Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Arsitektur vernakular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari
masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial
and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan
tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya transformasi [1]. Indonesia
sebagai salah satu negara di Asia Tenggara merupakan negara kepulauan terbesar didunia yang terdiri
dari berbagai suku, bahasa, agama, serta berbagai macam budaya dan etnik yang merupakan jati diri dari
tiap-tiap daerah. Selain itu masing-masing daerah di Indonesia juga mempunyai satu atau beberapa tipe
rumah tradisional yang unik yang dibangun berdasarkan tradisi-tradisi arsitektur vernakular dengan gaya
bangunan tertentu yang menunjukkan keanekaragaman yang sangat menarik. Dan seiring dengan
perjalanan waktu, tradisi dan gaya bangunan yang baru dan berbeda-beda akan muncul, akan tetapi dalam
beberapa hal tradisi arsitektur vernakular masih dapat bertahan. Menurut Sonny Susanto, salah seorang
dosen arsitek pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia mengatakan bahwa arsitektur vernakular
merupakan bentuk perkembangan dari arsitektur tradisional, yang mana arsitektur tradisional masih sangat
lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan kehidupan masyarakat, wawasan masyarakat serta tata
laku yang berlaku pada kehidupan sehari-hari masyarakatnya secara umum [2].
Meskipun arsitektur tradisional berkembang, namun tetap mempertahankan karakter inti yang diturunkan
dari generasi ke generasi yang menjadikannya sebagai karakter kuat akan suatu tempat tertentu dan akan
tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, arsitektur
vernakular mengalami banyak tekanan, baik dari dalam maupun dari luar, antara lain dari masyarakat
industri barat yang menebarkan potensi dari teknologi modern dan bahan bangunan modern. Pada masa
sekarang ini dimana modernisasi dan globalisasi demikian kuat mempengaruhi peri kehidupan dan
kebudayaan setempat, suatu kondisi yang alami apabila suatu kebudayaan pasti akan mengalami
perubahan kebudayaan setempat, namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang akan tetap
memelihara karakter inti dan akan menyesuaikan dengan kondisi pada saat ini, sehingga akan dapat terus
dipertahankan.

Peran dan Fungsi Arsitektur Vernakular


Di dalam konteks arsitektur, peran dan fungsi arsitektur vernakular menjadi penting bukan hanya di
Indonesia saja tetapi juga di Asia, karena Asia terdiri dari berbagai macam budaya dan adat yang berlainan
di berbagai wilayahnnya, dimana setiap wilayah memiliki ciri arsitektur yang spesifik dan berasal dari
tradisi. Antara tradisi dan arsitektur vernakular sangat erat hubungannya. Tradisi memberikan suatu
jaminan untuk melanjutkan kontinuitas akan tatanan sebuah arsitektur melalui sistem persepsi ruang,
bentuk, dan konstruksi yang dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan secara
perlahan melalui suatu kebiasaan. Misalnya bagaimana adaptasi masyarakat lokal terhadap alam, yang
memunculkan berbagai cara untuk menanggulangi, misalnya iklim dengan cara membuat suatu tempat
bernaung untuk menghadapi iklim dan menyesuaikannya dengan lingkungan sekitar dan dengan
memperhatikan potensi lokal seperti potensi udara, tanaman, material alam dan sebagainya, maka akan
terciptalah suatu bangunan arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna.
Kesederhanaan inilah yang merupakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk khas dari arsitektur vernakular
dan tradisional serta menunjukkan bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan.
Hasil karya rakyat ini merefleksikan akan suatu masyarakat yang akrab dengan alamnya,
kepercayaannya, dan norma-normanya dengan bijaksana.

Sejarah Arsitektur Vernakular

Di Indonesia, berbagai jenis rumah tradisional dianggap sebagai tradisi vernakular Indonesia dan
dipercaya memiliki kesamaan asal muasal dari tradisi pembangunan kuno. Hal ini terutama dirujukkan
pada tradisi arsitektur Austronesia yang dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi
budaya Austronesia. Asal muasal dari tradisi arsitektur ini dapat dirunut kembali hingga budaya manusia
kuno yang mendiami daerah pantai dan sungai-sungai Cina Selatan dan Vietnam Utara kurang lebih 4000
tahun SM. Pada masa itu, kelompok-kelompok masyarakat melakukan migrasi dan diperkirakan memiliki
kesamaan tradisi arsitektur yang dinamai dengan tradisi arsitektur Austronesia, dan sebagai
konsekuensinya, maka hampir di seluruh kepulauan Indonesia rumah tradisional yang merupakan warisan
arsitektur vernakular memiliki kesamaan bentuk, baik dari bentuk bangunan serta dari bentuk morfologis
struktur dasarnya.
Bentuk struktur dan fitur morfologis rumah-rumah tradisional Indonesia terdiri atas dua macam, yaitu rumah
tradisional yang dibangun berdasarkan prinsip tipikal tradisi arsitektural Austronesia kuno yaitu: struktur
kotak yang didirikan di atas tiang fondasi kayu, dapat ditanam kedalam tanah atau diletakkan di atas
permukaan tanah dengan fondasi batu, lantai panggung, atap miring dengan jurai yang diperpanjang dan
bagian depan atap yang condong mencuat keluar [3]. Sedangkan di bagian timur kepulauan Indonesia
banyak tipe rumah tradisional digolongkan sebagai bagian dari tradisi arsitektur vernakular, dimana pada
bentuk bangunannya biasanya memiliki: lantai berbentuk lingkaran dan berstruktur atap kerucut tinggi
seperti bentuk sarang tawon atau struktur atap berbentuk kubah elips [4].
Rumah tradisional di seluruh kepulauan nusantara, baik yang berbentuk kotak maupun yang berstruktur
atap kubah, biasanya dibangun dengan kayu dan material alami lainnya seperti bambu, daun palem,
rumput, dan serat yang semuanya diambil langsung dari lingkungan alaminya. Selain itu, rumah dibangun
oleh penghuninya sendiri atau masyarakat yang kadang dibantu oleh pengrajin terlatih atau dibawah
petunjuk pengawas bangunan yang berpengalaman atau keduanya. Berbeda dengan konstruksi fisiknya,
rumah tradisional di seluruh kepulauan nusantara memiliki kesamaan ciri dalam terminologi makna
simbolik yang dikandung oleh rumah, dimana ukuran dan bentuk rumah mengindikasikan tingkat sosial dan
status dari pemiliknya didalam masyarakat. Rumah juga sering dipandang sebagai tempat bersemayam
nenek moyang dan digunakan sebagai tempat ritual dan upacara untuk menghormati mereka, dan juga
digunakan saebgai tempat penyimpanan benda-benda pusaka nenek moyang. Ciri penting umum lainnya
adalah penggunaan berbagai jenis oposisi polar dalam ruang, seperti depan dan belakang, timur dan
barat, kiri dan kanan, serta dalam dan luar yang disesuaikan dengan pembedaan kelas diantara berbagai
kelompok sosial masyarakat kesukuan secara umum.

Beberapa Kategori Tradisi Vernakular Arsitektur di Indonesia

Masyarakat yang mendiami daerah pedalaman, terutama di pegunungan mempunyai tradisi yang bila
dilihat dari perspektif sejarah kebudayaannya dianggap lebih tua dibandingkan dengan masyarakat yang
tinggal di dataran rendah atau area pantai. Bangunan tradisional yang dibangun oleh masyarakat yang
tinggal dipedalaman dianggap memperlihatkan kemiripan yang lebih besar dengan tradisi arsitektural dan
ragam bangunan Austronesia dan dengan tradisi yang tergambar di Candi Borobudur di Jawa Tengah
daripada masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah dan di pantai. Rumah tradisional yang
dibangun oleh masyarakat Toraja di Sulawesi selatan dan masyarakat Batak yang tinggal di Sumatra Utara
dipandang sebagai bentuk rumah tradisional yang lekat dengan tradisi arsitektur vernakular dari nenek
moyang mereka. Masyarakat Aceh di Sumatra Utara, masyarakat Baduy dan Tengger di Pulau Jawa,
masyarakat Bali Aga (Bali Mula) di Bali, dan masyarakat Dayak di Pulau Kalimantan, serta beberapa
masyarakat dikepulauan Indonesia Timur juga dianggap sebagai masyarakat kuno, akan tetapi, rumah
tradisional mereka jika dari sudut pandang kebudayaan, sebenarnya termasuk dalam tradisi arsitektur
asing yang muncul di kepulauan Indonesia yang merupakan bagian dari ekspansi Hindu-Buddha, Islam,
dan Eropa.
Oleh karena itu, ada beberapa kategori tradisi vernakular arsitektur dan langggam bangunan Indonesia,
yaitu:

Bangunan tradisional yang dibangun berdasar tradisi kuno Austronesia


Rumah tradisional Indonesia saat ini yang merupakan contoh rumah yang mempunyai karakter dasar dan
fitur tradisi dari arsitektur vernakular yang masih kuat dapat ditemukan dibeberapa daerah pedalaman di
berbagai pelosok Nusantara, seperti dapat dilihat pada rumah Batak dan rumah Tongkonan Toraja,
keduanya memiliki beberapa perbedaan yang umumnya tampak bahwa rumah-rumah ini dibangun dengan
mengikuti tradisi arsitektur vernakuler kuno dan langgam bangunan Austronesia sebelum adanya tradisi
dan langgam bangunan Hindu-Budha, Islam, dan kolonial Belanda.

Rumah Batak

Rumah tradisional masyarakat Batak yang mendiami pedalaman pegunungan di sekitar Danau Toba dan
di Pulau Samosir di Provinsi Sumatra Utara merupakan bentuk umum dan fitur tradisi arsitektur kuno di
Indonesia. Masyarakat Batak terbagi atas enam keluarga besar, yang membangun rumah tradisional dan
pengaturan rumah mereka dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada pertanian yang mereka
garap. Disamping itu, tradisi arsitektur vernakular Batak juga terdapat pada bangunan komunal (bale),
lumbung padi (soro), serta bangunan untuk menggiling beras dan rumah untuk orang menyimpan jenazah
(joro).
Rumah Batak
http://www.prof-marlon.blogspot.com

Makna Filosofis Arsitektur Rumah Adat Batak


Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah
Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan
Mandailing. Suku Batak Toba adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal sebagai
penduduk asli disekitar Danau Toba di Tapanuli Utara. Pola perkampungan pada umumnya
berkelompok. Kelompok bangunan pada suatu kampung umumnya dua baris, yaitu barisan
Utara dan Selatan. Barisan Utara terdiri dari lumbung tempat menyimpan padi dan barisan
atas terdiri dari rumah adat, dipisahkan oleh ruangan terbuka untuk semua kegiatan sehari-
hari.

Desa-desa di daerah Danau Toba, meskipun saat ini telah kehilangan dibandingkandengan
bentuk desa masa lampau, tetapi ciri yang umum masih ada bahkan pada desa-desa yang
kecil, yaitu dikelilingi oleh sebuah belukar bambu. Pohon-pohon bambu sangat tinggi dan
seringkali sulit untuk melihat rumah-rumahnya dari luar desa itu, kecuali didaerah yang
berbukit. Di sekitar Balige, poros bangunan yang panjang mempunyai arah Utara-Selatan
sedang di daerah bukit poros bangunan yang panjang sering diorientasikan secara melintang
ke arah sudut-sudut yang tepat ke lereng-lereng bukit. Di daerah Samosir, poros bangunan
yang panjang diarahkan ke Timur-Barat.

Pada mulanya Huta, Lumban, atau kampung itu hanya dihuni oleh satu klan atau marga dan
Huta itu pun di bangun oleh klan itu sendiri. Jadi sejak mulanya Huta itu adalah milik
bersama. Sebagaimana ciri khas orang Batak yang suka gotong royong, demikianlah mereka
membangun Huta. Oleh karena Huta didiami oleh sekelompok orang yang semarga, maka
ikatan kekeluargaan sangat erat di Huta itu. Mereka secara gotong royong membangun dan
memperbaiki rumah, secara bersama-sama memperbaiki pancuran tempat mandi,
memperbaiki pengairan, mengerjakan ladang dan sawah, dan bersama-sama pula memetik
hasilnya.

Biasanya Huta hanya didiami beberapa anggota keluarga yang berasal dari satu leluhur.
Disebabkan oleh pertambahan penduduk, kemudian dibangunlah rumah dekat rumah leleuhur
atau ayah yang pertama. Demikian seterusnya bangunan rumah makin bertambah, sehingga
terbentuk perkampungan yang lebih ramai. Sering pula kampung itu terdiri dari beberapa
kelompok kampung-kampung kecil, yang hanya dipisahkan pagar bambu yang ditanam
dipinggiran kampung.

Adanya usaha beberapa orang dari anggota masyarakat dalam satu kampung untuk
memisahkan diri dan membentuk kampung sendiri, dapat membuat berdirinya Huta lain.
Suatu Huta yang baru, hanya dapat diresmikan kalau sudah ada ijin dari Huta yang lama
(Huta induk) dan telah menjalankan suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang
kepada Huta induk.

Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam rumah yang
digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan rumah yang digunakan sebagai
tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo. Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu
dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari
papan sedangkan atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya
yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang dilekatkan tanduk
kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau.

Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah tiang-tiang pada
kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal, asta dan langkah seperti ukuran-ukuran
yang pada umumnya dipergunakan pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerah-
daerah lain. Pada umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-
ukiran yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional Batak.
Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh makna dan arti.
Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah maupun pandangan hidup orang
Batak yang suka musyawarah, gotong royong, suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis
dan kreatif.

Ruma Parsantian didirikan oleh sekeluarga dan siapa yang jadi anak bungsu itulah yang
diberi hak untuk menempati dan merawatnya. Di dalam satu rumah dapat tinggal beberapa
keluarga , antara keluarga bapak dan keluarga anak yang sudah menikah. Biasanya orangtua
tidur di bagian salah satu sudut rumah. Seringkali keluarga menantu tinggal bersama orangtua
dalam rumah yang sama.

Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya tritunggal
benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan dengan atap rumah; Benua
Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan dengan lantai dan dinding; Benua Bawah
sebagai tempat kematian dilambangkan dengan kolong. Pada jaman dulu, rumah bagian
tengah itu tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah harus melalui tangga dari
kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak tangga. Bersambung.

Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah
Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan
Mandailing. Sebelum meletakkan pondasi lebih dahulu diadakan sesajen, biasanya berupa
hewan, seperti kerbau atau babi. Caranya yaitu dengan meletakkan kepala binatang tersebut
ke dalam lubang pondasi, juga darahnya di tuang kedalam lubang. Tujuannya supaya pemilik
rumah selamat dan banyak rejeki di tempat yang baru.

Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk memikul bagian
atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat panjang. Balok untuk
menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang yang lebih tebal dari papan. Berfungsi
untuk mempersatukan tiang-tiang depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan
dipegang oleh solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk
jalannya kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong.

Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan (balatuk tunggal),
terbuat dari potongan sebatang pohon atau tiang yang dibentuk menjadi anak tangga. Anak
tangga adalah lobang pada batang itu sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya
terbuat dari sejenis pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga
betina (balatuk boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras dan jumlah anak
tangganya ganjil.

Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan oleh papan yang
agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang depan dan belakang. Pada waktu
peletakannya, tepat di bawah tiang ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur
ayam yang telah dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.

Rumah adat Batak Toba pada bagian-bagian lainnya terdapat ornamen-ornamen yang penuh
dengan makna dan simbolisme, yang menggambarkan kewibawaan dan kharisma. Ornamen-
ornamen tersebut berupa orang yang menarik kerbau melambangkan kehidupan dan semangat
kerja, ornament-ornamen perang dan dan sebagainya. Teknik ragam hias terdiri dari dua cara,
yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir digunakan pisau tajam dengan alat
pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu. Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari
batu-batuan atau pun tanaga yang keras dan arang. Atap rumah terbuat dari ijuk yang terdiri
dari tiga lapis. Lapisan pertama disebut tuham-tuham ( satu golongan besar dari ijuk, yang
disusun mulai dari jabu bona tebalnya 20 cm dan luasnya 1x1,5 m2). Antara tuham yang satu
dan dengan tuham lainnya diisi dengan ijuk agar permukaannya menjadi rata. Lapisan kedua,
yaitu lalubaknya berupa ijuk yang langsung diambil dari pohon Enau dan masih padat,
diletakkan lapis ketiga. Setiap lapisan diikat dengan jarum yang terbuat dari bambu dengan
jarak 0,5 m.

Sebelum mendirikan bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Hasil musyawarah


dikonsultasikan kepada pengetua untuk memohon nasihat atau saran. Setelah diadakan
musyawarah, tindakan berikutnya adalah peninjauan tempat. Apabila tempat tersebut
memenuhi persyaratan, maka ditandai dengan mare-mare yakni daun pohon enau yang masih
muda dan berwarna kuning, yang merupakan pertanda atau pengumuman bagi penduduk
disekitarnya bahwa tempat tersebut akan dijadikan bangunan.
Tahap pertama adalah pencarian pohon-pohon yang cocok kemudian ditebang dan
dikumpulkan disekitar tempat-tempat yang akan didirikan rumah. Kemudian bahan-bahan
tersebut ditumpuk ditempat tertentu agar terhindar dari hujan dan tidak cepat lapuk atau
menjadi busuk.

Dalam mendirikan suatu rumah adat biasanya memakan waktu sampai lima tahun. Sudah
barang tentu memakan biaya banyak, karena banyaknya hewan yang dikorbankan, untuk
memenuhi syarat-syarat dan upacara-upacara yang diadakan, baik sebelum mendirikan
bangunan (upacara mengusung bunti), pada waktu mendirikan bangunan (upacara parsik
tiang) pada waktu memasang tiang, dan panaik uwur (pada waktu memasang uwur) maupun
pada waktu bangunan telah selesai, yaitu upacara memasuki rumah baru (mangopoi jambu)
dan upacara memestakan rumah (pamestahon jabu)

Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah
Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan
Mandailing.
Daerah yang ditempati oleh suku Batak Simalungun terletak diantara daerah Karo dan Toba
di Sumatera Utara. Pada waktu ini sudah hampir tidak terdapat lagi desa-desa tradisional dari
suku Batak Simalungun, yang dahulunya merupakan sebuah desa yang besar sekali
dikelilingi oleh pohon-pohon beracun. Desa tersebut dibangun di atas sebuah bukit, dan sulit
sekali untuk dimasuki kecuali melewati terowongan-terowongan yang langsung dapat
mencapai tengah-tengah desa.

Arsitektur tradisional dari suku Batak Simalungun masih dapat dipelajari dari empat jenis
bangunan yang masih ada, dalam bentuk Balai Buttu (pintu gerbang rumah), Jambur
(gudang), Bolon adat (rumah raja) dan Balai Bolon Adat (gedung pertemuan dan pengadilan).
Balai Buttu dicapai dengan anak tangga dari kayu, luasnya kira-kira 6m2 dan tingginya 6 m.
Dasarnya adalah balok-balok horisontal yang dibangun dalam bentuk persegi, di susun di atas
empat buah batu kali dengan alas ijuk diantara batu dan papan . jambur digunakan untuk
menyimpan beras, tetapi dipakai juga sebagai tempat tinggal tamu laki-laki dan tempat
dimana para bujangan tidur.

Fungsi dari bangunan ini seperti yang ada di Pematang Purba, tampaknya telah menyimpang
dari penggunaan aslinya dan terlihat pada tungku perapiannya. Bagian atas menunjukkan
bahwa kegunaan utamanya telah menjadi tempat tinggal dan bukan dipergunakan sebagai
tempat penyimpanan beras. Bangunan ini kira-kira luasnya 25 m2 dan tingginya 7m.
Strukturnya di atas dua belas batu kali yang tiga menyilang ke depan dan empat dari depan ke
belakang. Lantai yang lebih rendah hanya 75 cm dari tanah dan ditopang tiga lapis palang
balok. Lumbung digantungkan di atas tungku di tingkat atas, dimana penggunaan utama dari
bangunan tersebut tetap sebagai tempat penyimpanan beras.

Balai Balon Adat semula digunakan untuk tempat pertemuan-pertemuan dan untuk
membahas masalah penting dalam hukum adat. Sistem pembangunannya sama seperti Balai
Buttu, tetapi dalam skala lebih besar. Perbedaan utamanya adalah pada tiang penyangga
struktur atap yang diletakkan di atas balok lantai. Tiang berdiameter 35 cmdan dibuat dari
kayu yang sangat keras. Dasar dari tiang ini sangat penting dan ditutupi dengan ukiran,
lukisan dan tulisan yang berhubungan dengan hukum adat. Bagian depan (Timur) adalah
pintu, lebarnya 80 cm dan tingginya 1,5 m, dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan
dengan dua kepala singa pada ambang pintu.
Potongan yang lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi pintunya dipenuhi
dengan papan tiang jendela vertikal yang membiarkan masuknya cahaya dan angin. Rumah
Balon Adat (rumah raja) terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang besar dibangun pada tiang-
tiang vertikal, sedangkan yang kecil disusun pada tumpukan balok horisontal, pintu masuk
pada sisi sebelah Timur diapit oleh balkon atas dan bawah, menopang pada sambungan dari
bagian atap ke bagian depan bangunan. Ujung atapnya sederhana, dua puluh tiang yang
menopang lantai dibentuk menjadi ortogal dan dicat dengan motifgeometris hitam putih.

Tidak seperti bangunan lainnya, bangunan ini mempunyai lantai ganda dengan gang yang
menurun ke pusat pada lantai yang lebih rendah. Lantai yang rendah berada 2,80 m dari tanah
dan gang digantungkan dengan rota yang diikat pada dua pusat kayu, dilengkapi dengan
kumpulan papan yang terbentuk dengan indah sebagai dekorasinya. Tungku perapian
dibangun dari sisa pembakaran kayu dan dipenuhi dengan tanah. Di atas tungku dipasang
ayunan dimana peralatan memasak disimpan dan bahan makanan dikeringkan serta diasapi.

Pintu pada ujung sebelah Timur kamar raja berisi ruangan tidur kecil dan dua tungku api.
Konstruksi pada bagian bangunan ini sama dengan rumah pertemuan (Balai Balon adat)
kecuali struktur lantainya sedikit rumit sebagai akibat dari tungku tersebut. Penutup atap
keseluruhan adalah jalinan ijuk pada kaso dan papan kecil dari bambu. Bumbungan dikat
dengan ijuk dengan hiasan kepala kerbau pada puncaknya.

Pada bangunan Simalungun susunan strukturnya terdiri dari tiang-tiang bergaris tengah 40
sampai 50 cm. Sebagian besar adalah balok-balok dan tiang-tiang yang dibiarkan dalam
potongan bundar yang ditebang dari hutan. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah
kayu keras, kayu tongkang dan kadang-kadang keseluruhan bambu digunakan dalam jalinan
ijuk yang diikat dengan rotan atau bambu belah. Struktur tersebut ditata di atas batu-batu kali
yang besar kecuali untuk rumah raja. Tiang-tiangnya ditanam di dalam tanah. Pusat tiang
terpenting dari gedung pertemuan diukir dari kayu keras yang tebal. Paku tidak digunakan
dalam konstruksi, hanya pasak dan tali ijuk baji (sentung).
Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri dari
empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau untuk
dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai duabelas keluarga dapat tinggal di rumah
tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami, istri dan
tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai enam puluh
orang. Anak-anak tidur dengan orangtua sampai menjelang usia dewasa, pada pria dewasa
(bujangan) tidur di bale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain di
rumah lainnya.

Rumah adat Batak Karo berukuran 17x12 m2 dan tingginya 12m. Bangunan ini simetris pada
kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit untuk
membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan
enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunung atau sungai. Delapan dari
tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya penyangga
lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap. Kedua pintumasuk dan
kedelapan jendela dipasang di atas dinding yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu
setinggi orang dewasa dan jendela ukurannya lebih kecil. Pintu mempunyai daun pintu ganda
sedangkan jendela mempunyai daun jendela tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari
susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah
kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau
bambu. Bumbungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. Bagian terendah
dari atap pertama di bagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding
dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dari atap yang menonjol ditutup dengan
tikar bambu yang sangat indah.

Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk emmungkinkan asap keluar
dari tungku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung besar
yang disebut ture, konstruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan diameter
6 cm. Panggung ini dugunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan, sebagai tempat
pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan masuk menuju ture
adalah tangga bambu atau kayu.

Bagian pokok dari tungku perapian adalah untuk memasak, dibuat antara dua lantai sehingga
bagian dasarnya bersandar di atas bambu dan ujungnya adalah setingkat dengan lantai utama.
Sisi-sisi dari bagian pokok tersebut dibuat dari sisa-sisa kayu bakar dan ditempatkan pada
tanah yang keras. Sepanjang pertengahan dari rumah adalah gang yang sempit setingkat
dengan lantai dasar, dan sepanjang sisi-sisi dinding dibangun tempat tidur.

Interior dari rumah sangat gelap karena jendela-jendelanya yang kecil serta asap dari perapian
yang telah menghitamkan seluruh papan dan kayu-kayu. Tempat penyimpanan makanan dan
peralatan rumah tangga diletakkan dibagian atas rumah, dimana balok bulat yang
menghubungkan tiang-tiang penunjang yang menembus lantai pada setiap sisi rumah dan
menunjang struktur atap dan podium. Lumbung untuk menyimpan padi, yang dalam bahasa
daerah Batak disebut jambur, didirikan dalam tiga tingkatan. Selesai.

Anda mungkin juga menyukai