Anda di halaman 1dari 32

Laboratorium Mata Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

Pterigium

Oleh

Maulinda Permatasari 1610029016

Nadia Shahnaz 1610029042

Dosen Pembimbing Klinik

dr. Manfred Himawan, Sp.M

LAB / SMF MATA

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmatNya


penyusun dapat menyelesaikan tutorial klinik tentang Pterigium. Laporan ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Mata Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Manfred Himawan,
Sp.M selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada
penyusun dalam penyelesaian tutorial klinik ini. Penyusun menyadari terdapat
ketidaksempurnaan dalam laporan ini, sehingga penyusun mengharapkan kritik
dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga dapat bermanfaat bagi
penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, 12 September 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................. 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 11
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................... 28
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 32

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Diduga penyebab pterigium adalah exposure atau sorotan berlebihan dari
sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB,
berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain seperti zat alergen, kimia, dan pengiritasi lainnya. Secara geografis,
pterigium paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Karena Indonesia
beriklim tropis, penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami pterigium. Dari
hasil penelitian G Gazzard dari Singapore National Eye Center, yang melakukan
penelitian di daerah Riau, didapatkan bahwa prevalensi pterigium pada usia di
atas 21 tahun adalah 10% sedangkan di atas 40 tahun adalah 16,8%.1,2,3
Pterigium masih menjadi permasalahan yang sulit karena tingginya
frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate pascaoperasi pterigium di Indonesia
adalah 3552%. Dari hasil penelitian di RS Cipto Mangunkusumo didapatkan
bahwa recurrence rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun adalah 65% dan
pada pasien berusia lebih dari 40 tahun adalah 12,5%. Selain itu, pterigium
menimbulkan masalah kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan bahkan
berpotensi menjadi penyebab kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan diagnosis
dini pterigium diperlukan agar gangguan penglihatan tidak semakin memburuk
dan dapat dilakukan pencegahan terhadap komplikasi.2,3

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang pterigium dan perbandingan antara teori dengan kasus
nyata pterigium.

4
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori tentang pterigium yang mencakup:
a. Definisi
b. Faktor risiko
c. Etiopatogenesis
d. Penegakkan diagnosis
e. penatalaksanaan
2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata pterigium yang
terjadi di poli mata RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda.
3. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dalam kasus
ini.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran
terutama bidang oftalmologi, khususnya tentang pterigium.

1.3.2.Manfaat bagi Pembaca


Laporan ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi penulis dan
pembaca mengenai pterigium.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi
Nama : Ny. ES
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Penyapu jalan
Alamat : Jl. Pelita, Samarinda
MRS : 11 September 2017

2.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Kedua mata perih.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien datang ke poli mata RSUD AWS Samarinda dengan
keluhan kedua matanya terasa perih yang bersifat hilang timbul dan sudah
dirasakan 1 tahun terakhir. Perih dirasakan semakin memberat dalam 1
minggu terakhir. Keluhan perih bertambah bila terkena angin ataupun
debu. Selain itu, pasien juga mengaku kedua matanya sering keluar air
mata banyak kadang keluar kotoran sedikit. Pasien mengatakan dikedua
matanya tampak ada jaringan yang kadang tampak merah. Keluhan mata
kabur disangkal. Riwayat trauma pada mata disangkal. Pasien bekerja
sebagai penyapu jalan di pagi dan sore hari. Pasien tidak pernah
menggunakan kacamata saat bekerja, dan mata pasien sering kelilipan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat memakai kacamata (-)
Riwayat hipertensi (+), diabetes melitus (-)
6
Riwayat PTG (+)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:


Riwayat kedua orang tua memakai kacamata (-)
Riwayat pterigium pada keluarga disangkal

2.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : CM, GCS E4V5M6
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 18 x/menit. reguler
Suhu : 36,7oC
Kepala : normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan
Tenggorokkan : tidak ditemukan kelainan
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks :
Jantung : S1S2 reguler tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : flat, bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : massa (-), nyeri (-)
Perkusi : timpani diseluruh lapangan perut.
Ekstremitas :
Superior : edema (-/-), akral hangat
Inferior : edema (-/-), akral hangat, varises (-/-)
7
Status Oftalmologikus
OD OS

OD OS

Visus 6/6 6/6

Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

Gerakan bola mata

Segmen anterior

Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)

Palpebra superior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
massa (-), laserasi (-) massa (-), laserasi (-)

Palpebra inferior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
massa (-), laserasi (-) massa (-), laserasi (-)

Konjungtiva tarsus Hiperemis (-), papil (-) Hiperemis (-), papil (-)
superior folikel (-) folikel (-)

Konjungtiva tarsus Hiperemis (-), papil (-) Hiperemis (-), papil (-)
inferior folikel (-) folikel (-)

Konjungtiva bulbi Jaringan fibrovaskular dari Jaringan fibrovaskular dari

8
arah nasal menuju limbus arah nasal menuju limbus
konjungtiva, tampak konjungtiva, tampak
hiperemis hiperemis

Kornea Terdapat jaringan Terdapat jaringan


fibrovaskular dari limbus fibrovaskular dari limbus
melewati kornea <2mm, melewati kornea <2mm,
jernih, ulkus jernih, ulkus

Bilik mata depan Kedalaman cukup, jernih, Kedalaman cukup, jernih,


flare & cells, hipopion (-), flare & cells, hipopion (-),
hifema (-) hifema (-)

Iris Warna coklat, regular, Warna coklat, regular,


sinekia (-) sinekia (-)

Pupil Bulat, reguler, refleks Bulat, reguler, refleks


cahaya (+) cahaya (+)

Lensa Jernih Jernih

Tonometri Palpasi normal Palpasi normal

Funduskopi Refleks fundus (+), papil Refleks fundus (+), papil N.


N. II batas tegas berwarna II batas tegas berwarna
jingga, edema makula (-), jingga, edema makula (-),
retina normal, PD normal retina normal, PD normal

2.4. Diagnosis Kerja


Pterigium ODS grade II

9
2.5. Penatalaksanaan
Cendo xytrol 4 dd gtt II ODS
Pasien disarankan untuk menggunakan topi atau penutup kepala yang
lebar, maupun menggunakan kacamata terutama saat diluar rumah.

2.6. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi & Fisiologi


3.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan
kelopak mata bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu
konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah
digerakkan dari sklera di bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.1,4,5
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva
bulbi superior paling sering mengalami infeksi dan menyebar ke
bawahnya. Pada pterigium, konjungtiva yang mengalami fibrovaskular
adalah konjungtiva bulbi.1,4,5

Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva


(diambil dari www.eastoneye.com)
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan
arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama
dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya
11
membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe palpebra hingga
membentuk pleksus limfatikus yang banyak. Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus trigeminus. Saraf
ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.4,5

3.1.2 Fisiologi Konjungtiva


Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata,
menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka
dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang
berupa barrier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu,
terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel
mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi
dalam bentuk IgA.1,4
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel
epitel silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva
di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan
pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.4,5
Sel-sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval
yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan
diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh
prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel
superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.1,4,5
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid
(superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini
menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler
bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa

12
tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal
ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata.1,4,5
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua
yaitu:
1. Penghasil musin
a) Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan
pada daerah inferonasal.
b) Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
c) Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar
krause berada di forniks atas, dan sedikit ada diforniks bawah. Kelenjar
wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak
pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup
rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air
mata bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.4,5

3.1.3 Anatomi kornea


Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang
tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian
depan.2
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel

13
- Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
- epitel berasal dari ektoderm permukaan.2
2. Membran Bowman
- Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.2
3. Stroma
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-
kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma.
Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen
dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.2
4. Membrane descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran
basalnya.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40m.2
5. Endotel
14
- Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40m. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal


dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus
berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus
Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi
saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.2
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup
bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh
kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea
dilakukan oleh kornea.2

3.2. Pterigium
3.2.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium

15
merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan
berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan
puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap.1,6

Gambar 2. Pterigium; jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga


dengan puncak di kornea (diambil www.eastoneye.com)

3.2.2 Faktor Risiko


Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan
yakni radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan
faktor herediter. 3,7
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.3,7
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan. 3,7
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis
dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari
bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai
penyebab dari pterigium.3,7

16
3.2.3 Etiopatogenesis
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena
lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas,
maka gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon
terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari
(ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau
faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva pada
fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear film bisa
menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung
teori ini.6,7
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada
limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta
overproduksi dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi
dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan
terlihat jaringan subepitelial fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi
degenerasi elastoic dan proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah
epitelium yang akhirnya menembus kornea terdapat pada lapisan membran
bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering dengan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada
keadaan defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium
dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa perigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet
terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan
perubahan fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang
17
mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas
konjungtiva normal. Lapisan fibroblas pada bagian pterigium
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblas pterigium
menunjukkan matrix metalloproteinase, di mana matrix tersebut adalah
matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblas pterigium bereaksi
terhadap TGF- (transforming growth factor-) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang
berlebihan, TNF- (tumor necrosis factor-) dan IGF II. Hal ini
menjelaskan bahwa pterigium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma
kornea dan terjadi fibrovaskular dan inflamasi.8,9
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi
ditemukan peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah
di nasal limbus selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-
kit+ MNCs meningkat pada pterigium dibanding dengan konjungtiva
normal. Sitokin lokal dan sistemik, SP (substance P), VEGF (Vascular
endothelial growth Factor) dan SCF (Stem Cell Factor) pada pterigium
meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+ MNC. Hal ini
menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs (Endothelial
Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor pencetus
neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum
tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.7,8
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel
pterigium, dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel
pterigium menunjukkan epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif,
karakteristik dari E-cadherin, penumpukan -catenin di intranuklear dan
limphoid factor-1 meningkat pada epitel pterigium. Sel epitel meluas ke
stroma pada -SMA/ vimentin dan cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa
epitel mesencymal transition terlibat dalam patogenesis pterigium. -
catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial fibroblast)
18
dibandingkan pada konjungtiva normal. -catenin berperan penting dalam
patogenesis pterigium.10,11

3.2.4 Diagnosis
a. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu
untuk mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada
kelompok usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat
pekerjaan juga sangat perlu ditanyakan untuk mengetahui
kecenderungan pasien terpapar sinar matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin
menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan
penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya
penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan
subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang mengganjal.1,3

b. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke
kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stokers line).
Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium
dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,
menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika
pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme
pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan
cap. Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya
ke arah limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian
19
belakang disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah
apex dan membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7
Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan
derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1) Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa
infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari
pterigium).
2) Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya
menjadi bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1) Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2) Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi
dari 2 mm melewati kornea
3) Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan
normal sekitar 3-4 mm)
4) Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan8
c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1) T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2) T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3) T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan Benjolan pada Perlengketan
fibrovaskular konjungtiva konjungtiba bulbi
konjungtiva bulbi dengan kornea yang

20
bulbi berbentuk cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah kelopak Pada daerah
bagian nasal mata terutama konjungtiva yang
atau temporal bagian nasal terdekat dengan
yang meluas ke proses kornea
arah kornea sebelumnya
6: > = =
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak
pulau Funchs ada head, cap,
(bercak kelabu) body)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin dalam submukosa
stromanya konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium
21
c. Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan
pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2,
sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi
derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium
derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada
pasien yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan
steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena
pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu
dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air
mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor maka
perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan
pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang
menetap termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm,
pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis
dan adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium
bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan
bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan untuk
mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar
untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun memisahkan
pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih
disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara
berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul
perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot.
Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol
perdarahan.6,8
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik
simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang
22
dapat menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival
autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan
dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya
konjungtiva yang secara normal berada di belakang kelopak mata
atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan sembuh normal dan tidak
memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.12
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada
kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian
MMC juga cukup berat.10
Indikasi Operasi pterigium :
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

Teknik Pembedahan :
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke
kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang
diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.
Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
23
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan
termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan
halus dari permukaan kornea.1
a. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam
berbagai laporan.1
b. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini
melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar
superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil
yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi
minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW.
Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan
besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan
sangat rendah dengan teknik ini.1
c. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan me
mbran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah
menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting
untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.
Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang
ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan
setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan
dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera ,
24
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap
ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem
fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan
episcleral dibawahnya. Lemfibrin juga telah digunakan dalam
autografts konjungtiva.1

Terapi Tambahan :
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke
dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat
rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada
komplikasi dari terapi tersebut.1
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative
MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat
tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang
menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.1
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,
meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.
Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis
dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak
merekomendasikan terhadap penggunaannya.1
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
25
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3
jam selama 6minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroidselama 1 minggu.6

Gambar 4. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium,


(b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place (diambil dari www.baysideeyes.com.au)

d. Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan
parut) pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, scar pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11,12
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft
longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemorrhage atau retinal detachment
Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau
melting pada sklera dan kornea

26
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren
yang tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik
conjungtiva autograft atau amnion graft.
Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan
epitel di atas pterigium.11

e. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali.
Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan
graft dengan autograft atau transplantasi membran amnion.11

27
BAB IV
PEMBAHASAN

TEORI KASUS

ANAMNESIS

Faktor risiko : Faktor risiko :


a. Radiasi Ultraviolet a. Pasien bekerja sebagai penyapu
b. Faktor Genetik jalanan pagi dan sore hari, sering
c. Iritasi kronik : debu, kelembapan terpapar debu dan angin.
yang rendah, dan trauma kecil dari b. Pasien bekerja tidak
bahan partikel tertentu menggunakan kacamata.
d. Lebih sering usia 20-30 tahun c. Saat bekerja pasien sering
e. Jenis kelamin laki-laki. merasa kelilipan.
Gejala : d. Keluhan serupa pada keluarga (-)
rasa panas atau perih, e. Usia pasien 38 tahun.
gatal, rasa ada yang mengganjal f. Perempuan.
mata sering berair Gejala :

kadang merah kedua mata terasa perih

gangguan penglihatan kedua mata sering berair

adanya sesuatu yang tumbuh di dikedua mata tampak ada


kornea jaringan yang kadang tampak
merah.
mata kabur disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK

Tajam penglihatan dapat normal atau - VOD & VOS : 6/6


menurun. - Pterigium muncul dari arah nasal
Pterigium muncul sebagai lipatan meluas ke arah kornea dan
berbentuk segitiga pada konjungtiva melewati kornea <2mm dari tepi
yang meluas ke kornea pada daerah limbus pada ODS

28
fisura interpalpebralis. - Stokers line (-)
Deposit besi dapat dijumpai pada - Pterigium tampak iritatif, merah
bagian epitel kornea anterior dari
kepala pterigium (stokers line).
Jika terjadi radang pada pterigium
tampak merah

DIAGNOSIS

Dalam penegakan diagnosis pterigium, Pada pasien ODS pterigium


sangat penting ditentukan derajat melewati kornea <2mm dari limbus,
pterigium yaitu: sehingga diagnosis pada pasien ini
Derajat I : jika hanya terbatas pada adalah pterigium gr. II ODS.
limbus kornea
Derajat II : jika sudah melewati
limbus tetapi tidak melebihi dari 2
mm melewati kornea
Derajat III : jika telah melebihi
derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya
(pupil dalam keadaan normal sekitar
3-4 mm)
Derajat IV : jika pertumbuhan
pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan
PENATALAKSANAAN

Prinsip penanganan pterigium: Cendo xytrol 4 dd gtt II ODS


Medikamentosaderajat 1 dan 2, Edukasi untuk menghambat
Bedah telah mengalami gangguan progresifitias pterigium, pasien
penglihatan. disarankan untuk meminimalisir

29
Bila pterigium meradang dapat paparan radiasi ultraviolet
diberikan steroid atau suatu tetes ataupun iritasi debu & angin
mata dekongestan. dengan cara menggunakan topi
Lindungi mata yang terkena atau penutup kepala yang lebar,
pterigium dari sinar matahari, debu maupun menggunakan kacamata
dan udara kering dengan kacamata terutama saat diluar rumah.
pelindung.

30
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus atas pasien Ny. ES yang berusia 38 tahun
datang ke poli mata RSUD A.W. Syahranie Samarinda dengan keluhan kedua
mata perih yang dirasakan semakin memberat 1 minggu terakhir. Setelah
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka didapatkan diagnosis kerja
pasien adalah pterigium gr. II ODS. Pasien ini mendapat terapi Cendo xytrol 4x2
tetes dan disarankan untuk menggunakan topi atau kacamata saat bekerja.
Penatalaksanaan pada pasien. Secara umum, penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan pada pasien tersebut sudah sesuai dengan teori yang ada.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.
2. Chandra DW et al. Effectiveness of subconjunctival mitomycin-C compared
with subconjunctival triamcinolon acetonide on the recurrence of progresive
primary pterygium which underwent Mc Reynolds method. Berkala llmu
Kedokteran, Volume 39, No. 4, Desember 2007: 186-19.
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002; 86(12): 13411346. Avaiable at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14.Jakarta:Widya Medika,2000,hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2007-2008. p: 344&405
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologu.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome P Fisher. Pterygium. 2009. available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Pterygium and Pingueculum available at:
http://www.baysideeyes.com.au/eye-specialists/pterygium.htm
32

Anda mungkin juga menyukai