Anda di halaman 1dari 16

ALIRAN KETUHANAN

Pendahuluan
Aliran mengenai konsep keTuhanan berbeda dengan perkembangan konsep kepercayaan kepada Tuhan.
Kalau perkembangan konsep keTuhanan lebih menekankan pada aspek sejarah dan perubahan yang
terjadi dari satu fase ke fase berikutnya, sedangkan dalam aliran tentang konsep keTuhanan tidak dilihat
dari aspek sejarah, tetapi hubungan Tuhan dengan dunia dan makhluk-makhluk-Nya, seperti apakah
Tuhan jauh atau dekat dari alam? Dan apakah Tuhan setelah menciptakan alam selalu menjaga dan
mengaturnya?

Teisme
Teisme berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan yang tidak terbatas, antara Tuhan dan makhluk
sangat berbeda. Menurut teisme, Tuhan disamping berada di alam (Imanen), tetapi dia juga jauh dari
alam (Transenden). Ciri lain dari teisme menegaskan bahwa Tuhan setelah menciptakan alam, tetap
aktif dan memelihara alam. karena itu, dalam teisme mukjizat yang menyalai hukum alam diyakini
kebenarannya, begitu juga doa seorang akan digelar.
Ada beberapa tipe tentang teisme yaitu teisme rasional, dipelopori oleh Rene Descartes dan libnix,
teisme ekstensial, seperti Soren Kierkegaard, teisme fenomenologi seperti peter Koestenbaum, teisme
empiris, seperti Thomas Reid dan sebagainya. Semua tipe tersebut berbeda pandangan dalam cara
mendekati Tuhan.
Teisme juga bisa dibedakan dalam hal kepercayaan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam.
Sebagian besar penganut teisme percaya bahwa materi alam adalah nyata, sedangkan yang lain
mengatakan tidak nyata, itu hanya ekses dalam pikiran dan idea. Sebagian teis berpendapat bahwa
Tuhan menciptakan alam dan selalu ada bersamannya, sementara yang lain yakin bahwa alam harus
memiliki suatu permulaan yang berbeda. Perbedaan yang cukup menonjol dalam teisme adalah antara
agama Yahudi dan Islam di satu pihak dengan Kristen Ortodok di pihak lain. Dalam keyakinan orang-
orang Yahudi dan Islam, Tuhan adalah dzat yang Esa, sedangkan dalam Kristen yakin bahwa Tuhan
adalah tiga pribadi (Trinitas).
Dalam agama islam kejelasan tentang Tuhan adalah Esa sekaligus transenden dan imanen. Ayat yang
menunjukkan keesaan Tuhan berbunyi Qul Huwa Allahu Ahad sedangkan Transendensi Tuhan
dicantumkan dalam surat Al-Araf ayat 54 yang artinya, Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia berssemayam diatas Arsy. Imanensi
Tuhan dijelaskan dalam surat Qaf ayat 16, yang artinya, Dan sesungguhnya dibisikkan oleh hatinya, dan
kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.
Lebih lanjut konsep teisme dalam Islam dijelaskan oleh al-Ghozali. Menurutnya Allah adalah zat yang Esa
dan pencipta alam serta berperan aktif dalam mengendalaikan alam. Allah menciptakan alam dari tidak
ada. Karena itu, menurut al-Ghozali mujizat adalah suatu peristiwa yang wajar karena Tuhan bisa
mengubah hukum alam yang dianggap tidak bisa berubah. Menurut al-Ghozali, karena maha kuasa dan
berkehendak mutlak. Tuhan mampu mengubah segala ciptaan-Nya sesuai dengan kehendak mutlak-
Nya.
Dan tokoh Kristen yang pertama mengemukakan gagasan teisme adalah St. Agustinus. Menurutnya
Tuhan ada dengan sendirinya , tidak diciptakan, tidak berubah, abadi, bersifat personal dan maha
sempurna, Tuhan adalah kekuatan yang personal, yang terdiri atas tiga person, yaitu Bapak, Anak, Roh
Kudus, menurutnya Tuhan menciptakan alam, jauh dari alam , diluar dimensi waktu, tetapi Dia
mengendalaikan setiap kejadian dalam alam, karena itu menurut Agustinus, mujizat adalah benar-benar
ada karena Tuhan selalu mengatur ciptaan-Nya.
Manusia, menurut Agustinus sama dengan alam, tidak abadi. Manusia terdiri atas jasad yang fana dan
jiwa yang tidak mati. Setelah kematian jiwa menunggu penyatuan, baik dengan jasad lain maupun
dengan keadaan yang lebih tinggi yaitu sorga atau neraka. Ketika dibangkitkan jiwa manusia akan
mencapai kesempurnaan. Karena itu, hakikat yang sebenarnya dari manusia adalah jiwa, bukan
jasadnya. Jiwa yang bersih akan kembali ke penciptanya yaitu Tuhan.
Ibn maimun seorang filosof Yahudi yang berpaham teisme menyatakan, Tuhan meliputi semua posisi
yang penting, tidak berjasad dan tidak berpotensi dan tidak menyerupai makhluk. Dalam hal ini Tuhan
sama sekali jauh dari pengetahuan dan pemahaman manusia. Bukti Tuhan memperhatikan nasib
makhluknya ialah Dia memberikan nimat kepada makhluk bertingkat tingkat.
Kontribusi positif yang terdapat dalam teisme antara lain:
Pertama, hampir semua pemikir, baik ateisme maupun teisme mengakui adanya suatu realitas moral
tertinggi yang perlu dianut. Namun, moral ateisme tidak bisa diidentifikasi secara jelas dan diusut
asalnya, sedangkan, moral teisme dapat diidentifikasikan dan diusut asalnya, yakni Tuhan.
Kedua, dalam kehidupan yang selalu berubah, teisme menawarkan suatu landasan yang kokoh. Teisme
menegakkan standar moral yang universal untuk semua manusia, bahkan untuk semua ras. Standar nilai
yang absolut ini mengungguli moral dan tingkah laku yang dibuat oleh manusia yang bersifat relatif dan
berubah.
Ketiga, sebagian besar aliran pemikiran menempatkan manusia dalam posisi tertinggi. Teisme
meletakkan suatu dasar yang kokoh dalam menghargai manusia, dengan prinsip bahwa manusia adalah
ciptaan Tuhan dan sekaligus wakilnya dimuka bumi. Jadi, dasar ketinggian martabat manusia karena
Tuhan menciptakannya lebih tinggi daripada makhluk yang lain.
Keempat, ketika para penganut pendangan nihilisme yang menyimpulkan bahwa hidup adalah sesuatu
yang tidak bernilai, teisme menawarkan suatu tujuan tertinggi bagi kehidupan. Teisme mempertegas
keberadaan manusia di dunia, dari mana sedang kemana dan mau kemana. Utnuk itu, teisme
menawarkan kehidupan yang abadi setelah mati.

Daisme
Kata deisme berasal dari bahasa latin eus yang berarti Tuhan dari akar kata ini kemudian menjadi dewa,
bahkan kata Tuhan sendiri masih dianggap berasal dari deus. Menurut faham deisme, Tuhan berada
jauh dari luar alam. Tuhan menciptakan alam dan sesudah alam diciptakan, ia tidak memperhatikan dan
memelihara alam lagi. Alam berjalan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan ketika
proses penciptaan. Peraturan-peraturan tersebut tidak berubah-ubah dan sangat sempurna. Dalam
paham deisme, Tuhan diibaratkan dengan tukang jam yang sangat ahli, sehingga setelah jam itu selesai
tidak membutuhkan si pembuatnya lagi. Jam itu berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah tersusun
dengan rapi.
Para penganut deisme sepakat bahwa Tuhan Esa dan jauh dari alam, serta maha sempurna. Mereka juga
sepakat bahwa Tuhan tidak melakukan interbensi pada alam lewat kekuatan supernatural.
Bagaimanapun, tidak semua penganut deisme setuju tentang keterlibatan Tuhan dalam alam dan
kehidupan sesudah mati. Karena itu, atas dasar perbedaan tersebut deisme dapat dibadi atas empat tipe
yaitu:
Pertama, Tuhan tidak terlibaat dengan pengaturan alam. Dia menciptakan alam dan memprogramkan
perjalanannya, tetapi dia tidak menghiraukan apa yang telah terjadi atau apa yang akan terjadi.
Kedua, Tuhan terlibat dengan kejadian-kejadian yang sedang terlangsung dialam, tetapi bukan mengenai
perbuatan moral manusia. Manusia memiliki kebebasan utnuk berbuat baik atau buruk, bermoral atau
tidak bermoral, dan jujur atau bohong, semuanya itu bukan urusan Tuhan.
Ketiga, Tuhan mengatur alam dan sekaligus memperhatikan perbuatan moral manusia. Sesungguhnya
Tuhan ingin menegaskan bahwa manusia harus tunduk pada hukum moral yang telah dia tetapkan
dijagad raya. Bagaimanapun, manusia tidak akan hidup sesudah mati. Ketika seseorang mati, maka
babak terakhir kehidupannya ditutup.
Keempat, Tuhan mengatur alam dan mengharapkan manusia mematuhi hokum moral yang berasal dari
alam. Pandanganaini berpendapat bahwa ada kehidupan setelah mati. Seseorang yang berbuat baik
akan dapat pahala dan yang berbuat jahat akan dapat hukuman. Pandangan tersebut berkembang dan
banya dianut di Amerika dan Inggris.
Aspek positif dari deisme adalah peranan akal ditonjolkan dalam deisme untuk memahami masalah-
masalah agama secara lebih kritis. Kendati deime memberikan kotribusi yang positif terhadap pemikiran
keagamaan, namun disisi lain deisme tidak luput dari kritikan dan kelemahan.

PANTEISME

Panteisme terdiri dari tiga kata, yaitu Pan, berarti seluruh, Theo, berarti Tuhan, dan Ism (Isme), berarti
paham. Jadi, Pantheism atau Panteisme adalah Paham bahwa seluruhnya Tuhan.
Panteisme berpendapat bahwa seluruh alam ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam. Tuhan
dalam panteisme adalah satu dan sangat dekat dengan alam (imanen), hanya Tuhan mempunyai
penampakan-penampakan atau cara berada tuhan di alam. Tuhan dalam panteisme, disamping Esa juga
Maha Besar, dan tidak berubah. Alam indrawi adalah ilusi atau khayal belaka karena selalu berubah.
Adapun, yang wujud hakiki hanya satu, yakni Tuhan.
Dalam Islam paham ini dikenal dengan nama Wahdat al- wujud (kesatuan wujud) yang dikemukakan
oleh al-Arabi. Antara paham Wahdat al- wujud dan Panteisme, disamping memiliki persamaan juga ada
perbedaan. Dalam Panteisme alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, sedangkan dalam Wahdat al-
wujud alam bukan Tuhan, tetapi bagian dari Tuhan.
Konsep Panteisme yang paling kuno terdapat dalam agama Hindu. Agama Hindu hanya mengakui satu
realitas yang tertinggi, yaitu Brahman. Brahman adalah Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata,
diraba dengan tangan, didengar dengan telinga, dan diucapkan dengan lidah. Filosof modern yang
mempelopori Panteisme adalah Benedict de Spinoza, dan beberapa tokoh mutaakhir, seperti Victor
Ferkiss dan Mary Long.
Letak perbedaan antara Teisme dan Panteisme. Dalam Teisme Tuhan adalah zat yang personal yang
menciptakan alam, maka Tuhan dengan alam tidak sama, sebab Tuhan adalah pencipta dan alam adalah
hasil ciptaan-Nya, tetapi Panteisme menganggap Tuhan adalah kesatuan umum (impersonal), yang
mengungkapkan dirinya dalam alam. Dalam Panteisme segala sesuatu adalah Tuhan, tidak satu pun yang
tidak tercakup didalam-Nya dan tidak satu pun yang bisa berada tanpa Tuhan.
Sebagaimana Teisme dan Deisme, Panteisme juga memiliki beberapa kelebihan dan sekaligus
kekurangan. Kelebihannya adalah:

Pertama, Panteisme diakui menyumbangkan suatu pemikiran yang menyeluruh (holistic) tentang
sesuatu, tidak hanya bagian tertentu saja.
Kedua, Panteisme menekankan imanensi Tuhan, sehingga seseorang selalu sadar bahwa Tuhan selalu
dekat dengan dirinya. Dengan demikian, dia mampu mengontrol diri dan berusaha berbuat sesuai
dengan ketentuan Tuhan.
Ketiga, Panteisme menegaskan bahwa seseorang tidak mampu memberi batasan terhadap Tuhan
dengan bahasa manusia yang terbatas. Jika Tuhan tidak terbatas dan trasenden, semua pembatasan /
pengertian harus ditiadakan karena yang tidak terbatas tidak bisa ditangkap oleh sesuatu yang terbatas.
Oleh karena, keberadaan Tuhan dalam alam adalah sekaligus untuk memudahkan pemahaman tentang
Tuhan.

Kelemahan dari konsep Panteisme ini adalah:


Pertama, Menurut panteisme yang radikal, manusia adalah Tuhan, sedangkan Tuhan dalam pandangan
ini tidak berubah dan abadi. Kenyataan manusia berubah dan tidak abadi. Karena itu, bagaimana
manusia menjadi Tuhan, ketika manusia berubah, sedangkan Tuhan tidak.
Kedua, Panteisme mengatakan bahwa alam ini adalah maya bukan hakiki. Kalau ini dijadikan pegangan,
maka bagaimana halnya dengan lampu lalu lintas, apakah lampu itu maya atau benar-benar real. Kalau
berpegang pada Panteisme lampu itu adalah fantasi dan maya, begitu juga mobil-mobil.
Ketiga, Jika Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan sebagaimana ditegaskan oleh panteisme, maka
tidak ada konsep kejahatan atau tidak ada kemutlakan kejahatan dan kebaikan.
Ada empat kemungkinan mengenai kejahatan dan kebaikan:
1. Jika Tuhan sama sekali baik, ,tentu kejahatan berada diluar Tuhan, tetapi hal ini mustahil karena tidak
ada yang diluar Tuhan dan Tuhan adalah semuanya.
2. Jika Tuhan jahat, tentu kebaikan berada diluar Tuhan. Ini juga mustahil karena tidak ada yang diluar
Tuhan dan Tuhan adalah semuanya.
3. Tuhan adalah baik dan sekaligus jahat. Ini adalah kerancuan berpikir karena ada dua hal yang
bertentangan dalam waktu yang sama
4. Kebaikan dan kejahatan adalah ilusi. Kalau itu hanya ilusi, bagaimana seseorang membedakan antara
kesedihan dan kegembiraan, antara memuji dan mencaci. Karena itu, moralitas dalam panteime tidak
bermakna dan pondasi moral dalam panteisme tidak ada.

PANENTEISME
Panteisme berarti semua adalah Tuhan, tetapi Panenteisme berarti semua dalam Tuhan. Ada beberapa
perbedaan antara Teisme klasik dan Panenteisme. Dalam Teisme Tuhan adalah pencipta dari tidak ada,
berkuasa atas alam, tidak tergantung pada alam, tidak berubah, dan maha sempurna. Sedangkan dalam
Panenteisme, Tuhan adalah pengatur dari materi yang sudah ada, bekerja sama dengan alam,
tergantung pada alam, berubah, dan menuju kesempurnaan.
Salah seorang pelopor Panenteisme adalah Alfred North Whitehead, dia seorang filosof dan ahli
matematika dari Inggris. Menurut Whitehead, Tuhan bisa diklasifikasikan dalam tiga konsep yaitu:
1. Konsep Asia Timur tentang tatanan yang imperasonal yang sejalan dengan alam. Tatanan ini
mengatur sendiri dalam alam; alam tidak tunduk pada suatu aturan. Konsep ini menegaskan imanensi
Tuhan.
2. Konsep Semit tentang suatu zat yang personal yang eksistensinya adalah realitas metafisik yang
tertinggi, absolut, dan mengatur alam.
3. Konsep Panteistik, yang sudah tergambar dalam konsep Semit. Namun, panteisme berbeda dalam
memandang alam. Alam bagian yang terpisah dari Tuhan dan bersifat maya. Realitas hanya Tuhan dan
dalam beberapa hal, alam menampakkan diri Tuhan.
Whitehead menolak semua pandangan tersebut. Menurutnya, sebagian besar Gereja-gereja Kristen,
adalah munafik karena akal dimodifikasi agar menyatakan kesatuan yang personal, disisi lain ada
desakan akan imanensi.
Sebagaimana konsep yang terdahulu, Panenteisme juga tidak luput dari kritikan dari penganut Teisme,
antara lain adalah :
1. Ide tentang satu Tuhan yang sekaligus terbatas dan tidak terbatas, mungkin dan tidak mungkin,
absolut dan relatif adalah kerancuan berpikir.
2. Ide tentang Tuhan sebagai wujud yang disebabkan oleh diri sendiri menimbulkan problem. Sulit untuk
mengakui suatu wujud mampu menyebabkan dirinya sendiri.
3. Sulit untuk dimengerti bagaimana segala sesuatu yang relatif dan selalu berubah, bisa diketahui
kebenarannya. Mampukah seseorang mengetahui bahwa sesuatu berubah, tanpa adanya standar yang
tidak berubah yang digunakan untuk mengukur perubahan?
Para pendukung Panenteisme menghadapi suatu dilemma. Mereka meyakini Tuhan meliputi semua
jagat raya dalam waktu yang sama. Namun, mereka juga meyakini Tuhan terbatas dalam waktu dan
ruang. Sesuatu yang terbatas oleh waktu dan ruang tidak mampu berfikir/mengetahui melebihi
kecepatan cahaya. Karena jagat raya terlalu luas, maka seseorang yang ingin mengitarinya perlu waktu
bertahun-tahun dengan kecepatan 186.000 mil per detik. Oleh sebab itu, mustahil Tuhan yang terbatas
oleh waktu dan ruang mampu meliputi semua jagat raya.

Penutup
Dari semua pandangan tentang teisme, deisme, panteisme, dan panenteisme, tidak dapat memuaskan
para filosof, dan ketidakpuasan mereka atas berbagai pandangan diatas adalah wajar karena hal itu
adalah pernainan logika dan katagori-katagori akal. Lagi pula ruang metafisika terbuka untuk
mengadakan spekulasi sebanyak mungkin dan sedalam- dalamnya. Karena itu, menurut penganut
agama penjelasan yang sangat memuaskan tentang Tuhan bukan berasal dari akal, tetapi dari wahyu.
Wahyulah yang mendatangkan ketenangan dan sekaligus kejelasan tentang Tuhan. Akal hanya sebagai
alat bantu untuk memahami wahyu tersebut, bukan sebagai sumber utama.
Penelitian tentang Allah dalam Ilmu Filsafat

Tuhan dalam gambaran "kubus" dalam judul Tuhan tidak bermain dadu : Tuhan menciptkan
dunia penuh

Penelaahan tentang Allah dalam filsafat lazimnya disebut teologi filosofi.[3] Hal ini bukan
menyelidiki tentang Allah sebagai obyek, namun eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang
diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-
Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.[3] Jadi pemahaman
Allah di dalam agama harus dipisahkan Allah dalam filsafat.[3] Namun pendapat ini ditolak oleh
para agamawan, sebab dapat menimbulkan kekacauan berpikir pada orang beriman.[3] Maka
ditempuhlah cara ilmiah untuk membedakan dari teologi dengan menyejajarkan filsafat
ketuhanan dengan filsafat lainnya (Filsafat manusia, filsafat alam dll).[3] Maka para filsuf
mendefinisikannya sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara
refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri
kita.[3]

Agama : Studi tentang tabiat Allah dan kepercayaan


Ide tentang Allah pada orang beragama secara umum biasanya dijelaskan dalam tabiat Allah;
"Yang Maha Tinggi" (Anselmus mengatakan: "Allah adalah sesuatu yang lebih besar dari
padanya tidak dapat dipikirkan manusia)Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Baik
dan sebagainya.[3][4][1] Menurut Anselmus, ajaran-ajaran kristiani bisa dikembangkan dengan
rasional, jadi tanpa bantuan otoritas lain (Kitab Suci, wahyu, ajaran Bapa Gereja).[1] Bahkan ia
bisa menjelaskan eksistensi Allah dengan suatu argumen yang bisa diterima bahkan juga oleh
mereka yang tidak beriman.[1] Eksistensi Allah dimulai dari pikiran manusia yang menerima
begitu saja ajaran agama, namun juga menanyakannya dari siapa dan mengapa dirinya ada, alam
alam, dan Allah sendiri bisa diterima adanya.[2]

Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan akan adanya Allah:
Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan ajaran turun-temurun dari para
pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan tanpa bertanya.[2]
Manusia mulai bertanya mengapa dirinya ada?[2] Mengapa alam ada?[2]
Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, isinya, dan mengapa Dia ada?[2]

Semua jawaban itu akan dijawab oleh para ahli dalam bidang yang disebut teologi; theos dan
logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan ALlah.[2] Jawaban-jawabannya bisa
sangat beragam, tergantung agama dan kepercayaan yang mana yang memberikan jawaban.[2]
Namun setidaknya ada beberapa kesimpulan yang mereka berikan sebagai jawaban:

- Allah ada, dan adanya Allah itu dapat dibuktikan secara rasional juga; - Allah ada, tetapi tidak
dapat dibuktikan adanya; - tidak dapat diketahui apakah Allah benar-benar ada; - Allah tidak ada,
dan ketentuan ini dapat dibuktikan juga.[2]

Oleh karena itu filsafat berusaha membuktikan keyakinan-keyakinan manusia itu melalui
berbagai jalan; metafisika, empirisme, rasionalisme, positivisme, spiritualisme dll.[2]

Teisme
Teisme adalah faham yang mempercayai adanya Tuhan.[2] Berasal dari bahasa Yunani
=Teos dan =hukum=aturan=paham, jadi sebuah aturan atau paham tentang Tuhan
atau pengakuan adanya Tuhan.[2]

Di bawah ini beberapa pemikir yang mempercayai adanya Allah, maka dengan begitu mereka
pasti orang beragama:

Santo Agustinus(354-430)

Santo Agustinus percaya bahwa Allah ada dengan melihat sejarah dari drama penciptaan, yang
melibatkan Allah dan manusia.[4] Allah menciptakan daratan untuk manusia, menciptakan
manusia (Adam) yang berdosa melawan Allah.[4] Lalu Adam dan Hawa diusir dari Taman
Eden.[4] Kemudian setelah manusia berkembang, mereka berdosa lebih lagi dan dihukum dengan
air bah dalam sejarah Nuh.[4] Orang-orang Yahudi yang diberikan perjanjian Allah ternyata tidak
dapat memeliharanya sehingga dihukum melalui bangsa-bangsa lain.[4] Lalu Allah yang maha
kasih menebus manusia melalui Yesus Kristus.[4] Dari sejarah ini Allah dapat selalu ada di
tengah-tengah manusia.[4] Memang Agustinus adalah Bapa gereja, Uskup dari Hippo yang
membela eksistensi Allah dari pandangan-pandangan lain yang ingin meruntuhkan paham
teisme.[4] Tuhan didefinisikan dari sifat-sifatnya; maha tahu, maha hadir, kekal, pencipta segala
sesuatu.[4] Namun lebih lagi, Tuhan bukan ada begitu saja, namun selalu terhubung dalam
peristiwa-peristiwa besar manusia.[4]

Thomas Aquinas (1225-1274)


Santo Thomas Aquinas

Thomas Aquinas menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Wahyu Kristen.[4] Kebenaran


iman dan rasa pengalaman bukan hanya cocok, namun juga saling melengkapi; beberapa
kebenaran, seperti misteri dan inkarnasi dapat diketahui melalui wahyu, sebagaimana
pengetahuan dari susunan benda-benda di dunia, dapan diketahui melalui rasa pengalaman;
seperti kesadaran manusia akan eksistensi Allah, baik wahyu maupun rasa pengalaman dipakai
untuk membentuk persepsi tentang adanya Allah.[4]

Thomas Aquinas terkenal dengan lima jalan (dalam Bahasa Latin; quinque viae ad deum) untuk
mengetahui bahwa Allah benar-benar ada.[4]

Jalan 1 adalah gerak, bahwa segala sesuatu bergerak, setiap gerakan pasti ada yang
menggerakkan, namun pasti ada sesuatu yang menggerakkan sesuatu yang lain, namun
tidak digerakkan oleh sesuatu yang lain, Dialah Allah.[4]
Jalan 2 adalah sebab akibat, bahwa setiap akibat mempunyai sebabnya, namun ada
penyebab yang tidak diakibatkan, Dialah sebab pertaman, Allah.[4]
Jalan 3 adalah keniscayaan, bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa ada dan ada yang
bisa tidak ada (contohnya adalah benda-benda yang dahulu ada ternyata ada yang
musnah, namun ada juga yang dulu tidak ada ternyata sekarang ada), namun ada yang
selalu ada (niscaya) Dialah Allah.[4]
Jalan 4 adalah pembuktian berdasarkan derajat atau gradus melalui perbandingan, bahwa
dari sifat-sifat yang ada di dunia ( yang baik-baik) ternyata ada yang paling baik yang
tidak ada tandingannya (sifat Allah yang serba maha) Dialah Allah.[4]

Jalan 5 adalah penyelenggaraan, bahwa segala ciptaan berakal budi mempunyai tujuan yang
terarah menuju yang terbaik, semua itu pastilah ada yang mengaturnya, Dialah Allah.[4]

Descartes (1596-1650)

Rene Descartes memikirkan Tuhan bermula dari prinsip utamanya yang merupakan gabungan
antara pietisme Katolik dan sains.[5]Descartes adalah seorang filsuf rasionalis yang terkenal
dengan pemikiran ide Allah.[6] Tantangan yang mendorong Descartes adalah keragu-raguan
radikalnya, The Methode of Doubt , bahkan menurutnya,"indera bisa saja menipu, Yang Maha
Kuasa dalam bayangan kita juga bisa saja menipu, sebab kita yang membayangkan". [7][6] Dalam
menjawab skeptisisme orang-orang pada masanya, maka dalam tinggalnya di Neubau, dekat kota
Ulm - Jerman, disebut sebagai perjalanan menara, kata lain dari meditasi yang dilakukan, dia
menemukan Cogito, ergo sum tahun 1618.[1][6] Karena orang pada zamannya meragukan apa
yang mereka lihat, maka hal ini dipatahkan oleh Descartes bahwa apa yang dipikirkan saja
sebenarnya sudah ada, minimal di pikiran.[6] Orang bisa menyangkal segala sesuatu, namun ia
tidak bisa menyangkal dirinya sendiri.[1] Jadi Allah di sini juga demikian, Allah sudah ada
dengan sendirinya, bahkan lebih jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari
para pendahulunya.[6]Keterbukaan untuk mengemukakan ide dalam pikiran, maka segala sesuatu
yang dapat dipikirkan pasti bisa ada.[1] Alkitab salah satu bukti eksistensi Allah, kemudian juga
relasi bahwa manusia, binatang, malaikat, dan obyek-obyek lain ada karena natural light yang
adalah Allah sendiri.[6]

Filsafat Ketuhanan menurut Descartes adalah berawal dari fungsi iman, yang pada akhirnya
berguna untuk menemukan Allah. Tanpa iman manusia cenderung menolak Allah. Ada dua hal
yang bisa ditempuh agar Aku sampai pada Allah, 1. sebab akibat, bahwa dirinya sendiri
(manusia) pasti diakibatkan oleh penyebab pertama, yaitu Allah.[1] Jalan yang kedua adalah
secara ontologis, yang diwarisinya dari Anselmus.[1] Allah yang ada itu tidak mungkin berdiri
sendiri, tanpa ada kaitan dengan suatu entitas lain, maka Allah pasti ada dan bereksistensi.[1]
Maka Allah yang ada dalam ide Descartes sempurna sudah, bahwa Dia ada dan dapat diandalkan
dalam relasi dengan entitas lainnya itu.[1]

Imanuel Kant (1724-1804)

Immanuel Kant dengan kata-kata "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di batinku"

Ajaran Kant tentang Allah ditemui dalam hukum moralnya melalui beberapa tahap: 1. Allah
adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi yang menjamin bahwa
orang yang bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami kebahagiaan sempurna.[1]
Menurut Kant ada tiga jalan untuk membuktikan adanya Allah di luar spekulasi belaka, dan hal
ini dimungkinkan:

dimulai dari menganalisa pengalaman kemudian menemui kualitas dari sense dunia kita,
lalu meningkat menjadi bukum kausalitas mencapai penyebab di luar dunia.[8]
berdasar hal pertama, kita masih pada tataran pengalaman yang tidak bisa dijelaskan.[8]
di luar konsep-konsep itu, manusia memiliki a priori dalam rasionya, dan itu menjadi
penyebab yang memang ada.[8]

Lalu dari usaha dari pengalaman dianalisa dengan a priori (pemikiran awal sebelum
membutktikan sesuatu) dalam otak kita, kita membagi tiga bentuk definisi atas pengalaman;
Psikologi-teologi, kosmologi dan ontologi.[8] Dari hal yang dialami (empiris) menuju
transendensi; bahwa manusia hanya akan berspekulasi saja.[8] Kritik Kant terhadap Thomas
Aquinas juga mengenai hal-hal spekulatif, padahal Allah nyata adanya.[8] Di sini Kant kemudian
mengakui bahwa Allah sebagai pemberi a priori dan pengalaman itu sendiri tidak terdapat dalam
baik pengalaman maupun a priori, namun melampaui hal itu.[8] Maka Kant sangat terkenal
dengan kata-katanya '"Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam batinku".[8] Di
sinilah iman diperlukan, sebab Allah pada kenyataannya tidak bisa dibuktikan hanya dengan
pengalaman inderawi semata.[8] Allah melampaui hal-hal rasio murni.[8]

Hegel (1770-1831)

Hegel juga disebut filsuf idealisme Jerman.[9] Ajaran yang terkenal dari Hegel adalah dialektika,
di mana ada dua hal berbeda (bahkan kontras) yang bertemu dan membentuk hal baru.[1]
Pertama-tama Hegel membedakan antara rasio murni (dalam Kant) sebagai kesadaran manusia,
namun ada yang lebih dari itu yaitu intelek. Intelek itu senantiasa mengerjakan kinerja rasio dan
intelektualitas sehingga dialektika terus terjadi.[1] Roh Absolut yang adalah intelek itu bekerja
dan menyatakan dirinya dalam proses sejarah manusia.[1] Pekerjaan Roh itu dapat mencapai
tujuannya dalam alam semesta ketika terjadi dialektika antara subjek dan objek, antara yang
terbatas dan tidak terbatas, dan yang paling bisa dimengerti adalah antara yang imanen dan
transenden.[1] Hegel berpendapat Allah di dalam agama Kristen juga bekerja seperti peristiwa
reformasi yang sebenarnya merupakan peristiwa pemulih atau pengembali keadaan manusia
menjadi baik kembali.[1] Dari peristiwa-peristiwa itu maka Allah menurut Hegel dapat diartikan
dalam tiga tahap: 1. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah adalah proses perjalanan Roh
(Allah) yang menemukan dirinya sendiri 2. Melalui manusia dengan kesadarannya, Roh itu
menemukan dirinya (peristiwa revolusi oleh Napoleon misalny) 3. Sehingga terjadi keselarasan
arah gerak manusia dan arah gerak Roh dalam emansipasi dan kebebasan manusia, untuk itu Roh
akan memakai nama "Akal budi".[1] Namun Allah yang dinyatakan Hegel sebenarnya terikat
pada manusia yang berproses dalam sejarah.[1]

Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher adalah penganut Kant, namun baginya Allah lebih baik tidak ditelusuri dengan
metafisika belaka, namun perlu dihayati kehadirannya, yaitu dengan kontemplasi.[1] Baginya,
Allah yang tidak bisa ditangkap inderawi tidak bisa juga dilacak dengan rasio murni.[1] Istilah
yang dipakai oleh Schleiermacher untuk Allah adalah "Sang Universum".[1] Jika Kant mengenal
Allah sebagai pemberi hukum moral yang melampaui rasionya, Schleiermacher menganggap
Allah yang dimaksud Kant tidak memadai dalam kehidupan manusia, sebab Allah hanya
pemberi ganjaran kepada orang yang baik dan penghukum orang yang kurang baik.[1] Sebab
Allah, bagi Schleiermacher tidak mungkin memberi hukuman kekal kepada manusia lantaran ia
tidak sempurna, hal ini dikarenakan bahwa manusia diciptakan Allah bukan agar ia sempurna,
melainkan agar ia berikhtiar mencapai kesempurnaan itu.[1]

Scleiermacher mendekati Allah bukan dari teori spekulatif, bukan dengan pendekatan moral-
praktis, melainkan pendekatan intuitif-batin, dalam bahasanya melalui kontemplasi dan
perasaan.[1] "Di sinilah agama merenungkan Sang Universum, di dalam caranya
mengekspresikan diri dan tindakannya, agama ingin mendegarkan bisikan suara Sang Universum
itu dengan khidmat,... Dalam kepasifan anak-anak, agama ingin ditangkap dan dipenuhi oleh
daya pengaruhnya"[1] Agama adalah Sang Universum sendiri.[1] Sang Universum ditangkap dari
alam dunia yang mamanifestasikannya.[1] Namun alam dunia bukanlah Sang Universum yang
berdiri sendiri, namun tetap memanifestasikan alam.[1] Pembedaan ini melaui dua tahap; 1. Alam
adalah wahyu Allah, dan ditangkap oleh sanubari manusia, 2. wahyu yang lebih tinggi dan lebih
baik adalah manusia yang menurut Schleiermacher tidak terbagi-bagi dan tidak terbatas, namun
bereksistensi.[1] Dalam aktivitas umat manusia itulah Allah menyatakan diri, alam diresapi oleh
Yang Ilahi.[1] Namun manusia bukanlah Allah sendiri.[1] Maka tugas agama adalah mencari
menemukan Allah yang ada di luar dirinya.[1] Agama harus tinggal dengan pengalaman-
pengalaman langsung untuk mencari Allah dan mencari keterhubungannya secara menyeluruh,
bukan berfilosofi.[1]

Alfred North Whitehead (1861-1947)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Teologi Proses

Alfred North Whitehead dijuluki sebagai bapak filsafat maupun teologi proses.[1] Pemikirannya
tergolong abstrak karena pengaruh bidang yang digelutinya, matematika dan pengetahuan
empirisme mengenai alam yang didapatkannya dari fisika terapan.[1] Dalam bukunya tentang
Bagaimana Agama Terjadi (1926) dia menyatakan;

"Dogma-dogma agama adalah upaya untuk memformulasikan secara presis


kebenaran-kebenaran yang tersibak di dalam pengalaman religius umat manusia.
Dengan cara yang sama dogma-dogma fisika (teori-teori, hukum, dan postulat)
merupakan upaya untuk memformulasikan secara presis kebenaran-kebenaran yang
tersingkap di dalam pencerapan inderawi umat manusia. [1]
Filsafat Proses Whitehead.

Filsafat prosesnya memakai dua pendekatan; 1. Prinsip proses, dan 2. Prinsip kreatifitas.[1]
Dari prinsip ini maka proses dibedakan dalam dua: 1. Prinsip bagi proses yang bersifat
mikrokopis (konkresi) adalah asas yang memungkinkan lahirnya wujud aktual baru dari aktual-
aktual lama yang sudah penuh.[1] 2. Prinsip bagi proses yang bersifat makrokopis (objektifikasi)
yang memungkinkan sesuatu yang sudah penuh berubah dan menjadi datum lagi.[1]

Prinsip kreatifitas itu disimpulkan secara logis berdasarkan analisisnya atas satua aktual sebagai
wujud ciptaannya.[1]

Allah dalam Filsafat proses Whitehead

Proses kreatifitas dan pembaruan dari satuan aktual-aktual terus terjadi, salah satu partisipannya
adalah Allah, namun Dia yang paling menonjol karena dia adalah yang awali dan yang akhiri.[1]
1. Yang awali : Allah memiliki dua peran sekaligus yaitu sebagai dasar awali yangyk adanya
tatanan dalam seluruh jagat raya dan sebagai dasar munculnya kebaruan dalam perwujudan suatu
peristiwa aktual.[1] 2. Yang akhiri: Allah sebagai penyerta yang tanggap dan menyelamatkan.[1]

Jadi Tuhan (Allah) bagi Whitehead memiliki 3 peran yang disebut di atas, dengan begitu dia bisa
mengendalikan setiap perubahan yang terjadi atas aktual-aktual lain dan mengakhirinya dengan
baik.[1]

Deisme
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Deisme

Deisme dianalogikan seperti Tukang Jam, yang menciptakan jam secara teratur dan
membiarkannya berjalan sendiri

Deisme adalah pandangan khas tentang Allah di masa Pencerahan, berasal dari deus yang artinya
Allah.[9] Namun pandangan ini berbeda dengan teisme, sebab Allah dipercaya hanya pada waktu
penciptaan, selanjutnya tidak berhubungan dengan dunia lagi karena dunia yang sudah teratur
dari semula.[9] Allah dianalogikan seperti pencipta arloji yang bisa berjalan sangat teratur tanpa
campur tangan penciptanya.[9] Jadi Deisme hanya percaya Tuhan pertama kali, setelah itu
dianggap tidak ada.[9] Paham ini dianggap sebagai benih dari munculnya pandangan ateisme
yang secara terbuka menyangkal adanya Tuhan.[9] Pandangan yang muncul pada abad 18 di
Perancis.[9]
Agnostisisme
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agnostisisme

Agnostisisme adalah paham manusia yang tidak mau tahu atau tidak tahu tentang adanya
Tuhan.[9] Namun hal ini lebih disebabkan karena kebuntuan pemikiran untuk mendefinisikan
Tuhan.[9] Bagi para filsuf ini, Tuhan di berada di luar Jangkauan pemikiran manusia.[9]

Ateisme
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ateisme

Ateisme berari penyangkalan adanya Allah.[2] Namun arti tentang Allah yang disangkal adanya,
tidak sama dengan pandagan semua orang, oleh karenanya arti ateisme berbeda-beda juga.[2]
Lima model ateisme yang diuraikan Magnis Suseno adalah ateisme dalam diri Ludwig
Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Jean Paul Sartre.[9]

Scientisme merupakan bagian dari Ateisme

Scientisme, sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebgai ukuran
seluruh inteligibilitas, scientisme membatasi rasionalisme sendiri dalam batas-batas pengetahuan
saja, sehingga roh manusia sendiri direduksi sampai dimensi ilmiah saja.[3] Segala sesuatu
dipandang sebagai obyek yang dapat diukur, bahkan subyek pada akhirnya nanti dibendakan
juga.[3] Maka pada akhirnya scientisme menolak metafisika, sehingga apa yang dipikirkan secara
metafisik dibendakan begitu saja, dan ini adalah bentuk ateisme.[3] Problem lebih lanjut adalah
scientisme melawan pemikiran agama dan iman.[3] Hal ini terjadi pada masa Galilei yang
mengemukakan tentang bumi yang diistilahkan geo-sentris.[3] Hal lain yang kemudian muncul
juga pada Charles Darwin dengan teori evolusi yang menyangkal kisah penciptaan manusia
dalam naskah Alkitab.[3]

Ludwig Feuerbach
Ludwig Feuerbach

Ateisme menurut Feuerbach (1804-1872) adalah memandang Tuhan dalam agama hanya sebagai
proyeksi dari kehendak manusia saja.[9] Dia menolak pandangan Hegel yang menyatakan Tuhan
mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia.[9] Baginya, yang nyata bukan lah Tuhan, yang
nyata adalah manusia.[9] Tuhan hanyalah proyeksi manusia yang mendamba sifat-sifat yang tidak
dapat dicapainya.[9] Kehendak manusia untuk berkuasa, serba tahu, ada di mana-mana, dan tidak
terikat waktu itu kemudian dilemparkannya pada "hal lain" yang adalah Tuhan.[9] Sebab
kepastian yang nyata adalah yang dapat di tangkap inderawi, yaitu realitas manusia.[9] Pandangan
seperti ini nanti akan masuk dalam filsafat meterialisme.[9] Kebaikan pandangan Feuerbach ini
adalah menyatakan hakekat manusia untuk kreatif, berbelas kasih, baik, saling menyelamatkan
dsb.[9] Aneh bila manusia menyembah Tuhan yang adalah dirinya sendiri, maka manusia
seharusnya menarik agama ke dalam dirinya sendiri supaya ia menjadi kuat, baik, adil dana maha
tahu.[9]

Karl Marx

Karl Marx terkenal dengan Agama adalah candu masyarakat

Menurut Karl Marx, agama adalah candu masyarakat, karena agama, masyarakat menjadi tidak
maju dan bersikap rasional.[9]Agama yang dimaksud Marx adalah agama Kristen Ateisme yang
diajarkan Marx adalah ateisme modern.[2]Agama yang mengajarkan Tuhan yang serba bisa hanya
menipu dan menyesatkan masyarakat.[9] Marx mengkritik Feuerbach yang hanya menyatakan
bahwa Tuhan adalah khayalan, namun tidak mencari sebabnya.[9] Bagi Marx sebab yang
diberikan adalah manusia lari kepada Tuhan karena penindasan yang mereka terima dari
masyarakat kelas yang dikritiknya.[9] Menurutnya agama hanya menjadi penghalang manusia
untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas, seandainya Tuhan dan
agama tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.[9] Di sinilah Tuhan sekiranya
dicoret karena tidak diperlukan.[9] Manusia seharusnya menolak kapitalisme yang sedang
menindas mereka.[9]

Sigmund Freud
Sigmund Freud, mencari Tuhan dari psikoanalis

Filsafat Ketuhanan dalam pandangan Sigmund Freud dengan terori psikoanalisnya dimulai
dengan pertanyaan, "Apakah kepercayaan akan Allah dapat dipertanggungjawabkan?"[2] Hal ini
berawal dari analisanya tentang perkembangan manusia yang mempercayai agama yang
terkadang tidak mencari kebenaran-kebenaran di dalamnya.[2] Manusia yang hanya menerima
begitu saja agama-agama yang diajarkan kepadanya.[2] Ide Allah hanyalah ilusi, namun begitu
dibutuhkan manusia seperti seorang manusia yang membutuhkan seorang bapak yang
melindunginya.[2] Namun Freud mengajukan pertanyaan selanjutnya, "Apakah agama benar-
benar baik bagi manusia?"[2] Jawabannya adalah ambigu.[2] Yang ditekankan olehnya adalah
seharusnya manusia bertanya akan imannya sehingga dia tidak terjebak dalam bentuk-bentuk
infantil dan neurotis.[2] Pendk kata, Freud tidak memperdebatkan realitas Allah, namun lebih
mengupas ilusi palsu kesadaran manusia.[2] Karena bertanya, maka sesungguhnya penjelasan
yang dikemukakan agama tidaklah memadai, Allah tidak bisa dijelaskan dalam intelektual,
sehingga perlu ditolak juga.[2] Terlebih lagi jika dicari manfaatnya, agama hanya sebagai
penghambat perkembangan pribadi, maka harus pula ditolak.[2]

Friedrich Nietzsche (1844-1899)

Friedrich Nietzsche sangat terkenal dengan Sabda Zarathustra (1883) bahwa "Tuhan telah
mati".[4] Inilah awal mula penolakannya terhadap Tuhan.[4] Penolakannya terhadap Tuhan
sebenarnya berasal dari kebenciannya melihat orang Kristen yang tidak menunjukkan
kekristenan yang seharusnya menampilkan kasih.[4] Kebenaran bagi dia sangat subyektif,
dipikirkan manusia yang sangat super kekuasaannya terhadap dirinya sendiri.[4] Subyektivitas itu
juga dalam hal kebenaran agama, apa yang disebut baik bisa saja sebenarnya sangat buruk, apa
yang disebut buruk bisa saja sebenarnya sangat baik.[4]Agama Kristen dianggap oleh Nietzsche
sebagai bentuk Platonisme baru yang memisahkan antara dunia, kosmologi, materi dan apa yang
dapat ditangkap oleh pancaindera.[3] Dari sini keburukan Kristen kata Nietzsche dipandang
meremehkan hal-hal duniawi, tampak seperti gnosis yang meremehkan hidup (tubuh, dunia,
hawa nafsu) sehingga merupakan hasrat akan kehampaan, kehendak akan dekadensi, sebagai
penyakit, kelesuah dan kepayahan hidup.[3] Hal ini ditujukan kepada agama [Kristen]] yang
memiliki label baik, sebenarnya sangatlah buruk, yaitu dengan ajaran-ajarannya yang sebenarnya
membelenggu manusia untuk berkembang.[4] Bagi dia, manusia adalah ukuran segala sesuatu,
bukan Tuhan yang disebut agama Kristen.[4] Manusialah tuhan atas ciptaan ini dan yang mampu
mengerjakan apa yang diinginkannya.[4] Maka penolakan akan Tuhan adalah hal yang paling
baik, sebab manusia menjadi tidak bergantung pada Allah (Kristen) yang hanya membelenggu
manusia itu, katanya.[4]

J. Paul Sartre (1905-1980)

Tuhan di mata Sartre kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di manapun dia berada,
oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan.[10] Tuhan juga tidak hadir ketika dia ingin
menemuinya.[10] Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata semenjak umur
12 tahun.[10] Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada kesusastraan, yang disebut
sebagai agama baru baginya.[10] Namun secara sistematis, dan khas eksistesialis, penolakan atas
Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam tulisannya Ada dan Ketiadaan
terjemahan dari Being and Nothingness.[10] Baginya, di dunia ini tidak ada grand design yang
mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan eksistensinya.[4] Eksistensi
manusia mendahului esensinya; manusia ada dan kemudian menentukan "siapa dirinya".[4] Dia
menyangkal Descartes tentang Aku berpikir, maka aku ada, yang benar adalah Aku ada lalu aku
berpikir.[4] Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori eksistensial fenomenologisnya, bahwa
segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian; etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau
etre-pour soi / ada untuk dirinya sendiri.[10] Segala sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri
berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak afirmatif juga tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen,
tanpa dapat dirutunkan dari sesuatu lain, tidak berkembang.[10] Sedangkan ada untuk dirinya
sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini khas manusia.[10] Dari pemisahan inilah, dia melabel
Tuhan orang Kristen yang tidak berubah itu masuk dalam golongan ada dalam dirinya sendiri,
maka dari itu dia tidak lebih besar dari manusia yang memiliki kesadaran untuk memilih
esensinya sendiri.[10] Di sinilah penyangkalan Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan lebih
tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak diperlukan lagi.[10] Karena Tuhan tidak lagi ada, maka
manusia menjadi bebas dan bisa menentukan kondisi bangsanya.[10] Di sinilah nilai positif Sartre
yang kemudian menghabiskan seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia (gerakan
sosial).[10] Bahkan dia pernah memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap
kemanusiaan, namun ditolaknya.[10][4]

Anda mungkin juga menyukai