Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Vaksinasi merupakan pemberian vaksin kedalam tubuh seseorang untuk memberikan


kekebalan terhadap penyakit tersebut, seperti vaksin campak, hepatitis B, polio dan lain-lain.
Pada umumnya vaksinasi diberikan pada bayi usia 2 bulan keatas akan tetapi adapula
vaksinasi yang diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan dan adapula vaksin yang baru dapat
diberikan saat berusia 2 tahun keatas. Vaksin terdiri dari virus/bakteri yang menyebabkan
penyakit tersebut akan tetapi virus/bakteri tersebut sudah dilemahkan atau dimatikan atau
hanya sebagian dari tubuhnya contohnya seperti hanya diambil bagian plasmidnya pada virus.
Eczema atau dapat disebut juga dermatitis atopik. dermatitis adalah peradangan pada
kulit dan atopik itu sendiri adalah adanya hipersensitivitas terhadap antigen lingkungan hidup
(alergi atopik). Sel T merupakan pemain pertama dalam orkestra respon imun spedifik yang
berperan terhadap alergen asing. Peningkatan jumlah limfpsit T terlihat pada semua individu
atopik bila dibandingkan individu nonatopik. Pada dermatistis atopik terdapat peningkatan
jumlah populasi sel T CD4+ dan CD8+. Juga terlihat peningkatan umum aktivasi sel T pada
individu alergik, baik di lesi maupun secara sistemik. Terdapat 2 jenis respon imun yang
berperan pada kejadian dermatitis atopik dan keduanya saling terkait.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang bayi perempuan, 5 bulan datang untuk mendapatkan vaksinasi yang pertama kali.
Ibunya belum membawa bayinya untuk imunisasi dikarenakan khawatir akan efek samping
vaksinasi. Bayinya mendertia eczema di kedua pipinya.

Keterlambatan vaksinasi pada si bayi karena ia menderita eczema di kedua pipinya, sehingga
ibunya khawatir. Kakak si bayi menderita asma bronkiale, sedangkan ibunya menderita
rhinitis alergika.

2
BAB III

PEMBAHASAN

Jenis-jenis vaksin dibagi menjadi 3 jenis yaitu life vaksin, dead vaksin dan subunit vaksin.
Life vaksin adalah vaksin bakteri/virus yang sudah dilemahkan sehingga menyebabkan
danger signal lebih tinggi dimana unit virus dapat bereplikasi sehingga menimbulkan
kekebalan dengan jangka waktu yang cukup lama. Sebagian besar life vaksin berupa virus.
Kerugian life vaksin itu sendiri adalah dapat berubah menjadi virulen sehingga dapat
menyebabkan penyakit akibat virus/bakteri tersebut

Dead vaksin adalah vaksin yang terdiri dari organisme asing yang sudah dimatikan. Dead
vaksin lebih aman digunakan tetapi dead vaksin tidak mencegah adanya infeksi melainkan
lebih kearah mencegah komplikasi penyakit. Kerugian dead vaksin yaitu danger signal
rendah, jangka waktu tidak selama life vaksin dan dikarenakan menggunakan organisme mati
sehingga membutuhkan booster untuk mengoptimalkan sistem kekebalan.\

Subunit vaksin yaitu vaksin yang membutuhkan adjuvan atau perangsang, contoh-contoh
subunit vaksin adalah toxoid vaksin, vaksin recombinan, conjugate polisakarida. Akan tetapi
vaksin ini masih sulit dikembangkan.

Perbedaan vaksin virus dan bakteri yaitu; erdasarkan responnya virus memiliki respon yang
kompleks, induksi interferon, respon antibodi. Respon bakteri meliputi lisis yang disebabkan
bakteri, opsonisasi dan fagositosis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian vaksin virus; yaitu cara ekresi dan proses pembuatan. Cara ekskresi contohnya
Virus polio, pemberian vaksin polio melalui oral sehingga ekskresi terjadi lewat tinja dan bila
tersebar akan dapat menginfeksi bayi lain. Pada proses pembuatannya yaitu virus merupakan
sel culture sehingga dapat menimbulkan alergi.

Pada umumnya vaksin diberikan pada usia 2 bulan karena pada neonatus fungsi organ belum
sempurna seperti fungsi makrofag masih kurang, terutama peranannya sebagai APC, karena
ekspresi HLA di permukaan masih sedikit. komplemen dan pembentukan anitbodi spesifik
terhadap antigen tertentu masih kurang. Bayi baru lahir memiliki imunitas pasif dari ibunya
dan akan hilang dalam beberapa bulan (kurang lebih 2 bulan) sehingga perlu dilakukannya
vaksin ulang.

3
Vaksin yang dapat diberikan sebelum usia 2 bulan

Infeksi terjadi pada usia 2 bulan kebawah. Pada usia 2 bulan bayi kebawah belum memiliki T
dependent yang sempurna yang mana sel B untuk mengubah IgM menjadi IgG membutuhkan
bantuan T helper, T helper tersebut dapat didapat dari vaksinasi. Contoh vaksin yang dapat
diberikan sebelum 2 bulan yaitu hepatitis B, BCG dan polio 0. Vaksin hepatitis B mencegah
infeksi ibu ke anaknya, vaksin BCG untuk menghindari kemungkinan bayi terkena TBC dari
lingkungan, vaksin polio 0 dilakukan untuk proteksi tubuh di daerah-daerah endemik polio.(2)

Vaksin polisakarida dapat diberikan pada usia 2 tahun ke atas

Vaksin polisakarida sebaiknya diberikan pada usia 2 tahun keatas, karena sebelum bayi
berusia 2 tahun, bayi belum mempunyai respon sistem imun terhadap polisakarida. Maka dari
itu vaksin polisakarida diberikan pada 2 tahun keatas untuk mencapai hasil yang adekuat,
tetapi untuk usia 2 tahun kebawah dapat juga diberikan vaksin polisakarida akan tetapi di
tambah dengan conjugent.(2)

Jadwal vaksinasi menurut IDAI(3)

4
5
Pengertian eczema dan katiannya dengan pemberian vaksinasi.

Eczema(dermatisis atopik) peradangan kulit yang melibatkan perangsangan berlebihan


limfosit T dan sel mast yang mana terjadinya reaksi hipersensitivitas (alergi) yang dapat
disebabkan dari luar maupun dari dalam.(1) Dari kasus diketahui sang ibu ingin memvaksin si
bayi untuk pertama kalinya akan tetapi dapat dilihat di kedua pipi si bayi terdapat eczema
atau dermatitis. maka dari itu sebelum dilakukannya vaksinasi sebaiknya dilakukan dahulu
pengecekan alergi pada si bayi.

Patogenesis dermatitis atopik

Hipersensitivitas terbagi menjadi 4 tipe yaitu:

Dermatitis atopik termasuk kedalam tipe hipersensitivitas yang pertama, dikarenakan


dermatitis atopik termasuk penyakit yang berhubungan dengan alergi, sistem mekanisme
alergi berhubungan dengan IgE. Patogenesis dermatitis atopik diawali dengan adanya alergen
yang masuk lalu ditangkap oleh APC yaitu sel langerhans, sel langerhan masuk ke peripheal
limphoid, ke T helper 0 dengan MHC II yang menempel pada TCR pada T helper 0 dan T
helper 0 diaktifkan oleh inteleukin 2. Jika ada interleukin 12, T helper 0 akan menjadi Th 1
tetapi jika tidak ada inteleukin 12, T helper 0 akan menjadi Th2. Th2 dengan bantuan

6
inteleukin 4 akan menjadi sel B lalu sel B akan menjadi sel plasma, di sel plasma IgM akan
diubah menjadi IgE, IgE akan menempel pada sel mast karena pada sel mast terdapat
Fc3R1(IgE receptor), pertama kali IgE terbentuk, IgE dapat berada pada dermis dalam
beberapa lama, jika orang tersebut terkena alergen untuk kedua kalinya, IgE akan langsung
menangkap alergen yang berada di dalam dermis sehingga akan langsung mengeluarkan
histamin yang mana histamin membuat vasodilatasi pembuluh darah dan kemerahan pada
kulit, jika berlebihan karena suatu alasan maka dapat menyebabkan dermatitis atopik.
Dermatitis atopik merupakan penyakit inflamasi bifasik, yang mana bifasik itu sendiri berarti
memiliki 2 fase, yaitu fase aku dan kronik. Pola ekspresi lokal sitokin berperan penting pada
terjadinya inflamasi di jaringan setempat. Pada dermatitis atopik pola tersebut bergantung
pada umur lesi kulit. Pada inflamasi akut terutama terlihat ekspresi sitokin IL-4 dan IL-13,
sedangkan pada lesi kronik terlihat ekspresi IL-5 dan IFN-. Peningkatan ekspresi IL-4 dapat
diamati 24 jamsetelah terpajan antigen, setelah itu akan terjadi penurunan ekspresi tersebut.
sedangkan ekspresi IFN- tidak ditemukandalam 24 jam setelah terpajan alergen, melainkan
terlihat eksprei berlebihan 48-72 jam setelah terpajan alergen. Hasil tersebut sesuai dengan
temuan sel Th2 spesifik pada masa awal reaksi uji tempel, sedangkan pola utama sitokin sel
Th1 atau Th0didapati setelah 48 jam. Ekspresi IFN- pada uji tempel atopi didahului ekspresi
puncak IL-12, membuktikan peran IL-12 pada perkembangan respon Th1. Peningkatan
ekspresi IL-12 bersamaan dengan infiltrasi makrofag dan eosinofil, sel yang
mengekspresikan IL-12. Hal tersebut menggambarkan bahwa fase awal dermatitis
atopik(akut) dipicu oleh alergen yang mengaktifkan sel Th2, sedangkan respons inflamasi
kronik didominasi oleh respons sel TH2.
Sel dendritik merupakan sel penyaji antigen yang profesional dan selanjutnya menyajikannya
pada sel T pada respon imun primer dan sekunder. Ada 2 tipe sel dendritik dermatitis atopik,
yaitu sel mieloid dendritik (mDC) dan sel plasmasitoid dendritik (pDC).
Pada lesi dermatitis atopik, keduanya ditemukan, tapi mDC lebih banyak daripada pDC. Pada
kulit yang mengalami inflamasi terdapat sel inflamasi dendritik epidermal (inflammatory
dendritic epidermal cell IDEC). Sel langerhans dan IDEC termasuk mDC dan
mengekspresikan reseptor IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada lesi dermatitis atopik. Sel
langerhans dan IDEC berperan sentral pada penyajian antigen ke sel Th1/Th2. Reseptor pada
sel langerhans ditemukan pada kulit normal pada saat eksaserbasi penyakit atopi lain,
misalnya asma bronkial atau rinitis alergik, sedangkan FcRI IDEC ditemukan pada lesi.
Sel langerhans berperan aktif pada perkembangan sel T menjadi sel Th2, sedangkan
rangsangan FcRI pada IDEC akan memicu ke arah respon sel Th1 dan mengeluarkan

7
pertanda proinflamasi yang memicu respon imun alergik. Plasmasitoid dendritik
mengekspresikan FcRI secara alami dan meningkat pada dermatitis atopik, penting untuk
penanggulangan infeksi virus dengan cara mengeluarkan interferon.
Sel Th0 dapat berkembang menjadi sel Th1 atau sel Th2 dan rangkaian reaksi selanjutnya
bergantung pada berbagai faktor, yaitu:

1. Genetik
Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis atopik, berhubungan erat
dengan manifestasi dan derajat keparahan dermatitis atopik pada fase anak, sedangkan
masnifestasi atopi lainnya tidak terlalu berpengaruh. Terdapatnya 2 kromosom yang
berkaitan erat dengan dermatitis atopik , yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25,
meski masih paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan kromosom ynag sama
walaupun sajian klinis keduanya berbeda dan kedua kromosom tersebut tidak terkait
dengan penyakit atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom 5q31-33 yang
menyandi gen sitokin Th2.
2. Sawar kulit
Dermatitis atopik ditandai dengan kulit kering, baik di daerah lesi maupun nonlesi,
dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit.
Hilangnya seramid di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di
ruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fingsi
sawar kulit. Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit.
Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan trans epidermal water loss
(TEWL), kulit akan makin kering dan merupakan port d entry alergen, iritan, bakteri,
dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi seramid yang
mengakibatkan metabolisme seramid menjadi sfingosan dan asam lemak, selanjutnya
semakin mengurangi seramid di stratum korneum, sehingga menyebabkan kuliat
makin kering.
3. Lingkungan
Selain alergen hirup dan alergen makanan, eksaserbasi dermatitis atopik dapat dipicu
oleh berbagai macam infeksi, antara lain virus, jamur, dan bakterim juga pajanan
tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori hygiene
hypothesis, bahwa infeksi pada masa anak penting dalam pencegahan penyakit
infeksi. Infeksi jamur berulang juga dapat menyertai eksaserbasi dermatitis atopik.

8
4. Autoalergen
Sebagian besar serum pasiem dermatitis atoipk mengandung antibodi IgE terhadap
protein manusia. Autoalergen tersebut merupakan protein intraselular, yang dapat
dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon
IgE atau sel T. Pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan
oleh adanya antigen endogen manusia, sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan
sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas.

5. Aeroalergen
Debu rumah, tungau debu rumah (TDR), serta sebuk sari merupakan alergen hirup
yang berkaitan dengan asma bronkial pada atopi dan dapat menjadi faktor pencetus
DA. Contoh alergen hirup lain misalnya alergen yang berasal dari bulu binatang
peliharaan dan serpihan kulit manusia. Dan juga biji-bijian, misalnya biji kapas dan
biji kopi, minyak jarak, serat tumbuh-tumbuhan, dan algae yang terdapat pada debu,
termasuk faktor pencetus pada DA.

6. Bahan iritan
Pada pasien DA lebih sering ditemukan dermatitis kontak iritan daripada dermatitis
kontak alergik. Dermatitis kontak iritan lebih banyak terjadi karena kerusakan sawar
kulit. bHn iritan meskipun bersifat iritan lemah, misalnya bahan yang terkandung
dalam sabun, yaitu alkali dan detergen, dapat menyebabkan DA. Bahan antiseptiik,
parfum dan bahan pelarut lainnya merupakan bahan iritan lemah yang dapat
menngiritasi kulit DA. Bahan iritan fisik dapat pula merupakan faktor pencetus DA,
misalnya serat pakaian (bahan wol), karpet, bed cover dan perabot rumah tangga.

7. Peran bahan makanan dalam mencetuskan dermatitis atopik.


Alergi makanan lebih sering terjadi pada bayi dibandingkan dengan dewasa. Makanan
secara langsung dapat menyebabkan kambuhnya eksim,terutama yang non-lgE
mediated food allergy. Alergi makanan dapat memberikan kontribusi terhadap
patogenesis DA dengan meningkatnya pemahaman pada level molekular dan selular.
Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan dapat dibagi atas reaksi toksik dan
reaksi nontoksik. Reaksi makanan yang toksik dapat terjadi pada semua orang, jadi
bukan kerentanan individual, karena beberapa bahan yang mengkontaminasi makanan

9
atau yang terkandung didalam makanan, misalnya jamur yang beracun. Reaksi
makanan yang non toksik bergantung pada kerentanan seseorang terhadap suatu
makanan. Reaksi nontoksik dibagi ats yang diperantarai imunologik ( immune
mediated ) dan nonimunologik ( non immune mediated ). Istilah alergi makanan
biasanya digunakan untuk reaksi yang imunologik, terjadi secara cepat karena
diperntarai oleh lgE. Istilah yang tidak diperantarai oleh lgE ( non lgE mediated food
allergy ) termasuk reaksi imun yang disebabkan imunoglobulin selain lgE terhadap
alergen makanan yang spesifik, kompleks imun makanan, dan imunitas selular yang
spesifik terhadap makanan. Reaksi makanan yang nonimunologik dapat terjadi pada
semua orang, tidak hanya terbatas pada setiap pasien DA dan disebut sebagai
inteloransi.
Reaksi inteloransi dapat disebabkan karena kerusakan enzim, atau reaksi
farmakologik obat, atau bahan yang ditambahkan pada makanan, atau memang
terdapat pada makanan tersebut. Reaksi inteloransi dibagi atas reaksi anzimatik dan
reaksi farmakologik, umumnya berupa gangguan fraktus gastrointestinal.
Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan DA berat. Makanan
yang sering menyebabkan alergi antara lain, susu, telur, gandum, kacang kacangan,
kedelai dan makanan laut.
Prevalensi tertinggi alergi makanan dijumpai pada bayi, menurun pada usia anak, dan
makin berkurang pada usia dewasa. Pada bayi, alergi biasanya terhadap, susu sapi,
telur, kacang tanah dan kedelai. Pada anak dan orang dewasa, biasanya alergi
terhadap kacang tanah, kacang kacangan, ikan dan kerang-kerangan.

Diagnosis
Diagnosis DA berdasarkan kriteria yang disusun oleh Hanafin dan Rajka yang diperbaiki oleh
kelompok kerja dari inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994).

Kriteria Hanifin dan Rajka untuk diagnosis DA


Kriteria Major (harus terdapat 3) :
1. Riwayat dermatitis flexural
2. Adanya ruam yang gatal
3. Riwayat asthma
4. Riwayat kulit kering

10
Kriteria Hanifin dan Rajka untuk bayi
Kriteria Major :
1. Riwayat keluarga dermatitis atopik
2. Adanya dermatitis pruritis
3. Wajah yang khas atau eczema extensor atau dermatitis likenifikasi
4. Area popok dan/atau area wajah, mulut/hidung bebas dari lesi kulit

Kriteria Minor.
Kriteria minor penting sebagai kriteria pelengkap diagnosis DA bila msih terdapat keraguan.
Terdapat tanda yang tidak selalu ada atau dianggap kurang spesifik, sedangkan beberapa
tanda diantaranya ditemukan secara sangat bermakna atau sebagian bermakna.
Contoh kriteria minor yaitu:
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.Aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mamae
- White Dermographism dan Delayed Blanch Response
- Kelilitis
- Lipatan infra Orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucatvatau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif

11
- Kadar IgE didalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini

Kriteria minor untuk bayi :


- Xerosis / iktiosis / hiperlinaris palmaris
- Aksentuasi perifolikular
- Fisura belakang telinga
- Skuama di skalep kronis

Tatalaksana DA terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit,


mencegah/mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit dalam jangka waktu
lama serta mengubah perjalanan penyakit. Sebaiknya penatalaksanaan ditekankan pada
pengawasan jangka waktu lama (long-term control), bukan hanya untuk mengatasi
kekambuhan.
Tatalaksana dermatitis atopik ditekankan pada edukasi, mengurangi gatal (pelembab, obat
anti-inflamasi), serta menghindari kekambuhan (menghindari faktor pencetus).

Edukasi
Edukasi merupakan aspek paling penting pada tatalaksana dermatitis atopik. Perlu dijelaskan
mengenai penyebab dermatitis atopik yang multifaktorial dan cara perawatan kulit yang
benar serta menghilangkan kepercayaan, hal-hal tabu, dan ketakutan penggunaan obat. Selain
itu mencari faktor pencetus serta cara menghindari atau menghilangkannya.

Mandi dan Emolen


Mandi secara teratur paling sedikit dua kali sehari. Air mandi jangan terlalu panas karena
menambah rasa gatal, dapat ditambahkan sedikit minyak sehingga membentuk lapisan di
permukaan kulit. Lama mandi sekitar 10-15 menit, kemudian dikeringkan dengan menepuk
handuk, jangan digosok karena dapat merangsang gatal. Segera setelah mandi, daerah kulit
yang meradang diberi anti-inflamasi topikal, sedangkan kulit lainnya diberi pelembab.
Hindari sabun atau pembersih kulit yang mengandung antiseptik/antibakteri karena
mempermudah timbulnya resistansi.

12
Mengatasi Gatal
Suhu kamar sebaiknya sejuk karena suhu panas dapat merangsang gatal. Pakaian sebaiknya
tidak tebal dan hindari pakaian dari wol atau yang kasar karena dapat mengiritasi kulit. Kuku
sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit lebih parah (erosi,
ekskoriasi) akibat garukan. Gatal dapat dikurangi dengan pemberian emolien, kompres basah,
anti-inflamasi topikal (kortikosteroid, inhibitor kalsineurin), dan antihistamin oral. Balut
basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal,
terutama untuk pasien yang dirawat. Bahan pembalut (verban) dapat diberi larutan
kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut basah
dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya, dapat pula dengan
mengoleskan emolien saja di bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan
mengurangi gatal serta berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga
mempercepat penyembuhan.

Kortikosteroid Topikal
Penggunaan kortikosteroid topikal selama ini merupakan pengobatan standar untuk
mengatasi inflamasi pada dermatitis karena efektif, mudah digunakan, dapat ditoleransi
pasien, kadang lebih murah, dan hasilnya lebih baik/lebih cepat dibandingkan dengan anti-
infamasi topikal lainnya. Beberapa faktor perlu dipertimbangkan bila menggunakan
kortikosteroid topikal pada dermatitis atopik, yaitu vehikulum, otensi kortikosteroid, usia
pasien, letak lesi, derajat dan luas lesi, serta cara pemakaian (frekuensi dan jumlah). Beberapa
prinsip yang dapat digunakan dalam memilih potensi kortikosteroid topikal:
1. Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang, dapat dinaikkan bila perlu.
Sedapat mungkin hindari pemakaian kortikosteroid topikal potensi rendah yang
kurang adekuat dalam jangka waktu lama.
2. Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan permeabilitas tinggi (muka,
intertriginosa, bayi)
3. Potensi kuat daat digunakan bila gatal sangat berat dan atau peradangan/likenifikasi
berat sehingga dapat meningkatkan ketaatan berobat pasien.
4. Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek (kurang lebih 2 minggu
untuk potensi kelas I). Bila lesi awal sudah teratasi, segera ganti dengan potensi lebih
rendah atau dengan anti-inflamasi nonsteroid untuk terapi pemeliharaan.

13
Sebagian besar kortikosteroid topikal dioleskan dua kali sehari, walaupun ada yang
cukup sekali sehari (mometason, flutikason).

Inhibitor Kalsineurin Topikal


Obat anti-inflamasi nonsteroid topikal yang digunakan untuk pengobatan dermatitis atopik,
yaitu golongan inhibitor kalsineurin topikal. Terdapat dua macam inhibitor kalsineurin
topikal, yaitu salap takrolimus 0,03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0,1% untuk derajat ringan
sampai sedang. Kedua obat tersebut dioleskan dua kali sehari dan dapat digunakan dalam
jangka waktu lama secara intermiten.

Anti-inflamasi Kombinasi
Bermacam macam cara pengobatan yang bertujuan untuk meminimalkan efek samping
kortikosteroid topikal antara lain dengan cara kombinasi dan sekuensial. Konsep terapi
kombinasi adalah menggunakan beberapa obat dengan mekanisme kerja berbeda sehingga
dapat mengurangi dosis tiap obat untuk mendapatkan efek sinergistik tetapi efek samping
berkurang. Terapi sekuensial adalah menggunakan dua obat dalam sekuens yang berbeda
agar efektivitas maksimal dan efek samping minimal, antara lain dengan cara:
1. Kortikosteroid topikal diberikan saat awal untuk mengatasi peradangan, diikuti obat
nonsteroid topikal, sedangkan kortikosteroid topikal dihentikan secara perlahan
sehingga selanjutnya obat nonsteroid digunakan untuk terapi pemeliharaan. Cara ini
bertujuan untuk cepat mengatasi radang dengan obat yang lebih kuat sebelum
menggantinya dengan obat yang efek sampingnya sedikit.
2. Dua macam obat digunakan bergantian, dapat sejak awal atau pada terapi
pemeliharaan untuk memaksimalkan efektivitas obat.

14
Kesimpulan

Pada kasus ini didapatkan bayi si ibu menderita eczema sebelum diberikannya vaksinasi.
Eczema merupakan suatu dermatitis atopik yang diakibatkan hipersensitivitas pasa sistem
imunnya yang mana hipersensitivitas tipe 1 yang berhubungan dengan reaksi alergi. oleh
karena itu sebelum dilakukannya vaksinasi, maka si bayi sebaiknya dilakukan dahulu tes
alergi dari bahan-bahan vaksin itu tersebut, untuk mencegah terjadinyareaksi alergi pada si
bayi.

15
Daftar Pustaka

1. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Ed. 3. Jakarta : ECG 2009; 2: 108-9

2. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture NotesPenyakit Infeksi.
6th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series; 2: 11-3.

3. IDAI. Jadwal Imunisasi 2010: idai.or.id


(http://www.idai.or.id/upload/Jadwal_Imunisasi_Juni_2010.pdf , accesed on 30, 2011)

4. Luqman Baarid. Hipersensitivitas: scribd.com


(http://www.scribd.com/doc/30431825/HIPERSENSITIVITAS , accesed on 30, 2011)

16

Anda mungkin juga menyukai