Anda di halaman 1dari 22

SASARAN BELAJAR

LI 1 MM Eritropoesis

LO 1.1 Proses Pembentukan ( Mekanisme )

LO 1.2 Faktor Faktor yang Mempengaruhi

LI 2 MM Eritrosit

LO 2.1 Morfologi

LO 2.2 Klasifikasi Kelainan Morfologi

LO 2.3 Fungsi

LI 3 MM Hemoglobin

LO 3.1 Struktur dan Morfologi

LO 3.2 Fungsi

LO 3.3 Sintesis

LO 3.4 Sekresi

LI 4 MM Anemia

LO 4.1 Definisi

LO 4.2 Klasifikasi

LI 5 MM Anemia Defisiensi Besi

LO 5.1 Definisi

LO 5.2 Etiologi

LO 5.3 Patofisiologi

LO 5.4 Manifestasi Klinis

LO 5.5 Pemeriksaan dan Pemeriksaan Penunjang

LO 5.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

LO 5.7 Tatalaksana

LO 5.8 Prognosis

LO 5.9 Pencegahan
LI 1 MM Eritropoesis

LO 1.1 Proses Pembentukan ( Mekanisme )

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada pada sumsum
tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam macam sel darah tepI. Asal sel yang
akan terbentuk selanjutnya adalah sel stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit
pembentuk koloni eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas sesuai dengan
rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali menghasilkan banyak sel darah merah
matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya
sel ini akan berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi dengan
hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan basofilik. Bahan basofilik ini akan
menghilang dalam waktu 1-2 hari dan menjadi eritrosit matur.

Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam
sel eritrosit.Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang
halus.Dengan pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan
sitoplasmanya berwarna biru.Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam
keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari
seluruh jumlah sel berinti

Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada
pewarnaan kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak,
sitoplasma sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan
tampak menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil dari
rubriblast.Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.

Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik.Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa
tempat tampak daerah-daerah piknotik.Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti,
inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak,
mengandung warna biru karena kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA)
dan merah karena kandungan hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih
dominan.Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.

Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik.Inti sel ini
kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal.Sitoplasma telah
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih
ada sisa-sisa warna biru dari RNA.Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10 %.

Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti
sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian
proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi.
Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga
mengandung berbagai fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini
eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit polikrom.Retikulum yang terdapat di dalam
sel ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum
ini juga dapat terlihat segai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus
biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan
dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan ribosom ini.
Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulosit
selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Dalam darah
normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit.

Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran diameter
7-8 um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi.
Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena
mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama
beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan
bila mencapai umurnya oleh limpa. Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit
selama beredar dalam darah, baik mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi
Plasmodium hingga di makan oleh Parasit.

Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi
eritrosit secara ekslusif. (Sherwood, 2011)
Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi
sel darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak
mampu melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan sumsum merah, yang tersisa
hanya di beberapa tempat, misalnya sternum, iga dan ujung-ujung atas tulang panjang
ekstremitas. (Sherwood, 2011)
Sumsum tulang tidak hanya memproduksi SDM tetapi juga merupakan sumber leukosit
dan trombosit. Di sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang
secara terus menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel
darah. (Sherwood, 2011)
Ginjal mendeteksi penurunan/ kapasitas daraah yang mengangkut oksigen. Jika O2 yang
disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal mengeluarkan hormon eritropoietin dalam darah
yang berfungsi merangsang eritropoiesis (produksi eritrosit) dalam sumsum tulang.
Tambahan eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah mengangkut O2.
Peningkatan kemampuan darah mengangkut O2 menghilangkan rangsangan awal yang
memicu sekresi eritropoietin. (Sherwood, 2011)

LO 1.2 Faktor Faktor yang Mempengaruhi

Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya


keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah. Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam
rentang hemostasis, sel-sel baru diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih
dari 2 juta per detik pada orang yang sehat. Proses ini dikontrol oleh hormon dan tergantung
pada pasokan yang memadai dari besi, asam amino dan vitamin B tertentu.

1. Hormonal Control
Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormon eritropoetin
(EPO)dan hormon glikoprotein.Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO.
Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia (kekurangan O2), ginjal akan mempercepat
pelepasan eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO:
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah (seperti yang terjadi pada defisiensi
besi)
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita
pneumonia.
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2
ke jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi
eritropoetin dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan
langsung sumsum tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan
stimulus hormon yang akan mengaktifkan sumsum tulang. Selain itu, testosterone pada pria
juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormon seks wanita tidak berpengaruh
terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita lebih rendah daripada pria.

2. Eritropoeitin
- Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal, hati
- Stimulus pembentukan eritroprotein: dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
- Penurunan penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin
ke dalam darah merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang
proliferasi dan pematangan eritrosit jumlah eritrosit meningkat kapasitas darah
mengangkut O2 meningkat dan penyaluran O2 ke jaringan pulih ke tingkat normal
stimulus awal yang mencetuskan sekresi eritropoetin hilang sampai diperlukan kembali.
- Pasokan O2 meningkat ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih
mudah melepaskan O2: stimulus eritroprotein turun
- Fungsi EPO: mempertahankan sel-sel prekursor dengan memungkinkan sel-sel tersebut
terus berproliferasi menjadi elemen-elemen yang mensintesis Hb.
- Bekerja pada sel-sel tingkat G1
- Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoiesis karena suplai O2 & kebutuhan O2
mengatur pembentukan eritrosit.

LI 2 MM Eritrosit

LO 2.1 Morfologi

Eritrosit berbentuk seperti piringan yang


bikonkaf dengan cekungan di bagian tengahnya.
Eritrosit mempunyai garis tengah 8 m, ketebalan
2 m di tepi luar, dan ketebalan 1 m di bagian
tengah. Bentuk eritrosit yang bikonkaf
menghasilkan luas permukaan yang lebih besar
untuk difusi O2 menembus membran dibandingkan
dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama.
Tipisnya sel memungkinkan O2 cepat berdifusi
antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel.
(Sherwood, 2011)

Membran eritrosit juga sangat lentur sehingga


eritrosit dapat mengalami deformitas secara luar
biasa sewaktu mengalir satu per satu melewati
celah kapiler yang sempit dan berkelok-kelok. Dengan kelenturan membran tersebut, eritrosit
dapat menyalurkan O2 di tingkat jaringan tanpa pecah selama proses tersebut berlangsung.
Ciri anatomik terpenting yang memungkin eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya
hemoglobin di dalamnya. (Sherwood, 2011)

Eritrosit memiliki enzim penting yang tidak dapat diperbarui, yaitu enzim glikolitik dan
enzim karbonat anhidrase. Enzim glikolitik berperan dalam menghasilkan energi yang
dibutuhkan untuk mekanisme transpor aktif yang berperan dalam mempertahankan
konsentrasi ion yang sesuai di dalam sel. Enzim karbonat anhidrase berperan dalam transpor
CO2. Enzim ini dapat mengubah CO2 yang dihasilkan dari proses metabolisme tubuh menjadi
ion bikarbonat (HCO3-), yaitu bentuk utama pengangkutan CO2 dalam darah. Eritrosit
memperoleh energi dari hasil proses glikolisis karena eritrosit tidak memiliki mitokondria.
(Sherwood, 2011)

Fungsi sel darah merah:

Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh.


Berfungsi dalam penentuan golongan darah.
Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah merah mengalami
proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di dalam sel darah merah akan
melepaskan radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan membran sel patogen,
serta membunuhnya.
Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin terdeoksigenasi, yang
juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah supaya
darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen.

Normosit:
Ukuran 6 8 m, Bentuk bikonkaf, Warna merah jambu, Normal 4,0 5,5 / 4,5
6,0 juta/mm3

Retikulosit:
Ukuran 8 12 m, Inti tidak ada, Bergranula halus sisa RNA, Pewarnaan Vital
Staining (BCB), N = 0,5 1,5 per 1000 eritrosit

KATEGORI JUMLAH ERITROSIT (juta/mL)


Bayi 5,0 7,0
Usia 3 bulan 3,2 4,8
Usia 1 tahun 3,6 5,2
Usia 1012 tahun 4,0 5,4
Wanita 3,9 4,8
Pria 4,3 5,9

Kadar eritrosit normal:


perempuan dewasa: 3.8-5.2 x106/ul, laki-laki dewasa : 4.4-5.9 x 106/ul
LO 2.2 Klasifikasi Kelainan Morfologi

1. Kelainan Ukuran
Makrosit, diameter eritrosit 9 m dan volumenya 100 fL
Mikrosit, diameter eritrosit 7 dan volumenya 80 fL
Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar

2. Kelainan Warna
Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit 1/3 diameternya
Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang, warnanya
lebih gelap.

3. Kelainan Bentuk

Mikrosit:
Biasanya pada Anemi Def Fe
Diameter < 7 mikron, biasa disertai dengan warna pucat (hipokromia).
Pada pemeriksaan sel darah lengkap didapatkan MCV yang rendah. Ditemukan pada:
Anemia defesiensi besi, Keracunan tembaga, Anemia sideroblasik, Hemosiderosis
pulmoner idiopatik, Anemia akibat penyakit kronik

Makrosit:
Biasanya pada Anemi Def Vit 12/ Def asam folat
Gambaran makrositik berarti volume eritrosit lebih besar dari normal. Dapat
ditemukan pada penyakit anemia megaloblastik karena kurang vit.B12 atau asam
folat, anemia setelah perdarahan akut, atau anemia karena penyakit hati kronik. Dari
data pemeriksaan darah ditemukan MCV > 94 fl
Anemia megaloblastik, Anemia aplastik/hipoplastik, Hipotiroidisme, Malnutrisi,
Anemia pernisiosa, Leukimia

Basofilik Stipling: eritrosit dengan granula biru-hitam, granula ini dari kondensasi
atau presipitasi RNA ribosom akibat dari defective hemoglobin synthesis
Hipokrom:
eritrosit pucat ditengah >1/3nya, Normal 10 Kurangnya Hb, Pada anemia Def Fe

Eliptosit:
eritrosit berbentuk oval (ovalosyt) atau lonjong (pensil cell/sel cerutu), Osmotic
fragility meningkat, Distribusi kolesterol dalam membran akumulasi, Kolesterol
dipinggir

Lakrimasit (Tear Drop Cell):


eritrosit berbentuk tetesan air

Target Cell:
eritrosit yang gelap di tengah, Normal 2 Akibat cytoplasmic aturation Defects
dan liver disease

Crenated Cell:
eritrosit dengan sitoplasma mengkerut, Terjadi karena hipertronik larutan pada saat
pengeringan apusan

Stomatocyt:
eritrosit pucat memanjang di tengah, Normal 5%, Akibat meningkatnya sodium dalam
sel dan menurunnya potassium
Sferosit:
eritrosit nampak pucat ditengah, Bentuk lebih kecil, tebal,Akibat developmental
defect

Sickle Cell:
eritrosit yang memanjang dan melengkung dengan 2 katup runcing
- Nama lain: Drepanocyt
- Eritrosit yang mengalami perubahan bizarre muncul pada keadaan
kurang oksigen di udara

Acantocyt: - eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang runcing


- Tonjolan tidak teratur
- Akibat defisiensilow-dencity betha Lipoprotein

Burr Cell: - eritrosit dengan tonjolan sitoplasma yang tumpul teratur


- Akibat passage through fibrin network

LO 2.3 Fungsi

Fungsi sel darah merah:

Sel darah merah berfungsi mengedarkan O2 ke seluruh tubuh.


Berfungsi dalam penentuan golongan darah.
Eritrosit juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika sel darah merah mengalami
proses lisis oleh patogen atau bakteri, maka hemoglobin di dalam sel darah merah akan
melepaskan radikal bebas yang akan menghancurkan dinding dan membran sel patogen,
serta membunuhnya.
Eritrosit juga melepaskan senyawa S-nitrosothiol saat hemoglobin terdeoksigenasi, yang
juga berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan melancarkan arus darah supaya
darah menuju ke daerah tubuh yang kekurangan oksigen.
LI 3 MM Hemoglobin

LO 3.1 Struktur dan Morfologi

Molekul hemoglobin memiliki 2 bagian, yaitu heme dan globin. Globin merupakan
protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida, yaitu 2 rantai alfa dan 2 rantai beta yang
sangat berlipat-lipat. Gugus heme merupakan 4 gugus non protein yang mengandung besi,
dengan masing-masing gugus terikat dengan satu rantai polipeptida pada bagian globin.
Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan dengan secara reversibel dengan satu
molekul O2. Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan
dengan O2 dan berwarna keunguan jika mengalami deoksigenasi. (Sherwood, 2011)

LO 3.2 Fungsi

Menurut Depkes RI, fungsi hemoglobin antara lain:

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan tubuh.


2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan tubuh
untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-
paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak,
dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari
normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia

LO 3.3 Sintesis
Sintesis heme
Sintesis heme merupakan proses yang kompleks yang melibatkan banyak langkah
enzimatik dan melibatkan 2 kompartemen, yaitu mitokondria dan sitosol. Sintesis heme
terutama terjadi di dalam mitokondria. Proses ini diawali dengan kondensasi glisin dan
succinyl-CoA yang kemudian diubah menjadi asam 5-aminolevulinik (ALA) oleh enzim
asam -aminolevulinat (ALA) sintase. Kemudian, asam 5-aminolevulinik mengalami
serangkaian reaksi pada sitoplasma sampai akhirnya menjadi Ko-proporfirinogen dan
masuk kembali ke mitokondria dan menjadi protoprofirinogen. Kemudian,
protoprofirinogen diubah menjadi protoporfirin dan bergabung dengan besi yang diangkut
oleh transferin menjadi heme. Transferin mengangkut besi ke jaringan yang mempunyai
reseptor transferin. (Hoffbrand, 2013) (www.themedicalbiochemistrypage.org/heme-
porphyrin.html diakses pada 23 Oktober 2014)

Sintesis globin
Globin merupakan protein yang terbentuk dari asam-asam amino yang disintesis di
ribosom. Kelompok gen -globin berada pada kromosom 16, sedangkan kelompok gen -
globin berada pada kromosom 11.

Tabel Batas Kadar Hemoglobin


Kelompok umur Batas nilai hb ( gr/dl)
Anak 6 bulan 6 tahun 11,0
Anak 6 tahun 14 tahun 12,0
Pria dewasa 13,0
Ibu hamil 11,0
Wanita dewasa 12,0
Sumber : WHO dalam arisman 2002

Reaksi Antara O2 dan Hemoglobin


Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, oksigen menempel
pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul
oksigen secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk ferro, sehingga reaksi
pengikatan oksigen merupakan suatu reaksi oksigenasi.
Dengan reaksi : Hb + O2 HbO2
Bila tekanan O2 tinggi, seperti dalam kapiler paru, O2 berikatan dengan hemoglobin.
Sedangkan jika tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin
(deoksihemoglobin).
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan %
saturasi kemampuan hemoglobin mengangkut O2 dengan PO2 yang memiliki bentuk signoid
khas yang disebabkan oleh interkonversi T-R. Pengikatan O2 oleh gugus heme pertama pada
satu molekul Hb akan meningkatkan afinitas gugus heme kedua terhadap O2, dan oksigenase
gugus kedua lebih meningkatkan afinitas gugus ketiga, dan seterusnya sehingga afinitas Hb
terhadap molekul O2 keempat berkali-kali lebih besar dibandingkan reaksi pertama.
LO 3.4 Sekresi

Katabolisme Hb
Hemolisis ekstravaskuler

LI 4 MM Anemia

LO 4.1 Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawaoksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer.
Pada anemia terjadi penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit.
Anemia dapat disebabkan oleh penurunan kecepatan eritropoiesis, kehilangan eritrosit
berlebihan, atau defisiensi kandungan hemoglobin dalam eritrosit.
Anemia adalah suatu kondisi dimana kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah
dari harga normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb < 14 g/dl dan Ht < 41 % pada pria atau
Hb < 12 g/dl dan Ht <37 % pada wanita. (Arif Mansjoer,dkk. 2001)
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1mm 3
darah atau berkurangnya volume sel yang dipadatkan (packed red cells volume) dalam 100
ml darah. (Ngastiyah, 1997)

LO 4.2 Klasifikasi

Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi eritrosit:


A. Anemia hipokromik mikrositer
(MCV<80 fl; MCH <27pg)
1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik
B. Anemia Normokromik normositer
1. Anamia pascapendarahan akut
2. Anemia aplastik hipoplastik
3. Anemia hemolitik terutama bentuk yang didapat
4. Anemia akibat penyakit kronik
5. Anemia mieloptisik
6. Anemia pada gagal ginjal kronik
7. Anemia pada mielofibrosis
8. Anemia pada sindrom mielodisplastik

C. Anemia makrositer
1. Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi vitamin B12

2. Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroid
c. Anemia pada sindroma mielodisplastik

Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatognesis:


A. Produksi eritrosit menurun
1. Kekurangan bahan untuk eritrosit
a. Besi: anemia defisiensi besi
b. Vitamin B12 dan asam folat : anemia megaloblastik

2. Gangguan utilisasi besi


a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik

3. Kerusakan jaringan sumsum tulang


a. Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak: anemia aplastik/hipoplastik
b. Penggantian oleh jaringan fibrotik/tumor: anemia leukoritroblastik/mieloptisik

B. Kehilangan eritrosit dari tubuh


1. Anemia pasca pendarahan akut
2. Anemia pasca pendarahan kronik

C. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)


1. Faktor ekstrakorpuskuler
a. Antibodi terhadap eritrosit:
i. Autoantibodi-AIHA (autoimmune hemolytic anemia)
ii. Isoantibodi-HDN (hemolytic disease of the newborn)
b. Hipersplenisme
c. Pemaparan terhadap bahan kimia
d. Akibat infeksi bakteri/parasit
e. Kerusakan mekanik

2. Faktor intrakorpuskuler
a. Gangguan membran
i. Hereditary spherocytosis
ii. Hereditary elliptocytosis
b. Gangguan enzim
i. Defisiensi pyruvate kinase
ii. Defisiensi G6PD (Glocuse-6 phospate dehydrogenase)
c. Gangguan hemoglobin
i. Hemoglobinopati structural
ii. Thalassemia

D. Bentuk campuran
E. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
(Bakta, 2006)

LI 5 MM Anemia Defisiensi Besi

LO 5.1 Definisi

Anemia defisiensi besi terjadi ketika tubuh menyimpan besi terlalu rendah untuk
mendukung sel darah merah yang normal (RBC) berproduksi. Besi yang tidak
memadai diet, penyerapan zat besi terganggu, perdarahan, atau kehilangan zat besi
tubuh dalam urin mungkin menjadi penyebabnya. Besi keseimbangan dalam tubuh
biasanya diatur dengan hati-hati untuk memastikan bahwa besi yang cukup diserap
dalam rangka untuk mengkompensasi kekurangan besi dalam tubuh.

LO 5.2 Etiologi

1. Faktor makanan
Daging merupakan sumber zat besi heme, yang kurang dipengaruhi oleh konstituen
diet yang dengan jelas mengurangi bioavailabilitas dari besi non heme ini. Prevalensi
anemia defisiensi besi rendah di wilayah geografis di mana daging merupakan
konstituen penting dari diet. Di daerah di mana daging jarang, kekurangan zat besi
adalah hal yang lumrah.
Zat yang mengurangi penyerapan zat besi besi dan besi termasuk phytates, oksalat,
fosfat, karbonat, dan tannates (lihat gambar di bawah). Zat-zat ini memiliki sedikit
efek pada penyerapan zat besi heme. Demikian pula, asam askorbat meningkatkan
penyerapan zat besi besi dan besi dan memiliki sedikit efek pada penyerapan zat besi
heme.
Struktur hemoglobin besi
Kedua zat besi non-heme dan besi heme memiliki 6 obligasi koordinasi; Namun, 4
obligasi di Pyrrole mengikat heme, membuat mereka tidak tersedia untuk kelasi oleh
senyawa lain. Oleh karena itu, asam askorbat kelat besi non-heme untuk
meningkatkan penyerapan namun tidak berpengaruh pada besi heme. Banyak
komponen makanan, seperti phytates, fosfat, oksalat, dan tannates, besi non-heme
mengikat untuk mengurangi penyerapan zat besi non-heme. Mereka tidak
mempengaruhi heme. Hal ini menjelaskan mengapa heme begitu efektif diserap
dengan makanan yang mengandung Pyrrolei ni..

Heme murni diserap buruk karena heme dipolimerisasi menjadi makromolekul.


Produk degradasi globin berkurang polimerisasi heme, sehingga lebih tersedia untuk
penyerapan. Mereka juga meningkatkan penyerapan zat besi non-heme karena peptida
dari globin terdegradasi mengikat zat besi untuk mencegah kedua presipitasi dan
polimerisasi; dengan demikian, penyerapan zat besi dalam bayam meningkat ketika
bayam dimakan dengan daging. Heme dan penyerapan zat besi non-heme oleh sel
serap usus ini kompetitif.

2. Pendarahan
Pendarahan untuk alasan apapun menghasilkan penurunan besi. Jika kehilangan darah
yang cukup terjadi, anemia defisiensi besi terjadi kemudian (lihat gambar di bawah).
Kehilangan darah secara tiba tiba dapat menghasilkan anemia posthemorrhagic yang
normositik. Sumsum tulang dirangsang untuk meningkatkan produksi hemoglobin,
sehingga depleting zat besi dalam tubuh menyimpan. Setelah mereka habis, sintesis
hemoglobin terganggu dan eritrosit hipokromik diproduksi.

Perubahan maksimal dalam sel darah merah (RBC) indeks seluler terjadi pada sekitar
120 hari, pada saat semua eritrosit normal yang diproduksi sebelum perdarahan yang
digantikan oleh microcytes. Sebelum waktu ini, apusan perifer menunjukkan populasi
dimorfik eritrosit, sel normositik diproduksi sebelum perdarahan, dan sel-sel
mikrositik diproduksi setelah pendarahan. Hal ini tercermin dalam lebar distribusi sel
darah merah (RDW); dengan demikian, bukti awal dari pengembangan eritropoiesis
kekurangan zat besi terlihat dalam apusan perifer, dalam bentuk peningkatan RDW.
3. Hemosiderinuria, hemoglobinuria, dan hemosiderosis paru
Anemia kekurangan zat besi dapat terjadi dari hilangnya besi tubuh dalam urin. Jika
spesimen urin segar yang diperoleh muncul berdarah tetapi tidak mengandung sel
darah merah, tersangka hemoglobinuria. Memperoleh konfirmasi di laboratorium
yang pigmen adalah hemoglobin dan mioglobin tidak. Hal ini dapat dicapai dengan
mudah karena 60% amonium sulfat endapan hemoglobin tetapi tidak mioglobin.

Hemoglobinuria klasik yang berasal hemoglobinuria nokturnal paroksismal, tetapi


dapat terjadi dengan cepat anemia hemolitik intravaskular. Pada hari-hari awal operasi
jantung dengan implantasi katup buatan, mekanisme ini menghasilkan anemia
defisiensi besi adalah biasa di rumah sakit universitas besar. Hari ini, dengan prostesis
yang lebih baik, telah menjadi masalah klinis kurang sering. Dengan gangguan
hemolitik kurang parah, mungkin tidak ada hemoglobinuria signifikan.

Menyelidiki hilangnya ginjal besi dengan pewarnaan sedimen urin untuk besi.
Hemosiderin terdeteksi intraseluler. Sebagian besar pasien ini memiliki haptoglobin
plasma rendah atau tidak ada. Demikian pula, hemosiderosis paru dapat
mengakibatkan hilangnya cukup zat besi sebagai hemosiderin dari paru-paru.

4. Malabsorpsi besi
Achlorhydria berkepanjangan dapat menghasilkan kekurangan zat besi karena kondisi
asam yang diperlukan untuk melepaskan besi besi dari makanan. Kemudian, dapat
chelated dengan mucins dan zat lainnya (misalnya, asam amino, gula, asam amino,
atau amida) untuk tetap larut dan tersedia untuk penyerapan di usus dua belas jari
lebih basa. Pati dan makan tanah liat hasil malabsorpsi besi dan besi Anemia
defisiensi. Permintaan khusus diperlukan untuk memperoleh riwayat baik pati atau
makan tanah liat karena pasien tidak sukarela informasi.

Operasi pengangkatan luas dari usus kecil proksimal atau penyakit kronis (misalnya,
sariawan tidak diobati atau sindrom celiac) dapat mengurangi penyerapan zat besi.
Jarang, pasien yang tidak memiliki riwayat malabsorpsi memiliki anemia kekurangan
zat besi dan gagal untuk menanggapi terapi besi oral. Kebanyakan hanya yang patuh
dengan terapi.

Kelainan genetik memproduksi kekurangan zat besi telah ditunjukkan pada hewan
pengerat (sex-linked anemia [sla] tikus, anemia mikrositik [mk] tikus, Belgrade tikus).
Fenomena ini belum jelas ditunjukkan pada manusia; jika ada, itu mungkin jarang
menyebabkan anemia defisiensi besi.

LO 5.3 Patofisiologi

Deplesi besi
Deplesi besi merupakan tahapan awal dari ADB. Berbagai proses patologis yang
menyebabkan kurangnya besi memacu tubuh untuk menyesuaikan diri yaitu dengan
meningkatkan absorbsi besi dari usus. Pada tahapan ini tanda yang ditemui adalah penurunan
ferritin serum dan besi dalam sumsum tulang berkurang.

Eritropoesis defisiensi besi


Kekurangan besi yang terus berlangsung menyebabkan besi untuk eritropoiesis
berkurang namun namun secara klinis anemia belum terjadi, kondisi ini dinamakan
eritropoiesis defisiensi besi. Tanda-tanda yang ditemui pada fase ini adalah peningkatan
kadar protoporhyrin dalam eritrosit, penurununan saturasi transferin, dan peningkatan Total
iron binding capacity (TIBC).

Anemia defisiensi besi


Jika jumlah besi terus menurun maka eritropoiesis akan terus terganggu dan kadar
hemoglobin mulai menurun sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositik. Kondisi ini
sudah bisa dikategorikan sebagai anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi memberikan dampak kesehatan yang cukup banyak kepada
seseorang misalnya gangguan sistem neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan imunitas,
dan gangguan terhadap janin.

LO 5.4 Manifestasi Klinis

Pasien dengan anemia defisiensi besi dapat melaporkan hal berikut:

1. Kelelahan dan kemampuan berkurang untuk melakukan kerja keras


2. Kaki kram pada naik tangga
3. Keinginan es (dalam beberapa kasus, seledri dingin atau sayuran dingin lainnya)
untuk menghisap atau mengunyah
4. Kinerja skolastik yang buruk
5. Intoleransi dingin
6. Mengurangi resistensi terhadap infeksi
7. Perilaku berubah (misalnya, kelainan kurang perhatian)
8. Disfagia dengan makanan padat (dari tali pita esofagus)
9. Gejala memburuk penyakit jantung atau paru komorbiditas

Temuan pada pemeriksaan fisik mungkin termasuk yang berikut:

1. Pertumbuhan mengalami gangguan pada bayi


2. Pucat pada membran mukosa (penemuan yang spesifik)
3. Kuku berbentuk sendok (koilonikia)
4. Lidah mengilap dengan atrofi papila lingual
5. Celah di sudut mulut (stomatitis anguler)
6. Splenomegali (di berat, gigih, kasus yang tidak diobati)
7. Pseudotumor cerebri (temuan langka pada kasus yang berat)
LO 5.5 Pemeriksaan dan Pemeriksaan Penunjang

Anamnesis
Penting pada anamnesis untuk menanyakan hal- hal yang mengindikasikan adanya
kausa dari anemia defisiensi besi. Hal penting untuk ditanyakan misalnya:
- Riwayat gizi
- Anamnesis lingkungan
- Pemakaian obat
- Riwayat penyakit
- Pada remaja khususnya wanita bisa ditanyakan perdarahan bulananya
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang
mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek
anemia terhadap kondisi umum pasien. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk
menemukan berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma
anemic.
Pemeriksaan laboratorium
Jenis Nilai
Pemeriksaan
Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan
jenis kelamin pasien
MCV Menurun (anemia mikrositik)
MCH Menurun (anemia hipokrom)
Morfologi Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE
sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan
konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada tiap center
kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal tidak
menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun kadar ferritin
>100 mg/L memastikan tidak adanya anemia defisiensi besi
TIBC Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L
(normal: 300-360 mg/L )
Saturasi Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)
transferrin
Pulasan sel Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang
sumsum dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat menunjukkan butir
tulang hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-sel sideroblas yang
merupakan sel blas dengan granula ferritin biasanya negatif. Kadar
sideroblas ini adalah Gold standar untuk menentukan anemia
defisiensi besi, namun pemeriksaan kadar ferritin lebih sering
digunakan.
Pemeriksaan Berbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga
penyait dasar diperiksa, misalnya pemeriksaan feces untuk menemukan telur
cacing tambang, pemeriksaan darah samar, endoskopi, dan lainnya.

Sel pensil
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi
menjadi 3 tingkatan, yaitu :
- Deplesi besi adalah penurunan cadangan besi tanpa diikuti penurunan kadar
besi serum. Deteksi dari tingkatan ini adalah dengan menggunakan teknik
biopsi atau dengan pengukuran ferritin. Karena absorpsi besi berbanding
terbalik dengan cadangan besi, maka terjadi peningkatan absorpsi besi pada
fase ini.
- Eritropoiesis defisiensi besi dikatakan ada ketika cadangan besi habis namun
kadar hemoglobin dalam darah masih dalam batas bawah normal. Dalam fase
ini, beberapa abnormalitas dalam pemeriksaan laboratorium dapat dideteksi,
terutama menurunnya saturasi transferrin serta meningkatnya total iron-
binding capacity. Meningkatnya protoporfirin eritrosit bebas dapat dilihat di
pertengahan dan akhir dari fase ini. Mean corpuscular volume (MCV)
biasanya masih dalam batas normal walaupun sudah terlihat beberapa
mikrosit pada hapusan darah.
- Ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga di bawah batas normal,
anemia defisiensi besi terjadi. Pada fase ini, kadar enzim yang mengandung
besi seperti sitokrom juga menurun.

LO 5.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pertimbangan diagnostik

Kondisi lain yang harus dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

1. Anemia gangguan kronis


2. Penyakit CC hemoglobin
3. Penyakit hemoglobin SS
4. keracunan timbal
5. anemia mikrositik
6. Anemia hemolitik autoimun
7. Hemoglobin S-beta thalassemia

Diagnosis Banding
1. Alpha Thalassemia
2. Thalasemia beta
3. Sferositosis herediter
4. anemia sideroblastik

LO 5.7 Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Pemberian preparat
Fe dapat secara peroral maupun parenteral.

Setelah diagnosis ditegakkan maka akan dibuat rencana pemberian terapi.Terapi


terhadap anemia defisiensi besi adalah :

1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan


cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh lagi.

2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy) :
a. Terapi besi oral, merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif,
murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphate
(preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif).
Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Preparat lain : ferrous gluconate,
ferrous fumarat, ferrous lactate, ferrous succinate.
b. Terapi besi parenteral, sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih
besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena risiko ini maka besi
parenteral hanya diberikan atas indikasi tertentu, seperti: Intoleransi
terhadap pemberian besi oral, kepatuhan terhadap obat rendah,
penyerapan besi terganggu, keadaan dimana kehilangan darah banyak,
kebutuhan besi besar dalam waktu pendek, defisiensi besi fungsional
relatif.

Kebutuhan besi (mg) = (15 Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

3. Pengobatan lain
a. Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
berasal dari protein hewani.
b. Vitamin C, diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorposi besi
c. Transfusi darah, ADB jarang memerlukan transfusi darah. Diberikan
hanya pada keadaan anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang
dapat mempengaruhi respons terapi. Jenis darah yang diberikan adalah
PRC untuk mengurangi bahaya overload.

Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:


*pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum, dosis besi kurang, masih ada perdarahan
cukup berat, ada penyakit lain seperti peny.kronik, ada defisiensi asam folat. Serta
kemungkinan salah mendiagnosis ADB. Jika dijumpai keadaan tersebut, lakukan evaluasi
kembali dan ambil tindakan yang tepat.
(Bakta, 2006)

LO 5.8 Prognosis

Anemia defisiensi besi adalah gangguan yang mudah diobati dengan hasil yang sangat
baik; Namun, hal itu mungkin disebabkan oleh kondisi yang mendasarinya dengan prognosis
buruk, seperti neoplasia. Demikian pula, prognosis dapat diubah oleh kondisi komorbiditas
seperti penyakit arteri coroner. Pengobatan yang segera dan memadai pasien dengan anemia
defisiensi besi dibutuhkan untuk pasien dengan gejala seperti kondisi komorbiditas.

Anemia kekurangan zat besi kronis jarang menyebabkan kematian langsung; Namun,
anemia defisiensi besi sedang atau berat dapat menghasilkan hipoksia cukup untuk
memperburuk gangguan paru dan jantung yang mendasari. Kematian pada hipoksia telah
diamati pada pasien yang menolak transfusi darah karena alasan agama. Jelas, dengan
perdarahan cepat, pasien mungkin meninggal akibat hipoksia yang berhubungan dengan
anemia posthemorrhagic.

Pada anak-anak, tingkat pertumbuhan dapat melambat, dan kemampuan untuk belajar
menurun dilaporkan. Pada anak-anak muda, anemia defisiensi besi yang berat dikaitkan
dengan quotient rendah kecerdasan (IQ), kemampuan berkurang untuk belajar, dan tingkat
pertumbuhan suboptimal.
LO 5.9 Pencegahan

Populasi tertentu beresiko cukup tinggi untuk defisiensi zat besi untuk menjamin
pertimbangan untuk terapi profilaksis besi. Ini termasuk wanita hamil, wanita dengan
menorrhagia, [11] konsumen dari diet vegetarian yang ketat, bayi, [12] gadis remaja, dan
donor darah secara teratur.

Wanita hamil telah diberi besi tambahan sejak Perang Dunia II, sering dalam bentuk semua
tujuan kapsul mengandung vitamin, kalsium, dan zat besi. Jika pasien anemia (hemoglobin
<11 g / dL), mengelola besi pada waktu yang berbeda dari hari dari kalsium karena kalsium
menghambat penyerapan zat besi.

Suplemen zat besi dari makanan bayi yang menganjurkan. Bayi prematur membutuhkan
suplementasi zat besi lebih dari bayi cukup bulan. Bayi disapih awal dan susu sapi diberi
makan membutuhkan lebih besi karena konsentrasi tinggi kalsium dalam susu sapi
menghambat penyerapan zat besi. Biasanya, bayi menerima besi dari sereal yang diperkaya.
Besi tambahan hadir dalam susu formula komersial.

Suplementasi zat besi dalam populasi yang hidup pada diet sebagian besar vegetarian
disarankan karena bioavailabilitas yang lebih rendah dari besi anorganik dari besi heme.
Penambahan zat besi untuk bahan makanan pokok di negara-negara makmur di mana daging
adalah bagian penting dari diet adalah nilai dipertanyakan dan mungkin berbahaya. Gen
untuk hemochromatosis familial (gen HFE) adalah lazim (8% dari populasi putih AS). Besi
tubuh berlebih ini mendalilkan menjadi penting dalam etiologi penyakit arteri koroner,
stroke, karsinoma tertentu, dan gangguan neurodegenerative karena besi penting dalam
pembentukan radikal bebas.

Daftar Pustaka

http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview#showall

Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai