KELOMPOK 1
1. Agus Rahmanto (H3114001)
2. Agustina Cahyani (H3114002)
3. Athifah (H3114012)
4. Dalili Ghaisani A (H3114018)
5. Dewi Mayasari (H3114024)
6. Fauzi Imam (H3114034)
7. Fryda Rahmawati (H3114036)
8. Isti Winda (H3114046)
A. TUJUAN
Tujuan praktikum dari acara VII Perhitungan Kecukupan Protein
adalah:
1. Mahasiswa mengetahui cara-cara pehitungan kecukupan protein.
2. Mahasiswa dapat menghitung kecukupan protein.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Bahan
Sebuah protein adalah makromolekul polimer terbuat dari blok
bangunan asam amino diatur dalam rantai linear dan bergabung bersama
oleh ikatan peptida. Struktur primer biasanya diwakili oleh urutan huruf
di atas 20 huruf alfabet terkait dengan 20 alami asam amino. Protein
adalah blok bangunan utama dan molekul fungsional sel, mengambil
hampir 20% dari berat sel eukariotik, kontribusi terbesar setelah air
(70%). Protein prediksi struktur adalah salah satu masalah yang paling
penting dalam biologi komputasi modern. Oleh karena itu menjadi
semakin penting untuk memprediksi struktur protein dari urutan asam
amino, dengan menggunakan wawasan yang diperoleh dari struktur yang
sudah dikenal. Struktur sekunder ditentukan oleh urutan
mengelompokkan masing-masing asam amino ke dalam yang sesuai
sekunder elemen struktur (misalnya alpha, beta, atau gamma)
(Mandle et al., 2012).
2. Tinjauan Teori
Protein adalah suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,
karena selainnya zat ini dapat berfungsi sebagai bahan bakar tubuh, juga
tergolong dalam zat pembangun dan zat pengatur. Protein adalah zat
makanan yang mengandung nitrogen (N) di samping karbon, hidrogen
dan oksigen. Protein sebagai zat pembangun, yang dimaksud dengan zat
pembangun dalam hal ini ialah, bahwa protein itu merupakan bahan
pembentuk berbagai jaringan tubuh baru.Pembentukan jaringan baru
selalu terjadi di dalam tubuh. Protein sebagai bahan bakar, karena protein
mengandung karbon, maka ia dapat pula digunakan oleh tubuh sebagai
bahan bakar. Protein juga akan dibakar manakala keperluan tubuh akan
enersi tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Protein sebagai zat
pengatur, protein termasuk pula ke dalam golongan zat pengatur, karena
ia ikut pula mengatur berbagai proses tubuh, baik secara langsung
maupun tak langsung sebagai bahan pembentuk zat-zat yang mengatur
berbagai proses tubuh (Soedarmo dkk., 1977).
Protein dapat berfungsi sebagai salah satu sumber energi bagi
tubuh. Hal ini akan terjadi bila sumber utama energi, yaitu karbohidrat
(pati,gula) atau lemak, tidak terdapat dalam jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan energi bagi tubuh. Fungsi protein sebagai zat
pembangun tubuh adalah karena protein merupakan bahan pembentuk
jaringan baru yang selalu terjadi di dalam tubuh. Untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan protein, protein dengan nilai gizi rendah harus
dikonsumsi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan protein yang
bernilai gizi tinggi. Nilai gizi protein dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
daya cernanya, serta jumlah dan komposisi asam-asam amino esensial
(Muchtadi, 2008).
Protein bentuk serat bersifat lebih tidak terlarut dan tidak terlalu
berpengaruh oleh asam, basa dan panas yang tidak terlalu tinggi.Protein
globular membentuk larutan koloidal dan terpengaruh oleh asam, alkali
dan panas. Protein dapat mengalami suatu proses yang dikenal sebagai
denaturasi, jika struktur sekundernya berubah tetapi struktur primernya
tetap. Bentuk molekulnya mengalami perubahan, biasanya karena
terpecah atau terbentuknya ikatan-ikatan silang tanpa mengganggu urutan
asam aminonya. Proses ini biasanya tidak langsung balik (irreversible),
sehingga tidak mungkin untuk mendapatkan kembali struktur asal protein
itu. Denaturasi dapat merubah sifat protein, menjadi lebih sukar larut dan
makin kental (Gaman et al., 1992).
Protein dapat berfungsi untuk pertumbuhan dan pemeliharaan,
pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air,
memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat
gizi, sumber energi. Protein dapat berfungsi sebagai sumber energi
apabila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi seperti pada waktu
berdiet ketat atau pada waktu latihan fisik intensif. Pemberian protein
terlalu rendah juga akan merugikan karena protrein tubuh akan dipecah
dan tenaga akan dipakai untuk pemecahan protein tubuh itu. Secara
umum Kebutuhan protein bagi individu yang bukan atlet berkisar antara
0,8-1,0 g/kg BB/hari dengan perbandingan protein hewani terhadap
nabati 1:1, tetapi bagi mereka yang bekerja berat kebutuhan protein
bertambah. Kebutuhan protein untuk seorang atlet yang masih aktif
berlatih, sedikit meningkat, mencapai 1-1,2 g/kg BB/hari. Atlet dari
olahraga yang memerlukan kekuatan dan kecepatan perlu mengkonsumsi
1,2-1,7 gram protein/Kg BB/hari (kurang lebih 100-212% dari yang
dianjurkan) dan atlet endurance memerlukan protein 1,2-1,4
gram/KgBB/hari (100-175% dari anjuran). Jumlah protein tersebut dapat
diperoleh dari diet yang mengandung 12-15% protein (Surbakti, 2010).
Hasil energi yang memadai hasil protein dapat ditingkatkan
sehingga dapat mengakibatkan naiknya berat badan. Hubungan
fungsional antara protein dan energi disini sulit di pahami. Yang jelas,
kebutuhan energi untuk memelihara komposisi tubuh dan berat badan
berkurang kalau protein yang diperoleh dari diet mencukupi.
Perbandingan antara protein dan energi dalam diet akan digunakan
sebagai alat untuk mengevaluasi kemampuan diet. Hal ini dimaksudkan
untuk mencari kebutuhan protein pada manusia bila dipakai pada tingkat-
tingkat yang cukup memerlukan energi. Sayang sekali tidak didapatkan
suatu perbandingan yang dapat digunakan sebagai pegangan, karena
kebutuhan energi pada individu ataupun populasi tergantung dari faktor-
faktor sosial, biologis dan fisik yang terdapat pada lingkungan (Torun
dkk., 1986).
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam
makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut
KEP apabila berat badannya kurang dari 80% indeks berat badan
menurut umur (BB/U) baku WHO-NCHS. KEP merupakan defisiensi
gizi (protein dan energi) yang paling berat dan meluas terutama pada
balita (Supriasa dkk.,2001).
KEP adalah suatu bentuk masalah gizi yang disebabkan oleh
berbagai faktor, terutama faktor makanan yang tidak memenuhi
kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena infeksi, yang
berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal
menjadi bergizi-kurang atau buruk. Dengan demikian untuk mengetahui
ada-tidaknya KEP pada anak perlu dilakukan pengukuran keadaan atau
status gizi. Ada beberapa cara mengukur status gizi anak, yaitu dengan
pengukuran antropometrik, klinik dan laboratorik. Diantara ketiganya,
pengukuran antropometrik adalah yang relatif paling sederhana dan
banyak dilakukan (Soekirman, 2002).
Asupan energi dan protein adalah rerata asupan energi dan protein
dari makanan yang dikonsumsi pada saat subjek menjalani diet tinggi
protein, diperoleh dengan metode food frequency semi quantitatif lalu
data diproses menggunakan program nutrisurvey. Kemudian
dikonversikan dalam bentuk persentase tingkat konsumsi terhadap angka
kecukupan per orang per hari, untuk protein dibandingkan dengan
kebutuhan protein untuk orang yang membutuhkan peningkatan massa
otot (1,6-1,7 gr/kg BB), lalu dikategorikan menjadi di atas kecukupan
jika lebih dari 120%, normal jika 90-120%, defisiensi tingkat ringan jika
80-89%, defisiensi tingkat sedang jika 70-79% dan defisiensi tingkat
berat jika kurang dari 70%. Pengkatagorian tersebut kemudian dibagi lagi
menjadi dua kelompok, baik jika asupan normal (90-120%) dan tidak
baik jika asupan di atas atau di bawah normal (>120% dan <90%).
Asupan protein yang berlebihan tidak dapat disimpan dalam tubuh,
penambahan dari suplementasi protein akan dibakar menjadi energi atau
disimpan dalam bentuk lemak. Konsumsi protein yang berlebih dapat
berdampak buruk pada kesehatan manusia. Dampak yang dapat
ditimbulkan yaitu seseorang akan lebih sering buang air kecil karena
protein di dalam tubuh dicerna menjadi urea, suatu senyawa dalam
bentuk sisa yang harus dibuang menjadi urine. Terlalu banyak buang air
kecil merupakan beban berat pada ginjal dan dapat meningkatkan risiko
terjadinya dehidrasi (Putri dkk., 2011).
Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan, usia
(tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam pola
konsumsi pangannya. Semakin lengkap komposisi dan jumlah asam
amino esensial dan semakin tinggi daya cerna protein suatu jenis pangan
atau menu, maka semakin tinggi mutu proteinnya. Demikian pula
semakin rendah kandungan serat dan lembut tekstur suatu jenis pangan
sumber protein semakin baik mutu proteinnya. Perhitungan kecukupan
protein didasarkan pada kebutuhan protein per-kilogram berat badan
menurut umur dan jenis kelamin. Perhitungan kecukupan protein
disesuaikan dengan rata-rata berat badan sehat, serta dikoreksi dengan
faktor koreksi mutu protein (Hardinsyah dkk., 2010).
RDA (recommended daily allowance) protein, adalah kebutuhan
protein per hari yang dianjurkan untuk seorang manusia dengan satuan
gram/hari/kg berat badan. Kebutuhan protein terbobot, adalah rata-rata
kebutuhan protein harian per orang yang telah mempertimbangkan
struktur umur, berat badan dan RDA protein. Satuan yang digunakan
gram/hari/orang.Perhitungan kebutuhan protein berdasarkan struktur
umur dan jenis kelamin penduduk. Kelompok anak-anak hingga umur 9
tahun masih belum dibedakan berdasarkan struktur jenis kelamin, karena
pada usia tersebut baik anak laki-laki maupun perempuan membutuhkan
protein semata-mata hanya untuk pertumbuhan. Memasuki masa remaja
fase awal yaitu usia 10-12 dan 13-15 tahun, berat badan masih
diasumsikan sama antara laki-laki dan perempuan. Setelah memasuki
umur 16-19 tahun, baru ada perbedaan rata-rata berat badan antara laki-
laki dan perempuan. Demikian pula antara laki-laki dan perempuan yang
telah memasuki fase dewasa, dimana bobot badan laki-laki diasumsikan
lebih berat dari perempuan. Pada kelompok remaja, walapun
kecenderungannya sama yaitu ada penurunan dari usia 10-12 hingga
15-19 tahun, namun terlihat adanya perbedaan antara laiki-laki dan
perempuan pada kelompok umur yang sama. Misalnya pada umur 10-12
tahun RDA protein laki-laki adalah 0,81 gram/hari/kg berat badan
sementara perempuan hanya 0,76 gram/hari/kg berat badan. Perbedaan
tersebut diperoleh dari asumsi bahwa aktivitas remaja laki-laki lebih
intens dibandingkan dengan perempuan.Rata-rata kebutuhan protein
dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dan umur (Setiawan, 2008).
Kebutuhan protein juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
asupan protein yang juga sering menyertai tingginya tingkat aktivitas
fisik.Kemungkinan saling ketergantungan energi dan protein persyaratan
adalah aspek bermasalah dari dampak energi pada kecukupan asam
amino karena tidak ada kerangka kerja yang disepakati untuk
mengevaluasi studi protein atau asam amino kecukupan dalam kaitannya
dengan variasi asupan energi dalam subjek keseimbangan
energi.Kebanyakan penelitian NB yang didasarkan pada pandangan
bahwa energi dan protein persyaratan tidak berhubungan dan dapat
secara terpisah didefinisikan setidaknya dalam hal nilai-nilai
minimal.Para penulis berpendapat dari kebijaksanaan konvensional
bahwa asupan protein yang memadai. Bahkan sama logis untuk
menyatakan bahwa kebutuhan energi adalah variabel sesuai dengan
tingkat protein terutama pada intake rendah protein dan bahwa subjek
awalnya makan terlalu rendah asupan energi. Dalam penelitian manusia,
di mana pengukuran keseimbangan energi yang sebenarnya hanya dapat
dibuat sangat kurang dengan pengukuran tepat energi tubuh dan
perubahan komposisi, pemantauan konsekuensi energi variabel atau NB
sulit, sejauh mana perubahan berat badan secara akurat menilai
perubahan massa tubuh tanpa lemak juga sangat sulit untuk menilai. Ada
bukti hewan berlimpah untuk NB positif tinggi protein intake energi
rendah pada hewan menurunkan berat badan dan keseimbangan energi
negatif dan sebaliknya (Millward, 2004).
Kata akomodasi mengacu pada kompromi yang merugikan atau
kerugian dalam fungsi fisiologis yang harus terjadi dalam tubuh untuk
membangun kembali steady state metabolisme dalam menanggapi
penurunan asupan protein bawah kisaran kecukupan (yaitu respon
survival).Sebaliknya, kata adaptasi mengacu pada pembentukan kembali
steady state metabolisme tanpa kompromi atau hilangnya fungsi
fisiologis dalam menanggapi penurunan asupan protein dalam kisaran
kecukupan. Castaneda jelas menunjukkan bahwa wanita yang lebih tua
yang mengkonsumsi kurang protein (56% dari RDA) selama 10 minggu
ditampung dengan kerugian massa sel tubuh dan massa otot, kekuatan
otot berkurang dan gangguan respon imun, sedangkan wanita yang lebih
tua yang mengkonsumsi 115% dari RDA berhasil diadaptasi dan
dipelihara parameter ini. Baru-baru ini, Campbell melaporkan bahwa
orang-orang yang lebih tua yang mengkonsumsi RDA untuk protein
selama 14 minggu ditampung dengan penurunan di daerah otot rangka
(Campbell et al., 2002).
Kualitas protein merupakan aspek penting dari setiap
pertimbangan kebutuhan protein manusia, sebagaimana dibuktikan oleh
upaya luas untuk mengukur kualitas dan standarisasi pengukuran tersebut.
Ada 2 aspek penting dari kualitas protein yaitu karakteristik protein dan
matriks makanan yang dikonsumsi, dan tuntutan individu mengkonsumsi
makanan, yang dipengaruhi oleh usia, status kesehatan, status fisiologis,
dan keseimbangan energi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas
protein, dan isu-isu ini telah diperdebatkan secara luas selama beberapa
dekade.Sehubungan dengan kemampuan diet protein untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme dalam kaitannya dengan menjaga otot dan tulang,
data yang signifikan telah muncul untuk menunjukkan bahwa peran
protein dalam kesehatan mungkin didasarkan pada faktor-faktor yang
tidak ditangkap oleh perkiraan kualitas protein saat ini. Tujuan saat
evaluasi kualitas protein adalah untuk menentukan kemampuan protein
untuk memenuhi kebutuhan perawatan ditambah kebutuhan khusus untuk
pertumbuhan, kehamilan, menyusui atau tingkat terendah dari asupan
protein yang akan menyeimbangkan kerugian nitrogen dari tubuh, dan
dengan demikian mempertahankan massa protein tubuh, pada orang di
keseimbangan energi dengan tingkat aktivitas fisik sederhana, ditambah,
pada anak-anak atau / wanita menyusui hamil, kebutuhan yang
berhubungan dengan deposisi jaringan atau sekresi susu pada tingkat
yang konsisten dengan kesehatan yang baik (Millward et al., 2008).
Untuk mempelajari organisasi metabolisme protein dalam ragi,
kami berkerumun protein berdasarkan kesamaan dalam tingkat
terjemahan mereka (mRNA kelimpahan kepadatan ribosom), kelimpahan
protein, dan laju degradasi protein yang konstan.Kami kemudian
menganalisis pengayaan fungsi protein dan lokalisasi di setiap cluster.
Satu cluster terdiri dari protein yang tampaknya dioptimalkan untuk
produksi maksimum dan efisiensi pemeliharaan. Protein dari gugus ini
(yang kita sebut produksi cluster) yang diproduksi dalam jumlah besar
dan umumnya stabil. Cluster ini diperkaya protein yang terlibat dalam
produksi protein, termasuk protein ribosom dan lain-lain yang terlibat
dalam biosintesis protein, dan enzim yang terlibat dalam metabolisme
asam amino. Sesuai dengan bukti fungsional, kelompok ini diperkaya
protein sitoplasma.Metabolisme kelompok besar kedua protein
tampaknya dioptimalkan untuk fleksibilitas regulasi. Protein dari gugus
ini (yang kita sebut peraturan cluster) yang cepat merendahkan dan
tidak melimpah. Menariknya, cluster diperkaya protein siklus sel dan
protein yang terlibat dalam regulasi transkripsi (Belle et al., 2006).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Alat tulis
2. Bahan
a. Tabel aktivitas
3. Cara Kerja
Ariningsih, Ening. 2008. Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Rumah
Tangga Perdesaan di Indonesia: Analisis Data Susenas 1999, 2002, dan
2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen
Pertanian.
Belle,Archana., Amos Tanay., Ledion Bitincka., Ron Shamir., and Erin K. OShea.
2006. Quantification of Protein Half-lives in The Budding Yeast Proteome.
PNAS Volume 108, Number 35.
Campbell, Wayne W., Todd A. Trappe., Alison C. Jozsi., Laura J. Kruskall.,
Robert R. Wolfe., and William J. Evans. Dietary protein Adequacy and
Lower Body Versus Whole Body Resistive Training in Older
Humans.Journal of Physiology, page 631-642.
Gaman, P. M., and K. B. Sherrington.1992. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Hardinsyah.,Hadi Riyadidan Victor Napitupulu. 2010. Kecukupan Energi, Protein,
Lemak dan Karbohidrat. Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB,
Departemen Gizi FK UI.
Millward, D Joe. 2004. Macronutrient Intakes as Determinants of Dietary Protein
and Amino Acid Adequacy.The Journal of Nutrition.
Millward, D Joe., Donald K Layman., Daniel Tome., and Gertjan Schaafsma.
2008. Protein Quality Assessment: Impact of Expanding Understanding of
Protein and Amino Acid Needs for Optimal Health. The American Journal
of Clinical Nutrition.
Muchtadi, Deddy. 2014. Pengantar Ilmu Gizi. Alfabeta. Bandung.
Putri, Hanif Permata., dan Apoina Kartini. 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan
Gizi dengan Asupan Zat Gizi pada Bodybuilder. Jurnal Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Setiawan, Nugraha. 2008. Peningkatan Kebutuhan Protein Hewani di Jawa Barat:
Dampak dari Perubahan Struktur Penduduk. Jurnal Ilmu Ternak, Vol 8.
No 1, hal 65-71.
Soedarmo, Poerwo., dan Achmad Djaeni Sediaoetama. 1977. Ilmu Gizi Masalah
Gizi Indonesia dan Perbaikannya. Dian Rakyat. Jakarta.
Soekirman.2002. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan
Masyarakat.Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta.
Supriasa, I Dewa Nyoman., Bachyar Bakri., dan Ibnu Fajar.2001. Penilaian Status
Gizi.Buku Kedokteran. Jakarta.
Surbakti, Sabar. 2010. Asupan Bahan Makanan dan Gizi Bagi Atlet Renang.Jurnal
Ilmu Keolahragaan Vol. 8, No. 2.
Torun, Benjamin., Vernon R. Young., and William M. Rand. 1986. Kebutuhan
Protein & Energi (dalam Diet) di Negara Berkembang. Pradnya Paramita.
Jakarta.
LAMPIRAN