Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

CASE 4
MANAGEMENT BENCANA

Disusun oleh :
TUTORIAL C-3

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA 2012

1
Kelompok Tutorial C3

1. Andi Azwadi Raiz 081.0211.077

2. Akbar Septian 081.0211.024

3. Tiffano Taufan Firdaus 081.0211.146

4. Putra Sang Fajar 081.0211.093

5. Ashri Mirawati 207.311.139

6. Dika Amanda 081.0211.044

7. Fajar Ayu 081.0211.092

8. Hagarina Harahap 081.0211.061

9. Efrini Kumala N 081.0211.054

10. Monica Ayudhia 201. 311.119

11. Revita Anisa 081.0211.116

Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat dan hidayatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah case keempat Management Bencana.
2
Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa
FK UPN Veteran Jakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa makalah
ini tidak luput dari kesalahan teknik maupun tulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran kepada semua pihak.

Jakarta, Januaro 2012

Penyusun

Daftar Isi

Kasus Management Bencana...................................................................................................................5

Undang Undang penanggulangan Bencana..........................................................................................7


3
Bencana..................................................................................................................................................10

Penanganan Bencana..............................................................................................................................12

Gunung Berapi.......................................................................................................................................14

Evakuasi Korban Bencana.....................................................................................................................17

Koordinasi Tanggap Bencana................................................................................................................24

Penyakit Pasca Bencana.........................................................................................................................28

Penanggulangan Pasca Bencana............................................................................................................30

KASUS MANAGEMENT BENCANA


PAGE 1
4
Anda adalah dokter lulusan FK UPN yang diterima sebagai PNS dan ditugaskan sebagai kepala
puskesmas Srubung di kec. Srubung, kab. Magelang.

Kecamatan Srubung adalah daerah lereng Barat G. Merapi yang merupakan salah satu gunung berapi
terktif di dunia. Ibu kota kecamatan adalah Srubung yang berjarak sekitar 20 Km dari puncak merapi.

Data wilayah adalh sebagai berikut :

Jumlah dusun/ kelurahan 17


Jumlah penduduk 5322 jiwa, beberapa diantaranya ada yang tinggal di desa-desa yang
berjarak 5-10km dari puncak Merapi.

Puskesmas anda berada dalam di dekat lapangan lapangan sepak bola dengan jumlah personel:

Dr umum 2 orang termasuk anda, dr gigi 1 orang


Perawat 15 orang
Tenaga administrasi 4 orang
Laborat 1 orang

Pada tanggal 2 Des 20xx anda di undang ke Mungkid ibukota kabupaten Magelang untuk rapat
dengan bupati bersama kepala dinas kesehatan kabupaten.

Dalam brefieng bupati anda mendapat tugas unutuk melakukan mitigasi khusunya di bidang kesehata
meskipun G.Merapi masih dinyatakan normal aktif.

Segera setelah anda kembali ke Srubung anda melaksanakan kegiatan yang terkait dengan persiapang
menghadapi bencana gunung meletus.

Dalam perjalanan waktu kondisi gunung merapi dipantau makin ada peningkatan aktifitas.

Pada tanggal 5 Maret 20xx jam 8.45 WIB, Dinas Volkanologi Mitigasi Bencana Geologi, Kem.
ESDM mengkonfirmasikan kepada ketua BNPB Magelang, Sleman dan sekitarnya bahwa aktifitas
gunung merapi meningkat , beberapi kali gempa vulkanik disertai getaran tremor yang tercatat pada
seismograf pos pengamatan G. Merapi Ngepost Srubung .

Ketua BNPB mengumumkan status siaga.

PAGE 2

Pada tangggal 5 Maret 20xx jam 11.15 terdengar dentuman keras dari puncak gunung merapi disertai
dengan adanya gumpalan awan panas yang mengalir ke arah Barat.

Segera diumumkan perubahan status ancaman bahaya Merapi dan diperintahkan penduduk dengan
raadius 10 KM dari puncak merapi untuk mengungsi.

Selalu kepala puskesmas Srubung, anda segera memberlakuakan puskesmas sesuai dengan SOP
penanggan bencana.

Pukul 18.00 datang tim evakuasi dengan truk yang membawa 8 korban letusan. Anda beserat tim
segera melakukan triage. Ternyata semua mengalami luka bakar dengan berbagai derajat dan dari
primary survey satu diatara korban selain luka bakar juga mengalamipatah tulang terbuka di paha
kanan. 4 orang ternyata hanya menderita luka bakar ringan di lengan bawah dan setelah diobati dapat
di tampung di tempat pengungsian. 3 orang perlu dirawat di puskesmas karena perlu mendapat
5
pergantian cairan. Sedangakan yang mengalami patah tulang setelah dilakukan resusitasi dan kondisi
stabil segera di evakuasi ke rumah sakit umum magelang.

Tempat pengungsian yang sudah disiapkan dilapangan dekat puskesmas sudah dipenuhi pengungsi
dengan julah 14 orang laki-laki, 40 wanita, 66 anak-anak, dan 12 balita. Sesuai SOP maka tim bantuan
kesehatan yang dipimpin dokter anak buah anda segera melakukan cek kesehatan kepada pengungsi.

PAGE 3

Pada keesokan hariny pasca erupi Merapi telah tiba tim dari PMI sebanyak 20 orang yang termasuk
dr. Bedah, dr. Anastesi dan beberapa perawat yan siap membantu. Dengan koordinasi yang baik para
korban dapat dilakukan pertolongan darurat.

Pada hari ke-4 terjadi keributan di tempat pengungsi oleh karena ada satu kepala keluarga Bpk.
Rahino yang mengamuk. Dari alloanamnesa diperoleh keterangan jika dari awal di tempat
pengungsian sudah terlihat murung karena istrinya mengalami luka bakar yang berat dan dirawat di
RSU Magelang dan anak 3 orang. Anak bungsunya yang beumur 3 tahun selalu menanyakan ibunya,
rumanya rusak berat dan 3 ekor sapi mati karena terkena awan panas. Selain itu ada 5 orang yang
pengungsi yang menderit abatuk-batuk dan gatal-gatal.

Setelah terjadi 2 erupsi lagi ternyata G. Merapi mulai terlihat menurun aktifitasnya dan 3 minggu
pasca letusan, dinas vulkanologi mitigasi bencana geologi memberi informasi bahwa status bencana
dapat diturunkan. Masa tangggap darurat telah selesai dan memasuki tahap berikutnya unutk
dilakukan evaluasi ttg akibat letusan gunung merapi unutk selanjutnya dilakukan tahap pasca bencana.

UNDANG-UNDANG PENANGGULANGAN
BENCANA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

6
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor.

3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas
masyarakat, dan teror.

5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan


kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.

6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk
menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

7. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang.
9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

10. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan

7
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

11. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi
atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.

12. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada
wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada
wilayah pascabencana.

13. Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

14. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis,
geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu
tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.

15. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan
hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana
dengan melakukan upaya rehabilitasi.

16. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak
yang terancam bencana.

17. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

18. Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
pada saat keadaan darurat.

19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk
jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana.

20. Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat
tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.

21. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.

8
22. Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat
bencana.

23. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

24. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, atau perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

25. Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

26. Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
organisasi internasional lainnya dan lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

BENCANA

DEFINISI
Kejadian / peristiwa bencana yang diakibatkan oleh alam atau ulah manusia, baik yang terjadi secara
tiba-tiba atau perlahan-lahan,dapat menyebabkan hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis,

9
kerusakan harta benda dan lingkungan, yang mampu melampaui kemampuan sumberdaya masy.untuk
mengatasinya.
1. Definisi Oprasional
a. Gawat Darurat :
Keadaan dimana diperlukan pertolongan segeracepat,cermat,tepat) untuk mencegah kematian atau
kecacatan
b. Tanggap Darurat :
Upaya penangulangan dampak yang timbul akibat bencana, terutama penyelamatan korban dan harta
benda, evakuasi dan pengungsian.
c. Pencegahan ( prevention) :
Upaya pencegahan terjadinya bencana dan jika mungkin meniadakan bencana.
d. Mitigasi ( Mitigation ) :
Upaya untuk mengurangi dampak bencana, baik fisik struktural melalui pembuatan bangunan fisik
maupun non fisik struktural melalui undang-undang & pelatihan
e. Kesiapsiagaan ( Preparedness ) :
Upaya mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah langkah tepat guna dan berdaya
guna.
2. Kesiapsiagaan = preparedness kegiatan pra bencana prevention mitigasi
3. Kegiatan saat bencana
a) Menginformasikan kejadian bencana misal pada forum desa dan petugas kesehatan..
b) Memberitahukan pada warga (kentongan dll)
c) Membantu melakukan PPGD bersama petugas kesehatan.
d) Memberi bantuan perlengkapan pengungsian / logistik. (Dapur Umum, Tenda, Posko, dll)
e) Membantu petugas dalam pencatatan dan (data korban, data logistik)
f) Membantu petugas kesehatan memberikan pertolongan awal
g) Mengaktifkan sistem pertolongan
h) Melakan evakuasi dan transfortasi dengan benar
i) Mengaktifkan sistem peringatan
4. Kegiatan paska bencana
a) Pengamatan terhadap dampak bencana (Misalnya sumur yg rusak, pipa air putus atau jamban
hancur)
b) Membantu memulihkan kondisi emosi warga (menghibur, menenangkan warga dg cara berdoa/
berzikir bersama atau mendampingi korban)
5. Apa saja yang dicatat dan dilaporkan
a) Nama korban
b) Umur dan jenis kelamin
c) Tempat dan waktu kejadian
10
d) Penolong
e) Tindakan yang dilakukan
f) Tempat rujukan selanjutnya

PENANGANAN BENCANA
Penyelenggaraan penanganan bencana sendiri terbagi menjadi tiga. Ketiganya dibedakana karena
membutuhkan penangana yang berbeda. Keeadaan tersebut antara lain :

1.Prabencana

Penanggulangan bencana prabencana meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi
bencana. Dalam hal tidak terjadi bencana pemerintah dapat melakukan perencanaan penanggulangan
bencana. Pemerintah secara geografis dapat menentukan wilayah rawan bencana. Pemetaan terhadap
wilayah yang rawan dan berpotensi menimbulkan bencana ditujukan apabila terjadi bencana
pemerintah dapat mengambil tindakan sesuai prediksi. Kegiatan pencegahan juga dapat dilakukan
dengan mempersiapkan sarana atau teknologi tepat guna yang dapat meminimalkan atau mencegah
11
bencana. Pemerintah juga dapat melakukan pendidikan seperti simulasi keadaan tsunami dahulu di
Aceh pasca bencana.

Penanggulangan bencana dalam hal terdapat potensi bencana meliputi :

a.Kesiapsiagaan
Dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian dan melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Upaya siap siaga dengan
mempersiapkan sarana dan prasarana untuk menghadapi bencana. Uji coba dan simulasi keadaan
bencana harus dilakukan agar memberikan pengetahuan bagi warga mengenai proses evakuasi serta
tempat evakuasi. Alat teknologi canggih yang dapat mendeteksi adanya bencana harus disiapkan.
Contohnya mercusuar yang dapat mendeteksi gelombang dan getaran pada permukaan bumi di bawah
laut.

b.peringatan dini
Upaya pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarkat tentang potensi dan kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu lokasi oleh badan yang berwenang. Upaya peringatan dini diawali
dengan kegiatan pemantauan bencana sevara intensif oleh petugas atau badan yang telah ditunjuk
pemerintah. Nantinya hasil pengamatan tersebut akan dianalisis oleh para ahli dan diputuskan
mengenai penetapan status bencana. Nantinya informasi tersebut akan disebarluaskan kepada
khalayak ramai dan dijadikan dasar dalam pengambilan tindakan oleh masyarakat.

c.mitigasi bencana
Merupakan upaya mengurangi resiko bencana dengan melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Kegiatan mitigasi dilakukan dengan
pelaksanaan tata ruang serta pembangunan infrastruktur. Kegiatan pendidikan, penyuluhan, serta
pelatihan juga merupakan bagian dari upaya mitigasi.

2.Tanggap darurat

Keadan tanggap darurat merupakan keadaan dimana bencana benar-benar terjadi pada saat itu. Ketika
bencana terjadi segera dilakukan analisa untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah
korban, kerusakan bangunan, gangguan terhadap pelayanan umum dan pemerintahan, serta
kemampuan sumberdaya alam maupun sumber daya buatan.

Hal yang paling penting ketika terjadi bencana dalah proses evakuasi atau penanganan bencana. Pada
bencana alam kegiatan evakuasi harus dilakukan agar menghindarkan jumlah korban jiwa yang
banyak. Pada bencana nonalam kesigapan badan khusus yang telah dibentuk harus dioptimalkan.

3.Pasca bencana

Pasca bencana menjadi penting karena ini merupakan titik tolak setelah terjadi bencana. Fungsi
pemerintah pada dasarnya untuk mengembalikan pada keadaan semula dan melakukan normalisasi
fungsi pemerintahan. Acap kali setelah terjadi bencana muncul berbagai kerugian baik harta maupun
jiwa. Korban bencana pun sering mengalami trauma yang berkepanjangn akibat terjadinya suatu
bencana. Kegiatan penanganan pasca bencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi.

a.Rehabilitasi
Kegiatan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat
yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pasca bencana.

12
b.rekonstruksi
Pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik
pada tingkatan pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan di wilayah pasca bencana.

GUNUNG BERAPI
KENALI GEJALA DAN CARA PENYELAMATAN BAHAYA LETUSAN GUNUNG BERAPI

Mitigasi bencana gunung berapi

Upaya memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda akibat letusan gunung berapi,
tindakan yang perlu dilakukan :

1. Pemantuan
Aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan alat pencatat gempa (seismograf). Data
harian hasil pemantuan dilaporkan ke kantor Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di
Bandung dengan menggunakan radio komunikasi SSB.

13
Petugas pos pengamatan Gunung Berapi menyampaikan laporan bulanan ke pemda setempat.

2. Tanggap Darurat
Tindakan yang dilakukan oleh DVMG ketika terjadi peningkatan aktivitas gunung berapi.
Tindakan tersebut antara lain :
- Mengevaluasi laporan dan data
- Membentuk Tim Tanggap Darurat
- Mengirimkan Tim ke lokasi
- Melakukan pemeriksaan secara terpadu

3. Pemetaan
Peta kawasan rawan bencana gunung berapi dapat menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung berapi,
daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penggulangan bencana

4. Penyelidikan
Penyelidikan gunung berapi menggunakan metoda Geologi, Geofisika, dan Geokimia.
Hasil penyelidikan ditampilkan dalam bentuk buku, peta dan dokumen lainnya

5. Sosialisasi
Petugas melakukan sosialisasi kepada pemerintah Daerah serta masyarakat terutama yang tinggal di
sekitar gunung berapi.
Bentuk sosialisasi dapat berupa pengiriman informasi kepada Pemda dan penyuluhan langsung
kepada masyarakat.

Bahaya Gunung Berapi

1. Aliran Lava
Lava adalah magma yang meleler ke permukaan bumi melalui lubang kepundan atau rekahan,
suhunya > 1000 C, dapat merusak segala bentuk infrastruktur.

2. Aliran PIROKLASTIK / Awan PANAS


Aliran piroklastik/awan panas adalah aliran material vulkanik panas yang terdiri atas batuan
berat(padat), ringan (berongga) lava massif dan butiran klastik yang pergerakannya dipengaruhi
gravitasi dan cenderung mengalir melalui lembah dengan kecepatan 10-100 m/detik pada suhu antara
100-1000C

3. Jatuhan PIROKLASTIK
Adalah material yang disemburkan ke udara oleh suatu letusan gunung berapi kemudian jatuh kembali
ke permukaan bumi, material ringan seperti abu dapat tertiup angin sampai jauh puluhan bahkann
ribuan kilometer.
- Menimbulkan hujan abu
- Membahayakan penerbangan
- Membahayakan saluran pernafasan
- Dapat merobohkan bangunan

4. Gas beracun
Adalah gas vulkanik yang dapat mematikan seketika apabila terhirup ke dalam tubuh dalam
konsentrasi di atas ambang batas.
Gas tersebut antara lain :
14
CO2, SO2, Rn, H2S, HCI, HF, H2SO4
Gas tersebut pada umumnya tidak berwarna dan tidak berbau

5. Longsor GUNUNG BERAPI


- longsoran pada tubuh gunung berapi yang terjadi bukan/akibat gunung berapi
- akibat lemahnya ikatan bebatuan pada tubuh gunung berapi
- akibat dorongan energi letusan yang menyamping

6. Lahar LETUSAN
Lahar letusan terjadi pada gunung berapi yang mempunyai danau kawah, terjadi bersamaan
saat letusan, air bercampur material lepas gunung berapi mengalir dalam bentuk banjir lahar

7. lahar HUJAN
Lahar hujan terjadi akibat endapan material yang diletuskan diangkut oleh hujan menyebkan banjir,
lumpur, panas, atau dingin

Persiapan dalam Menghadapi letusan Gunung Berapi


- mengenali daerah setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk mengungsi
- membuat perencanaan penanganan bencana
- mempersiapkan pengungsian jika diperlukan
- Mempersiapkan kebutuhan dasar

Jika terjadi letusan gunung berapi


- Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah aliran lahar.
- ditempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan dan awan panas
- persiapkan diri untuk kemungkinan bencana susulan
- kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti : baju lengan panjang, celana panjang, topi
dan lainnya
- jangan memakai lensa kontak
- pakai masker atau kain untuk menutupi mulut dan hidung
- saat turunnya awan panas usahakan untuk menutup wajah dengan kedua belah tangan

setelah terjadinya letusan gunung berapi


- jauhi wilayah yang terkena hujan abu
- bersihkan atap dari timbunan abu. Karena beratnya, bisa merusak atau meruntuhkan atap bangunan
- Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu sebab bisa merusak mesin motor,
rem, persneling hingga pengapian

Persiapan penanganan bencana oleh masyarakat bisa !..

1 Mengurangi kemungkinan
Untuk mengurangi kemungkinan bencana di suatu wilayah, tindakan pencegahan bencana perlu
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakatnya.

2 Mengurangi Korban
Pada saat bencana terjadi, korban yang timbul umumnya disebabkan oleh kurangnya persiapan.
Persiapan yang baik akan bisa membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat guna dan
tepat waktu.

3 Mengurangi resiko
Bencana bisa menyebabkan kerusakan dan / atau korban jiwa. Dengan mengetahui cara
pencegahannya masyarakat bisa mengurangi resiko ini.

4 Menjalin kerjasama

15
Penanggulangan bencana hendaknya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Kerjasama itu sangat penting untuk memperlancar proses penanggulangan bencana.

EVAKUASI KORBAN BENCANA


Pendahuluan

Bencana maupun kecelakaan dapat mengenai siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Terkadang musibah ini dapat menimpa seseorang di tempat yang tidak diperkirakan dimana
keadaannya sama sekali tidak memungkinkan untuk pemberian pertolongan sehingga pemindahan
korban ke tempat yang lebih kondusif sangat diperlukan. Sebagai contoh korban tabrakan yang masih
berada di dalam mobilnya, korban yang terjatuh ke jurang, atau korban dalam keadaan perang.

Pengertian

16
Pemindahan korban dari tempat kejadian ke tempat yang lebih aman untuk mendapat
penanganan lebih lanjut dimana sebelumnya pertolongan pertama telah dilakukan

Prinsip dasar evakuasi

Dalam melakukan proses evakuasi terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar
proses ini dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan masalah yang lebih jauh lagi. Prinsip
prinsip itu antara lain :

Lokasi kejadian :

Tempat kejadian tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan lebih lanjut sehingga
tindakan evakuasi diperlukan agar korban dapat diselamatkan dan tidak mengalami cidera
yang lebih jauh lagi.

Kondisi Korban

Dalam melakukan evakuasi, evaluasi terhadap kondisi korban yang ditemukan harus
diperhatikan agar proses evakuasi dapat berjalan dengan lancar. Kondisi yang perlu untuk
diperhatikan antara lain :

o Kondisi korban dapat bertambah parah ataupun dapat menyebabkan kematian


o Kontrol ABC

o Tidak terdapat trauma tulang belakang ataupun cedera leher

o Jika terdapat patah tulang pada daerah yang lain maka hendaknya dilakukan
immobilisasi pada daerah tadi

o Angkat Tubuh korban bukan tangan/kaki (alat gerak)

o Jangan menambah parah kondisi korban

Peralatan

Seyogyanya dalam melakukan suatu proses evakuasi penggunaan peralatan yang memadai
perlu diperhatikan. Hal ini penting karena dengan adanya peralat yang memadai ini proses
evakuasi dapat lebih dipermudah dan cidera lebih lanjut yang mungkin terjadi pada korban
dapat lebih diperkecil kemungkinanannya. Penggunaan peralatan ini juga harus disesuaikan
dengan kondisi medan tempat korban ditemukan.
17
Pengetahuan dan Keterampilan perorangan

Pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan dari orang yang akan melakukan proses evakuasi
juga menjadi faktor penting karena dengan pengetahuan dan keterampilan ini semua masalah
yang dapat timbul selama proses evakuasi dapat ditekan. Sebagai contoh, dengan
keterampilan yang ada seseorang dapat melakukan evakuasi dengan alat seadanya. Dalam
melakukan evakuasi, keselamatan penolong haruslah diutamakan.

Tahap Tahap Evakuasi

Evakuasi adalah suatu proses dimana terdapat tahapan tahapan di dalamnya. Tahapan itu antara
lain :

Aktualisasi
o Telah Melalui tahapan initial assesment

o Penanganan awal korban saat ditemukan

Mobilisasi

o Penggunaan teknik evakuasi yang sesuai

o Pemilihan jalur evakuasi

o Tempat tujuan evakusi

Teknik Evakuasi

Terdapat berbagai macam teknik dalam melakukan evakuasi dimana tekniknya disesuaikan dan
dikembangan menurut kondisi yang ada. Secara umum, teknik dalam melakukan evakuasi dibagi
sebagai berikut :

18
Dengan alat

Dalam mengangkut korban dengan menggunakan tandu, biasanya 1 regu penolong terdiri dari
enam sampai tujuh orang, dengan tugas masing-masing:

o Pimpinan/ Komandan Regu : memberi komando, mengatur pembagian kerja pada


saat mengangkat berhadapan dengan wakil dan anggotanya, tempat waktu
mengusung : kanan depan tandu
o Wakil pimpinan regu : membantu pimpinan dan mengobati pasien, waktu
mengangkat : bagian bawah kaki, tempat mengusung : kiri depan tandu.

o Anggota A : Mengobati dan membalut, waktu mengangkat : bagian badan dan


punggung, tempat waktu mengusung : kanan belakang tandu.

o Anggota B : Membantu anggota C mengatur tandu dan membalut, waktu mengangkat


: bagian kepala dan dada, tempat waktu mengusung : kiri belakang tandu.

o Anggota C : Mengatur tandu dan menyiapkan obat dan alat yang digunakan, waktu
mengangkat : mengumpulkan alat-alat P3K dan barang milik pasien, memantau
kondisi pasien selama proses evakuasi.

o Angggota D : Menjadi Pemandu atau pembuka jalur dan memeriksa situasi dan
kondisi jalur yang akan atau sedang dilewati, mencatat hal-hal penting.

Tanpa alat

o 1 orang penolong

Korban anak-anak

Cradle (membopong)

Penolong jongkok atau melutut disamping anak/korban .


Satu lengan ditempatkan di bawah paha korban dan
lengan lainnya melingkari punggung. Korban dipegang
dengan mantap dan didekapkan ke tubuh, penolong
berdiri dengan meluruskan lutut dan pinggul. Tangan
penolong harus kuat dalam melakukan teknik ini.

19
Pick a back (menggendong)

Digunakan untuk korban sadar .Penolong pertama jongkok atau melutut


perintahkan anak/korban untuk meletakkan lengannya dengan longgar di atas
pundak penolong. Genggam masing-masing tungkai korban. Berdiri dengan
meluruskan lutut dan pinggul.

Korban Dewasa

Pick a back (menggendong)

Korban digendong dan berada dibelakang penolong dan igunakan untuk korban
sadar. Teknik ini sama seperti yang dilakukan pada anak.

Memapah (one rescuer assist)

Tindakan yang aman untuk korban yang adar dan


dapat dengan jalan memapahnya. Caranya dengan
berdiri disampingnya pada bagian yang sakit
( kecuali pada cederaekstremitas atas) dengan
melingkarkan tangan pada pinggang korban dan
memegang pakaiannya pada bagian pinggul dan
lingkarkan tangan korban di leher penolong dan memegangnya dengan tangan
yang lain.

Menyeret (One Rescuer Drags)

Dapat digunakan untuk korban yang sadar maupun


tidak sadar, pada jalan yang licin (aman dari benda yang membahayakan) seperti
lantai rumah, semak padang rumput, dlla. Caranya dengan mengangkangi korban
20
dengan wajah menghadap ke wajah korban dan tautkan (ikatkan bila korban tidak
sadar) kedua pergelangan korban dan lingkarkan di leher. Merangkak secara
perlahan-lahan. Kontraindaksinya adalah patah atau cedera ekstemitas atas dan
pundak (scapula).

Fireman Lift

Merupakan tindakan yang aman bagi


korban baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar tetapi tidak terjadi fraktur pada
ekstremitas atas atau vertebra. Biasanya digunakan pada korban dengan berat badan
ringan.

Lebih dari 1 orang penolong

Membopong

Teknik pengangkutan yang teraman dari semua


teknik yang ada baik bagi korban maupun
penolong. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk
korban yang tidak dapat membengkokkan tulang
belakang (cedera cervical) dan cedera dinding
dada. Caranya : penolong jongkok/melutut di kedua sisi korban dengan pinggul
menghadap korban. Korban diangkat dalam posisi duduk dalam rangkain tangan
penolong dan instruksikan untuk meletakkan lengan-lengannya di atas pundak para
penolong, para penolong menggenggam tangan kuat-kuat di bawah paha korban
sedangkan tangan yang bebas digunakan untuk menopang tubuh korban dan
diletakkan di punggung korban.

Memapah

21
Korban berada ditengah-tengah penolong dan cocok untuk
korban sadar maupun tidak sadar dan tidak mengalami
cedera leher

Mengangkat

Cara paling aman untuk melakukan evakuasi pada korban yang tidak sadar dan
mengalami cidera multipel. Penolong lebih dari 2 orang dimana tiga/dua penolong
mengangkat badan dan salah seorang dari anggota tim memfiksasi kepala korban.
Pengangkatan ini dilakukan secara sistematis dan terkoordinir untuk menghindari
cidera yang lainnya.

Evakuasi tanpa menggunakan tandu dilakukan untuk memindahkan korban dalam


jarak dekat atau menghindarkan korban dari bahaya yang mengancam. Untuk evakuasi
dengan jarak jauh seringan apapun cedera korban usahakan untuk mengangkutnya dengan
menggunakan tandu.

o Korban lebih dari satu


o On Stage Triage

Dalam keadaan ini korban dikelompokkan berdasarkan berat/ringannya trauma yang


diderita

Penggolongan korban trauma didasarkan pada kondisi ABC (airway, breating,


circulation)

22
o Penggolongan korban dibagi kedalam :

Merah : pasien dengan kondisi airway terganggu

Kuning : pasien dengan kondisi sirkulasi darah dan pernapasan terganggu

Hijau : pasien yang mengalami luka ringan dan mampu untuk berjalan

Hitam : korban meninggal dunia

o Dalam keadaan darurat korban dengan kemungkinan hidup lebih tinggi harus
didahulukan
o Korban dengan luka lebih parah dan paling memungkinkan untuk ditolong terlebih
dahulu harus didahulukan

o Perhatikan adanya keadaan yang dapat memperparah keadaan korban

KOORDINASI TANGGAP BENCANA


Perubahan Cara Pandang Masyarakat

23
Apakah ancaman kebencanaan di Indonesia merupakan masalah koordinasi institutional semata?
Apakah perlu ada pendekatan sistemik yang mengacu pada (lagi-lagi) aturan dan kekuatan politik
yang otoriter untuk mendisiplinkan, melindungi dan mengatur warga dan lingkungan kita yang
terkena dampak bencana? Sewaktu melihat bencana Merapi, Mentawai, Wasior, saya merenung
banyak. Tugas redaksi JI yang awalnya diusulkan untuk menulis tentang budaya bersepeda di Belanda
menjadi terpinggirkan, larut dengan bayangan kesuraman akan bencana di lokasi nun jauh di negeri
sendiri. Apakah aspek kebencanaan di Indonesia sedemikian sulitnya dikoordinasikan melalui jalur
birokrasi sehingga selalu diperlukan bantuan asing melalui LSM asing/non asing dan lembaga negara
de fakto?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut saling berpacu di batin saya ketika saya menonton berita tentang
penanganan bencana di Indonesia yang disebut sebagai Gagap Bencana. Pendekatan birokratik
memang disadari atau tidak masih sangat kental dalam proses bernegara dan bermasyarakat di
Indonesia. Efek dari budaya memanggil pejabat saat pembukaan acara panen kampung, atau acara
tujuh belasan masih juga terjadi di tengah masyarakat kita. Di orde baru, budaya ini dimafhumkan
karena para pejabat memiliki kekuatan (power) yang sangat kuat dalam memutuskan kebijakan.
Sedangkan di masa sekarang, setelah era reformasi, kedudukan citizen power menuntut adanya
perubahan atas kewenangan untuk pelaksanaan tugas-tugas yang menguasai hajat publik. Istilah
layanan publik pun kini tidak monopoli pemerintah semata. Dulu, industri telekomunikasi dikuasai
oleh pemerintah, baik melalui regulasi maupun secara kapital. Kini, setelah serangkaian privatisasi
BUMN media dan pelonggaran regulasi penyiaran, bisa dikatakan pemberitaan yang ada sangat
bersifat terbuka terhadap persepsi masyarakat walaupun belum tentu lebih objektif. Dalam teori
Parkin & Sharma (1999) terdapat pandangan di mana kedudukan logika rasional yang dikuasai oleh
teori rasional teknokrat akan bertentangan dengan kubu pandangan yang menuntut kontrol masyarakat
seperti yang dijelaskan oleh Arnstein (1978) melalui ladder of participation. Lalu, bagaimana
dengan penanganan bencana? Apakah negara kita perlu juga mewadahi perubahan institusi yang
mengakomodasi persepsi pluralistik? Perlu diingat bahwa dalam skala yang lebih kecil (seperti tingkat
masyarakat atau kabupaten) pendekatan ini akan sangat berdampak luas terhadap upaya-upaya
tanggap darurat sementara. Namun, dalam tataran birokrasi, akan timbul kekacauan konsistensi
pandangan bernegara karena hingga saat ini kita menganut demokrasi dengan perwakilan. Jika
pandangan pluralistik ini diimplementasikan untuk mengkritik proses birokrasi pusat maupun regional
provinsi secara langsung (seperti yang terjadi melalui media), aspek keterwakilan di DPRD seolah
dibungkam dan tidak diperlukan. Secara sarkastik kita pun menilai bahwa DPR dan DPRD adalah
wakil rakyat yang bodoh, pandir, dan tidak berguna. Tokoh LSM yang berkecimpung di dunia politik
yang saat ini berjuang mengaspirasikan pandangan rakyat pun gamang dengan posisi mereka. Lalu
terjadilah aksi demonstratif, kunjungan ke lokasi bencana menjadi wacana politik dan upaya
menegmbalikan legitimasi suara rakyat melalui DPR. Apakah hal ini membantu upaya penanganan
bencana? Bagi saya pribadi akan lebih baik jika anggota DPR kembali ke ruang sidang begitu bencana
diumumkan, dan bekerja untuk merubah APBN dan undang-undang sebagai upaya berempati pada
penanganan bencana. Bagi anggota DPR/DPRD, prioritas mereka adalah mengamankan posisi agar
mereka bisa bekerja dengan tenang.

Secara internal di lokasi, warga di Indonesia seolah memiliki pemikiran tersendiri tentang arti
bencana. Upaya pemerintah sering ditanggapi sebagai sesuatu yang berlebihan. Contohnya adalah
para pengungsi dari bencana letusan merapi. Walaupun terjepit kondisi darurat, mereka terlihat
tenang-tenang saja ketika mereka harus mengungsi. Ternyata, untuk mereka, walaupun penuh
bencana, lereng merapi merupakan lembah penghidupan. Sehingga seringkali dalam status waspada
pun mereka tetap merumput, mencari penghasilan menambang pasir di sungai, dan bahkan bercocok

24
tanam. Peringatan pemerintah tidak digubris. Tentunya dalam situasi saat ini sangat tidak adil
menggugat pemerintah dalam model penanganan birokratiknya. Sebuah komentar pragmatis dari
anggota dewan yang terhormat yang mengingatkan bahaya tinggal di pulau terpencil pun ditanggapi
dengan hujatan. Sekali lagi, pihak pemegang kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif
terbelenggu oleh anggapan dan tanggapan mengenai birokrasi yang dibuat di jaman orde yang tidak
terlalu baru. Walaupun pernyataan tersebut mengganggu secara emosional, tentunya dalam jangka
panjang ide tersebut dapat menjadi sebuah wacana dalam relokasi warga terpencil. Namun benarkah
pemerintah tidak bisa melakukan pendekatan apa pun karena jurang komentar dan budaya terlalu
tajam?

Upaya Pemerintah dalam Penanganan Aspek Kebencanaan

Perubahan sikap dalam menangani bencana tentunya tidak bisa merubah sifat institusi yang sangat
rigid. Dulu, sewaktu saya masih CPNS, pertanyaan bagaimana merubah sifat institusi ditanggapi
dengan hangat, dan diakhiri dengan jawaban mengambang. Ada sebuah sikap diam tidak tenang yang
ditanggapi oleh para abdi negara mengenai sifat birokrasi negara kita. Sebagian besar tidak
menyetujui pendekatan birokratik untuk hal-hal yang bersikap tanggap darurat, dan sebagian generasi
lama di pemerintahan bernostalgia tentang penanganan model Suharto yang otoriter.

Upaya pemerintah untuk merubah cara tanggap darurat pun pernah beberapa kali disesuaikan. Yang
paling revolusioner adalah saat Tsunami tahun 2004 di Aceh. Saat itu dalam kurun beberapa periode
telah terjadi tahap penanganan bencana yang sangat terbuka dan berangsur-angsur surut menjadi
penanganan model insitusional, setelah BRR bubar. Walaupun dianggap ideal, ternyata membuka
keran penerimaan bantuan sangat rawan terhadap penyalahgunaan dana asing, rentan terhadap
penambahan hutang negara, serta tidak mendidik masayarakat karena lemahnya kekuatan kontrol
lapangan. Sebagai perbandingan kita bisa berkaca pada Hiroshima, di mana sebuah kota luluh lantak
oleh bom atom. Saat itu, kekuatan teknokratik dan tradisi masih sangat kuat, dan disadari atau tidak,
gejolak sosial di masayarakat Jepang sendiri masih mampu diredam (karena kesamaaan kultur dan
kepatuhan terhadap doktrin Putra Matahari). Sehingga, upaya membangun kembali sebuah kota dan
negara yang hancur dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat tanpa bantuan asing. Berkaca
dari pengalaman tersebut, sebagian dari kita bisa berargumen bahwa kasus tersebut tidak kontekstual
mengingat kondisi masyarakat Indonesia saat ini jauh berbeda dengan kondisi masyakarat Jepang di
masa lalu. Bantahan terhadap argumen ini adalah bahwa sikap solid untuk percaya pada pemerintahan
diperlukan di saat krisis masih sangat relevan dalam konteks Indonesia. Saat ini, kritik yang tidak
berimbang melemahkan posisi pengambil keputusan, sehingga seringkali mereka teralienasi terhadap
arus bantuan luar dan donor-donor asing. Masyarakat kita lebih nyaman menyumbang bencana
melalui pintu-pintu LSM ketimbang BAZIS, dan kita melihat gerakan-gerakan sporadis yang
memasang umbul-umbul LSM untuk menggalang dana masyarakat. Kemanakah dana itu mengalir?
Bagaimanakah dana itu dipertanggungjawabkan? Tentunya masyarakat perlu mengkaji sikap apriori
ini dan bersatu dengan pemerintah untuk mempertimbangkan bagaimana dan kemana dana mitigasi
bencana seharusnya ditempatkan.

Disadari atau tidak, kita mengandalkan TNI, Kopassus dan korps militer karena kesigapan dan
disiplin mereka menghadapi krisis dapat diandalkan saat bencana terjadi. Merekalah ujung tombak
evakuasi di setiap situasi saat masa-masa awal krisis diidentifikasi. Lalu, gelombang kekuatan kedua
adalah masyarakat yang terkena dampak bencana itu sendiri, dan dikuti oleh gelombang yang ketiga
adalah bantuan dari masyarakat luar, LSM, serta pemerintah lokal. Maka, jika diperhatikan, kekuatan
atau power masih dipegang utamanya oleh pemerintah walaupun dalam masyarakat yang sangat
terbuka. Hujatan terhadap lambannya peran pemerintah tentu perlu ditanggapi sebagai sebuah teguran
25
halus untuk meningkatkan kinerja dan kapasitas institusi untuk berkoordinasi dalam keseluruhan
upaya sistemik penanganan bencana. Dalam hal ini justru kekuatan institusi sangat diperlukan, dan
keterbukaan terhadap media merupakan salah satu bentuk dari kekuatan insitusi tersebut. Saya pribadi
berharap, kontrol atas media perlu dikembalikan agar tanggapan yang dikeluarkan dari pejabat
institusi dapat mewakili pandangan umum institusi dan bukan sarana untuk menyerang kebijakan
individu. Sangat disayangkan jika pemberitaan yang menjadi wadah keterbukaan masyarakat berujung
negatif menjadi pemberangusan kekuatan koordinasi pemerintah.

Persiapan Infrastruktur Kebencanaan

Sebuah kasus mengenai penanganan bencana yang terintegrasi bisa dilihat di Belanda. Jika
dibandingkan dengan Indonesia, seolah-olah negara ini aman dari bencana, walaupun tidak
seluruhnya benar demikian. Di Belanda, lebih dari 25% daratan berada di bawah air laut dan sebagian
besar tanahnya memiliki tekstur rawa dan tanah lunak. Namun demikian, bencana banjir seperti di
Jakarta tidak pernah terjadi di Belanda. Kita bisa melihat bahwa teknologi dan seni hidrologi terbaik
di dunia berkembang pesat di negara ini. Mereka menginvestasikan ilmu, waktu dan tenaga untuk
menanggulangi bencana sebesar upaya mereka mensejahterakan rakyatnya. Seperti halnya di Jepang,
dalam berhadapan dengan bencana, yang sangat diperhatikan pemerintahnya bukanlah melulu tentang
upaya mitigasi dan rehabilitasi. Perbedaannya dengan Jepang hanyalah jenis bencana alam yang
dihadapi, namun proses perencanaannya sangat serupa. Penekanan untuk penanganan aspek
kebencanaan di Beladna adalah penyiapan infrastruktur yang sanggup bertahan (dalam skala tertentu)
terhadap bencana, sehingga waktu evakuasi tiba masyarakatnya pun memiliki pilihan aman jika
mereka harus tinggal di tempat atau pindah ke suatu tempat. Program itu pun berlanjut higga aspek
penyiapan masyarakat, penyiapan tenaga ahli melalui pendidikan yang terjangkau, jejaring sosial
untuk menjamin penghidupan sewaktu bencana, dan aspek sosial dalam pembebanan pajak bagi
pembiayaan infrastruktur. Jika dibandingkan, APBN Indonesia hanya 1000 Triliun, di mana jumlah
alokasi dana untuk infrastruktur tidak sampai 40%. Belanda sendiri mengeluarkan enam kali lipat
APBN untuk infrastruktur jalan dalam kurun 1 tahun sedangkan luas negaranya hanya sebesar sebuah
provinsi di Jawa. Bagaimana negara kita mampu menangani pendanaan pencegahan, persiapan,
mitigasi, serta pemulihan paska bencana jika hanya mengandalkan APBN? Saat tulisan ini diturunkan,
mudah diprediksi akan dibutuhan dana yang sangat besar untuk upaya kompensasi kerugian dan
upaya relokasi pengungsi baik di Merapi maupun di kepulauan Mentawai. BNPB yang diharapkan
mampu menangani bantuan bencana saat ini hanya berkonsentrasi pada upaya internal dan dana
APBN, dan seolah tidak mengindahkan dana masyarakat yang lalu-lalang di daerah. Jika dana
kompensasi negara berupa jaminan sosial selama bencana dari sumber non APBN dapat dikoordinasi
melalui badan ini ditambah sumber BAZIS serta non pajak dari dana sosial, tentunya akan sangat
membantu keuangan negara.

Akhir kata, perenungan saya berujung pada kesimpulan, tidak seperti yang digembor-gemborkan di
media, keadaan gagap bencana di Indonesia bukan tentang serta-merta merubah sistem birokrasi.
Dalam pemberitaan singkat (disebut headline news atau flash news) seringkali kita terjebak oleh
sebuah mainstream atau tren partisipasi masyarakat yang berkembang menjadi ideologi dunia saat ini.
Kita perlu kembali berintrospeksi, bagaimana sistem perencanaan penanganan bencana sudah
diintegrasikan dalam tiap level birokrasi tersebut dan masyarakat sendiri. Sikap preventif, penyiapan
infrastruktur, jauh lebih memiliki dampak mengurangi kerugian materiil/jiwa ketimbang persiapan
mitigasi semata. Tentunya, persiapan mitigasi juga memegang peran penting dalam penanganan
bencana alam. Perlu disadari bahwa masyarakat membutuhkan jaminan sosial untuk penghidupan
yang layak seperti sumpah pemerintah dalam preambule UUD 45. Bedanya, jejaring sosial ini dapat
diimplementasikan saat proses mitigasi berlangsung, sehingga warga gunung merapi tidak perlu
26
mengkhawatirkan pernghidupan dirinya selama dan setelah bencana usai. Peraturan lokal pun
diperlukan untuk mendorong masyarakat mematuhi imbauan pemerintah. Upaya insentif dan
disinsentif sebagai inovasi pemerintah lokal juga diperlukan dalam mengatur sikap rakyat sebagai
perwujudan demokrasi desentralisasi.

PENYAKIT PASCA BENCANA


Bencana alam yang terjadi selalu menyisakan kepedihan yang mendalam. Baik berupa gempa bumi,
tanah longsor, banjir, gunung meletus, ataupun tsunami. Banyak korban nyawa, fisik, dan harta akibat
bencana yang terjadi. Bencana menyebabkan korban yang selamat, kehilangan keluarga, sahabat,
harta, bahkan tempat tinggal. Bencana ini selanjutnya menyebabkan berbagai masalah kesehatan.

27
Menurut Ketua Umum PB IDI Fachmi Idris, secara umum, masalah kesehatan utama setelah bencana
adalah trauma fisik seperti luka dan patah tulang. Kemudian, selama dan sesudah masa itu korban
bencana yang selamat dan tinggal di pengungsian juga terancam penyakit jika upaya antisipasinya
tidak memadai. Berbagai penyakit yang muncul pascabencana alam antara lain malaria, ISPA, diare,
leptospirosis, kolera, dan infeksi kulit.
Pada umumnya masalah kesehatan pasca gempa dapat dibagi dalam 3 fase:
a) Penyakit akut pasca bencana.
Yaitu penyakit yang berhubungan langsung dengan bencana yang terjadi. Misalnya, kasus gempa
bumi, penyakit yang berhubungan langsung dengan gempa adalah cedera akibat reruntuhan. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa cedera utama akibat gempa adalah cedera kepala dan patah tulang.

b) Penyakit ikutan pada beberapa hari-minggu pasca bencana


1) Malaria
Penyakit malaria dapat timbul misalnya saat masyarakat berada di pengungsian ( tenda-tenda
darurat ), nyamuk anopheles bisa menginfeksi korban-korban bencana.
2) DBD
Misalnya banjir, air yang tergenang dapat menyebabkan bersarangnya nyamuk aides aigypti.
Kemudian menginfeksi korban-korban bencana.
3) Diare dan penyakit kulit
Penyakit ini bisa menginfeksi korban bencana karena sanitasi yang jelek. Misalnya kuman-kuman
penyebab diare seperti ; Vibrio kolera, Salmonella dysentriae pada genangan banjir, diare akibat
kurangnya asupan air bersih karena saluran air bersih dan sanitari yang rusak.
Seseorang menderita diare bila frekuensi buang air besar telah melampaui kebiasaannya dengan
kotoran encer dan banyak cairan. Diare yang terus menerus mungkin merupakan gejala penyakit berat
seperti tipus, kolera dan kanker usus. Diare yang berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa
membahayakan jiwa.
Gejala-gejalanya seperti frekuensi buang air besar melebihi normal, kotoran encer/cair, sakit/kejang
perut, demam dan muntah. Penyebabnya bisa dari Anxietas (rasa cemas), keracunan makanan, infeksi
virus dari usus, alergi terhadap makanan tertentu.
Penanggulangannya adalah dengan minum banyak cairan, hindari makanan padat atau yang tidak
berperasa selama 1-2 hari, minum cairan rehidrasi oral-oralit.
4) ISPA ( Infeksi Saluran Pernapasan Atas )
ISPA terjadi karena masuknya kuman atau mirkoorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang
biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
Istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris acute respiratory infections (ARI). Istilah ISPA
meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:

28
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mirkoorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang
biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli. Secara anatomis mencakup
saluran pernapasan bagian atas, saluran pernpasan bagian bawah (termasuk jaringan saluran
pernapasan).
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari, Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA
proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Selain ISPA sering juga ditemukan pnemonia yaitu proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli). Terjadinya pnemonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada
bronkus (biasa disebut bronchopneumonia).
Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak.
Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia
dua bulan sampai kurang dari satu tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia satu tajun
sampai kurang dari lima tahun. Pada anak di bawah usia dua bulan, tidak dikenal diagnosis pnemonia.
Pencegahannya dengan pengadaan rumah dengan ventilasi yang memadai, perilaku hidup bersih dan
sehat, peningkatan gizi balita.
5) Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira berbentuk spiral dan
hidup di air tawar. Penyakit ini timbul karena terkontaminasinya air oleh air seni hewan yang
menderita leptospirosis. Biasanya penyakit ini terdapat pada korban banjir.
6) Tipes
Penyakit tipes sebenarnya juga berkaitan erat dengan faktor daya tahan tubuh seseorang. Oleh sebab
itu, untuk mencegah terkena penyakit tipes, masyarakat harus menjaga kondisi tubuh dengan makan
makanan bergizi dan jangan sampai kelelahan.
c) Masalah kesehatan mental akibat gempa.
Penyakit psikologis / Trauma berkepanjangan akibat reaksi stres akut saat bencana bisa menetap
menjadi kecemasan yang berlebihan. Akibat kehilangan rumah, kehilangan anggota keluarga atau bisa
juga trauma karena ketakutan yang mendalam

PENANGGULANGAN PASCA BENCANA


a. Tatakelola lingkungan pasca bencana
b. Ketersediaan fasilitas sanitasi

c. Suplay makanan dan air bersih

29
d. Pengiriman relawan-relawan ke lokasi bencana

30

Anda mungkin juga menyukai