sayur-sayurannya, pedagang dari luar atau tidak tetap yang selalu
berlangganan suatu waktu ke tempat ini seperti pedagang asongan, gerobak bakso,
soto, siomai, sampai mahasiswa yang mengambil peruntungan dengan berjualan di
sini.

Terlihat nenek-nenek
yang sabar menunggu pembeli
membeli kacang rebusnya, dan
juga tidak sedikit orang-orang
tua lainnya berjualan serupa,
berjualan dengan sabar demi
untuk membeli sesuap nasi.
Siapa sangka, taman yang
setiap harinya hampir tak pernah sepi ini berawal dari hanya sebuah pemakaman di
sana. Ya, di sana ada beberapa makam, yang konon salah satunya adalah makam
wali, Mbah Bungkul biasa disebutnya. Belum banyak yang tahu taman yang
diresmikan tanggal 21 Maret 2007 itu mempunyai sejarah legendaris di kota ini.
Menurut sumber dari juru kunci di tempat itu, Area seluas 900 meter persegi yang
berasal dari sebuah desa terkenal, yaitu desa bungkul. Bentuk Desa Bungkul masih

2
ditemukan di peta Surabaya terbitan 1872.
Bahkan dalam peta Surabaya 1900, desa ini
tampak luas dan dipenuhi sawah di bagian barat.
Perkampungannya berada di sisi timur Kalimas.
Batas selatan desa adalah di persimpangan jalan
Marmoyo sekarang, batas sebelah timur di
Jl.Adityawarman sekarang, dan sebelah utara
dibatasi dengan kampung Dinoyo. Ada nama
Desa Darmo di utara Desa Bungkul saat itu.
Konon desa Bungkul ini terkenal dengan sosok
spiritualnya, yang bernama Sunan Bungkul.

Siapa Sunan Bungkul itu?

Saat ini, penjelasan paling banyak bahwa sosok ini adalah keturunan Ki
Gede atau Ki Ageng dari Majapahit. Kompleks makam ini eksotis. Di dalamnya
masih tersisa suasana Kampung Bungkul di tengah kota yang sibuk. Ada gapura ala
Majapahit, terdapat mushala lama, gazebo bersosoran rendah. Belasan makam lain
berada di bawah rerimbunan pohon-pohon tua.

Tidak ditemukan kisah yang sahih.


Yang bisa di lakukan hanyalah
mengumpulkan kepingan-kepingan kisah
tentang sosok ini dari beberapa catatan
lama itu sekalipun itu juga masih bisa
diperdebatkan.

Selain di Taman Bungkul, sejumlah makam pengikut Bungkul banyak


tersebar di kawasan Darmo. Sebagian sudah tergusur, beberapa masih bertahan.
Salah satunya di temukan tercecer di depan Kantor Kecamatan Tegalsari Jl.
Tanggulangan, tidak jauh dari Jl. Raya Darmo atau 300 meter sebelah utara makam
Mbah Bungkul. Namanya makam Mbah Kusir, diyakini kusirnya Mbah Bungkul.

3
Awalnya Mbah Bungkul bernama Ki Ageng Supa. Sewaktu masuk Islam,
berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Ia diperkirakan hidup di masa Sunan
Ampel pada 1400-1481. Supa mempunyai puteri Dewi Wardah.

Sahibul hikayat, Supa ingin menikahkan puterinya. Namun ia belum


mendapatkan sosok yang diharapkan. Lalu Supa mengambil delima dari kebunnya
dan bernazar, siapa pun lelaki yang mendapatkan buah ini, akan saya jodohkan
dengan anakku, nazarnya.

Delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air
sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Di percabangan kiri menuju Ujung
dan ke kanan menjadi kali Pegirikan. Tampaknya delima itu `berenang` ke kanan.
Karena suatu pagi santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa
Ngampeldenta, menemukan delima itu.

Sang santri pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel


delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya
di pinggiran, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Supa, yakin disinilah delima
itu diselamatkan oleh salah satu di antaranya. Apakah ada yang menemukan delima,
tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel
dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden Paku dinikahkan dengan anak Supa

Anda mungkin juga menyukai